Tuesday, January 24, 2006

Evaluasi Dari Riuhnya Ajang Biennale Jogja VIII 2005


Pengantar dan data teknisEven ini merupakan even yang banyak memberi pelajaran berharga. Posisi sebagai divisi pameran sangat memberikan banyak masukan, ilmu dan pengalaman berharga bagi diri saya baik sebagai individu mau pun saya sebagai dokumentator di Cemeti Art Foundation. Even yang berlangsung 18 hari ini, ternyata telah saya gauli sejak bulan Agustus 2005 hingga Februari 2006 (7 bulan). Dari awal penyelenggaraan tercatat ada 115 seniman yang akan mengikuti even ini. Hingga pelaksanaan even ini kemudian diikuti oleh 110 seniman saja. Lima (5) seniman yang mengundurkan diri dikarenakan oleh beberapa hal (antara lain karena tidak ada waktu dan kesibukan berkarya, harus melawat ke Aceh untuk kepentingan sosial, komitmen dalam pekerjaan utama mereka dan sebagainya). Seniman yang mengundurkan diri tersebut adalah: Agus Leonardus, Armandjamparing, Rudi Mantofani, Oscar Motulloh dan kelompok Petakumpet. Ke 110 seniman tersebut terdiri dari 73 laki-laki, 20 perempuan dan 17 kelompok. 13 orang diantaranya merupakan seniman asal luar negeri (Australia, Malaysia, Lichtenstein, Jepang, Canada dan Belanda). 68 seniman berasal dari Yogyakarta dan sisanya 81 seniman dari luar Yogyakarta (Kalimantan, Bandung, Jakarta, Bali, Tulungagung, Magelang, dan Surabaya).


Pameran ini menggunakan 19 venue dan 1 moving space yaitu:
1. Taman Budaya Yogyakarta
2. Societet Militer (tempat pertunjukan)
3. Benteng Vredeburg (museum)
4. Pasca Sarjana ISI Yogyakarta (tempat studi)
5. Galeri Biasa
6. Karta Pustaka (pusat kebudayaan, perpustakaan)
7. Museum Sasmitaloka, Jendral Soedirman
8. Gereja St. Yusuf Bintaran
9. SMAN 3 Yogyakarta, Kotabaru (sekolah menengah)
10. Jogja Studi Centre (JSC), Kotabaru (pusat studi)
11. KOA Boutique+Café
12. Gabah Resto
13. SMKN 2 Yogyakarta, Jetis (sekolah menengah)
14. Pabrik Cerutu Tarumartani, Yogyakarta
15. Kandang Menjangan, Krapyak (tidak difungsikan)
16. Omah Dhuwur Restoran
17. Masjid Gedhe Kotagedhe
18. Kawasan Nitiprayan (kampong)
19. Padepokan Bagong Kussudiardja (pusat latihan dan studio musik)
20. Moving Space

Dari ke 19 venue tersebut yang memang brefungsi sebagai ruang pamer hanya 4 venue saja yaitu Taman Budaya Yogyakarta, Benteng Vredeburg, Karta Pustaka dan Galeri Biasa. Selebihnya yaitu 15 venue dan 1 moving space mempunyai fungsi yang bervariasi (sekolah, masjid, gereja, rumah makan, studio musik, museum, perpustakaan, sebuah kampung atau bahkan jarang difungsikan seperti Kandhang Menjangan).

Seniman peserta: Abdi Setiawan, Achmad Gani, Aditya Novali, Adrianto Fitriansyah, Adi Kaniko, Agung Hanafi Purboaji, Agus Kamal, Agus Yulianto, Agapetus A. Kristiandana, Ahmad Syahbandi, Akhmad Nizam, AC Andre Tanama, Andris Susilo, Arie Dyanto, Aries BM, Astari Rasjid, Basrizal Albara, Brahma Tirta Sari Studio, Budi Kustarto, Caroline Rika Winta+Emilia Chandra, Catur Bina Prasetyo, Danny Stamp+Afdhal+I Wayang Upadana+IG Made Surya Darma, Diah Yulianti, Deddy PAW, Dicky Tjandra, Didik Nurhadi, Dona Prawita Arrisuta, Donny Kurniawan Rutji, Eddy Sulistyo, Edial Rusli, Entang Wiharso, Erman Susilo, Eduard, Farhansiki, Ferial Affif, Galam Zulikifli, Heru Hikayat, Han, Hanafi+Maxine Hapner, Hayatudin, Indieguerillas, IGN Hening Swasini Ph, Imam Nurofiq, Iriantine Karnaya, Isa Perkasa, Ismanto, Iwan Wijono, I Made Aswino Aji, I Wayan Sudarna Putra, Joni Ramlan, Julnaidi MS, Joko Dwi Avianto, Kadafi, Kelompok Idu Geni, Kelompok Ruas Desa Cangkringan, Syaiful Hadjar dan Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB), Kelompok Seni Rupa Delivery Order, Kelompok Seringgit, KMTA YKPN, KMTA UKDW Atrium, KMTA UII, Khusna Hardiyanto, Klinik Seni Taxu, Kokok P Sancoko, Koni Herawati, Laksmi Sitharesmi, Lelyana, Made Wianta, Moelyono, Muji Harjo, Mulyo Gunarso, Noor Ibrahim, Noor Sudiyati, Nurkholis, Nurti Wijayanti, Pande Ketut Taman, Pintor Sirait, Putu Wirantawan, Ruang MES 56, Samuel Indratma, Sayed Ali Alaydroes, Setiawan Sabana, Suraji, Syahrizal Koto, Syamsul Barry, Teguh S Priyono, Tiarma D Sirait, Titarubi, Vincensius ‘Venzha’ Christiawan, Viktor Sarjono, Wahyu Santoso, Warshito, Wayan Sujana (Suklu), Yaksa Agus dan Proyek Seni, Yayat Surya, Yuli Prayitno – Luar negeri: Deborah J Nolan, Fauzie As’ad + Militansi Seni Rupa Soboman, Frank Van den Ham, Isao Kimura, Judy Watson, Malcolm Smith, Mari Oyama, Nadiah Bamadhaj, Philip Boas, Sally Smart, Seiko Kajiura, Sumiko Ikegami, Tony Ameneiro.

Perencanaan yang matang
Akan menggelar sebuah perhelatan besar semacam Biennale Jogja VIII 2005 (selanjutnya BJ VIII 2005) yang lalu memerlukan perencanaan setidaknya 2 tahun sebelumnya. Ukuran besar di sini karena: (a) melibatkan 110 seniman (b) menggunakan 17 venue untuk memamerkan karya, (c) berskala semi internasional; yang betul-betul datang dari luar negeri adalah seniman dari Jepang 3 orang, Australia 3 orang, walau pun senimannya tidak hadir, dan Belanda 1 orang, sisanya adalah seniman asing yang sudah lama tinggal di Yogyakarta (d) melibatkan 150-an orang panitia (e) hampir setiap hari terselenggara acara pendukung. Perencanaan meliputi hal teknis mau pun non teknis, mulai dari pematangan konsep kuratorial, perekrutan panitia inti dan pembekalan untuk volunteer, strategi menghadapi situasi (perlu menyiapkan setidaknya 3-4 alternatif solusi yang biasa kami sebut plan A, plan B dan seterusnya), strategi publikasi, strategi fundrising, pemilihan seniman (baik dalam dan luar negeri) dan konvensi-konvensi yang mengaturnya, hingga penyusunan laporan kegiatan baik kepada sponsor mau pun kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. Tanpa perencanaan yang matang dan jauh-jauh hari, sebuah even sebesar BJ VIII 2005 tidak dapat terlaksana dengan baik dan rapi. Hal-hal detail yang seharusnya masih bisa kita persiapkan apabila kita memiliki waktu yang cukup menjadi terabaikan, seperti persoalan pasca even sebagai contoh: pendokumentasian even ini, laporan kepada para sponsor dan donatur dan hal teknis lainnya.

Kurator dan kuratorial
Ketiga kurator dalam BJ VIII 2005 kali ini, Dwi Marianto, Eko Prawoto dan Mikke Susanto, jelas tidak saling melengkapi satu sama lain. Mikke Susanto terpaksa mengambil peran yang sangat besar dalam even kali ini karena Dwi Marianto sangat tidak kooperatif dan tidak koordinatif sementara bagi Eko Prawoto, asumsi saya ini merupakan kali pertama meng-handle even semacam ini. Walau pun Eko Prawoto berasal dari background teknik arsitektur, pengalaman mengikuti even semacam biennale sudah cukup banyak. Sangat terasa tim kurator tidak mampu meng-cover semua karya terlibat dalam even ini, walau pun tim kurator dan seluruh panitia telah berusaha semaksimal mungkin mengatasi semua persoalan yang ada di lapangan yang berkaitan dengan karya. Pendekatan kepada seniman juga sangat kurang. Apalagi masalah-masalah yang berkaitan dengan keterlibatan kurator tamu (Peter O’Neil dari Australia) dan seniman asing itu sendiri. Memorandum of Understanding (MoU) atau kesepakatan tertulis tidak dibuat dalam biennale kali ini, sehingga tidak jelas hak mau pun kewajiban yang harus di-handle oleh panitia penyelenggara mau pun kurator tamu dan seniman asing. Maka ditemuilah berbagai miscomunication dan misunderstanding karena tidak ada kesepakatan yang jelas dari awal.

Saya sangat setuju dalam beberapa diskusi mau pun tulisan di media massa disebutkan mengenai konsep kuratorial yang masih lemah. Saya pun tidak bisa membaca karya seperti apa yang diinginkan atau diharapkan tim kurator dengan konsep kuratorial yang ditawarkannya, sehingga bisa dilihat pula dalam penyelenggaraan pamerannya, karya-karya yang kurang berkualitas, menurut saya. Dengan asumsi, disamping karena konsep kuratorial yang kurang kuat juga karena pendeknya kesempatan yang dimiliki seniman (hanya kurang lebih 3 bulan) mulai konsep kuratorial tersebut disodorkan sampai mengumpulkan karya, banyaknya even biennale dan pameran yang terjadi sepanjang 2005 sehingga tingginya kompetisi pemilihan seniman. Sementara seperti kita ketahui banyak beberapa nama terlibat lebih dari 1 biennale seperti Aditya Novali, Astari Rasjid, Dona Prawita Arrisuta, Entang Wiharso, Indieguerillas, Joni Ramlan, Klinik Seni Taxu, Laksmi Sitharesmi, Noor Ibrahim, Pande Ketut Taman, Pintor Sirait, Ruang MES 56, Titarubi, Yani Mariani Sastranegara, Yuli Prayitno, Nadiah Bamadhaj dan mungkin beberapa nama lain yang belum sempat saya sebut di sini.

Dan kita ketahui ada 3 biennale di 3 kota yang berbeda dan 3 penyelenggara yang berbeda pula, yaitu CP Biennale (Jakarta, September), Bali Biennale (Bali, November) dan BJ VIII 2005 (Yogyakarta, Desember), disamping itu di luar negeri, Venice Biennale 2005 juga melibatkan beberapa nama yang sudah saya sebut di atas. Bisa kita tarik benang merah dari tema kuratorial yang diusung ketiga biennale tersebut, yaitu sama-sama merespon fenomena perkembangan publik dan ruang publiknya. CP Biennale dengan “Urban/Culture”, Bali Biennale dengan “Space and Scape” dan BJ VIII 2005 dengan “Consciousness of the Here and Now/ Di Sini dan Kini”.

Venue, karya dan seniman
Maka bisa kita lihat ada beberapa karya yang tidak merespon venue pameran dengan maksimal, tidak mengeksplornya, seperti memindahkan ruang pamer saja, meletakkan karya apa adanya pada venue tersebut. Seperti bisa kita lihat pada karya Tiarma Dame Ruth Sirait dan Made Aswino Aji di SMKN 2 Jetis, sangat tidak pas, kasihan karyanya atau bisa jadi senimannya yang tidak cukup mempelajari venue untuk karya mereka atau kuratornya bisa jadi tidak cukup jeli menempatkan karya. Hal ini juga bisa kita lihat pada karya Khusna Hardiyanto dan AC Andre Tanama di Karta Pustaka. Tetapi bisa juga kita lihat karya yang pas dengan venuenya seperti karya Sumiko Ikegami dan Yani Mariani Sastranegara di Omah Dhuwur, juga karya Iriantine Karnaya di Masjid Kotagede, karya Joko Dwi Avianto, IGN Hening Swasono PH, I Wayan Sujana Suklu di Benteng Vredeburg. Karya Nadiah Bamadhaj yang memiliki konsep yang sangat bagus walau pun eksekusinya tidak sekuat konsepnya, dipamerkan di Kandhang Menjangan. Karya-karya mereka sangat menginspirasi dan menghidupkan venue. Dimana menjadi salah satu tujuan dari penyelenggaraan biennale kali ini adalah ‘menghidupkan’ venue-venue yang dikategorikan heritage tersebut.

Pengalaman berharga yang bisa diambil dan dicatat juga dari penyelenggaraan ini adalah masih adanya kesenjangan antara pemilik venue dengan seniman sendiri. Misalnya dalam hal ini ditemukan kasus pemilik venue yang masih tidak paham mengenai biennale itu apa, karya seperti apa yang akan dipamerkan di venue mereka, apa dampak yang dihasilkan apabila venue mereka digunakan sebagai ruang pajang, peran pemilik venue dalam menentukan karya mana yang mereka sukai untuk dipajang di venue tersebut. Sehingga pemilik venue seperti menjadi co-curator dalam even ini. Sikap keberatan mau pun keterbukaan mewarnai hampir di setiap venue yang digunakan. Maka sosialsasi kepada pemilik venue juga perlu digiatkan jauh hari sebelum biennale ini terselenggara. Dari senimannya sendiri, kasus yang ditemui adalah seniman tidak cukup familiar dengan venue yang bukan ruang pamer. Beberapa dari seniman keberatan karya mereka ditempatkan di venue yang bukan ruang pamer. Sebagai contoh seniman A merasa keberatan karyanya ditempatkan di pabrik cerutu Taru Martani, dia menginginkan karyanya ditempatkan di Taman Budaya Yogyakarta saja, yang memang berfungsi sebagai ruang pamer. Kala sosialisasi juga muncul keberatan keikutsertaan peserta BJ VIII 2005 yang bukan berasal dari background seni rupa, misalnya Nurti Wijayanti (yang berprofesi sebagai guru TK) dan Keluarga Mahasiswa Teknik Arsitektur (UII, YKPN dan UKDW). Keeksklusifan ini ternyata masih muncul di kalangan seniman, dimana tidak sejalan dengan konsep kuratorial yang diusung tim kurator bahwa BJ VIII 2005 kali ini berusaha mendekatkan seni kepada masyarakatnya, seni yang tidak berjarak.

Perbedaan pengalaman, wawasan dan pengertian antara seniman yang sudah terbiasa mengikuti ajang biennale di luar negeri dan seniman yang bahkan baru pertama kali mengikuti biennale atau pameran menjadi hal yang perlu saya perhatikan pula sebagai divisi pameran. Tuntutan, pemahaman dan pengertiannya jelas berbeda dan bagaimana panitia dalam hal ini divisi pameran bisa mengakomodir hal itu semua.

Karena keterbatasan personil dalam divisi pameran, beberapa hal detail menjadi terabaikan. Sebagai contoh masalah caption pameran yang tidak semua karya terpasang dengan baik dan pada waktunya; tidak dapat memantau ke semua venue secara berkala, hal ini berkaitan dengan mengontrol penjaga pameran dan pameran itu sendiri di masing-masing venue; tidak dapat membongkar karya segera (terutama di luar Taman Budaya Yogyakarta, hal ini juga mengingat keterbatasan anggaran); katalog pra even yang masih banyak ditemukan kesalahan dan sebenarnya tidak layak untuk didistribusikan; informasi venue dan seniman serta jadwal rangkaian acara yang tidak terdistribusi dan terinformasikan dengan baik dan merata; juga tidak dapat segera turun ke lapangan ketika ada masalah (sepanjang even ini hampir setiap hari ada masalah baik teknis mau pun non teknis yang ditemukan); katalog pasca even yang sangat terlambat dari jadwal yang sudah ditetapkan (keterlambatan katalog pasca even ini mempengaruhi kredibilitas panitia penyelenggara terhadap sponsor dan seniman peserta).

Perekrutan volunteer
BJ VIII 2005 yang lalu sangat luar biasa riuh. Melibatkan kurang lebih 50 orang volunteer baik itu yang mempunyai latar belakang seni mau pun non seni. Ke-50 orang volunteer ini khusus direkrut untuk mengorganisir semua kebutuhan 110 seniman peserta BJ VIII 2005. Sehingga bisa dikatakan perbandingannya 2 seniman : 1 volunteer. Sebenarnya hitungan yang sangat rasional, cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan seniman atau membantu seniman menyiapkan karya mereka terpajang dalam pameran ini. Tetapi faktanya tidak semua ke 50 orang volunteer tersebut mengerti mengenai even ini, mengenai bagaimana harus memperlakukan karya, bagaimana harus menyiasati situasi (karena sebagian besar venue yang digunakan bukanlah ruang pamer sebagaimana biasanya), bagaimana meng-guide pengunjung memasuki ruang pamer, bagaimana harus membongkar karya setelah selesai pameran, bagaimana packing yang aman dan seterusnya. Perlu pembekalan kepada para volunteer setidaknya 6 bulan sebelum even berlangsung, ekspetasi-ekspetasi seperti apa yang panitia harapkan kepada mereka. Keahlian dan komitmen seperti apa yang diharapkan dari mereka. Bagaimana pun panitia BJ VIII 2005 kali ini sangat terbantu oleh adanya volunteer tersebut. Walau pun mereka hanya mendapatkan uang transport dan makan 1 kali, mereka tetap semangat membantu terlaksananya kegiatan ini.
Panitia penyelenggaraPihak Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sebagai penyelenggara saya nilai juga tidak siap, tidak bisa bekerja dalam tim bentukan baru dan tidak koordinatif. Spirit Dyan Anggraini (Kepala TBY) untuk meningkatkan kinerja di TBY ternyata tidak didukung oleh bawahannya. Beberapa staf TBY yang direkrut dalam kepanitiaan BJ VIII 2005 tidak maksimal membantu lancarnya kegiatan yang notabene BJ merupakan program TBY. Sepertinya kemudian akan lebih baik apabila BJ dikelola oleh panitia tersendiri tanpa melibatkan staf TBY sama sekali. BJ bisa ‘ditenderkan’, ditawarkan kepada art organizer yang mau mengelolanya dan TBY hanya menjadi penyelenggara saja di atas kertas.

Saya tidak menafikan apabila panitia yang direkrut dalam kepanitiaan BJ VIII 2005 ini mempunyai target dan misi masing-masing, mempunyai ego masing-masing, asalkan tidak menganggu kelancaran kinerja dalam kepanitiaan. Keterbukaan dan bisa bekerja dalam tim masih harus disosialisasikan terus menerus kepada seluruh panitia. Membuka milis di dalam internal kepanitiaan cukup membantu tetapi juga tidak berfungsi maksimal dikarenakan beberapa panitia tidak cukup aktif terakses dengan internet karena keterbatasan fasilitas dan dana. Disamping milis, SMS ternyata komunikasi yang lebih efektif dalam kepanitiaan ini. Masalah komunikasi dan koordinasi ini ternyata banyak menjadi pangkal permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan kali ini. Untuk itu perlu mendapatkan perhatian khusus.

Liputan media massa dan dokumentasi
Tidak dipungkiri, dari data yang saya kumpulkan melalui dokumentasi di Cemeti Art Foundation (CAF), BJ VIII 2005 mendapatkan liputan media yang sangat luas. Walau pun kebanyakan dari media massa lokal, namun bisa dicatat ada pula liputan media massa nasional dan internasional. Pengalaman dari CP Biennale 2005 membuat panitia BJ VIII 2005 sangat memperhatikan media, sigap menindaklanjuti situasi sebelum terlanjur genting dan membuat tur khusus untuk para wartawan. Dari sekian banyak liputan media tersebut, hanya sedikit tulisan yang analitis dan bisa memberi masukan kepada even ini, kebanyakan penulis atau wartawan hanya menulis reportase kegiatan ini.

Dokumentasi, tidak dalam even ini saja, itu sangat penting, baik itu foto, video, audio, liputan media dan printted material lainnya. Sense untuk mendokumentasi itu juga harus dimiliki seorang dokumentator, bagian mana yang penting untuk didokumentasi dan bagian mana yang tidak. Dokumentator dalam even BJ VIII 2005 saya nilai kurang maksimal. Foto-foto yang dihasilkan tidak cukup ‘berbunyi’ untuk karya-karya yang dipamerkan. Dokumentator di BJ VIII 2005 kali ini hanya berfungsi sebagai collecting data tetapi tidak dapat membuat data tersebut terbaca dengan komprehensif. Bagaimana membuat dokumentasi tersebut sebagai bahan referensi dan berkesinambungan untuk penyelenggaraan biennale selanjutnya.

Fundrising dan sponsor
Hal yang sangat penting dan sangat sensitif dalam even ini. Memang ada divisi tersendiri dalam BJ VIII 2005 yang mengorganisir fundrising, tetapi saya berharap divisi ini tidak hanya berfungsi mencari fresh money mau pun bentuk-bentuk kerja sama yang dibutuhkan, namun juga mengelola laporan yang dibutuhkan para sponsor atau donatur. Mungkin diperlukan satu divisi khusus yang memang menyiapkan semua hal yang diperlukan untuk dilaporkan kepada sponsor. Karena setiap sponsor memiliki ekspetasi yang berbeda-beda, demikian pula laporan yang diminta. Tidak sekadar memenuhi kompensasi yang disetujui tetapi juga bagaimana membuat kerja sama ini tidak hanya berlangsung dalam even kali ini saja. Hal ini yang kadang dilupakan panitia penyelenggara ketika even sudah berakhir.

Dalam beberapa kali penyelenggaraan biennale di Indonesia, seniman tidak mendapatkan subsidi karya yang layak, bahkan karya-karya dalam biennale tersebut bisa dijual (padahal menurut konvensi biennale yang ada, karya-karya dalam biennale tidak dijual). Dari hal tersebut, timbul pemikiran saya, apabila panitia mempunyai waktu yang cukup, panitia bisa membuatkan fundrising untuk bisa memberikan subsidi yang layak dan karya bisa dijual dengan diadakannya pameran khusus untuk itu. Pameran yang diikuti oleh calon peserta biennale itu sendiri. Pameran ini diselenggarakan mungkin setahun sebelum biennale. Dalam pameran ini seniman bisa menjual karyanya, hasil dari karya yang terjual tersebut untuk membuat karya di ajang biennale itu sendiri, subsidi silang begitulah.

Even pendukung
Even pendukung dalam BJ VIII 2005 kali ini cukup banyak dan bervariasi. Even diskusi yang diselenggarakan selama 7 kali ternyata diminati banyak publik, bermuatan dan memberi banyak masukan. Sedangkan even pendukung lainnya yaitu seni pertunjukan juga menjadi daya tarik tersendiri bagi audience yang awam di duni seni visual. Even seni pertunjukan mampu menarik audience tersebut untuk sedikit ‘terjaga’ dalam rangkaian BJ VIII 2005 walau terasa tetap berjarak.

Pasca Even
Selain pra even yang cukup menyita waktu, tenaga dan pikiran, demikian halnya dengan pasca even. Semua hal pendokumentasian, laporan dan masalah yang timbul pasca even juga perlu diorganisir dengan baik. Biasanya karena panitia yang terlibat dalam penyelenggaraan ini mempunyai pekerjaan utama mereka masing-masing dan tidak terikat dalam sebuah perjanjian hitam di atas putih, begitu even selesai, hampir 80% panitia juga sudah tidak ada ditempat, menghilang dan susah ditarik untuk ikut memikirkan semua hal menyangkut pasca even.

Parameter keberhasilan penyelenggaraan ini antara lain:
(parameter ini merupakan sebagian dari parameter yang ada)

:: Even pameran ini bisa tergelar sesuai dengan jadual yang direncanakan (4-22 Desember 2005), selain pameran, related event dan supporting event juga terselenggara dengan baik di setiap venue yang sudah direncanakan. Tercatat ada 11 related events (berupa performance art, aksi publik dan pemutaran video art), 7 diskusi, serta ada 7 supporting events (berupa seni pertunjukan baik musik tradisional dan musik kontemporer, teater mau pun tari).

:: Acara pembukaan pameran dihadiri oleh kurang lebih 1500 orang, dimana menurut pendapat banyak pihak hal tersebut merupakan hal yang luar biasa karena dibanjiri oleh penonton. Diantara tamu yang hadir selain publik umum, juga dihadiri oleh tamu asing, para kolektor, pengamat seni baik dari dalam dan luar kota. Kemudian sehari-hari tercatat di venue Taman Budaya Yogyakarta sendiri rata-rata dihadiri oleh 150 orang, belum di venue-venue yang lain.

:: Even ini mendapat liputan media cetak (lokal, nasional dan internasional) dan elektronik (radio dan televisi) yang cukup luas. Jogja TV merupakan television official partner Biennale Jogja VIII 2005. Sedangkan Kompas Jogja official partner untuk liputan media massanya. Daftar liputannya bisa dilihat di bawah ini.

Psikologis
Tuntutan, tekanan, target yang harus dicapai, bersinggungan dengan berbagai macam personal orang dan masalah yang terjadi sepanjang penyelenggaraan memang menimbulkan tekanan pula pada masalah psikologis masing-masing orang. Saling melengkapi dalam bekerja, keikhlasan dan tidak mementingkan ego sendiri merupakan salah satu kunci berjalannya kinerja dalam kepanitiaan. Bahkan seorang teman mengatakan, mungkin diperlukan satu divisi khusus yang menangani masalah psikologis panitia yang terlibat yang ditimbulkan karena berbagai tekanan yang diterima sepanjang even berlangsung.

Penutup
Demikian hal-hal yang bisa saya tarik dari riuhnya penyelenggaraan even BJ VIII 2005 kali ini disamping saya juga menyaksikan dan membandingkan pengalaman visual saya menyaksikan CP Biennale di Jakarta dan Bali Biennale di Bali. Terlepas dari semua kekurangan yang saya paparkan di atas, secara keseluruhan BJ VIII 2005 telah terselenggara dengan cukup manis dan ada beberapa hal yang boleh dibanggakan dalam penyelengaraan even ini. Tanpa menyinggung atau memojokan pihak tertentu, tulisan ini hanya refleksi dan semoga bisa menjadi evaluasi kita bersama, terutama bagi saya. Terima kasih.

Lihat pula di www.biennalejogja.net

From Passive to Active Archives


The physical preservation is to do a standard preservation in the utmost effort. The physical step includes a standard preservation in the utmost effort like keep document in particular temperature and periodic treatment and data back-up. The latter can be in the media of audio. It makes us possible to have the back-up in transcripts and minutes. For photo-prints and slides, we try to keep them in the digital media. Moreover, we facilitate public to access the data for instance by copying them. Suppose, we lose our own data, we still have the back-up in the person copying them.

The non-physical preservation is to modify passive document as active study-resource by providing programs to be accessible, active, and beneficial to many people. It shows that the documentation center of CAF is not only to hold a material preservation but also create some innovative steps to make those archives accessible to public in common. You may take a look on the programs including a glance description of each on my paper such as Reading Club, Movie on 10, Grant, Outreach on Documentation and Library, Library Project, Documentation Exhibition and so on.


Reading Club
The club is to advance the reading interest of public and give rise to visual art discussion groups. It discusses a certain book by representing the author accompanied by someone who allocates an introduction to it. The book to discuss is one of those which are in the library of CAF. Moreover, it is expected to fill up constructive critical dialogue spaces less accommodated in formal schools or institutions.


It is committed to activate the members of CAF and maximize the use of the books in the library collection. To this point, the participants of the program are limited to small groups. Positively, it is good as the topic is specific and as a result it becomes hard for those who do not acquire sufficient comprehension on visual art.

Movie on 10
At the beginning, it was designated to preserve video cassettes (VCD, DVD, and VHS). It is afterward, to publicize the collections and or video or film productions of the document center of CAF through a regular show on Tuesdays and Thursdays at 10 a.m. till end. It has been undertaken from June 2004. From November 2004, Movie on 10 has been specified in a series once a month. The response is assorted and appealing even if there are only three people join it.
Here are some goals to achieve relating to the program:
:: To make public familiar with the library of CAF, rooms, atmosphere, and equipment (television, DVD, VCD, and VHS player) which can be utilized by visitors of the library.
:: To raise the number of CAF library visitors.
:: To socialize the collection of visual audio media considering that it is not permitted to borrow them like books. They are not on display for maintenance and security reason so that many visitors do not acknowledge them well.
:: To generate conducive atmosphere for making videos with compact visual art contents.
:: To introduce CAF to film-maker communities, particularly in Yogyakarta of its concern so that it may build a network and develop synergic and positive cooperation.

The first theme of the movie was “Performance Art” (November 2004) and the second one was “Animation” (December 2004). The rest themes were “Creative Process of Artists” (January 2005), “Photography” (February 2005), “Public Art Action” (March 2005), and “Biennale and Triennale” (April 2005).


We frequently receive positive responses in each implementation since we have launched a series of themes on it. Many parties (individuals and institutions) give responses to the program; asking about the movie itself, cooperation offers, gathering information on how to get the copy of the movie and adapt the program for their own institutions. So far, the program runs satisfactory but unfortunately, we had just lost one DVD after playing it on yesterday. We were so relieved that we kept the master data to reproduce again.
In the coming time, we plan to hold a Visual Art Film Festival. It is about films or videos on visual art in August 2004. At the moment, we are still designing the format. Entering January we will set up the base of the festival and release it in February in order to make our film-maker companions get proper time to prepare their works.

Research Grant
The grant is given to the researchers through a proposal selection aiming at enriching the historical reference of visual art in Indonesia in the future. One of the aims of the programs is to enrich the research done by Indonesian artists. It has granted Antariksa with his research entitled “Revolutionary and Anti Imperialism in Shameless: An Early Thought in the Relation of LEKRA and Visual Art”, published in April, and the other one is to Primanto Nugroho with his research “A Story of Taste-Institutionalizing: The Collection of Visual Art in Indonesia in 1950 – 1980”. This year, CAF gives a priority to any research in the theme of art education and public space.
Documentation Outreach and LibraryRegarding that there are a large number of references in the library, the program is also to open the data and document center of CAF to public. In addition, it is intended for supporting teaching learning activities, socializing it to extensive stakeholder, initiating network and welcoming public to make it extensively known and familiar to the society.
CAF offers a particular topic to be presented and discussed with. The material is taken from the resource in the documentation center and library. As an advantage, it provides additional reference for the non-art students through presentation and art discussion. The target is to enhance multi-disciplinary researches. Technically, it may grow to be a partner of non-art college lecturers in Yogyakarta in the course of lectures with materials such as photos, slides, films, books, and lecture assistants.

Library Project
It is such a development project of library activities of CAF. The project is mainly to set up a network among alternative libraries, specifically in the area of Yogyakarta. It involves their managers and librarians of different background. Until now, there are 37 names (taken from the last profile); The Library of CAF, KUNCI, Dunia Tera, Etnoreplika, Pustaka Teater Garasi, ICBC, Karta Pustaka, LIP, LKIS, LSPPA, Music Library, YASANTI, Rumah Sinema, YPR, Deket Rumah, PKBI, MOC, Rumah Pelangi, Majalah GONG, Komunitas 1001 Buku, TeMBI, USC-Satunama, ARITA, Rumpun Tjoet Njak Dien, PLIP Mitra Wacana, KickOff! Library, Bulaksumur, Komunitas Hijau, Humana, ECCD-RC, Perpustakaan 45, MABULIR, Relung, and Damar.


The format of the project is forum appropriate for a place of sharing experience and discussion of any subject matter faced by those libraries. Such forum is rare to be hold in Yogyakarta. The enthusiasm of the participants can be easily seen from the early socialization of it. It is such a perfect moment to catch.
It runs from January until March 2005. Up to now, it has run for three rotations of four meetings planned.
:: The first meeting was at CAF. It was to introduce CAF and socialize the project. There were 27 alternative libraries (the early target was 25 libraries). Each library presented its profile.
:: The second meeting was at the Auditorium of LIP. The meeting had been formed as a joint discussion forum and focused group discussion. The topic was “Management System and the Identification of Alternative Library Needs”. The participants of LIP and Karta Pustaka gave presentation on it.
:: The third meeting was at ICBC. The topic to discuss was “Public Support and Alternative Library Donation Management”. KUNCI, the Library of CAF, Kafe dan Toko Buku Deket Rumah represented their point of views.
:: The fourth meeting was held at Karta Pustaka on March 7, 2005 at 10 a.m. with the topic “Promotion / Program Development of Alternative Library and Reading Interest of the Society”. Perpustakaan Rumah Pelangi, ECCD-RC, Rumah Sinema, and Pustaka Teater Garasi presented their visions. In March, as a final output (short-term target), there will be published a directory of alternative library in a simple way. It covers alternative library profile in the area of Yogyakarta. It is possible for other institutions (alternative library) to join it. Additionally, it will issue a resume of each meeting under the Library Project.


The outcomes of other participants:
1. The long target of the forum in order to keep it continuous and regular
2. To provide a mailing list to keep the participants in touch in any information
3. To conduct an event such as book bazaar and book discussion

Exhibition
Art Documentation DJOKDJA RETURNS TO DJOKDJA (Print Documentation & Visual Art Event Photo), 32 Years Life of Art in Yogyakarta, Port Vredeburg, Yogyakarta, September 29 – October 1999. “Anyone is reminded to remember!” is the core of this exhibition. It accumulates from the harm experiences in a nation life, 32 years long under the reign of Soeharto, “we are always reminded to forget”. It is generated by the movement of the art comprehension domain in Yogyakarta. There are about 300 documents in the media of posters, catalogues, tickets, clippings, photos, and leaflets.


Actually, it is not a fantastic number considering that there must be a large number of art events in Yogyakarta in the last 32 years. It is an early step taken to determine awareness on the importance of documentation. It is supposed to be more than nostalgia. It is an artifact to comprehend the historical track in Yogyakarta. Finally, when we cope with such a shock, we can learn from the past life of actual events and figure out the meaning of clear cultural movement at last without any despair. This year, CAF also arranges a documentation exhibition in cooperation with the Indonesian Art Institute, Yogyakarta.

The Technical State
CAF has not been capable of handling thousands of artists and art activities in Yogyakarta and Indonesia. It applies a priority scale. The limitation is supported by the network in order to enrich the documentation material of CAF and generate favorable circumstances to the growth of other documentation centers.


The problem of weather and limited temporary storage happen when the material increases steadily. Moreover, the unstable geographical state such as earthquake, tsunami, and erupted mountains is a hot topic in Indonesia which turns out to be our apprehension. The quality of documentation is a part of our concern as well.

The Non-Technical State
The Indonesian artists are not good in documenting their art works as they have expended much of time and energy to work. They do not even have enough time to make a documentation of their own. Besides, the cost of documentation is relatively high (films, videos and their instruments) instead of the problem of storage room. CAF is considered not providing or distributing their documentation properly. It does not maximize its capacity on it.
The other problem is of copyright and royalty. The procedure of documentation material borrowing is set but the mechanism on the using of artist properties has not been settled yet. To this point, we handle it at our best. As a self reflection media, documentation may be such a “gallery” while unraveling the development of ideas and thoughts, another form of artist biography and as significant material to promote artists.


The using of visual art by statesmen, politicians, and intellectuals to create history is actually refers to close relationship between visual art and the history of a nation. On the other side, it can be said that visual art retains a high price in the life of a nation. In this context, visual art documentation deserves to be talked about extensively. It cannot be denied that documentation is a key entrance to reveal the past. It is impossible to attain past documentation without proper documentation as what we could find is simply the shadows of the past. Regarding the visual art, firstly, the documentation will point out the track of the visual art movement. Secondly, its movement is not autonomous but transmits to the social movement. Having this sense, any information shares out through visual art documentation would be influential in the history-making of a nation.

Public may take much benefit from the documentation of CAF. Firstly, public is allowed to have direct access on the documentation collected by the institution. Secondly, by collecting documentation or information categorization of CAF, we can identify the position of an artist in the visual art movement mapping in Indonesia. The circumstance may prompt the dynamic movement of the visual art specifically and society generally.

INDIVIDUALS
Iwan Wijono, Performance Artist, YogyakartaCollection focus: performance art (the work of Iwan and the development of broad-spectrum performance art)
Documentation material: written document, photo-slides, negative photos, videos, art performance posters, invitations, and books on art performance
From 1996
As an art performance artist, Iwan agrees to the importance of documentation. Documentation functions for the past and future life. Through documentation, he sees what he has done and what he is going to do. Furthermore, by collecting complete documentation, he can promote himself to any art event abroad.
Sri Harjanto Sahid and Wara Anindyah, Artist Couple, YogyakartaCollection focus: paintings (of their own)
Documentation material: newspaper clippings, photos, and books on visual art
Obstacles: doing things on their own with a lot of documentation material
Sri Harjanto Sahid is married with four children; all of them are artists. They privately record such a family-work creation. Documentation is a self-reflection. They arrange them by classifying the years and names of the painters. Their principles are things should be in order and safe.

Bunga Jeruk, Woman Artist, Yogyakarta
Collection focus: private works
Documentation material: newspaper clippings, photos, exhibition catalogues, letters, and books
From 1984
Obstacles: space and management
The early documentation was done by her mother for the reason of romanticism or being proud of her daughter. It seemed to be precise proud for a mother who could accompany her child in achievements. The documentation covers all works both the ones have already exhibited and ones have not. In Bunga’s point of view, documentation is important relating to the professionalism of an artist. One of the benefits is that exhibition biodata registration to become complete and right instead of recognizing the development of the works and artists of their own.

Agus Suwage and Tita Rubi, Artist Couple, Yogyakarta
Collection focus: private works
Documentation material: work sketches, art works, books, exhibition catalogues, letters, photo-slides, negative photos, CDs of songs
From 1985
Obstacles: collection management; categorization
For this couple, documentation process is extremely important. One most important creation for them is documentation as it is as important as preserving art works. The documentation is categorized into the form of works; installations and drawings. There have been many artist colleagues and writers take the benefit of their collection. In addition, they even have taken special storage and preservation to keep them away from ruins.

Eko Prawoto, Architect, Yogyakarta
Collection focus: architecture (private designs)
Documentation material: digital photos, scale models, worksheets, sketches
Obstacles: preservation; scale models in particular
As an architect, worksheets and scale models are the primary resources of his documentation. Firstly, documentation deals with the technical things. Worksheets and scale models are needed when a building owner wishes for renovation. Secondly, document is a collection of thinking processes which assists an architect to trace the development of ideas and thoughts for the period of career.

INSTITUTIONS
Center of Literary Document H.B. Jassin, JakartaCollection focus: literary works
Documentation material: worksheets, private letters of literary writers, books, clippings, play manuscripts, photos, audio and video records
From 1976
Obstacles: fund and preservation
The Center of Literary Document H.B. Jassin is known as the most complete literary document institution. H.B. Jassin is “The Pope of Indonesian Literature” who pioneered the institution. Realizing that documentation was exceptionally important, he devoted his life to literary documentation formalized in the Center of Literary Document H.B. Jassin Foundation. The foundation is managed by Culture and Museum Department under the Special Capital District of Jakarta. The institution itself does not merely document the well-known literary writers but also of one who just publishes a single work.
KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal – Land – en Volkenkunde), JakartaCollection focus: language, culture, and history of South East Asia, Pacific, and Caribbean Islands Documentation material: newspapers, books, audios, videos, archives, research reports, and photos From 1969
Obstacles: building up the library and having no clear standard documentation and library systems, and additionally, the original material is The Netherlands so that it is not accessible to Indonesian people.
KITLV established by the hand of LIPI (Indonesian Science Institution) by means of cultural agreement in 1968. KITLV Jakarta takes delivery of grant for the operation. It carries out daily tasks such as:
:: Expanding the KITLV library by supplying resources.
:: Cataloging and documenting any material (local mass media, tabloids, books, visual audio productions in television) published in Indonesia in the media of microfilms, microfiches, visual audios, and the unrefined material.
:: Assisting, simplifying, enhancing the public service to acquire data, released material of KITLV or other relevant ones.
:: Cooperating with other institutions in holding workshops, seminars, etc.
:: Cooperating with the local publishers in publishing books.
:: Distributing any KITLV publication in Indonesia and other resources necessitated by the members, college students, researchers, and other interested people.

Theater Garasi, Art Performance, Yogyakarta
Collection focus: art stage performance (theater)
Documentation material: discussion transcripts, clippings, staging videos, manuscripts, posters, catalogues, and photos
From 2003
Its documentation is grouped into two classes. Firstly, collecting documentation material relating to Theater Garasi. Secondly, collecting documentation material relating to the development of theaters in general; in both national and international levels. The documentation is mainly intended to researches and performances. It is believed to be important for the theater to unravel the art stage performance development.
Library of Hatta Foundation: A Site of Intellectuals, YogyakartaCollection focus: science and culture
Documentation material: books
From 1953
Obstacles: fund, collection management (like cataloging), and publication
Mohammad Hatta is the former Vice President of Indonesia. The Library of Hatta Foundation is a part of the Hatta Foundation taken place in Jakarta and established in August 25, 1950 by R.M. Margono Djojohadikusumo with some other personages. The aim was to back the National Library in providing data or books concerning science and culture. The filing system is in order basing on the scientific classification.
Document is something printed or recorded that can be applied as evidences or baseline data. Collecting document is collecting all printed and recorded material.
Documentation is the giving or collecting evidences and baseline data. It is the copy of document. In documentation, we do a classification or grouping of the existing document. Therefore, documentation correlates with the choice or position of an institution. What is essential to one can be insignificant to others.

Presented at Hong Kong, April 18, 2005
Published http://www.artsmanagement.net/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=701
Please see also at www.cemetiartfoundation.org