Sunday, October 26, 2008

Scorpio & Scorpio


When two Scorpions make a love match, it is a fierce tempest of intense passion. Both are obsessed with one another, and they move forward in love, sex and romance at an accelerated -- some would say foolish -- way. Personal relations are positively steamy but, to the equal and opposite extreme, disputes will also be frenetically powerful. This relationship could go either way: It will either be the most wonderful thing in the world or a destruction of both involved.

The romantic merger of two sexy Scorpions can bring out the best in both love mates; each will use their intense emotional and intuitive natures to love their partner very deeply. Resolve and passion will keep these two together. The most powerful and threatening external forces will have a difficult time intruding on the happiness of a truly committed Scorpio couple. If they can wrangle their ardent energies, this power pair can set off fireworks.


The Planets Mars and Pluto rule Scorpio. Mars is the ancient God of War, always charging forward -- passionate, aggressive and courageous. Pluto is the higher octave of Mars and controls the power, destruction and rebirthing elements of the Scorpio-Scorpio relationship. These two planets together allow the Scorpion to bounce back after disappointments or tragic losses. Fortunately for the Scorpion, intense passions inflate the importance and loss of everything.


Scorpio is a Water Sign, so their first instinct in love is to respond deeply, passionately, fervently, and if they decide to express themselves, its never done halfway. Scorpios should commit themselves to this goal: Tame the vengeful or vindictive side of their intuitive personalities, and to celebrate the extreme ups and quickly forget the downs. A Scorpio must let go and really say what they want, what they feel, what they need, to their love mates. Pent-up emotions can become toxic, frustrating the one feeling them and confusing the one wondering about them. Because both are so devoted, jealousy may become an issue. Be strong, brave Scorpios, and overcome this hurdle together!

Scorpio is a Fixed Sign. Idea shortages are never an issue with this pair. No couch potato couple this one -- they like to stay active, and they'll accomplish much together. They share a knack for investments and risks -- calculated ones, that is. A Scorpio couple will thoroughly research and investigate an idea if that's what it requires. Once Scorpio love mates set their eyes on the prize, that's it -- it's theirs.

What's the best thing about a Scorpio-Scorpio love match? The intensity of love that this couple can feel. They're very goal-oriented, and their shared power makes them an incomparable, unconquerable duo! Utter devotion ensures that this relationship will continue for a long time.


Self Portrait : Famous Living Artists of Indonesia


Abstrak Kuratorial

Pameran Seni Visual
SELF-PORTRAIT Famous Living Artists of Indonesia
(POTRET DIRI Seniman Ternama Indonesia)

Jogja Gallery, Yogyakarta, 7 – 30 November 2008

I have a face, but a face is not what I am.
(Julian Bell, Five Hundred Self-Portraits, Phaidon, New York, 2000)

Setiap potret adalah duel—antara perwujudan dan peleburan diri; antara obsesi mengintip jiwa yang telanjang dan naluri untuk menyembunyikannya.
(Yudhi Soerjoatmodjo, “Kolam Narsisus Poriaman”, Tempo, 27 Februari 1993)

Hampir dipastikan, dalam sejarah hidup dan karir perupa, ia pernah menggambar dan memotret dirinya. Potret diri (atau “diri” yang lain) berbentuk foto, patung, lukisan, atau seni lainnya menyimpan segudang masalah. Hidup di antara problem mimetik, kesenangan, seni pesanan, atau pada waktu yang sama dibuat untuk sekadar mengejar nilai estetik. Problem tersebut biasanya lahir ketika persilangan antara kesempatan dan konfrontasi diri seniman, antara sifat romantisme dan kecenderungan sentimentalisme (lebih kasar mungkin disebut Narsisme) berbaur.


Potret di sini bukanlah sebuah gambar mengenai aktivitas kehidupan. Potret lebih banyak bergerak pada tataran sebuah catatan peringatan, buah pikir serta akhirnya berfungsi sebagai “korban” atas dirinya sendiri. Sang seniman lebih banyak berujar mengenai banyak hal dalam karyanya dengan memakai tubuh, wajah, imaji tentang dirinya sendiri. Ia tidak menggambarkan realitas dengan sebuah citra atau sekumpulan tanda-tanda di luar dirinya, tetapi lebih pada “mendera” diri untuk mencapai situasi yang kadang tampak ekstrem.


Perkara lukisan potret diri, dalam sejarah seni rupa telah berkembang pesat. Seni potret telah muncul sejak era seni Timur Jauh (1500 SM.) dan Mesir Kuno yang hidup selama 4000-an tahun. Terbukti dengan adanya bentuk potret diri pada lukisan dinding piramid, selain pada bentuk-bentuk seni patung lainnya. Kala itu perkembangan potret memang bukan mengejar penampakan volume dan kepersisan wajah, namun hanyalah sekadar simbolisasi dari raja-raja yang mereka hormati. Seniman pada masa ini belum tampak mengekplorasi dirinya sendiri.
Di era Romawi kuno potret diri mulai terasa naturalistik, setengah bervolume, namun masih nampak dekoratif. Selain pada lukisan, mereka juga mengembangkan pada patung batu, logam dan lilin dengan kecermatan yang lebih berkembang dari masa sebelumnya. Barulah pada abad ke-15 dan 16 di era Kristen kuno di Eropa, potret diri semakin berkembang pada fungsi agama. Di sela penggambaran Maria dan Jesus (atau sering pula disebut ikon) banyak diproduksi untuk gereja, wajah-wajah seniman muncul sebagai bagian dari representasi physiognomy (ilmu firasat) individu, pelukis itu adalah Pisanello dan van Eyck. Pisanello mengembangkan potret dirinya sebagai profil pada medali (logam), sedang van Eyck melukis dirinya sebagai orang lain pada karya Giovanni Arnolfini and his Wife.

Di era Renaissans, potret diri berkembang sebagai bentuk seni pesanan sangat kuat. Para patron, penguasa, pemimpin gereja menjadi pemesan yang sangat dihargai oleh seniman. Ukuran dan gaya lukisannya tampak sedemikian menarik, berkembang lebih bervolume, realistik, dan cenderung dilebih-lebihkan sekaligus romantis: yang jelek nampak cantik, yang cacat dimanipulasi, dan yang biasa dibuat berwibawa. Di masa ini potret diri selain sebagai wujud visual, namun kadang juga dicampuri dengan suasana mitos dan pesan religi. Di sini muncul nama-nama pelukis seperti Veronese, Titian, Tintoretto, Botticelli, dan Velasquez.
Pada era modern seni potret berkembang menjadi aktivitas utama hampir pada setiap seniman. Selain memotret orang lain, sang perupa selalu menyediakan waktu untuk mendokumentasi dirinya pada karya-karyanya sendiri, baik dengan sketsa, lukisan, patung maupun seni grafis. Potret diri seolah telah menjadi satu kajian tersendiri bagi seniman. Ia memiliki fungsi membawa ego seniman-yang merasa telah dikenal oleh publik-sebagai manusia yang patut untuk dilihat, dicatat, sekaligus dihormati.

Tak kurang seperti Rembrandt dengan amat jeli menampilkan perkembangan dirinya sendiri sejak muda hingga tua: berjenggot dan hampir mati. Puluhan potret dirinya lahir sebagai catatan perkembangan seni yang menandakan upaya seniman bahwa sesungguhnya potret diri telah menjadi satu peruntungan dan tanda perjalanan. Paul Cezanne dan van Gogh melukis dengan gaya Impresionismenya, Picasso memunculkan abstraksi potret dirinya dengan gaya kubis, hingga kemunculan seni potret wajah milik Warhol pada pop art yang dibuatnya dengan warna-warna cerah tahun ‘60-an. Di tahun ‘70-an muncul lukisan megapotret hiperrealis milik Chuck Close.


Seni modern Indonesia memunculkan seni potret dengan cerita yang menarik. Raden Saleh memulai dengan kesadaran Romantikisme yang didapatkan dari tempat gaya itu lahir. Ia berhasil mendokumentasi sekian puluh wajah para pesohor Jawa dan beberapa lainnya dengan teknik yang sangat sempurna. Munculnya seni potret Affandi yang berhasil mengeksploitasi dirinya sendiri pada tingkat yang paling ekstrem; menggambar pose telanjang sebagai sarana mengenal dirinya sendiri dengan cara berdiri pada sebuah cermin.

Namun di tangan Basoeki Abdullah seni potret tampil dengan kesadaran mimetik dan kesenangan (pleasure). Dibuat dengan keterampilan yang tinggi dan dalam tempo tak lama. Dari tangannya muncul ratusan karya potret orang lain dan beberapa tentang dirinya sendiri. Bila tangan Affandi menggenggam pisau, tangan Basoeki menghadirkan bunga. Sejak itu seni potret di Indonesia berkembang diantara ribuan ide.


Namun jika melacak berbagai kecenderungan yang lebih umum dalam konteks seni rupa dunia, karya ‘potret diri’ selama ini memiliki kecenderungan:

1. IDENTITAS: Memperlihatkan isu tentang identitas diri di seniman secara utuh, tanpa dibebani oleh isu dan konteks yang lain atau menjadi catatan dan sejarah pribadi dengan kompleksitas psikologi si seniman. (Rembrant van Rijn melukis dirinya sendiri sebagai catatan wajah di setiap usia, bisa lihat van Gogh)
2. TESIS & EKSPERIMENTASI: Memperlihatkan kecenderungan eksperimentasi dan kreativitas media atau teknik dalam visualisasi potret diri. Bahkan dapat pula sebagai bagian dari sarana pengajuan tesis baru dalam kreativitas seni. (Gustave Courbet ketika memproklamasikan Realisme, Egon Schiele dengan memanfaatkan fotografi untuk mengeksplorasi lukisan cat airnya, Salvador Dali dengan gaya surealistik, Dubuffet dengan Art Brut, Yoshimasa Morimura dengan gaya objek buah-nya, Yue Ming Jun atau Fang Li Jun dengan karakter kepalanya yang khasnya)
3. KONTEKS SOSIAL & SEJARAH: Memperlihatkan hubungan antara berbagai hal, situasi dan kondisi yang sedang berlangsung pada saat ini maupun dengan konteks sejarah (masa lalu) peradaban dengan diri si perupa. Dalam hal ini dapat dilihat pula bahwa posisi seniman sebagai makhluk sosial yang berada di tengah-tengah masyarakat. (Leonardo da Vinci pada Monalisa atau Shirin Neshat dalam karya Seeking Martyrdom, 1955)
4. Kecenderungan yang mengarah pada percampuran ide-ide baru yang mungkin belum tercatat dalam sejarah.

Dalam pameran ini diharapkan perupa melukiskan dirinya sendiri (dalam hal ini ekplorasi wajah sangat dan lebih diharapkan), sesuai dan secara jujur diakui sebagai bagian dari karakter yang dimilikinya saat ini. Adapun perihal media, dibebaskan: lukis, patung, grafis, sesuai dengan kebiasaan dalam berkarya seni. Dalam hal ini kurator akan membaca berbagai peragai yang muncul dalam setiap karya potret diri yang dihasilkan perupa. Sampai sejauh manakah wacana ‘potret diri’ di tangan perupa pada masa kini? Perupa dapat melakukan eksplorasi wacana atau disesuaikan dengan gaya karyanya, atau dapat pula memilih kecenderungan (klasifikasi) yang telah diungkap di atas.


Pameran ini mencoba memetakan ‘peristiwa’ melalui wajah para perupa.

Selamat berkarya & salam budaya.

Mikke Susanto [Kurator]

Bicara Asia Tenggara Lewat Seni Rupa



Berbicara mengenai Asia Tenggara, menjadi mahfum ketika saat ini banyak menjadi sorotan karena beberapa negara-negara di bagian ini menunjukkan kepesatan tingkat perekonomian mereka. Dalam dunia politik dan kebudayaan, kita mengenal jargon ”hubungan government to government” dan ”people to people”. Ketegangan-ketegangan yang terjadi antar pemerintah dari dua negara, misalnya, tak selamanya identik dengan yang terjadi pada hubungan antar masyarakatnya, khususnya para senimannya. Dan ketika berbicara pada kotak kesenian dan kebudayaan, sepertinya akan sepakat, bahwa seni dan budaya menjadi salah satu perekat hubungan bilateral maupun multilateral masing-masing negara. Dimana terkadang, seni dan budaya seperti tidak terpengaruh akan fluktuasi suhu politik mau pun ekonomi. Malah selama ini nyaris tak pernah terdengar ketegangan yang serius di antara para seniman dari negara-negara Asia Tenggara. Seni juga bisa menjadi obrolan yang panas pada forum formal mau pun unformal kita di era lintas batas saat ini.

Menjadi bagian dari negara yang berposisi di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peranan penting memeriahkan peta seni rupa global. Di tengah gencarnya promosi karya-karya perupa-perupa Indonesia di luar negeri, serta persaingan wacana pasar dan pasar wacana seni rupa Asia saat ini. Maka, sangat tepat ketika gagasan pameran seni visual perupa-perupa Asia Tenggara ’T.V-I.M’ di Jogja Gallery, Yogyakarta, 17 Oktober – 2 November 2008 ini diselenggarakan. Tepat diselenggarakan di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, dimana di kota inilah pergerakan seni rupa muncul dan menguat. Tepat, di saat fokus seni rupa global saat ini mengarah pada karya-karya perupa asal Asia Tenggara. Saya gembira Jogja Gallery dapat menyelenggarakan pameran ini. Sebab dengan begitu para seniman dapat saling bertukar informasi, memperluas wawasan, membanding-bandingkan, dan lebih dari itu adalah memahami apa yang ingin disampaikan oleh para seniman yang ikut terlibat dalam pameran ini.

Bersama dengan perupa-perupa asal Thailand, Vietnam dan Malaysia mari kita saksikan bersama bagaimana tema-tema indigenous muncul dalam kemasan kontemporer. Karya-karya dari negara-negara tetangga kita, yang kadang terasa jauh padahal dekat, kadang tak masuk dalam perhitungan padahal tetap eksis. Bagaimana keunikan, orisinalitas dan rasa kebangsaan mungkin masih terasa kental dimunculkan lewat karya-karya yang tersajikan kali ini.

Kita tahu, yang diungkapkan dalam seni adalah campuran dari macam-macam perasaan, imajinasi, khayalan, impian, dorongan, naluri, ide-ide, pendapat, yang semuanya berpusat pada nilai estetis karyanya. Sebab seniman pertama-tama didorong oleh nilai keindahan, meskipun bukan keindahan dalam pengertian dangkal.

Meski penyelenggara sadar, belum sepenuhnya bisa menampilkan representasi karya semua negara di Asia Tenggara, setidaknya dan semoga pameran kali ini menambah kerekatan hubungan antar infrastruktur seni kita dengan banyaknya agenda acara pendukung yang menyertai digelarnya perhelatan ini. Menjadi mata rantai yang tak berujung antara perupa, kolektor dan pecinta seni. Juga mengingatkan kembali akan posisi penting perkembangan seni rupa kita di peta Asia Tenggara khususnya dan internasional pada umumnya.

Seni yang baik bisa mengungkapkan keluhuran, keindahan, keanehan, kelucuan, kegembiraan, dan bahkan kekejaman manusia. Seni yang baik juga bisa mengagetkan, menimbulkan kontroversi, dan terkesan provokatif. Sebab melalui karya-karyanya, seniman memprovokasi kita untuk bisa membuka dimensi yang lebih mendalam dari realitas dunia, realitas manusia.

Selamat berpameran kepada para perupa, selamat menikmati karya-karya yang tersajikan kepada para penikmat seni. Tak lupa, Jogja Gallery, Kelompok Seringgit dan Art Societes mengucapkan terima kasih atas apresiasi seluruh mitra kerja, rekan-rekan media, sponsor dan pendukung pameran ini. Kami tak pupus berharap, melalui pameran ini, semoga kita tak pernah lelah berkompromi untuk terus memajukan seni rupa kita.

Salam hangat,
Moetaryanto
Anggota Dewan Penasehat Jogja Gallery