Friday, August 13, 2021

Membuat Gajah tanpa Melihat

Beruntung mempunyai seorang teman, Mas Eko, biasa saya panggil dia. Masih muda dan sudah beristri, namun belum dikaruniai anak. Dia seorang peyandang disbilitas yaitu tuna netra sejak lahir. Meski demikian, dia seorang yang cukup aktif beraktifitas. Dari dia saya banyak belajar - Mas Eko yang saya kenal tidak pernah mengeluh atau sedih dengan keadaannya. Kehidupan mereka sederhana, mereka berdua juga berprofesi sebagai tukang pijat seperti jamaknya peyandang disabilitas tuna netra.

Pernah suatu ketika, ditanya iseng, “Pak Eko kalau mimpi gimana? Mimpinya apa atau gimana sih kalau mimpi tuh?”. Ditanya bagaimana gambaran dia ketika bermimpi. Ternyata jawaban dia mengejutkan saya. Gambaran mimpi dia adalah sama seperti yang dia jalani sehari-hari, di dalam mimpi dia tidak melihat (alias gelap), hanya suara suara, bau atau sense dari indra lainnya. Oh... saya tertegun mendengar jawabannya tak bisa berkata apa apa.

Kemudian saat ditanya, jika suatu hari Mas Eko dikasih kesempatan bisa melihat sekali saja seumur hidup, tapi kemudian tertutup kembali indra penglihatannya – apa yang ingin Mas Eko lihat? Tahu jawaban dia? Bukan ingin melihat istrinya, atau ingin melihat dirinya sendiri. Tetapi dia ingin melihat laut. Oh laut, kenapa, tanya saya selanjutnya? Ternyata karena dia sering mendengar teman-teman bercerita bahwa pemandangan paling indah adalah laut.

Salah satu hal menarik yang paling saya ingat dari dirinya adalah ketika dia membuat karya dari tanah liat (keramik). Ketika itu dia berdampingan hidup bersebelahan dengan seniman yang bekerja dari tanah liat. Jadi di sela waktu senggangnya, dia ikutan nongkrong di studio si seniman. Karena sering nongkrong dan ngobrol, seringlah dia disemangati untuk bikin karya dari tanah liat, "Ayo Mas Eko cobain bikin bikin apa gitu!". Sampai akhirnya dia berminat membuat karya dari tanah liat sendiri. Dan ternyata dia membuat binatang Gajah di karya keramik perdananya tersebut. Tidak besarlah karyanya, ukuran tinggi 13 cm x lebar 14 cm. Dia membuatnya dengan teknik pinch dan pilin.

Lalu bagaimana dia bisa menggambarkan bentuk Gajah padahal dia tidak bisa melihat? Menurut ceritanya, ia pernah naik Gajah 15 tahun lalu. Berdasar memori itu, ia bisa mengingat bentuk binatang besar itu dari indra rabanya. Bagaimana kakinya yang besar, telinga yang hampir menyentuh kaki. Sementara untuk telinga Gajah, ia mendapat gambaran saat ia makan kudapan tradisional kuping gajah. Dan untuk taringnya ia mendapat info dari teman bahwa si Gajah memiliki taring diantara belalainya.

Karya dan cerita di balik karya ini sangat unik juga menyentuh hati. Saya request untuk saya koleksi, Mas Eko mengiyakan hanya dengan syarat menukarnya dengan 2 bungkus rokok kegemarannya. Sudah itu saja, dia sudah bahagia. Beberapa bantuan-bantuan kecil seperti membelikan kebutuhan dia di warung, itu sudah sangat membantunya.

Demikian sekelumit cerita kehidupan kali ini, belajar dari seorang teman yang sederhana dan dengan segala keterbatasannya. Pemikiran dia, cara dia beraktifitas, cara dia bersosialisasi  membuat saya kadang terkejut tapi juga penuh senyuman. Bersama Mas Eko, nampaknya hidup itu tetap bahagia meski dunia dia gelap, bisa bercanda meski hidup dia tidak mudah. Tetap bersyukur dan terus bersyukur dengan apa yang sudah Tuhan berikan di kehidupan kita.