Tuesday, December 18, 2012


‘OMNIVORA’
Pameran tunggal Anton Subiyanto
20 Desember 2012 – 20 Januari 2013
Tirana Artspace | Jalan Suryodiningratan 55 Yogyakarta 55141
Buka setiap hari, pukul 9 pagi – 9 malam
Tidak ada acara pembukaan
Gratis untuk umum

IRONI SI OMNIVORA
Tulisan Pengantar Pameran tunggal Anton Subiyanto
Saat saya mengenal Anton Subiyanto sekitar tahun 2002, dia tidak melabeli dirinya sebagai seniman. Anton menempuh studi jurusan Seni Grafis di ISI, Yogyakarta tahun 2000-2004 (tidak selesai). Pada waktu itu ia tidak kemudian langsung memutuskan menjadi seniman secara total. Anton lebih banyak bergerak sebagai aktivis sosial bahkan cenderung politis.  Selama aktif di Sanggar Anak Wayang (komunitas yang aktif fokus pada anak-anak) tahun 2004 sd 2009 banyak melibatkannya pada kegiatan yang lebih bersifat project atau pun workshop bersama komunitas-komunitas anak atau kampung. Hal ini pula yang membentuknya menjadi seorang individu yang tidak bisa berlama-lama dengan gagasan yang muncul di kepala. Gagasan itu harus segera dieksekusi. Gagasan tersebut akhirnya banyak ia tuangkan dalam ruang alternatif yang ia kelola di rumahnya, ia namai ‘Kedai Belakang’. Sebuah tempat beraktivitas, bertukar gagasan, ruang pamer  dan juga warung makan masakan istri tercintanya.

Meski pun sejak tahun 2001 dia sudah mengikuti berbagai pameran & workshop, sekitar tahun 2010, Anton memutuskan untuk menekuni kembali dunia seni rupa, menjadi seniman yang sesungguhnya. Ia mulai aktif berkarya, mengikuti berbagai event seni rupa dan memberikan kontribusi sebisa dia. Ternyata kemampuannya tidak main-main, dan ia tak perlu berlama-lama untuk bisa masuk dalam konstelasi seni rupa Yogyakarta bahkan Indonesia. Karya-karya Anton berhasil menembus event sekelas ART JOG tiga kali berturut-turut (2010, 2011 dan 2012), menjadi finalis BaCAA (Bandung Contemporary Art Award) tahun 2011 dan terbaru ini, karyanya menjadi finalis pada Triennale Grafis 2012. Karya-karyanya pun memiliki karakter yang kuat mewakili personifikasi dan ketrampilan melukis yang dia punyai.  Banyak tawaran pameran tunggal mampir kepadanya. Hingga di tahun 2012 ini pun, Anton berhasil menggelar pameran tunggal pertamanya, karya lukisan di atas kanvas, di salah satu galeri komersial di Jakarta.  

Di penghujung tahun 2012 ini, Anton ingin menutupnya dengan gelaran pameran tunggal melalui karya-karya drawingnya. Ada 20 karya drawing tersaji dalam kemasan tajuk ‘Omnivora’. Ketrampilan drawing Anton sangat bagus, arsiran dan gradasinya menunjukkan keseriusan dan detail. Pada karya-karyanya ini, Anton terinspirasi atas sosok manusia. Manusia sebagai mahluk omnivora (spesies yang memakan tumbuhan dan hewan sebagai sumber makanan pokoknya).  Manusia digolongkan sebagai mahluk omnivora, tetapi ia memiliki satu kelebihan yakni ‘roso’, dimana akal yang ia memiliki mampu membangun yang namanya ‘rumongso’. Yang tidak lain kemudian adalah penggalian diri dalam apapun itu kondisinya dimana ‘roso rumongso’ itu selalu melekat. ‘Roso rumongso’ artinya ‘rasa yang utama menjadi manusia’, yang memang tidak bisa dijabarkan secara harafiah melainkan harus dirasakan sendiri.

Lebih ekstrimnya, Anton ingin menyampaikan bahwa manusia itu ‘pemakan segalanya’. Anton juga ingin menunjukkan kerakusan manusia. Setidaknya itu yang ia alami kurun waktu 3 bulan terakhir ini. Posisinya yang terbelenggu, tidak mendapatkan kebebasan secara fisik maupun psikologis. Sejak penahanan dirinya dan hingga tulisan ini saya tulis, dia masih merasakan dinginnya sel penjara karena kasus non kriminal yang menjeratnya. Di sana Anton banyak melihat perilaku-perilaku manusia yang memiliki kekuasaan dan bagaimana mereka menyikapi kekuasaan yang mereka miliki tersebut. Anton juga menemui berbagai karakter manusia yang menurutnya cukup ekstrim atau memunculkan kesan ironi. Dari sana pula, ia kemudian tahu siapa sebenarnya kawan sejati dan yang bukan.

Apa yang  dilakoninya saat ini, memunculkan sifat garang, amarah, depresi, kecewa dalam dirinya Kondisi yang ia alami saat ini, secara tidak sadar memunculkan kesan-kesan seperti yang saya sebutkan didalam karya-karyanya. Meski ia ingin meredamnya melalui proses berkaryanya ini. Karya-karya yang dipamerkan ini tak pelak mewakili dirinya yang sesungguhnya. Dan Anton berupaya melawannya dengan ‘roso rumongso’ yang ia sendiri miliki, mencoba melawan sekaligus bertahan dalam kondisi mental seperti apa pun itu. Maka Anton tak pernah sesungguhnya diam. Salah satu cara ‘perlawanan’ Anton adalah fokus dan serius berkarya pada setiap hitungan hari yang ia habiskan selama di sel. Berkarya kemudian menjadi terapi baginya menghadapi situasi yang tak mudah bagi siapapun ini, termasuk keluarga kecilnya.
Sementara dalam karya-karyanya, Anton masih melekatkan simbol manusia berkepala burung. Simbol kepala burung baginya adalah sebuah  kebebasan yang mutlak itu tidak pernah ada, selama kehidupan itu ada. Mengutip referensi yang dipakai Anton, mahluk berkepala burung dalam mitologi Mesir Kuno, yakni Dewa Horus. Dewa Horus adalah dewa yang memiliki badan manusia berkepala burung. Horus menjadi referensi untuk kemudian menambah ikon atas kehendak berkuasa seluas-luasnya terhadap dunia. Pada karya-karya Anton, sosok-sosok manusia berkepala burung ini sering ia gambarkan dengan berbagai gesture tubuh mulai dari gerakan akrobatik hingga pose diam.

Salah satu karya yang ia coba deskripsikan, berjudul ‘Apple Moon’, gambaran atas panen apel, buah yang diibaratkan sebagai buah yang nikmat. Karya ini berkisah tentang konsep buah kehidupan. Seperti kata ulama, siapa menabur, ia yang menunai.  Siapa menanam nikmat dialah yang akan memanen nikmat itu. Sebaliknya, siapa menanam keburukan, ia sendiri yang akan mendapatkan akibatnya. Dan Anton sungguh memaknai hal itu untuk dirinya sendiri saat ini.

Yogyakarta, Desember 2012
Nunuk Ambarwati

Informasi, reservasi dan minat karya, silakan hubungi:
Nunuk Ambarwati
Tirana Artspace
Jalan Suryodiningratan 55 Yogyakarta 55141
Ph. 0274 411615, 081 827 7073
e:
tiranahouse@yahoo.com | qnansha@yahoo.com
http://q-nansha.blogspot.com | www.facebook.com/TIRANAHOUSE
follow @tiranahouse | @nunukambarwati
PIN BB by request


CURRICULUM VITAE
Anton Subiyanto
Born in Yogyakarta, Indonesia, in September 29th 1980
Education
2005 – 2008         Universitas Terbuka, Majoring Communication, Indonesia
2000 – 2004         Indonesia Institute of the Arts (ISI), Yogyakarta, Indonesia (not graduated)
Solo Exhibition
2012
‘Secret Garden and My Bird’, Galeri Canna, Jakarta
‘Omnivora’, Tirana Artspace, Yogyakarta

Selected Group Exhibitions
2012
‘ART | JOG|12 – Looking East: A Gaze upon Indonesian Contemporary Art’, Taman Budaya Yogyakarta, Indonesia
Performance art ‘Wed Action’, Indonesia Performance Klub, Kedai Belakang, Yogyakarta
Art Gathering ‘Kota Plastic’, Malang, East Java
Survive Attack-SURVIVE!garage, Newsagency Gallery, Sydney, Australia
‘Freekick’, convention hall Royal Residence, Surabaya
‘Melukis Jarak’, drawing show from a 3 cities in Southeast Asia (Kuala Lumpur, Yogyakarta, Manila), Gallery Ampang-House of Mata Hati, Kuala Lumpur, Malaysia

2011
‘Independent Art’, Pengosekan, Ubud, Bali, Indonesia
‘BaCAA’, Bandung, West Java, Indonesia
‘Hang Out 1#, 2#, 3#’, Kedai Belakang, Yogyakarta, Indonesia
‘ART | JOG | 11’, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia
‘In Absentia’, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

2010
‘Komik-kolase: Biennale Anak’, Yogyakarta, Indonesia
‘Arsitektural (di) Kakilima Alun-alun Utara’, Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, Indonesia
‘Pameran Senirupa: Main Kayu’, Survive!Garage, Yogyakarta, Indonesia
‘ART|JOG|10 – Indonesia Art Now: The Strategies of Being’, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia
‘FKY 2010’, Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Indonesia
‘Pameran Kelompok ALS: Tanah Jawa’, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia
‘Rolli ‘n Contact’, Nine on Seven Artspace, Melbourne, Australia

2009
‘Family Komik Kolase’, Workshop Komik Bersama Anak-anak Seniman Yogyakarta – Biennale Anak Yogyakarta
‘Seni Kaki Lima – Alun-alun Utara’, Biennale X, Yogyakarta
‘Emerging Artist’, Darma Wangsa Square, Jakarta
‘Hangout #1’, Printmaking exhibition, Kedai Belakang, Yogyakarta
‘Hangout #2’, Printmaking exhibition, Kedai Belakang, Yogyakarta
‘Pesta Gagasan’, Galeri Arslonga, Yogyakarta

2008
‘Pentagram’, performance art at Tee Pot, Bandung, West Java, Indonesia
‘Rumour of Tatang’s’, at Indonesia Visual Art Archive, Yogyakarta, Indonesia
‘Seni Rupa Mendidik’, Dies Natalis Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia

2007
‘Masa Lalu Masa Lupa : Sejarah Kampung Juminahan’, with KUNCI Cultural Studies and Anak Wayang Indonesia, at Cemeti Art House, Yogyakarta, Indonesia

2006
Workshop hardboardcut, kampong Juminahan, Yogyakarta, Indonesia
‘Juminahan’, Printmaking exhibition, Karta Pustaka, Yogyakarta

2005
Workshop ‘art as medium for understanding civil society’ with kids community kampong Badran – bantaran sungai Winongo Yogyakarta, kampong Juminahan – bantaran sungai Code, Yogyakarta, kampong Gunung Brintik, Semarang, kampong Ponten-Surabaya, desa Kedung Ombo-Sragen.

2004
‘Budaya Cinta Api’, mural at Pumyang, Wijilan Yogyakarta
‘No Fun to Hang Around’, Sanggar Mime, Minggiran, Yogyakarta

2003
‘Obat Mujarab’, Printmaking Exhibition at Taman Siswo 1253, Yogyakarta
’12 Tahun Refleksi Sanggar Suwung, Yogyakarta’, Benteng Vredeburg, Yogyakarta
‘Senirupa Kampung Juminahan’, essay at SURAT Cemeti

2002
Pameran Diesnatalis, Indonesia Institute of Arts (ISI), Yogyakarta
‘Untitle’, pengurus bulletin Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta
‘Printmaking on the Road’ part II, Yogyakarta
‘Membaca Komik lewat Komik’, SURAT Cemeti

2001
‘Lorong Isi’, Printmaking Exhibition, Angkatan 2000, Gedung FSR ISI, Yogyakarta
‘Beber Seni Yogyakarta IV’, Benteng Vredeburg, Yogyakarta
‘Ruwatan Garong’, Printmaking Exhibition, Gedung FSR, ISI Yogyakarta
Printmaking Exhibition, Dosomuko Group, Ambarrukmo Hotel, Yogyakarta

Residency
2012
NAFA’S Residency, Yogyakarta (3 months)

Friday, December 07, 2012

Sekadar Mendokumentasikan | Lukisan/karya koleksi Nunuk Ambarwati

Tiba-tiba saya ingin menulis, mendokumentasikan lukisan-lukisan/karya koleksi saya sendiri. Keburu dihapus ingatan, jadilah saya mulai menulis latar belakang saya mendapatkan karya-karya ini :-)

Lukisan ini merupakan lukisan pertama yang saya peroleh, dimana kemudian tanpa disadari koleksi lukisan/karya saya bertambah satu demi satu hingga sekarang. Lukisan cat air di atas kertas, karya Nindityo Adipurnomo, judul  ‘Studi Pola Lantai Srimpi’, 31,5 x 25 cm, tahun 1990; diberikan langsung oleh Mas Ndit saat saya masih bekerja sebagai staf di Cemeti Art House antara tahun 1999 – 2001. Sayang, saya tidak mencatat atau ingat pasti kapan itu diberikan.  Seperti termakna pada judul karyanya, karya ini seperti sebuah seri project tentang studi pola lantai tari Srimpi, sebuah tari tradisional asal Yogya.

Saat itu, Mas Ndit sedang menata ulang karya-karyanya yang akan dia masukkan dalam arsip/dokumentasi. Saya dan Mbak Titin Setyaningsih (partner kerja saya waktu itu), membantu Mas Ndit untuk membereskan. Seperti biasa, Mas Ndit akan panjang lebar menceritakan bagaimana proses kreatif dan proses berkarya dia. Saya mendengarkan saja sambil manggut-manggut. Karir kerja seni saya diawali dari Cemeti  Art House di tahun 1999. Begitu lulus kuliah D3 jurusan Public Relations, Komunikasi UGM, saya langsung bekerja di Cemeti Art House. Dunia seni rupa masih awam bagi saya waktu itu. Karena sebelumnya, saya banyak bergerak di seni pertunjukkan (musik dan teater).

Sambil berbincang soal karya dan membereskan arsip, tiba-tiba Mas Ndit menawarkan pada saya untuk memiliki salah satu dari karya-karya yang sedang digelar diatas lantai tersebut. Saya disuruh milih sendiri, wow senangnya, tidak terduga, sungguh! Mbak Titin juga disuruh pilih salah satu. Ketika sudah jatuh pada pilihan kami masing-masing, Mas Ndit dan Mbak Titin mengomentari pilihan karya yang saya tunjuk, mereka bertanya kenapa memilih itu? Terus terang saya lupa percakapan selanjutnya. Tapi yang jelas, bahkan sampai sekarang, saya suka sekali karya ini. Sempat berjamur karena masalah penyimpanan karya, kemudian saya bersihkan dan pajang kembali. Saya simpan sebagai kenangan berharga, bagaimana saya mengenal dunia seni rupa pada mulanya, mengenal Nindityo dan art scene di Yogya, mengenal seni kontemporer dan seterusnya dan hiruk pikuknya. Karya ini juga yang kemudian memicu saya untuk melanjutkan mengoleksi karya-karya yang lainnya.

Karya berikutnya, masih karya Nindityo Adipurnomo. Kali ini saya mendapatkan karya kanvas, oil on canvas tepatnya. Judul karya ‘Potret Lelaki Jawa’, ukuran 30 x 40 cm, tahun 2000. Waktu itu Mas Nindit mengerjakan seri tentang potret lelaki Jawa, seingat saya ada karya fotografi, 3 dimensi dan lukisan. Waktu saya mendapatkan karya ini, saya juga diminta oleh Mas Nindit untuk memilih mana yang ingin saya koleksi. Lalu saya memilih karya ini. Tetapi waktu itu, Mas Nindit bilang, untuk menunggu sementara waktu sampai karya tersebut selesai di framing. Framingnya memang beda dari biasanya.  Framingnya dari kayu, dengan tebal menjorok ke depan 7,5 cm. Agak sedikit lama menunggu proses framing selesai. Yang membuatnya lebih istimewa buat saya dari karya ini, ketika Mas Ndit menuliskan di bagian belakang ‘Buat Nunuk Ndit 2001’. 


Aduh sayang sekali, saya tidak mencatat judul dari karya ini. Karya cat air di atas kertas ini merupakan karya Iwan Effendi, ukuran 17 x 30 cm, tahun 2005. Cerita dibalik saya mendapatkan karya ini lucu sekali. Waktu itu, saya sudah berpindah pekerjaan, dari Cemeti Art House, pindah ke Yayasan Seni Cemeti/Cemeti Art Foundation, yang sekarang berganti nama menjadi IVAA (Indonesian Visual Art Archive). Posisi saya waktu itu sebagai Koordinator Bidang Dokumentasi dan Arsip. Salah satu tugas saya adalah mendokumentasikan event seni rupa, perkembangan karya seniman dll. Nah, waktu itu ada Pameran Seni Rupa di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) di Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Saya melihat pameran sekaligus liputan dan dokumentasi. Dari sekian banyak karya, karya Iwan Effendi yang ini sangat menarik perhatian saya. Lewat karya ini, imajinasi saya bisa berkeliaran sedemikian rupa dan mendorong saya untuk bisa memiliki karya ini. Lalu saya kontak Iwan Effendi, saya menyampaikan keinginan untuk bisa memiliki karya tersebut. Iwan berkata, ‘Tunggu sampai pameran selesai mbak. Nanti kalau tidak laku terjual, boleh buat Mbak Nunuk’. Asiiiikkk, saya kemudian berniat dalam hati, agar karya itu tidak laku terjual hahahaha. Setelah ditunggu hingga pameran selesai dan saya cek, ternyata karya tersebut tidak terjual. Saya kembali menghubungi Iwan untuk menagih janji. Lalu Iwan sampaikan kalau saya boleh memiliki karya tersebut dengan mengganti biaya framenya saja seharga Rp 50ribu. Senaaannnngggg sekali rasanya :-) 


Karya ini juga sangat istimewa. Saya dapatkan ketika saya bertugas ke Bali, tahun 2006. Waktu itu, saya sebagai bagian dokumentasi berangkat ke Bali bersama Mikke Susanto dan KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno. Kami bertiga ke Bali dalam rangka melobi seniman-seniman senior untuk bisa ikut pameran di grand launching Jogja Gallery, sekaligus mendokumentasikan mereka satu per satu. Posisi saya waktu itu masih bekerja sebagai Koordinator Dokumentasi dan Arsip Yayasan Seni Cemeti (sekarang berganti nama Indonesia Visual Art Archive/IVAA). Keberangkatan saya ke Bali difasilitasi oleh Jogja Gallery, sebagai galeri baru yang akan muncul di Yogya waktu itu.

Sampailah kami ke rumah Bapak Nyoman Gunarsa. Kami disambut hangat dan dipandu melihat ruang-ruang koleksi karya-karya beliau, perjalanan beliau selama berkarya. Hingga akhirnya, Pak Nyoman Gunarsa memberikan buku biografinya untuk disumbangkan kepada Yayasan Seni Cemeti. Nah, salah satu keahlian Bapak Nyoman Gunarsa adalah sketsa wajahnya yang cepat. Sedikit karena rayuan Mikke Susanto, akhirnya Pak Nyoman Gunarsa menorehkan gambar diatas kertas dan kami mendapatkan sketsa wajah kami masing-masing. Termasuk saya J. Meski pun di awal saya sedikit ragu-ragu, akhirnya saya mau juga deh di gambar. Sketsa wajah saya ini digambar di bagian halaman muka buku biografi Nyoman Gunarsa tersebut dan ditambahkan teks ‘Untuk Yayasan Cemeti di Yogyakarta, Semoga Sukses dan Langgeng’. Bukunya masih bisa diakses di perpustakaan IVAA Yogya.


Sementara karya sketsa wajah saya yang satu ini, digambar oleh seniman senior Totok BS. Bapak Totok BS memang lebih dikenal di daerah Bandung atau Jakarta. Beliau sangat terkenal melukis wajah cepat. Gambar wajah saya ini pun dia kerjakan dengan pensil tidak lebih dari 5 menit, 3 menit mungkin. Saat itu, tanggal 5 Juli 2008, saya menjadi salah satu panitia yang mengorganisir acara resepsi pernikahan putra kedua dr. Oei Hong Djien di Magelang, Jawa Tengah. Acara resepsi pernikahan putra dr . Oei Hong Djien ini menyediakan hal yang beragam dan sangat menarik, ada aksi ramalan, potong rambut, dansa, aksi graffiti, roller skate dll. Salah satu bentuk acara resepsi itu adalah menyediakan seniman untuk melukis wajah para tamu. Diundanglah Bapak Totok BS. Meja Pak Totok bersebelahan dengan meja saya. Waktu itu, saya diharuskan stand by di meja panitia sebagai meja informasi. Sambil menunggu acara dimulai kami berbincang-bincang. Pak Totok bilang, nanti kamu akan saya gambar kalau acara sudah mau selesai. Asyiiikkkk. Acara berjalan ramai sekali, sampai-sampai meja Pak Totok juga antri banyak tamu yang ingin di sket wajahnya. Pak Totok sampai kewahalan dan terlihat sedikit capek. Sampai akhirnya tiba giliran saya. Saya tidak berani menagih  janji Pak Totok untuk melukis wajah saya, karena saya lihat Pak Totok sudah kecapekan. Tapi ternyata dia menepati janjinya. Digambarnya saya dengan sangat cepat dan bagus. Saya senang sekali dan ditulisnya nama saya didalam gambar tersebut ‘Tuk Nunuk’. 


Senangnya dapat koleksi satu lagi khusus sketsa wajahku. Kali ini dibuat oleh Angga Yuniar Santoso, seorang seniman muda. Menekuni bisnis sketsa wajah dengan brand product Mimpinglukis. Bertemu Angga saat ia menjadi pengisi acara pembukaan pameran di Tirana. Kemudian berlanjut hingga mengisi event reguler KAMIS SERU di Tirana juga. Ide-ide kreatifnya dalam mengembangkan bisnis oke juga. Produk sketsa wajah atau karikatur ia kembangkan dan sesuaikan dengan kebutuhan klien. Saya diberinya gratis lukisan ini, ukuran 20 x 30 cm, media cat air di atas kertas. Begitu selesai mengerjakan karikatur, kertas kemudian ia cutting sedemikian rupa menjadi makin menarik. Saya sendiri mengirim 4 foto diri ke Angga, disamping karena saya grogi kalau dilukis langsung di depan seniman, buat Angga juga lebih nyaman, dia bisa mengerjakan sesuai zona nyamannya. Angga tidak lupa mencantumkan logo N yang menjadi ciri khas pencitraan saya, sebagai liontin kalung dan disisi kanan bawah. Biasanya ia bisa mengerjakan sketsa wajah dalam waktu sekitar 5-30 menit, tapi waktu  saya pesan, antrinya banyak. Sehingga sekitar 2 hari sejak saya pesan, lukisannya sudah selesai dan diantar ke butik.Terima kasih Angga :)


Karya ini merupakan bagian dari pameran ‘September Ceria’ | Jogja Gallery, Yogyakarta 8 September – 19 Oktober 2009; sebagai peringatan tahun ke-3 berdirinya galeri tersebut. Waktu itu saya dan Noris (suami) masih bekerja di Jogja Gallery. Ada banyak perupa yang terlibat dalam pameran tersebut, 38 perupa dari 70 perupa yang diundang. Salah satunya adalah Studio Grafis Minggiran. Menariknya adalah, mereka memilih untuk melakukan interaksi langsung dengan audiensnya dalam pameran ini. Mereka menyediakan karya cukilan hardboard aslinya/master. Lalu pengunjung pameran bisa memilih karya mana yang ingin mereka miliki. Teman-teman Studio Grafis Minggiran membantu dengan proses printmakingnya. Tentu saja dengan biaya yang cukup terjangkau, pengunjung pameran bisa langsung merasakan pengalaman membuat karya seni grafis dan mendapatkan karya itu sendiri. Sehingga akan tertulis nama seniman sebagai pembuat karya dan nama kita sebagai pencetaknya, menarik sekali!

Theresia Agustina Sitompul atau Tere, merupakan satu-satunya anggota perempuan dalam Komunitas Grafis Minggiran. Tere membuat karya berjudul ‘Sembunyi’, hardboardcut on paper, 20 x 30 cm, cetakan ke 3, 2009. Noris (suami saya) memilih karya tersebut karena memang suka dan satu karya lagi milik Nawangseto berjudul ‘Siapa Menuntun Siapa’, hardboardcut on paper, 20 x 30 cm, cetakan ke 3, 2009. Karya Nawangseto sangat lekat dengan pengalaman sehari-hari saya dan suami, karena waktu itu kami masih memiliki anjing Rotweiler bernama Dora.


Dedy Sufriadi
Ada dua judul karya, semuanya UNTITLE
masing-masing ukuran 50 x 50 cm tahun 2010
media mixed media on canvas

Nah, kalau yang ini, rada pake maksa dikit dapatnya lukisan. Sudah kenal Mas Dedy sejak saya masih bekerja di Jogja Gallery sekitar tahun 2006. Sebenarnya Noris (suami saya) yang nge-fans banget sama Mas Dedy dan pengen banget dapat karyanya. Noris selalu pedekate ke Mas Dedy supaya dapat karya. Akhirnya di tahun 2011, ketika kami bertiga (saya, Noris dan Abel) ke rumah Mas Dedy karena sedang mengerjakan suatu art project; iseng-iseng Noris minta karya. Eeehhh, dikasih sama Mas Dedy, disuruh milih pula. Ada sederetan karya yang ukurannya sama 50 x 50 cm. Saya dan suami senang sekali, inilah rejekinya Abel (anak kami) hahaha. Dapat dua karya lagi, karena saya dan suami pengennya dapat sendiri-sendiri. Maafkan kami ya Mas Dedy...sedikit maksain dapat karyamu. Sekarang, karya ini dipajang di ruang tamu rumah kami.


Ronald Apriyan
'Baca, Makan dan Pulang'
oil on canvas, 140 x 200 cm, 2008

Untuk sekarang, karya Ronald Apriyan ini merupakan karya dengan ukuran terbesar di rumah mungil saya saat ini. Karya ini pernah dipamerkan dalam pameran 'Yasin: The Untranslatable', Jogja Gallery, 16 September - 12 Oktober 2008 dikuratori oleh Farah Wardani. Saat itu saya masih pada posisi Manager Program Jogja Gallery. Tapi saya tidak dapat berkesempatan melihat pameran ini karena saya sedang mengikuti residensi di Darwin, Australia.

Saya sendiri tidak menyangka akan mendapatkan hibah lukisan ini dari sang seniman. Ceritanya, ketika saya sudah mengundurkan diri dari Jogja Gallery dan ternyata karya ini belum dikembalikan ke seniman dan bahkan tidak diambil oleh seniman. Saya mengingatkan Ronald untuk segera mengambilnya, karena memang sudah lama sekali karya itu ngendon di gudang penyimpanan galeri. Entah karena males bawa pulang, atau memang sudah rejeki saya dapat karya ini, Ronald bilang, 'karya yang di Jogja Gallery itu, buat koleksi mbak Nunuk aja deh' :) Wuaaah langsung sumringah... Waktu itu memang tidak ngebayangin ukurannya sebesar 2 meter. Begitu sampai di rumah, langsung penuh lah dinding rumah dengan karya ini. Kemudian makin menghangatkan sudut ruang di rumah saya. Thanks Ronald
:)

ANJASMORO

Anjasmoro arimami
Mas mirah kula'o warto
Dasihmu tan wurung layon
Aneng kutho Probolinggo
Prang tanding lan urubismo
Kario mukti wong ayu
Pun kakang pamit palasmo

Buat Nunuk Ambarwati
Sujiwo Tejo, Mei 2008

- Tentang pamitnya Damarwulan ke Ratu Kencono Wungu (Ratu Majapahit) waktu mau perang dengan Menakjinggo

***

Hmmm apa yang saya menyebutnya untuk koleksi ini? Cuplikan lirik tembang Jawa ini, yang ternyata baru saja saya ketahui bahwa ini tembang Asmorodono. Saya dapatkan dari Mas Sujiwo Tejo ketika beliau mengadakan pameran tunggal di Jogja Gallery, 'Semar Nggambar Semar' 10-16 Mei 2008. Mas Jiwo saya panggil beliau, memberikan tulisan tangan ini ketika kemudian pameran dan segala urusan di Jogja Gallery hampir berakhir. Selesai menulis, beliau lalu mengajari saya bagaimana caranya nembang Jowo...meski pun asli kelahiran Yogya, susah mengingat jalinan nada-nada bagaimana harus nembangnya. Beliau ngajarin saya berkali-kali waktu itu. Sepeninggal beliau setelah selesai semua urusan, kadang Mas Jiwo tiba-tiba nelpon saya dan langsung nembang gitu aja; saya dibikin tersenyum olehnya, seolah-olah agar ingat satu sama lain. Perkenalan saya dengan Mas Jiwo saat itu jadi pengalaman yang unik, seunik karakter beliau sebagai seorang dalang, artis, budayawan dan juga pelukis (belakangan ini dibuktikan dengan rangkaian pamerannya kurun waktu 2008 tersebut).

Kyai Haji Muhammad Fuad Riyadi
Tarekat Kemenangan | acrylic on paper | 40 x 50 cm | 2010

Lukisan ini terasa sangat istimewa untuk saya pribadi. Istimewa karena saya mendapatkannya dari seorang Kyai. Sejak kecil hingga akhirnya memutuskan menikah, saya adalah seorang Nasrani, tak ada kenalan seorang Kyai. Istimewa karena lukisan ini sekaligus sebuah doa untuk saya dan keluarga kecil saya. Istimewa karena karya ini memang dibuat khusus untuk saya.
Waktu itu, penghujung tahun 2010, saya mendapat tawaran untuk mengorganisir event pameran seni rupa tunggal karya Kyai Haji Muhammad Fuad Riyadi. Tawaran ini datangnya dari rekan seniman, Yusron Mudhakir. Saya belum pernah dan tidak kenal sama sekali sosok KH M Fuad Riyadi, hingga kemudian saya datang untuk membicarakan rencana penyelenggaraan pameran tunggal tersebut bersama orang kepercayaan beliau. Setelah ngobrol panjang, saya pun diminta untuk datang ke Pondok Pesantren, tempat beliau mengajar dan mengasuh anak-anak didiknya. Saat itu saya datang bersama suami, anak dan partner kerja di event organizer tersebut. Intinya silaturahmi, mengenal satu sama lain sebelum memutuskan bekerja sama atau tidak. 

Lukisan KH M Fuad Riyadi dikenal oleh orang-orang terdekatnya, mengandung doa/rajah atau apapun itu yang dipercaya memberikan hal positif bagi kolektor/pemiliknya. Misal, Anda sedang sakit dan Anda ingin sembuh, dengan memajang lukisan KH M Fuad Riyadi, maka sembuh. Atau Anda ingin sukses dalam berkarir, dengan membeli dan memajang lukisan karya KH M Fuad Riyadi, maka karir Anda melambung tinggi. Demikian seterusnya. Saya pun ingin mengoleksi, tapi saya tak punya nyali untuk meminta, karena baru saja kenal dan apalagi beliau seorang Kyai. Tapi Noris, suami saya, di akhir perjumpaan pertama kali di Pondok Pesantren tersebut, mengutarakan keinginan kami untuk meminta lukisan dari sang Kyai, mohon doa agar usaha/bisnis kami sukses. Kyai hanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Wah ndak mimpi deh bakal dapat…

Tak berselang lama dari pertemuan tersebut, 6 Desember 2010, saya mendapatkan SMS dari orang terdekat Kyai untuk mengambil lukisan yang diperuntukkan buat saya. Wooowwwww! Sumringah, girang luar biasa, semangat langsung pingin ambil, penasaran lukisannya seperti apa. Akhirnya dapatlah saya sebuah lukisan istimewa ini berjudul ‘Tarekat Kemenangan’, dilukis dengan acrylic diatas kertas, 40 x 50 cm, 2010. Kata Kyai, itu cocok dengan saya dan yang penting itu doa untuk kesuksesan dunia dan akhirat. Amin amin amin….Lukisan ini juga ikut dipamerkan dalam pameran tunggal lukisan Kyai yang kemudian saya organisir berjudul ‘Locospiritual: The Journey of Spiritual World’ di Jogja Gallery, 22-29 Juli 2011. Matursembahnuwun sanget Kyai Haji Fuad Riyadi
.

Alfin Agnuba | 'Escher Terror' | screenprint and digitalprint | cetakan 1/10 | 14 x 19 cm | 2013
Istimewa! Karya ini didapatkan saat pameran Jogja International Mini Print Festival 2013 di Galeri ISI, Yogyakarta, November 2013. Alfin seorang seniman muda, sangat giat berkarya dan aktif berkreasi hampir dimanapun ia bisa. Meskipun belum begitu kenal dekat dengannya, tetapi karya-karya dan intensitas bekerja di dunia seni rupa sudah cukup membuat saya mengenalnya dari sisi yang berbeda.


Menurutnya, karya ini tentang dunia paralelnya Mc Escher (seniman grafis perspektif). Alfin merespon atas gejala perspektif yang telah Escher ciptakan. Karakter paling depan yang seolah keluar dari batas media gambar sengaja Alfin munculkan sebagai pengacau bentuk yang telah menjadi sejarah. Bahwasanya pada masa saat ini tidak ada lagi batasan kaku yang mengharuskan seniman (grafis) harus terus intens dengan pedoman konvensional yang telah dibakukan. Bersama karya ini, masih ada 2 karya senada yang Alfin ciptakan. Saya kebetulan bisa mendapatkan (membeli dengan cara mencicil hehehe) dan sangat menyukai karya ini. Bagi Alfin, ketiga karya tersebut merupakan bentuk pelampiasan kejenuhannya di dunia akademis yang dituntut harus selalu baku akan pakem-pakem seni grafis. Beruntung saya mendapatkan cetakan pertama dari sepuluh yang Alfin buat. Melalui kegigihan, semangat dan kerja kerasnya, Alfin Agnuba akan menjadi seorang seniman hebat. Amin.






Roby Dwi Antono | pencil on paper | 22 x 27 cm | 2012

Wooowww! Amazing...Surprising bingiitss ketika Roby Dwi Antono memberikan karya ini untuk ku koleksi. Betul-betul hepi grin emotikon Karena memang suka sekali dengan karya dia. Menurutnya karya ini bercerita tentang kekecewaan seseorang ketika mengetahui orang yang istimewa baginya ternyata masih memiliki "rumah" yang berharga baginya. Whatever it is...thank you so much, sudah menjadi bagian dari koleksi di rumah mungil kami.


Puisi KH D. Zawawi Imron | Lagu Selatan buat Nunuk A | Buku Kelenjar Laut

Pertemuan dengan KH D Zawawi Imron saat saya bekerja di Jogja Gallery. Kebetulan beliau ikut berpartisipasi dalam sebuah pameran bersama. Beberapa hari menemani beliau untuk jumpa pers, talkshow di radio, pembukaan pameran, dan kegiatan lainnya. Saya sendiri belum bertanya langsung, alasan beliau sampai bisa menulis puisi ini untuk saya. Semoga segera ada jawabannya. Yang jelas saya sangat tersanjung :)

Dan berikut persepsi Mikke Susanto atas tafsir puisi ini: kalau dalam interpretasiku, puisi ini ingin memberikan kita rasa awas "semakin tak jelas sedang mandi atau menari", juga anggapan yang seakan-akan berlebihan "seolah selatan tak ada selatan lagi", juga ungkap nasihat seorang bijak "pelangi langit dan pelangi hati sama pentingnya, asalkan kita memandangnya sebagai rezeki... kesimpulannya puisi ini sedang mengkhayalkan dirimu di sebuah alam yang punya banyak kemungkinan, bisa jadi sebuah berkah bisa jadi kemungkinan lain.... GITU nuk? Mungkiiiiin hahahaha....

Hahahaha tengkyu  :)




Aliem Bakhtiar
| etching | 4/... | 2014

Dengan sedikit 'merampok', karya ini berhasil saya koleksi hahahaha. Maapken yo Lim...abisnya lucu sih smile emotikon Waktu itu Aliem sedang aktif ngerjain teknik seni grafis di event Jogja Miniprint Biennale 2014 di Museum Bank Indonesia. Sampai entah sudah cetakan ke berapa karya ini hehehe. Pokoke seneng, karyanya sudah menjadi bagian dari koleksi di rumah mungilku...makassiiihhh.