Thursday, May 29, 2014

ART JOKE: Menunggu Godot





UNDANGAN
Pembukaan Pameran Lukisan
‘ART Joke : Menunggu Godot’
karya YaksaAgus

Minggu , 1 Juni 2014
Pk. 19.00 WIB
Tirana Art Space
Jl Suryodiningratan 55 Yogyakarta
Pameran akan dibuka oleh:
Bapak Mikke Susanto

ART JOKE #2 : Menunggu Godot
Sebuah pameran tunggal Yaksa Agus dengan Tajuk “ART Joke” tahun 2013 lalu, yang menyajikan parodi dari karya-karya para perupa ternama, kemudian ditafsir ulang dan dimain-mainkan dengan versi dan gaya Yaksa. ART Joke--apabila dilihat dari judul pamerannya, sedikit memainkan kata ART Jog , sebuah perhelatan seni rupa besar yang diselenggarakan di Yogyakarta dan selalu dinanti tiap tahunnya.
Pada kali kedua ini, Yaksa mencoba membuat tafsir baru akan situasi-kondisi dunia seni rupa dalam kacamata sosiologi yang juga coba dikemas melalui parodi, bahkan menyerempet kritik sosial pada kehidupan masyarakat di sekitarnya. tetapi ide karyanya diambil dari karya-karya iconic seni rupa Indonesia.
Kali ini, pameran karya-karya Yaksa di kemas dengan tajuk “ARTJOKE#2: Menunggu Godot”. Di sini Yaksa sengaja meminjam setting dari novel “Waiting For Godot  karya Samuel Becket , tokoh sastra dari Irlandia. Dalam novel tersebut secara singkat dikisahkan bahwa sang Godot setiap hari dinantikan kedatangannya, dan sang Godot itu tak jua datang, yang muncul hanyalah utusan-utusannya saja. Ini yang coba diangkat Yaksa dalam pameran kali ini. Banyak orang saat ini sedang menunggu Godot. Tiap orang punya Godot sendiri-sendiri, sosok yang diharapkan mampu melengkapi. Setiap saat ditunggu dan diamati petanda-petanda akan kehadirannya. Tetapi sampai saat ini Godot belum juga menampakkan diri.
Dan dalam pameran ini kita bisa mencoba menerka siapa ‘Godot’ yang ditangkap Yaksa dalam imajinasi masyarakat di sekelilingnya?
Apakah sosok Presiden-kah?
Apakah sosok Kolektor-kah?
Apakah sosok Politisi-kah?
Atau bahkan sosok sang Ratu Adil?
Mari kita tunggu tanggal 1-30 Juni nanti di Tirana Art Space, Jl Suryodiningratan 55 Yogyakarta.

Salam
Nunuk Ambarwati
081 827 7073
Komentar EddiE Hara (seniman, tinggal di Swiss) melalui inbox facebook 26 Mei 2014
"Parodi atau memlesetkan sebuah karya adalah sebuah kejadian biasa. Kususnya pada karya film, musik, sastra bahkan juga visual art. Yaksa sudah memlesetkan karya saya berupa lukisan dari thn awal 90an dan performance saya "seni derita" thn 1986 dengan Ellen Urselmann dari Belanda. Secara visual bolehlah utk dibilang bagus walau belum benar2 menukik plesetannya. Artinya banyak ikon E.h yg lain yg lbh bs diplesetkan sebenarnya. kalau Yaksa mau lebih dalam melakukan studi kasus. Tapi ya biarlah. Cuman saya harapkan plesetan ini takkan berakir menjadi kopian...hahaha. Salam kepleset sampeyan, Yaksa Agus".
"Selamat pameran, Yaksa! Semoga rejekine enggak ikut-ikut mleset ke kantongku".

Komentar Bambang ‘Toko’ Witjaksono (seniman, kurator, staf pengajar ISI Yogyakarta) melalui inbox email 28 Mei 2014
Saya pikir apa yang dilakukan Yaksa melalui lukisan-lukisannya pada pameran ini menarik karena penonton tidak hanya melihat karya lukisan, namun juga akan melihat apa yang dilihat oleh Yaksa. momen-momen yang berhubungan dengan dunia seni rupa diamati oleh Yaksa dan kemudian
dilukiskannya, sembari diimbuhi pandangan kritisnya (bisa juga menjadi parodi). Sebagaimana keseharian Yaksa, yang intens mengamati segala peristiwa di dunia seni rupa lengkap dengan semua rumor dan gossip yang menyertainya, kita seolah diajak untuk "menjadi Yaksa". Kita
diajak menempati posisinya sebagai seorang pengamat. Disinilah kemudian muncul lapisan-lapisan pemaknaan. Yang menjadi menarik adalah ketika pemaknaan sudah berlapis-lapis, maka pesan (hasil pengamatan awal) bisa saja sama, sedikit berbeda, bergeser hingga tidak nyambung
sama sekali dengan yang dilakukan oleh penonton ketika "ikut" mengamati momen-momen tadi lewat lukisan Yaksa. Bagaikan menafsir tafsiran atas tafsiran sebelumnya. Hal yang niscaya
akan dilakukan terus menerus oleh umat manusia.

Selamat pada Yaksa, semoga tetap setia mengamati dan selalu kritis.

Bambang Toko,-

Monday, May 26, 2014

Jogja Miniprint Biennale 2014




​INVITATION
You are cordially invited to attend the official opening of the Jogja Miniprint Biennale (JMB) 2014 
On Friday 6 June 2014, 18:30 hours 
At Bank Indonesia Museum, Jl Taman Surapati no 2, Yogyakarta
Programs : -Intaglio demonstration by Yogyakarta Printmakers
                     -Announcement of the winner of the three best work JMB 2014
                     -Opening exhibition by Drs. GBPH Yudhaningrat MM
                     -Special performance by Ade Aryana Uli Pandjaitan
And
Tuesday 17 June 2014, 19:00 hours
At Mien Gallery, Jl. Cendana 13, Yogyakarta
Programs:  -Intaglio Demonstration II by Yogyakarta Printmakers
                    -Opening by dr Oei Hong Djien
                    -Refreshements

7 June 2014, 12.00-1500 at IVAA, Jl. Ireda, Gg. Hiperkes 188 A-B, Yogyakarta: Discussion with JMB organizer and discussion “Contemporary Australian Printmaking” with Carolyn Craig McKenzie.

Sincerely,
TERAS Print Studio
Exhibition durations: 
6-13 June 2014  at Bank Indonesia Museum, open hours: 9.00-17.00
17-23 June 2014  at Mien Gallery, open hours: 9.00-21.00

 Pengantar penyelenggara
Dengan segala keterbatasannya kami hadirkan Jogja Miniprint Biennale (JMB) yang pertama ini ke tengah publik pencinta seni di Yogyakarta secara sederhana. Sudah menjadi komitmen kami untuk terus melakukan kegiatan dalam  menyebar luaskan seni cetak grafis ke tengah masyarakat dan upaya meningkatkan mutu sajiannya. Even JMB ini adalah salah satu dari beberapa program yang telah, sedang dan akan kami jalankan disamping kegiatan lain seperti workshop, program ‘mini residensi’ yang baru dimulai awal tahun ini dan berbagai kegiatan propaganda dan rencana pameran. Pada tahun 2013 lalu kami menyelenggarakan Jogja International Mini Print Festival (JIMPF) yang diikuti 167 peserta dan 460 karya yang merupakan even pendahuluan bienal ini.

Hasrat yang disimpan sejak lama agar Yogyakarta memiliki sebuah even seni cetak grafis berkala setiap 2 atau 3 tahun sekali -dimana even tersebut selain berfungsi sebagai pertemuan karya-karya bermutu sekaligus juga sebagai ajang pergaulan  para pegrafis dari berbagai belahan dunia- tengah terbentang saat ini.  Minimnya infrastruktur, seretnya dukungan di dalam negeri sebagaimana banyak dikeluhkan oleh pegrafis membuat even semacam JMB menjadi sebuah keharusan untuk diselenggarakan secara rutin agar para pegrafis tumbuh rasa percaya dirinya dan tetap bergairah berkarya. Format miniprint yang diusung adalah alternatif, tantangan dan jembatan untuk mewujudkan ide-ide tersebut baik bagi seniman maupun bagi penyelenggara. Hal ini antara lain dikarenakan format miniprint memiliki beberapa kepraktisan dalam pendistribusian dan penangannya disamping dengan tetap mengutamakan  muatan pesan dan kualitas dari karya-karya yang  dihasilkan.

Peserta pameran ini dijaring lewat pendaftaran terbuka kepada seniman Indonesia dan luar negeri yang dilakukan dari tanggal 1 Januari  sampai 20 April 2014. Awalnya tercatat ada 169 calon peserta dari 27 negara yang mencatatkan namanya mengikuti seleksi, namun dalam perjalanannya ada peserta yang mundur, tidak siap, tidak memberi kabar dan  terlambat mengirim karya. Pendaftar  yang datang tepat waktu sesuai deadline yang ditetapkan panitia dan berhak mengikuti seleksi ada 142 seniman dengan jumlah sebanyak 465 karya. Pada tanggal 26 April 2014 bertempat di Kedai Kebun Forum, Jalan Tirtodipuran 3 Yogyakarta, Indonesia, dewan juri yang terdiri dari Hendro Wiyanto (ketua), Devy Ferdianto (anggota) dan Agung Kurniawan (anggota) telah menyeleksi 140 karya dari 72 seniman berasal dari 23 negara untuk mengikuti pameran JMB 2014. Pameran akan diadakan di dua tempat, pertama dilaksanakan di gedung heritage Museum Bank Indonesia, Jl. Panembahan Senopati 2, Yogyakarta dari  6 – 13 Juni 2014, dan pameran kedua dilanjutkan di Mien Gallery, Jl Cendana 13, Yogyakarta dari 17 – 23 Juni 2014. Rencananya pameran ini masih akan dibawa ke berbagai tempat baik di Yogyakarta maupun luar kota sampai bulan Desember 2014.

Dalam JMB yang pertama ini kami sengaja memasang 3 juri  yang merupakan kombinasi  dari 3 karakter berbeda: “pengusung tema”, “penjaga teknik” dan “ pengawal teknik & tema”. Dalam hemat kami seni cetak grafis sebagaimana seni-seni lainnya memerlukan unsur-unsur tersebut untuk menjadi menarik, mampu bersaing dan diminati penonton. Teknik saja tidak cukup, harus diperkuat oleh tema. Tema saja akan terlepas dari bangunan karya jika tidak didukung teknik yang baik. Mengabaikan teknik atau tema atau keduanya akan celaka karena  membuat seni ini ditinggalkan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dua tahun ke depan dimana JMB direncanakan diadakan kembali, namun penting buat kami selaku penyelenggara  memberi pondasi yang kokoh sejak dari JMB yang pertama ini agar lebih mudah melangkah selanjutnya. Independensi dewan juri sangat kami jaga sehingga apa yang disajikan dapat dipertanggung jawabkan. Adalah sebuah konsekuensi tersendiri buat kami penyelenggara dimana di satu sisi kami perlu merangkul dan menjaga hubungan  dengan sebanyak mungkin seniman agar JMB kian hari bertambah peminat dan pendukungnya dan di sisi lainnya  profesionalisme dan independensi juri harus kami hargai. Kami perlu mengatakan hal ini sehubungan adanya pertanyaan dan keberatan yang ditujukan kepada kami oleh beberapa peserta yang kebetulan tidak berhasil lolos dalam seleksi. Dengan kerendahan hati, melalui perhelatan JMB pertama ini kami ingin membangun sebuah bienal yang profesional dan kuat serta dapat bersanding dengan bienal-bienal miniprint yang telah lebih dahulu hadir di berbagai belahan dunia.

Lewat pengantar ini perlu kami informasikan bahwa logo JMB 2014 dibuat oleh Fakri Syahrani, pegrafis muda Yogyakarta.  Logo ini terpilih dari 20 disain logo hasil lomba terbatas yang diikuti beberapa perupa Yogyakarta beberapa waktu sebelumnya. Pengadaan hadiah uang untuk 3 karya terbaik JMB yang pertama  ini  dikumpulkan dari sumbangan oleh Studio Biru,  perupa Ronald Manullang dan patungan  donasi perupa Agung Kurniawan-istrinya Yustina Neni-pengusaha Tom Tandio. Untuk trofi JMB 2014 bagi 3 pemenang karya terbaik adalah hasil  tangan kreatif seniman muda Yoel Fenin Lambert yang kami percayakan membuatnya.  Semoga untuk ke depannya akan ada “commission artists trophy’ dari seniman-seniman lainnya.

Kami berharap apa yang dilakukan ini dapat bermanfaat baik bagi pelaku seni cetak grafis itu sendiri maupun pelaku seni dari disiplin yang berbeda, para pencinta seni dan masyarakat pada umumnya. Adanya berbagai kendala dalam mempersiapkan even JMB ini kami jadikan pelajaran berharga dan penyemangat untuk bisa mempersiapkan lebih baik lagi ke depannya. Akhir kata, kami dari TERAS Print Studio mengucapkan selamat bekerja pada panitia, selamat berpameran para peserta, selamat datang tamu/undangan dalam dan luar negeri yang secara khusus datang di acara ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada patner kerja kami HPAM dan Tirana Art Management, pendukung tempat Museum Bank Indonesia dan Mien Gallery, dewan juri, dewan pesehat, donatur, sponsor, pemasang iklan, simpatisan dan juga kepada  para peserta baik yang lolos seleksi maupun yang kali ini belum beruntung lolos seleksi.   Bantuan dan peran anda semua telah membuat acara ini terwujud.
Salam hangat kami,
TERAS Print Studio.

A Few Words from the Organizers 
Despite the challenges and limitations the first Jogja  Miniprint Biennale (JMB) 2014 is being presented to the art loving public in Yogyakarta. It is our commitment to improve and widen the scope of our activities for the general public. An event like JMB 2014 is one of several activities which we have already carried out or are planning, including workshops, ‘mini-residencies” which began in 2014, as well as other exhibitions. In 2013 we presented the Jogja International Mini Print Festival (JIMPF) which exhibited 460 works by 167 printmakers and was a pre-event to the Jogja Miniprint Biennale (JMB 2014).

The long-held desire for Yogyakarta to host a periodic printmaking event which would not only exhibit high quality print work but would also serve as a forum for printmakers from all over the world is finally being realized. Minimal infrastructure and low levels of in-country support, as frequently expressed by printmakers, makes it important to hold regular events like JMB 2014 which will increase the confidence and spirit of Indonesian printmakers. The miniprint format is an alternative, a challenge, and a bridge to realize these ideas, both from the artist’s as well as the organizer’s perspective. The reason is that the miniprint format has a number of practical aspects related to distribution and handling although the meaning and quality of the works produced are always paramount.       

Artists exhibiting at JMB 2014 were chosen through an open call to Indonesian and international artists from 1 January to 20 April 2014. Initially, 169 artists from 27 countries responded to the call although a number of artists did not submit promised works and ultimately, by the 26 April 2014 deadline, 465 works had been submitted by 142 artists. The jury, chaired by Hendro Wiyanto, together with Devy Ferdianto and Agung Kurniawan chose 140 works by 72 artists from 23 countries to be shown at JMB 2014. The opening and the first exhibition will be held at the Museum Bank Indonesia, a heritage building located at Jl. Panembahan Senopati 2, Yogyakarta from 6 – 13 June 2014. The second exhibition will held at Mien Gallery, Jl Cendana 13, Yogyakarta from 17 to 23 June 2014. It is also planned that the exhibition will travel to other galleries in Yogyakarta as well as to locations outside Yogyakarta through December 2014 

For this first Jogja Miniprint Biennale (JMB) a three member jury was chosen representing three different areas of interest and expertise: theme, technique, and the interplay between technique and theme. According to our observation, printmaking, like other types of art, needs these elements to be engaging, to be competitive, and to be interesting to observers. Technique alone is insufficient; it must be strengthened by a theme, although the theme will be lost in the structure of the work if it is not supported by good technique. To ignore technique or theme or both would be disastrous because the content, the art itself, would be utterly abandoned. We do not know what will happen two years from now, when the next JMB is planned, though it is important for us, the organizers, to provide a strong foundation, beginning with the first JMB so that future Biennales will proceed smoothly. The independence of the jury is vital so that the decision making process is fully accountable. An additional concern from the point of view of the organizers is the need to foster relationships with as many artists as possible so that future Biennales will attract more participants and supporters, while at the same time never allowing the professionalism and independence of the jury to be compromised. It is necessary to mention this matter in relation to the questions and objections which were directed to the organizers by artists whose work was not selected for inclusion in JMB 2014. It is our hope that following the first JMB a strong, professional biennale tradition will develop which will be competitive with miniprint biennales in other parts of the world.  

The JMB 2014 logo was designed by Fakri Syahrani, a young artist working in Yogyakarta. The logo was chosen from 20 designs submitted in a competition to determine the best logo for the Biennale. Trophies for the three prizewinners were designed by another young Yogyakarta artist, Yoel Fenin Lambert. We hope that in future their design skills will be utilized by other curators and artists. A number of supporters and art lovers contributed to the prizes for the three best works submitted to JMB 2014 including Studio Biru, Ronald Manullang, Agung Kurniawan and Yustina Neni, and Tom Tandio. We are grateful for their support. 

We hope that our efforts will be useful to printmakers, artists working in other mediums, art lovers, and the general public. There were a number of constraints in preparing JMB 2014 which we consider as lessons learnt and which will encourage us to better prepare for the next Biennale. Finally, TERAS Print Studio would like to express its best wishes to the committee and the artists. We would like to express our thanks to our partners, Heri Permad Art Management and Tirana Art Management, Museum Bank Indonesia and Mein Gallery, members of the jury, our advisors, donors, sponsors, advertisers, supporters, and finally to the artists, both those whose work was selected for JMB 2014 and to those whom we hope will submit their work for the next Jogja  Miniprint Biennale. It through the help of everyone that JMB 2014 has been successfully organized.      
Warm regards and a warm welcome to JMB 2014 to our guests from Indonesia and abroad. 
TERAS Print Studio

 Miniprint Biennale: Potensi Maksi Di Balik Format Mini
Oleh Suwarno Wisetrotomo

Ide penyelenggaraan peristiwa seni rupa Miniprint Biennale (MB), pantas disambut dengan banyak cara, sesuai kapasitas masing-masing penerima. Yang bergerak di dunia praktek seni, peristiwa MB adalah tantangan yang seksi; berkarya dengan prinsip cetak (print; seni grafis, lipat ganda, dengan varian teknik yang beragam) berukuran mini, namun tetap kuat daya pikat dan daya ganggunya. Tantangan dan peluang untuk mengkreasi karya yang unik, terbatas, artistik, dan menarik, terbuka lebar. Prinsipnya, ukuran/format boleh mini, tetapi gagasan-gagasan di baliknya, pesan-pesan yang ingin disuarakannya, tetap harus (dan boleh) maksi.

Bagi mereka yang tertarik di wilayah pemikiran (pembacaan, pemaknaan) karya seni rupa, peristiwa MB juga sebuah tantangan yang menggairahkan. Melalui peristiwa MB ini dapat memburu, menyelidik, juga menagih, adanya kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga di balik penggunaan istilah ‘miniprint’. Karena pada dasarnya teknik cetak (print; atau printmaking; seni grafis) ‘menyembunyikan’ sejumlah kemungkinan potensi artistik. Dari teknik konvensional; cetak tinggi(wood cut, hardboard cut, lino cut); cetak dalam (etsa, aquatint, drypoint, sugartint); cetak datar  (lithography dan monotype); dan cetak saring (silkscreen, atau serigraphy) dengan segenap variannya, masih dapat dikembangkan menjadi beragam teknik, dan bahkan sebutan. Sejumlah teknik itu sangat mungkin dipadukan (mix), bahkan bisa dicobakan pada berbagai medium. Berkarya dengan medium dan teknik print, adalah berkarya sembari berkawan dengan ketegangan dan ketakterdugaan. Karena itu unsur kejutannya (surprise) demikian tinggi.  Sang perupa hanya bisa mengukur dan mengira (kedalaman cukilan, torehan, pengasaman, kelembaban kertas, ketebalan tinta, kekuatan rekatan, dan lain-lainnya) dengan menganggap  – atas dasar pengalaman empiris – semuanya seolah tepat. Selebihnya, ia sang seniman hanya bisa menduga dan mengharap; semoga hasil cetaknya seperti yang dibayangkan.

Itulah dunia seni cetak; perpaduan antara ketrampilan teknik, kecerdasan gagasan, imajinasi konstruksi bentuk dan komposisi, serta tegangan/ketegangan emosi yang diliputi ketakterdugaan. “Ketepatan” atas dasar dugaan dan (sekali lagi) pengalaman empiris, menjadi faktor penentu keberhasilan karya cetak yang diharapkan.

Miniprint sebagai konsep, justru harus bisa membuka sejumlah kemungkinan dalam aspek eksplorasi gagasan, eksplorasi material, teknik, dan presentasi. Keliaran gagasan dan hasrat, harus terakomodasi dalam keterbatasan format. Saya membayangkan, melalui peristiwa Miniprint Biennale ini, muncul perupa-perupa ‘baru’ dengan gairah baru, yang mendalami sekaligus mengembangkan dunia print, dunia seni cetak; dari yang miniprint hingga yang maxiprint. Maksimal gagasannya, maksimal mediumnya, maksimal formatnya, dan maksimal presentasinya.

Dari aspek teknis, peristiwa Miniprint Biennale ini berpotensi menjangkau seluas-luasnya wilayah dan sebanyak-banyaknya seniman. Bahkan bisa diselenggarakan serentak di mana-mana. Merayakan seni rupa secara egaliter, terjangkau, ringkas, tanpa kehilangan nilai penting atau kewibawaan dunia gagasan. Memiliki watak edukasi dan apresiasi seni rupa yang tinggi bagi masyarakat luas. Saya menyambut dengan sukacita dan penuh harap pada peristiwa Miniprint Biennale ini.

(Suwarno Wisetrotomo / Kritikus Seni Rupa / Dosen di Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana ISI Yogyakarta).

Jogja Miniprint Biennale: Mini Format, Maximum Potential
By Suwarno Wisetrotomo

The idea of holding an art event like the Miniprint Biennale (MB) can be welcomed in many different ways, according to the capacity of the various audiences. For those who are active in the world of art practice this is an interesting challenge: to produce work based on the principles of printing and employing various graphic art techniques in a mini format but with a persuasive ability to entice and stimulate the viewers. The challenges and opportunities to create unique, artistic, and interesting works are wide open. In principle, although the format may be small, the ideas behind the works and the meaning the artist wishes to convey are big.

For those who are interested in this area of activity, MB  is a stimulating challenge. Through the Biennale one can look for there are unexpected and unexplored possibilities behind the term ‘miniprint’ because in fact printing techniques ‘hide’ a number of artistic possibilities: from conventional relief print techniques (wood cut, hardboard cut, lino cut) to intaglio (etching, aquatint, drypoint, sugartint), planograph (lithography, monotype) and screen printing ( silkscreen or serigraphy). All are variations which can be still further developed and combined in a number of techniques. New techniques could also be developed or even a number of these techniques could very possibly be combined and applied to different media. Creating works in a particular medium with specific printmaking techniques can create a unique new mixture combining ‘surprises’ and the unexpected. Thus the ‘surprise’ factor is important. The artist can only measure and approximate (e.g., depth of the carving, the incision on the surface of the plate, acidity and moisture content of the paper, viscosity of the ink, and strength of the adhesive material by reflecting empirically on his/her own experience – all are equally valid. More than that, the artist can only guess and hope that the results are like what he/she imagined.            

Such is the world of printmaking; a combination of technical skills, cleverness, ideas, imagination, constructions, compositions of form, as well as tension and feelings - all encompassing the unexpected. Precision founded on guesswork and once again, empirical experience; the factor which determines the results that the artist is hoping for in the printed work.       
Miniprints as a concept must open a number of possibilities from the aspect of exploring ideas, materials, techniques, and presentation. Wild ideas and intentions must be accommodated within the limitations of the given format. I can imagine that through MB  new artists with new passions, who delve deeply into as well create new developments in the world of printmaking, will emerge. From miniprints to ‘maxiprints’: maximal ideas, maximal media, maximal formats, and maximal presentations.       

From a practical, logistical point of view, MB  has the potential to reach a wide area and a great many artists. In fact, the event could be presented simultaneously in several different venues.  It is an egalitarian celebration; affordable, succinct and all without losing sight of important values or the world of ideas in the frame of education and art appreciation in the broader society Thus I have great expectations for the Miniprint Biennale.

(Suwarno Wisetrotomo Art Critic and Lecturer in the Department of Fine Art and Post-Graduate Program, Indonesian Institute of Art, Jogjakarta. 

Sunday, May 25, 2014

Diskusi Pra Even Kebangkitan Nasional



Notulen Diskusi Pra Even
Pameran Seni Visual 100 tahun Kebangkitan Nasional ‘Setelah 20 Mei*’
Jogja Gallery [JG], 2 Februari 2008, pukul 16.00 WIB – selesai
Narasumber:
DR. Baskara T Wardaya SJ
[Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik / PUSDEP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta]
DR. Sri Margana, S.S., M.Hum, M.Phil
[Staf pengajar Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta]
Moderator:
Mikke Susanto, S.Sn
[Kurator Jogja Gallery]
Pengantar:
Untuk menjaring karya-karya seni terbaik, Jogja Gallery menyelenggarakan diskusi pra even kompetisi seni visual dalam rangka 100 tahun Kebangkitan Nasional ‘Setelah 20 Mei*’. Diskusi ini bersifat terbuka untuk perupa mau pun mereka yang tertarik hubungan antara seni visual dengan sejarah Kebangkitan Nasional. Diskusi ini membahas pergolakan wacana dan polemik tentang Kebangkitan Nasional serta menguak dokumen-dokumen penting berupa foto-foto atau artefak-artefak lain yang terkait dengan hari Kebangkitan Nasional yang telah berusia 100 tahun ini.
Kompetisi ini sendiri diselenggarakan untuk turut memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional yang akan jatuh 20 Mei 2008. Melalui kompetisi ini, Jogja Gallery mengajak para perupa untuk ikut merespon isu kebangkitan nasional. Dimana dalam kurun waktu 100 tahun, kebangkitan nasional bagi kalangan muda Indonesia memiliki penyikapan yang beragam sesuai riuhnya globalisasi yang tak bisa disangkal turut memberi pengaruh pada pola pikir, penyikapan, gaya hidup bahkan kepribadian personal mau pun bangsa Indonesia sendiri. Hasil dari kompetisi seni visual terbuka ini akan dijaring karya-karya [dengan media bebas] yang akan dipamerkan di Jogja Gallery mulai tanggal 20 Mei – 8 Juni 2008. Kompetisi ini juga bertujuan untuk mendapatkan perupa-perupa berbakat dengan mengedepankan kualitas karya melalui penyikapan semangat kebangkitan nasional terkini!

Mikke Susanto: Diskusi ini diselenggarakan untuk mencari berbagai hal dengan tema yang dimaksud agar bisa diungkap dalam bentuk seni visual. Pentingnya even kali ini adalah peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini adalah yang ke-100, dan tidak akan pernah bisa terulang. Mungkin yang peringatan yang ke 200 nanti, cukup fenomenal, itu pun kalau memang masih ada nasionalisme. Sembari kita akan diskusi lebih lanjut tentang Kebangkitan Nasional, selaku pembuka, diskusi ini akan dipandu saya sendiri. Diskusi bersifat terbuka untuk umum, tidak harus perupa yang berminat mengikuti kompetisi dan non formal. Silakan merespon wacana mau pun teknis. Kurator dan manajemen Jogja Gallery [JG] akan menyiapkan diri untuk masalah-masalah teknis.
Memperkenalkan, Romo DR. Baskoro T Wardaya, direktur Pusdep, lebih konsentrasi ke sejarah pasca kemerdekaan secara formal ilmiah. Dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dalam diskusi ini harapannya lebih mengarah kepada kontekstualisasi even-even mau pun program-program yang terkait dengan persoalan politik mau pun sejarah kebangsaaan. Banyak teman-teman seniman yang ingin mendapat inspirasi dari sejarah bangsa. Pameran yang sifatnya terhadap penghormatan sesuatu, telah banyak dibuat oleh banyak galeri di Indonesia. Khusus pada even kali ini, saya lebih ingin mencermati tidak melulu pada penghormatan pada peristiwa, tapi lebih pada perosalan kebangsaaan karena seniman juga bagian dari masyrakat dan bangsa. Ada pijakan utama yaitu nasionalisme. Di sini lebih penting menjadi metafora atau titik kajian yang utama. Ketika kompetisi yang pernah diselenggarakan oleh JG dalam rangka 200 tahun Raden Saleh, dibahas melalui salah satu karya Raden Saleh. Tapi kali ini lebih dibahas lewat even Kebangkitan Nasional secara umum, dimana peristiwa ini sangat jauh lebih muda daripada Raden Saleh, berselang 100 tahun.
KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno: Kegelisahan JG sudah lama kita pikirkan, ketika setahun sebelum Mei 2008 mulai muncul even ini. Kegelisahannya, ini kita mau memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, tapi apa yang terjadi pada bangsa ini? Apakah kita betul-betul sudah bangkit? Padahal kalau kita lihat, problem bangsa ini semakin banyak. Dirunut sejarah, kebangkitan nasional pertama, intinya dari Pangeran Diponegoro hingga munculnya Boedi Oetomo. Seperti Dr. Wahidin Soedirohoesodo keliling dengan sandal jepit memprovokasi tentang kebangkitan nasional. Kalau dipikir gila-gila semua para pendahulu kita. JG dan kita semua sepakat, kita bisa melakukan kebangkitan nasional melalui seni budaya. Sementara pamungkas itu adalah seni budaya. Hasil pendataan riil, yang tidak dilakukan pemerintah, komunitas, penggerak bahkan even seni budaya itu ada ratusan ribu seluruh Indonesia. Indonesia Visit Year tahun ini pun tidak muncul. Dari satu kotak, seni budaya ini, diharap lebih konsisten dengan kompetisi yang dimunculkan. Niat dari JG, kami sadar penuh bahwa mungkin tidak ada artinya, mungkin ada yang mencemooh, tapi kita tetap harus melakukan sesuatu. Terlalu berat ketika kita harus memikirkan kebangkitan nasional yang sesungguhnya. Tapi kita bisa melakukan banyak hal, melalui hal kecil ini. Jadi titip untuk para penulis dan para perupa ikutlah kompetisi ini dengan ‘jiwa’. Karena ‘jiwa’ Anda ada dalam karya ini di kesempatan yang langka, 100 tahun Kebangkitan Nasional kali ini. Kebetulan saya ikut terlibat dalam kepanitiaan yang melibatkan UGM, ketua Prof. Soetaryo. Namun kepanitiaan ini terkesan masih ceremonial. Karena membangun kebnagkitan nasional jaman dulu itu taruhannya nyawa pada masa itu. Sementara kita memperingati kesannya hanya ceremonial. Untuk itu kita harus serius. Mari kita buktikan kita punya aura dan daya yang lebih konkret dan lebih ‘berbahaya’ dan akan terpengaruh melalui pameran kali ini. Semua bisa merasakan kekuatan perjuangan dan kenyataan bahwa ‘perjuangan’ itu tidak habis-habisnya. Marilah kita sambut dengan baik. Pastilah kami banyak kekurangan dan keterbatasan, kami hanya punya niat baik untuk semuanya dalam mengisi satu item yang tidak pernah bisa diukur.
Mikke Susanto: Saya meneruskan rangkaian peristiwa 100 tahun Kebangkitan Nasional. Bahwa akan ada bnayak rekan-rekan di seluruh Indonesia merespon even ini. Saya kira persoalan ini memang menjadi milik kita sendiri, alangkah baiknya, kita harus lebih baik. Dan 100 tahun Kebangkitan Nasional dan peristiwa 10 tahun Reformasi ini tidak jelas arahnya. Satu pembicara yang belum saya perkenalkan adalah DR. Sri Margana, beliau baru saja lulus, 3 minggu lalu dari studi PSd di Leiden, Netherland. Beliau memang bekerja sebagai staf pengajar ilmu sejarah UGM. Apa opini mereka tentang Kebangkitan Nasional. Ada banyak buku dan selebaran, beberapa catatan dari situs internet yang mempertanyakan kembali tentang Kebangkitan Nasional. Mas Margana akan bicara tentang buku-buku tentang konteks sosial politik saat itu. Terutama tentang catatan Ki Hajar Dewantoro tentang Kebangkitan Nasional.
Sri Margana: Selamat sore. Saya memimpikan bisa berkomunikasi dengan komunitas seni. Saya juga suka seni tapi tidak kesampaian, ingin merasa menjadi seniman juga. Saya diberi tugas sama Mas Mikke, ide awalnya adalah bahwa nanti ada peringatan Kebangkitan Nasional dan para perupa bisa mengungkapkan persepsi mereka dan bisa diberikan inspirasi melalui diskusi ini. Maka saya tidak akan cerita sejarah. Saya akan bicara mozaik-mozaiknya saja, yaitu hal-hal yang mungkin tidak bisa diketahui di pelajaran sekolah atau buku tentang Kebangkitan Nasional itu sendiri.
Boedi Oetomo [BO], sebetulnya ada banyak kontroversi yang menyertainya. Ada yg menggugat sangat keras sekali, bahwa BO tidak layak untuk menjadi tonggak kebangkitan nasional hanya karena anggotanya para priyayi Jawa, dan hanya kegiatan sekumpulan priyayi. Kapan sebenarnya Indonesia memperingati Kebangkitan Nasional? Tahun 1948. Yg mempunyai ide, kala itu adalah presiden Soekarno. Tahun 1948 itu adalah periode dimana Indonesia sedang berjuang memproklamasikan kemerdekaan. Kenapa punya ide itu dengan melihat BO, karena Indonesia sudah mulai terbelah-belah lagi, ada perjanjian Renville, Van Royen, yang membuat Indonesia semakin sempit. Maka Soekarno punya ide, mempunyai momen dan kekuatan untuk membangun kembali, semngat Indonesia untuk bersatu lagi. Waktu itu namanya bukan Kebangkitan Nasional, tapi kebangunan nasional. Maka berkumpullah organisasi-organisasi Islam, Kristen di Yogyakarta untuk menyepakati kebangunan nasional, dan diterima. Ada kontroversi datang dari Hatta, tidak setuju. Jangan sampai Kebangunan Nasional menyaingi 17 Agustus. Jadi Indonesia seharusnya hanya punya ada satu hari nasional saja yaitu 17 Agustus saja. Kemudian Ki Hajar Dewantoro menanggapi, tahun 1950, dia juga menyinggung, termasuk peristiwa penyerahan kedaulatan itu tidak disamakan dengan 17 Agustus. Ki Hajar Dewantoro, punya pendapat bahwa Hatta benar tapi juga salah. Salahnya adalah alangkah miskinnya suatu bangsa hanya punya satu hari nasional saja. Kalau perlu kita mempunyai hari nasional sebanyak mungkin. Dan tidak harus, hari nasional tersebut harus menjadi hari libur atau tanggal merah. Makanya ada sebuah buku, banyak buku kontroversi yang muncul, saya baca ya mereka terlalu historis, kan motifnya terlalu akademis, kalau saya ungkapkan di sini bisa lebih kacau. Kemudian saya bongkar buku, di perpustakaan jurusan Sejarah UGM, ada dari Ki Suratman. Ini buku yang ditulis alm. Ki Hajar Dewantoro, mengapa kita memperingati Kebangunan Nasional tgl 20 Mei dan kenapa BO. Ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan 17 Agustus, apakah saat itu juga Indonesia merdeka? Kan enggak, masih ada Agresi Belanda dan seterusnya, masih sampai tahun 50 berperang dan berdiplomasi. Apakah rakyat terbebas dari kaum feodal kan juga tidak. Ketika BO dianggap kebangkitan nasional apakah juga semua orang bangkit. Sebuah nation state itu perlu mitos-mitos untuk kelangsungan hidupnya, salah satunya dengan menciptakan hari-hari nasional. Yang penting kita mempunyai satu momen sebagai mitos nasional sebagai ideologi. Jadi bagi sejarawan, kontrovesi semacam ini biasa. Sejarah selalu subyektif dan tidak perlu diperdebatkan. Kalau melihat dari tingkah laku dan hal-hal yang secara nyata para tokoh-tokohnya, tidak diragukan sedikit pun, bahwa mereka telah melakukan hal-hal yang luar biasa. Saya punya banyak cerita menurut Ki Hajar Dewantoro, 1908 – sampai Indonesia merdeka itu adalah masa Indonesia bangkit. Semua kontrovesi dalam buku itu adalah tokoh-tokohnya. Yang penting perilaku para tokoh-tokohnya ini yang penting ditiru. Misalnya Dr. Cipto Mangunkusumo, dia juga tokoh BO, dia seorang dokter, dokter jawa pertama yang diberi penghargaan oleh pemerintah Belanda, karena berhasil memberantas penyakit pes. Akhirnya dia mengembalikan penghargaan itu kepada Belanda, dan menaruhnya di pantat. Ada tokoh lain, Sosro Kartono, beliau adalah kakaknya Raden Ajeng Kartini, waktu itu dia diundang ke Brussel, untuk memberikan pidato, dia memberikan kritik kepada pemerintah kolonial Belanda, bahwa penjajah sengaja membodohkan rakyat. Kemudian pidatonya itu dimuat di sebuah koran, kemudian profesornya membaca. Kemudian dia bilang kalo promotornya Sosro Kartono masih Snouke Gorgoye, dia tidak pernah menjadikannya professor. Tapi Sosro Kartono adalah orang yang hebat, waktu itu dia juga mendapatkan tawaran, apabila ingin menyudahi disertasinya, maka hutang-hutang dia akan dianggap lunas. Kemudian, dia menjawab, bahwa hutang dia itu adalah satu-satunya kekayaannya, maka kalau diambil sama saja mengambil kekayaannya. Dan masih ada banyak cerita. Apakah sebetulnya yang mendasari semangat kebangkitan nasional. Dr. Ismangun, aktif di Perhimpunan Indonesia, waktu itu dia mau menjalani ujian menjadi doktor. Tapi Ismangun tidak boleh dikasih kursi, dia dikasih tikar. Ada Ali Sastroamijyo, dia ditahan di Belanda, karena dia aktif karena dianggap menghasut untuk membangkitkan semangat kemerdekaan. Ali Sastro waktu dia dipenjara dia seharusnya harus ujian menjadi sarjana hukum, oleh polisi diambil dari tahanan dan menjalani ujian, dia dicecer habis-habisan untuk kelihatan bodoh, tapi akhirnya dia lulus. Jangan hanya menilai sesuatu dari apa yang nampak di kertas, tapi kita juga harus mempelajari tokoh-tokohnya. Saya punya koleksi-koleksi foto. Ini hanya sekadar memberi impresi, rakyat kita seperti apa, supaya bisa memahami lebih jauh. Kenapa BO awalnya bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan. Ketika tokoh-tokoh kita sedang berpikir tentang nation state saat itu. Saya ingin memberikan konteks sosial, budaya potret masyarakat saat itu, seberapa kemajuan dan tingkat kehidupan masyarakat saat itu. Ada festival rakyat seperti memanah dan balap kuda, dalam periode kolonial saat itu. Keadaan seperti ini sebenarnya juga masih bisa kita temukan sampai sekarang. Kemudian apa sih kegiatan para doktor, STOVIA saat itu? Ada image tentang sebuah penyuluhan kesehatan kepada masyarakat. Kepala desa bertugas mengumpulkan penduduknya untuk diberi penyuluhan kesehatan. Ada penyuluhan juga dengan layar tancap. Jadi dokter-dokter waktu itu sudah membuat langkah-langkah nyata. Lewat proses ini persoalan nasionalisme juga bisa disampaikan. Jadi peran dokter memang berpengaruh saat itu, karena pemerintah kolonial bermasalah dengan masalah kesehatan supaya wabah-wabah penyakit itu tidak menjadi masalah dan menular ke para kolonial. Ada image tokoh -tokoh jaman Belanda, Alimin dan Muso. Tiga Serangkai yg mempengaruhi PI menjadi sangat radikal di Belanda. Banyak tokoh-tokoh STOVIA yang bisa melanjutkan studinya di Belanda. Ada cerita tentang Goenawan Mangoenkoesmo, waktu itu dia diundang organisasi untuk memberikan pidato, tapi diprotes karena tidak radikal dan tidak pernah bertemu dengan tokoh-tokoh Belanda, sampai pada acara itu dia mau berkelahi karena dikritik.
Mikke Susanto: Salah satu cara menjaring karya adalah dimensinya yang ilustratif, tidak mesti karya mempunyai konteks sosial saat ini. Jadi dimensi kebudayaan juga punya pengaruh besar terhadap pemikiran di masyarakat saat itu. Selanjutnya disambung oleh Romo Baskoro tentang bagaimana kontekstualisasi sejarah ini pada masa sekarang.
Baskara T Wardaya: Saya kira dengan mendengarkan presentasi dari Mas Margana sudah jelas, saya menambahkan beberapa hal saja, siapa tahu bisa menjadi tambahan masukan, sehingga memberikan inspirasi visual. Mengapa sih kita perlu belajar sejarah? Mengapa kita perlu berurusan dengan sejarah? Mungkin bikin ngantuk atau membosankan, tergantung dari cara pengajaran. Sejarah itu menjadi penting, setidaknya sejarah adalah hal yang membedakan kita di dunia ini. Sejarah yang membedakan manusia dengan benda atau binatang. Hanya manusia yang tahu sejarahnya, maka itu menjadi esensi kemanusiaan kita. Saya kira menjadi turun derajat kita sebagai manusia, apabila kita tidak mengetahui esensi kemanusiaan kita. Oleh karena itu apa pun profesi kita, kesejarahanlah yang menyatukan kita sebagai mahluk yang bernama manusia. Apa sebenarnya sejarah itu? Sejarah dipahami dalam 3 hal, sejarah sebagai peristiwa masa lalu, sesuatu yang terjadi di masa lalu itu kita sebut sebagai sejarah. Sejarah juga bisa sebagai cabang ilmu yang merekonstruksi, menerangkan masa lalu. Sejarah juga bisa disebut sebagai sebuah wacana, entah itu sosial mau pun politik. Nah ini dimensi menarik dari sejarah. Selama ini BO merupakan titik tolak sebagai kebangkitan nasional. Meski ada kontroversi, dimana ada pendapat bahwa Syarikat Islam yang seharusnya berhak untuk itu. Beberapa waktu lalu, Anda mungkin pernah mendengar mengenai dibakarnya buku-buku sejarah. Ada pertempuran wacana di situ. Semasa pemerintahan Orde Baru, sejarah menjadi selektif dan menjadi medan pertempuran wacana, yaitu wacana sosial politik. Nah tadi kita banyak ngomong apa yang disebut nasionalisme. Apa itu nasionalisme? Ada banyak definisi, tapi pengertian umum adalah sebuah pemahaman atau wacana politik yang menerangkan sebuah entitas politik tidak lain ditentukan oleh suku, agama atau garis keluarga [keturunan], tetapi oleh sebuah identitas sosial besama. Nah biasanya muncul atas masa lalu bersama atau ingatan kolektif, maka ada rasa kesatuan dan atau bangsa sehingga ada nasionalisme. Kalau feodalisme itu ditentukan oleh garis keturunan. Sebuah bangsa, ada identitas bersama yang diciptakan, yang bisa disebut sebagai imaging communities, ada sebuah reka bayang kita sebagai bangsa. Semasa pemerintahan colonial Belanda, pengertian mereka bahwa yang namanya Jawa, Dayak, Aceh itu bangsa. Ya pengertian bangsa memang sebenarnya itu. Mulai abad 20 ada pengertian yang melebihi sebuah itu, bahwa Indonesia sebagai bangsa, dan yang lainnya suku. Kalau dibalik, suatu bangsa bisa dipertahankan kalau bisa mempertahankan ingatan kolektif itu. Dalam hal ini, ada ikatan disana. Maka menjadi penting, apa pun profesi kita, kalau masih ingin mempunyai Indonesia, maka kita pelihara ingatan kolektif itu.
Di dalam konteks itulah lahir ide mengenai kebangunan nasional atau Boedi Utomo. Pada waktu tahun ’48, kita mau diserang oleh Belanda, di samping itu ada pertentangan antara tentara pemerintah dan tentara kiri, bangsa ini hampir terpecah-pecah, dan membutuh sesuatu yang menyatukan. Ini salah satu cara untuk mengikat kita sebagai sebuah bangsa. Sebenarnya satu atau dua hal yang bisa kita tambahkan, dr. Wahidin Soedirohoesodo, di Mlati Sleman, ada yang mengatakan dia mendapat pengaruh dari A. Rifai, dia prihatin sejak runtuhnya Hinduisme, Jawa mengalami kemunduran. Yang dulunya bisa membangun Borobudur dan Prambanan yang begitu megah, saat ini mengalami kemunduran. Dia prihatin, seperti masalah pendidikan. Bagaimana rakyat bisa mendapatkan pendidikan modern. Namun seorang Wahidin Soedirohoesodo tidak memiliki uang waktu itu. Kemudian ia ketemu dengan bupati, bahkan dia rela hingga menunggu 10 jam, baru bisa bertemu dengan bupati. Dia memprovokasi lebih dari satu bupati, akan perlunya memberikan beassiwa pendidikan. Bupati-bupati tersebut setuju. Maka Wahidin mengutarakan niatnya akan kebutuhan dukungan dana. Tapi bupati-bupati itu banyak yang menolak ketika harus memberi uang. Akhirnya sampailah dia ke Batavia dan bertemu dengan anak-anak muda. Hingga muncullah sebuah niatan yang berbudi dan bertujuan mulia, maka jadilah gerakan Boedi Oetama [BO]. Hingga ada kongres pertama yang diselenggarakan di Yogyakarta.
Pada satu sisi memang agak problematis, karena ada kelas dibawah priyayi tapi diatas kelas menengah. Ada perdebatan ketika agenda pertemuan di Yogyakarta kala itu. Pertama, adalah kelompok yang wawasannya agak sempit. BO kala itu tidak hanya berurusan dengan orang Jawa tapi juga Belanda, tidak hanya mengurusi bidang pendidikan melulu tetapi juga politik. Sehingga BO tidak murni urusan Jawa. Kemudian ada kontroversi karenanya dan hal itu lumrah, sehingga membuat sejarah itu dinamis. Yang penting bagi kita, ada dan perlunya ingat kolektif itu sebagai identitas sosial dan politis bagi kita. Apa yang bisa kita sumbangkan? Adalah dengan belajar sejarah, dengan melihat foto-foto tadi, di situ kemanusiaan kita ada. Dengan belajar sejarah, kita menggaris bawahi keberadaan kita sebagai manusia.
Sigit [Forum]: Kata kebangkitan bagi saya sangat seksi. Artinya di sini orang bisa bangkit itu biasanya karena ada yang mengelus-elus dan membisiki. Dari sekian foto yang tadi ditampilkan, semuanya berjenis kelamin laki-laki. Nah, sebenarnya ada yang perempuan tidak? Saya pernah bertanya kepada keluarga dari dr. Wahidin. Istri dr. Wahidin itu keturunan Jerman Perancis, jadi memang none Eropa. Dr. Soetomo itu juga istrinya orang Eropa, katanya perawan. Dr. Wahidin juga mewarisi masalah Retno Dumilah, yang artinya seperti kurang lebih adalah air mani. Yang itu juga warisan dari cendekiawan Belanda. Kemudian pertanyaan saya, ini ada hubungan apa antara intelektual Belanda dengan kita waktu itu? Apa hubungan none Eropa dengan tokoh-tokoh kita? Saya mengharapkan ada cerita mengenai itu. Terima kasih.
Mikke Susanto: Dr.Cipto dianggap orang yang paling tua untuk memberi nasehat. Bisa ‘ereksi’ karena distimulus oleh bacaan, bukan karena sentuhan, karena lebih banyak bersentuhan dengan buku.
Baskara T Wardaya: Ada hal yg membuat kita menjadi sebuah bangsa. Pertama, secara internal, karena kesamaan penderitaan di jajah oleh Belanda. Nasionalisme selalu ada faktor internal, misal para pelajar STOVIA ada dalam posisi yang tanggung. Secara eksternal, pada tahun 1901, Belanda memiliki ratu baru, Wilhelmina dengan menerapkan politik etis. Penjajahan Belanda yang terlalu kejam terhadap Indonesia kala itu, dengan politik etis berupaya mengurangi kekejaman itu dengan memberikan edukasi, irigasi, imigrasi. Ini adalah keahlian menangkap momentum. Hal ini dimata seniman itu menjadi sesuatu yang menarik. Kepekaan dan keahlian itu kita harus punya, dimana dimiliki oleh anak-anak STOVIA . Dan dalam sejarah, perubahan itu kebanyakan diawali oleh anak-anak muda, umur 20-an ini.
Forum: Lebih detail apa sih peran Sastro Kartono atau konsep dia tentang konsep nasionalisme? Setelah dia ke Indonesia lagi, kemudian menetap di Bandung. Dalam sejarah tidak pernah disebut-sebut tentang peran dia. Mengutip dalam pidatonya dia, yang juga sangat keras sekali pada Belanda, dia mengatakan bahwa dia akan menjadi musuh bagi siapa saja. Saya ingin tahu lebih detail tentang konsep dia tentang nasionalisme dan Indonesia.
Margana: Sasro Kartono ke Belanda pada awalnya, sebenarnya membawa misi kesenian yaitu memperkenalkan wayang. Dia juga mengenalnya konsep wayang dalam sebuah buku. Dia sangat dekat dengan Abendanon yang sangat terbuka. Saat itu Abendanon adalah Menteri Kebudayan, dia juga memberi inspirasi masyarakat untuk mendirikan sebuah organisasi. Tahun 1893-an, akhir abad 19, masih jauh dari BO waktu itu, tapi sikap dia waktu itu yang sangat menginspirasi mahasiswa adalah ketika dia diperlakukan tidak layak professor-profesor Leiden yang sangat kolot itu. Dia menguasai 13 bahasa, dia satu-satunya orang Indonesia pertama yang menjadi wartawan, dia punya gaji yang snagat tinggi sebagai orang pribumi. Konsep-konsep nasionalisme dia kalau dirunut-runut tidak ada, karena filsafatnya yang ‘kantong bolong’. Yaitu rejeki itu jangan disimpan di kantong sendiri, biarkan kantong bolong, dibagikan rejeki itu kepada yang lain. Dia juga dianggap tokoh klenik. Oleh Soekarno dia dikagumi dari aspek spiritualnya. Makanya Soekarno dalam pandangan-pandangannya lebih njawani dan sinkretisme, Sastro Kartono lebih dihargai karena ke-jawaan-nya itu, sikap-sikap religius dia, bukan dari paham-paham kebangsaaannya. Sosok Kartono sebagai sosok nasional terutama saat di Eropa.
Forum: Dia sempat dituduh sebagai komunis? Apakah ada sikap politis dia untuk hal ini ketika dia kembali ke Indonesia?
Sri Margana: Dia tidak berbuat apa-apa dalam hidupnya. Dia inward looking, kontemplasi, dia dituduh macam-macam tetapi dia tidak pernah merespon.
Mikke Susanto: Ada satu hal yang menarik akan pilihan kita terhadap selera mau pun gaya hidup dari para tokohnya. Sekarang dimensinya menjadi kuat sekali, buat Belanda atau Eropa, hal itu lebih universal, lebih lebar dimensinya. Pikiran untuk tetap menjadi Jawa atau Indonesia mungkin akan menjadi menarik dalam khasanah waktu itu.
Rahma [Forum]: Di awal dikatakan kalau kebangkitan nasional dicetuskan Soekarno, itu 3 tahun sesudah proklamasi. Yang masih menggantung, Soekarno sendiri lebih condong ke pemikiran kiri, komunis. Apa dari statement narasumber tadi dikatakan, tentang bagaimana menciptakan hari nasional. Apakah Soekarno waktu itu, murni membangkitkan nation state atau ada faktor politik untuk mencari pengakuan dari negara luar? Ada faktor politik lain yang melatarbelakangi pencetusan hari itu?
Sri Margana: Perhatian Soekarno waktu itu atas usul kebangkitan nasional adalah karena dia melihat masih adanya bahaya mengancam atas kedaulatan Indonesia saat itu. Tahun ‘48 itu agresi Belanda akan datang, demikian pula dengan perjanjian Roem Royen justru membuat Indonesia menjadi terbelah-belah. Dan dia melihat sebagian tokoh-tokoh nasional waktu itu juga terbelah pemikiran tentang Indonesai yang merdeka. Maka kita perlu sebuah mitos nasional yang bisa menjadi kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan. Orang sudah merdeka kok masih merundingkan tentang kedaulatan. Jadi jawabannya adalah murni karena Soekarno prihatin atas kedaulatan kebangsaaan Indonesia.
Choirodin [Forum]: Seperti tadi sudah dijelaskan, saya ingin mengaitkan langsung dari spirit yang diambil, dimana ketika kemerdekaan ada ancaman sehingga muncul sebuah statement kebangunan nasional. Apa yang diharapkan dari even ini, kompetisi atau pameran seni visual itu sendiri? Konsep budaya itu minimal bisa berpartisipasi dalam momen tersebut. Karena untuk konteks saat ini menurut pengamatan saya sendiri, seakan-akan juga sama halnya dengan kejadian saat itu, cuman beda konsep, dimana nasionalisme juga diambang kehancuran. Tidak sebatas territorial, lebih dari masalah identitas kebangsaaan, atau kebanggaan menjadi Indonesia.
Mikke Susanto: Selaku kurator, pada awalnya keinginan untuk membuat even ini muncul sesungguhnya dari berlalunya 10 tahun Reformasi. Ini harus kita rayakan bersama, menjadi satu momentum, mengipaskan kembali sensibilitas kita semua, untuk memunculkan satu gerakan budaya. Membangkitan lagi persoalan kita saat ini. Tujuannya bukan persoalan kemerdekaan lagi, ada banyak hal yang muncul yang menjadikan kita kriris. Seperti hak royalti, hak kita sebagai kebudayaan atas itu yang diambil. Terkait dengan tujuan pameran ini, bahwa kita ingin memperingati, tidak berhenti di situ, peringatan ini harus melahirkan satu statement, bahwa kita masyarakat seni di Yogyakarta, mampu memberi satu jalan untuk menggugah persoalan-persoalan itu, menggambarkan persoalan di tengah masyarakat kita ini. Apakah ini masih sensitif bahwa ini masih masalah atau bukan? Apakah kita masih punya ingatan kolektif ini? Saya gembira banyak berita bahwa kompetisi ini banyak direspon oleh para perupa di berbagai kota. Memang karena keterbatasan ruang sehingga harus menyeleksi. Beberapa hal mengenai sebuah karya masuk selseksi atau tidak, bisa dilihat kriterianya dalam brosur yang manajemen JG distribusikan. Persoalan lain adalah para tokoh, penghargaan kita terhadap imajinasi para tokoh ini untuk membentuk masyarakat bersama, meski agak membingungkan ketika bahwa ada Belanda maka kita ada. Persoalan wacana, itu akan menjadi polemik lagi, karya-karya Anda akan sangat mungkin didebat oleh publik. Persoalan kontekstualisasi masyarakat sekarang. Jadi itu hal-hal yang ingin saya tangkap.
Baskara T Wardaya: Saya ingin bicara seusatu yang mungkin tidak berkait langsung dengan kegiatan. Mengapa sejarah itu penting, saya guru sejarah, jadi harus promosi. Yang menurut saya yang agak lemah, dan akibatnya 2 minggu terakhir, cara berpikir logis kita itu agak lemah dan itu dibombadir dari luar, sehingga kurang kritis. Kita lagi ribut soal pahlawan, apakah alm. Soeharto layak disebut pahlawan dan sebagainya. Sementara definisi pahlawan itu adalah yang berjuang melawan Belanda. Misalnya Diponegoro, padahal dia hanya berjuang untuk Tegalrejo misalnya. Bahwa saat itu belum ada yang namanya Indonesia [ada Indonesia setelah tahun 1908 dan seterusnya]. Sebenarnya ada anak-anak muda yang berjuang, namanya 26 di Jawa, 27 di Sumatra, mereka berjuang untuk Indonesia. Sayangnya mereka PKI, sehingga tidak diakui. Nah bagaimana selektifnya kita akan hal itu. Maka definisi pahlawan perlu dipertanyakan lagi. Kita semua terpukau oleh media massa itu dan marilah kita berpikir ulang akan itu. Saya kira sejarah membuat kita berpikir misalnya tentang hal itu, sehingga kita menjadi bangsa yang kritis. Tugas kita bersama untuk kembali ke sana, situasi kita agak berbeda tapi mirip.
Sri Margana: Ini menjawab kegelisahan tentang kehilangan identitas ke-Indonesia-an itu, kita semua merasa kehilangan kebanggaan ke-Indonesia-an itu. Apa yang diharapkan saya kira adalah sampai sekarang semangatnya itu yang masih dibutuhkan. Makanya kita harus selalu terus membangun kebangunan itu, didengung-dengungkan terus, supaya menjadi semangat. Membangun visi itu harus punya perspektif ke belakang, punya pengalaman sejarah yang kuat. Masyarakat kita sendiri punya apriori dalam sejarah. Tidak ada yang bisa dijadikan panutan. Maka tugas seniman-seniman mengambil alih fungsi itu dengan sense of art itu melalui karya-karya mereka, sehingga publik menjadi lebih mudah menerima, daripada membaca teks sejarah yang membuat ngantuk.
Mikke Susanto: Diskusi ini hanya satu penggal, irisan kecil dari cerita kebangkitan nasional. Satu hal kecil ini bisa menjadi banyak hal untuk ke depan. Harapan saya sebagai kurator dan manajemen JG, kesenian jaman sekarang itu bebas, tidak ada kungkungan sebagai penggiat seni dari penguasa dan dari mana pun. Bagaimana menelurkan persoalan bangsa ini menjadi lebih menggigit, saya kira di situ pentingnya kaitan antara displin ilmu untuk bisa berkait terus di Jogja Gallery. Kalau waktu itu di tahun ‘70-an, ada poros Malioboro, Gampingan dan Bulaksumur, intens dikerjakan. Di tahun ‘80-an akhir, ‘benang’ itu sudah mulai putus. Jogja Gallery diupayakan sebagai media baru supaya kawasan utara dan selatan menjadi satu melalui keberadaan Jogja Gallery. Kesimpulan akhir berkaryalah yang bagus supaya masuk seleksi. Tidak ada batasan apa pun soal teknis, bias membuat statement baru tentang apa itu seni jaman sekarang. Dan opini Anda tentang kebangkitan nasional akan terus diharapkan.
Selesai.
Informasi dan keterangan selanjutnya, silakan menghubungi
Jogja Gallery [JG]
Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta 55000 INDONESIA
Telepon +62 274 419999, 412021
Telepon/Fax +62 274 412023
Telepon/SMS +62 274 7161188, +62 888 696 7227
Email jogjagallery@yahoo.co.id
info@jogja-gallery.com
http://jogja-gallery.co