Sunday, October 20, 2013

Membangun Sebuah Budaya Seni Grafis

Tulisan pengantar untuk Jogja International Mini Prints Festival (JIMPF) 2013

Entah sebuah kebetulan atau bukan, pengalaman magang di sebuah galeri komersial di Darwin, Australia (2008) menjadi perbandingan yang menarik tentang dunia seni grafis antara Indonesia-Darwin. Saat itu, saya berkesempatan magang selama kurang lebih 1 bulan di Galeri Nomad (Nomad Art Gallery, www.nomadart.com.au) Darwin, NT, Australia. Galeri ini boleh dibilang sangat sederhana, baik dari fasilitas yang ia miliki sebagai sebuah ruang pamer, karena luasnya tak seberapa, itu pun bergabung antara display pameran dengan display karya konsinyasi. Bila sedang ada pameran disana, hanya muat sekitar 10 karya berukuran kecil sekitar 30 x 40 cm saja. Pembukaan pamerannya pun sangat intim, personal dan hangat karena memang ruangan yang tersedia tidak besar. Dengan display yang simple, penuh karya-karya konsinyasi menarik tapi tetap ditata elegan style si pemilik.

Dari sisi manajemen pun sangat efektif, karena hanya ada 3 orang yang bekerja disana. Galeri ini dikelola oleh sepasang suami istri yang sangat berdedikasi terhadap dunia seni rupa disana dan memperkerjakan 1 orang asisten bagian administrasi. Mulai dari membersihkan galeri, menemui art lover, mengurus surat-surat, display hingga packing. Selebihnya, bila mereka membutuhkan tenaga tambahan, mereka menambahkan sebagai outsourcing. Posisi galeri ini sangat strategis karena berada di pusat bisnis di Vickers Street, Parap Village, Northen Territory, Australia. Meski pun galeri ini terbilang kecil di wilayah tersebut (karena ada beberapa galeri besar yang berdampingan dengan Galeri Nomad); tetapi mereka juga mengerjakan banyak project berskala besar dan lintas negara dalam program-program mereka setiap tahunnya. Biasanya, project-project besar ini mereka selenggarakan di luar galeri.

Nah, kemudian yang menarik adalah hampir setiap hari selalu ada karya seni grafis yang laku terjual di galeri tersebut. Peminat atau pembelinya kebanyakan justru bukan kolektor tetap mereka, tetapi wisatawan yang datang, mampir melihat-lihat dan kemudian menyukainya. Pilih ini atau itu, packing dan dibawa pulang. Saya sempat terheran-heran, betapa mudahnya menjual karya seni grafis di negara bagian ini. Sementara bila kita melihat pasar seni grafis Indonesia justru berkebalikan, sepi peminat, malah kadang diacuhkan karena nilai karyanya tak sama dengan karya seni rupa bermediakan acrylic atau oil. Hingga membuat teman-teman seniman seni grafis harus putar otak dan strategi agar karya seni grafis mereka bisa setara apresiasinya dengan karya seni rupa; kemudian muncul monoprint atau karya printmaking kombinasi handcoloring dan seturutnya. Terbersit keinginan kala itu, saya ingin sekali membawa karya teman-teman grafis Indonesia untuk bisa presentasi atau cukup konsinyasi saja di galeri tersebut. Saya yakin, pasti lebih bagus, pasti lebih disukai dan pasti cepat terjual. Ini dari sisi penjualan atau pemasaran karya.

Mari kita melihat sudut pandang lain, mengapa karya-karya seni grafis menjadi lebih mudah terjual disana. Saat ketika magang tersebut, Galeri Nomad sedang memamerkan karya seni grafis karya suku Aborigin. Pada saat yang berdekatan, Galeri Nomad juga mengelola pameran kontemporer karya tekstil dan seni grafis dari suku Amarasi, Nusa Tenggara Timor yang berjudul ‘Ta Teut Amarasi Awakening’. Merupakan program kerjasama antara Northen Territory dengan Indonesia Timur, kerjasama antara Asialink di Universitas Melbourne bersama dengan Yayasan Kelola di Jakarta. Galeri Nomad concern dengan karya-karya bermuatan tradisi kental, salah satunya adalah karya-karya seni grafis dari suku Aborigin dan suku Amarasi, Nusa Tenggara Timor yang kebetulan menjadi obyek penulisan ini. Mereka sangat menghargai seni tradisi, karena mereka sudah kehilangan akar sejarah asli. Mereka terus mencari sejarah asli milik Australia. Mereka seperti haus akan sejarah nenek moyang beserta adat istiadat, produk-produk kebudayaan dan tradisi yang menyertainya. Sehingga perlakuan mereka terhadap karya-karya tradisi seakan sangat sakral dan mendapat penghargaan yang tinggi. Demikianlah ketika sebuah bangsa mulai kehilangan ruh tradisi, mereka kemudian terus mencari dan menghargainya hingga sedemikian rupa. Bagi suku-suku seperti Aborigin dan Amarasi, mereka menggunakan teknik-teknik seni grafis untuk melegendakan motif-motif kesukuan mereka menjadi sebuah warisan berharga untuk anak keturunannya.

Maka ketika Syahrizal Pahlevi menyatakan kepada saya suatu hari, membicarakan niatan dia bahwa Jogja International Mini Prints Festival atau Biennale menjadi sebuah ‘budaya’, tanpa berpikir panjang langsung saya iyakan dan saya sangat mendukungnya. Niatan untuk membentuk kebudayaan atas apresiasi atau penghargaan terhadap karya-karya seni grafis yang berukuran kecil. Dan terlebih niatan untuk mengembangkan karya seni grafis itu sendiri hingga skala internasional. Niatan dan mimpi besar namun dengan presentasi karya-karya yang mini, saya amini tak akan menyurutkan semangat seorang Syahrizal Pahlevi yang militan. Dengan kolaborasi dari berbagai komunitas seni grafis yang jamak teknik dan banyak di Yogyakarta, helatan ini merupakan sebuah gerakan kebudayaan yang patut didukung banyak pihak dan lintas budaya. Membentuk sebuah kebudayaan memang tidak mudah dan tidak cepat. Semoga niatan ini menjadi sebuah kenyataan, sama seperti apa yang saya rasakan saat melewatkan hari-hari magang di Darwin kala itu. (Nunuk Ambarwati/Tirana Art Management)

Whether by coincidence or not, an internship experience at a commercial gallery in Australia in 2008 provides an interesting comparison between the world of graphic art in Indonesia and Australia. At that time I had the opportunity to intern for a month at the Nomad Art Gallery, Darwin, NT, Australia (www.nomadart.com.au). The gallery was very basic; display space was limited and was shared between temporary exhibits and work on consignment. For exhibitions the space could only accommodate approximately 10 small pieces measuring about 30x 40 cm. Exhibit openings were intimate, personal, and warm because the space was small. The displays were simple, full of interesting consigned works, and elegantly arranged by the owner.     

From the human resource and management point of view it was very effective because the gallery employed only three people. Managed by a husband a wife team who were dedicated to both the local and national art world, they employed just a single admin assistant. The three did everything from cleaning the building, meeting visitors, handling correspondence, arranging displays and packing work for shipment. If the owners needed additional personnel, it was out-sourced. The gallery was strategically located on Vickers St in the center of the business district in the village of Parap in Darwin. Although in comparison to other larger galleries nearby Nomad could be described as small, in the course of their annual program of activities they undertook many large national scale projects, usually carried out at other venues outside the gallery.          

It is interesting that almost every day a work of graphic art was sold at the gallery. Most of the buyers were not regular customers or collectors but tourists who came in and liked what they saw.  They chose something, had it packed, and took it home with them there and then. I was amazed; how easy it was to sell graphic art in the Northern Territory! However, if we look at the market for graphic art in Indonesia the situation is reversed. Few people are interested; in fact, graphic art is sometimes ignored because it does not have the same value as work in acrylic or oil and graphic artists need think hard to come up with strategies and innovations so that their work achieves the same level of appreciation as work in other media; for example, the development of monoprints or prints combining hand coloring and the like. From the point of view of sales or marketing I felt an urge to bring the work of Indonesian graphic artists for exhibition or just consignment to Nomad because I was sure it would be better appreciated and more quickly sold.

Let’s look at this from another angle: why does graphic art sell more easily in Australia, in a small gallery in the Northern Territory, than in Indonesia? At the time I was doing the internship Nomad Gallery was doing a show of graphic art of Australian Aboriginals. At almost the same time Nomad was also doing an exhibit of contemporary textiles and graphic art of the Amarasi people of East Nusa Tenggara titled “Ta Teut Amarasi Awakening” The exhibit was part of a cooperative program between the governments of the Northern Territory and East Nusa Tenggara and Asialink at the University of Melbourne and Yayasan Kelola (Kelola Foundation), Jakarta. Nomad has a strong focus on work with traditional themes including graphic works from the Amarasi and Aboriginal artists. Nomad is conscious of traditional art because Australians Aboriginals have already lost the roots of their original history and are searching for an authentic Australian history. It is as if they are thirsty for the history of their ancestors and their material culture and traditions. Thus traditional work is highly appreciated and treated as sacral. When a people sense the loss of the spirit of tradition they may then begin to try to recover it and appreciate it more. People such as Aboriginals and the Amarasi use graphic art techniques to immortalise their tribal motifs and create a valuable legacy for their descendants.
Some time ago when Syahrizal Pahlevi was discussing his hopes that the Jogja International Mini Prints Festival /Biennale would become an ongoing tradition I didn’t hesitate to offer my support to help shape a culture of appreciation for small-scale graphic work and to promote mini prints themselves on an international scale. Even though the works are small the hopes and dreams are big and I am certain the challenges will not erode the determination of the ‘militant’ printmaker Syahrizal Pahlevi. Together with a number of graphic arts communities in Yogyakarta, each employing different techniques and approaches, the festival is a movement across conventional cultural boundaries and deserves the support of everyone. Developing a cultural tradition is not quick or easy. Let us hope this dream becomes a reality, like what I experienced during my days as an intern in Darwin. 

Monday, July 29, 2013

'CINTA AKSARA' | pameran tunggal lukis kaca Rina Kurniyati






CITRA KEHIDUPAN PADA LUKISAN KACA

Ada yang berbeda  pada bidang-bidang lukisan karya Rina Kurniyati. Ia menggunakan kaca sebagai bidang gambar.  Kita mengenal dan menyebut karya semacam ini sebagai seni lukis kaca.

Seni lukis kaca adalah lukisan menggunakan kaca sebagai bidang gambar. Cara melukisnya menggunakan prinsip ‘terbalik’. Dimulai dari membuat pola, kemudian mewarnai bagian belakang kaca. Menggunakan cat dengan kadar minyak sesedikit mungkin. Tentu saja lukisan dengan media kaca akan memberi sensasi visual yang menarik  dan menawarkan cara melihat yang berbeda dibandingkan ketika kita melihat karya dengan medium lain seperti kanvas. Kaca mempunyai tingkat kekinclongan yang tinggi.

Beberapa catatan menyebutkan seni lukis kaca dibawa ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan bangsa asing di bumi nusantara, di antaranya para pedagang Arab, India, Cina, Portugis dan Belanda. Berkembang ketika jaman penjajahan Belanda. Lukis kaca banyak dibuat oleh masyarakat umum karena bahannya yang terbilang murah. Lukis kaca biasanya menghadirkan kisah-kisah dalam pewayangan atau cerita-cerita rakyat yang sudah populer. Saat ini sentra-sentra lukisan kaca  masih banyak ditemui di daerah Cirebon, Bali, Jawa Tengah, Yogyakarta.

Lalu, siapakah Rina Kurniyati? Rina Kurniyati lahir pada tanggal 23 Maret 1975 dari pasangan Bapak Daliman dan ibu RA Sulastri. Ia lahir di Kopeng sebuah daerah perbatasan antara Magelang dan Salatiga, yang berhawa dingin karena terletak tepat di lereng Gunung Merbabu. Anak kedua dari tiga bersaudara.

Pada usia dua tahun, setelah ibunya yang berprofesi sebagai seorang bidan meninggal, Rina diasuh dan tinggal bersama budhe nya di Jalan Pramuka, Yogyakarta. Masa kecilnya dihabiskan di Yogyakarta. Hal yang terekam jelas diingatannya adalah ketika bepergian bersama pakdhe dan budhenya menaiki vespa! Ia berdiri di depan berpegangan pada stang vespa. Karenanya ia bisa dengan leluasa melihat pemandangan.

Rina Kurniyati tidak pernah secara khusus mengenyam pendidikan formal seni rupa. Ia lulus dari SD Kotagede 3 kemudian melanjutkan ke SMP Plered dan SMA N 8 Yogyakarta. Keinginan keluarganya agar ia menjadi pegawai negeri membawanya ke Bandung untuk bersekolah di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS). Di kota inilah ia bertemu dengan laki-laki yang kelak menjadi suaminya, Mikke Susanto.  Akhirnya ia menikah dan dikaruniai dua orang anak laki-laki, Abad dan Bintang.

Setelah menjadi istri dan ibu, waktunya diberikan sepenuhnya untuk mengurusi keluarga kecilnya. Sampai pada suatu ketika anaknya mulai beranjak remaja dan sibuk dengan sekolahnya, ia mempunyai lebih banyak waktu untuk dirinya sendiri. Membaca adalah hobinya. Di rumahnya akan dapat dilihat deretan buku mengisi rak-rak kayu. Sejak SMP, ia sudah mengakrabi karya-karya sastra seperti Bhagavad Gita,  karya-karya angkatan Balai Pustaka,  Pujangga Baru, seperti Marah Rusli,Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana hingga Chairil Anwar, berbagai majalah seperti Tempo, Time, Intisari, dan lain-lain. Selain membaca, Rina mulai tertarik untuk melukis. Maka, sejak tahun 1999 ia mulai melukis. Dan ia menemukan kesenangan ketika melukis di atas kaca!

Bagi seorang Rina Kurniyati lukis kaca menjadi daya tarik tersendiri. Selain karena bahan-bahan yang digunakan relatif murah dan mudah didapatkan, pada lukis kaca ia juga menemukan keasyikan karena dibutuhkan ketelatenan yang luar biasa. Dimulai sejak membuat pola gambar, kemudian menuangkan cat dan harus memperhatikan bahwa keunikan lukis kaca ada pada cara menggambarnya yang terbalik.

Awalnya, ia banyak melukis wajah teman-temannya. Ia sering mendapat pesanan lukis wajah. Berikutnya ia tidak puas dan ingin mencoba menjelajahi kemungkinan artistik lain. Sampailah ia pada keinginan untuk berpameran tunggal yang ia rangkum dalam judul ‘Cinta Aksara’ diambil dari petikan puisi karya Remy Sylado.

Pada pameran perdananya yang akan diselenggarakan di Tirana House mulai tanggal 28 Juli-28 Agustus, kita tidak hanya melihat gambar tetapi juga diajak mencermati teks-teks tulisan yang tertera pada bidang gambar. Gambar dan tulisan itu saling melengkapi dan memberi penguatan satu dengan yang lain.

Bisa jadi, tanpa tulisan karya-karya Rina Kurniyati bak jejeran alam benda berupa potongan bagian-bagian dari kendaraan saja. Akan tetapi, ketika gambar itu hadir bersamaan dengan tulisan mempunyai makna yang berbeda. Tulisan yang hadir secara bersamaan juga bukan sembarang tulisan, tetapi kutipan-kutipan puisi karya sastrawan yang namanya sudah sering kita dengar seperti Joko Pinurbo, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Darmono, Remy Sylado,Goenawan Muhamad, Sitok Srengenge, dan lain-lain.

Sepintas, tentu sulit mencari kaitan antara kutipan puisi dengan gambar yang dihadirkan oleh Rina Kurniyati. Kita perlu menyelami lebih dalam kehidupan senimannya. Tidak hanya menampilkan daya tarik visual dan kekaguman pada penguasaan teknis lukis kaca, namun akan membawa kita untuk mengenal lebih jauh kehidupan seorang Rina Kurniyati. Karena sesungguhnya objek yang dilukis oleh Rina Kurniyati adalah hal-hal yang dekat dengan kehidupannya sehari-hari.

Dari kelimabelas karya yang dipamerkan di Tirana House dapat dibagi menjadi empat tema besar, antara lain tentang kehidupan keluarga, kenangan masa lalu, relijiusitas dan harapan yang menegaskan posisi Rina Kurniyati dalam relasi sosial dalam masyarakat.

Tema keluarga dapat dilihat pada karya yang berjudul “Mainan Bintang”. Mobil yang dilukis Rina adalah mobil kesukaan Bintang putra keduanya, diikuti dengan kutipan puisi karya Joko Pinurbo (2013): “Masa kecil seperti penjaga malam yang setia”. Kemudian pada karya yang lain berjudul “Sebab Cinta adalah Kau”, Rina memilih motor Harley Davidson yang mengesankan kegagahan, kemaskulinan, dan petualangan. Ia mengambil bagian depan dari motor Harley Davidson. Seakan ingin menegaskan bahwa bayangan cinta yang total telah mewujud pada diri Mikke Susanto, cinta yang mampu menjadi pengemudi, menentukan arah dan jalan dalam petualangan kehidupan. Maka ia memilih kutipan puisi karya Joko Pinurbo “Sebab cinta adalah kau yang tak mampu kusebut, kecuali dengan denyut”. Aha! Menarik bukan?

Kita juga dapat menemui lukisan dengan objek vespa. Ada sekitar tiga buah vespa. Dua di antaranya adalah vespa jama berjudul “Masa Lalu” dan “Teman Masa Kecil” yang disertai kutipan puisi karya Joko Pinurbo (2010) “Di rumah itu mereka tinggal berdua/ Bertiga dengan waktu/ Berempat dengan buku/ Berlima dengan televisi/ Bersendiri dengan puisi”. Maka bisa ditebak, Rina sedang menghadirkan kenangannya akan masa kanak-kanak yang dekat dengan vespa sebagai kendaraan yang mengantarkan ia ke mana pun pergi.

Pada vespa merah jenis Lambretta yang berjudul “Cinta Aksara”, Rina menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah warna. Vespa merah itu sungguh serasi dipadu dengan latar belakang hijau segar dan garis putih untuk mengikat dua warna yang sesungguhnya saling berlawanan. Di sudut bawah tertera kutipan puisi karya Remy Silado “Kita mesti mendirikan keberanian di hati, menolak pemaksaan cinta dari aksara-aksara”. Rina, yang mencintai sastra dan sederet buku lainnya menunjukkan keberaniannya untuk tampil sebagai persona mandiri, lepas dari bayang-bayang nama suaminya yang sudah berkibar di kancah seni rupa. Pameran tunggalnya kali ini adalah langkah awal eksistensinya sebagai seorang perupa.

Pada karya yang lain tentu kita juga diajak untuk berteka-teki. Kutipan puisi dalam karya Rina mempunyai bobot sendiri dan memberi konteks yang menggiring kita untuk merasuk lebih dalam untuk memaknai karyanya. Sesungguhnya karya-karya tersebut telah mencitrakan kehidupan Rina Kurniyati. Secara teknis, terlihat ketekunan dan ketelatenan Rina untuk memainkan gradasi warna untuk memperoleh efek gelap-terang dan kesan kedalaman pada objek gambar. Tentu itu bukan hal yang mudah karena prinsip lukis kaca yang harus menggambar secara terbalik.

Pameran kali ini menegaskan bahwa lukis kaca di tangan Rina Kurniyati hadir dengan gaya baru. Tidak lagi identik dengan objek-objek tradisi seperti wayang atau cerita rakyat tetapi juga mampu hadir sebagai media yang mengedepankan pencarian dan ekspresi personal seorang Rina Kurniyati.

Penulis:
Zuliati
Alumni PPS Pengkajian Seni Rupa ISI Yogyakarta

  

RINA KURNIYATI
Lahir di Yogyakarta 23 Maret 1975, belajar melukis secara mandiri sejak tahun 2000.  Beberapa kali mengikuti pameran, diantaranya Festival Budaya Tionghoa (2011) di Yogyakarta, Pameran "16 Perupa Bermain" di Galeri Rudi Corens, Yogyakarta; Pameran dalam rangka Borobudur International Festival-BIF "Dharma" di Magelang dan Pameran Seni Rupa "Gagal Ekspresi-Nararupa/Narapidana" di Wirogunart Gallery, Yogyakarta (2013).

Pameran yang bertajuk "CINTA AKSARA" ini merupakan debut tunggalnya yang menampilkan 14 karya lukisan kaca berukuran di bawah 100 x 100 cm. Sejumlah karyanya telah dikoleksi oleh beberapa pecinta seni diantaranya Oei Hong Djien, Taufik Ismail, Taufik Abdullah, Ronald Manullang, Prof. Dr. RM. Soedarsono dan beberapa pesohor lain.

Selama ini mengembangkan seni lukis kaca kontemporer yang berbasis tema mobil, potret figur dan poster lama. Teknik yang dikerjakan adalah teknik blok warna dan melakukan improvisasi alat dalam penggarapan karya, untuk mencapai dimensi objek realistik yang dicapai. Munculnya teks dalam lukisan kaca adalah bagian dari konsep, karena pada dasarnya Rina menyukai karya sastra; sehingga menerapkan teks pada lukisannya sebagai bentuk catatan hidup dan kesan yang diperoleh dari kebiasaan membaca sastra atau menangkap nilai-nilai kehidupan yang diwakili oleh rupa dan teks.