Wednesday, November 05, 2008

Jadilah Mitra Arsip IVAA!


IVAA / Indonesian Visual Art Archive adalah lembaga nirlaba yang berfokus pada usaha pemberdayaan infrastruktur seni rupa dan telah berdiri sejak 1995, sebelumnya dengan nama Yayasan Seni Cemeti [YSC]. Mulai April 2007 ini YSC berganti nama menjadi IVAA dengan pemantapan visi dan fokus kerja sebagai pusat data, riset dan dokumentasi seni rupa Indonesia, dan juga sebagai lembaga manajemen dan pengembangan infrastruktur seni rupa.

Saat ini koleksi database IVAA mencakup sekitar 13.000 item yang berisi khusus tentang seni rupa modern dan kontemporer yang mencakup mulai dari buku, majalah, jurnal, katalog, foto, slide, video, makalah, promotional item sampai ke kliping media massa yang terkumpul selama 12 tahun dengan data tertua tercatat berupa makalah-makalah seni rupa pada masa awal 1960-an. Semuanya disimpan dan diklasifikasikan dalam perpustakaan dan ruang arsip IVAA, Jalan Patehan Tengah No 37. Banyak dari item ini masih berupa hard copy.

Saat ini IVAA baru mendapat dana bantuan untuk melakukan program digitisasi database tersebut dan membuat portal Online Archive di website www.ivaa-online.org untuk membuat data digital itu di dalam jaringan internet. Hal ini merupakan satu hal yang signifikan mengingat dokumentasi dan pengarsipan seni rupa masih merupakan satu hal yang kurang diperhatikan di dunia seni rupa kita yang telah memiliki sejarah perkembangan yang begitu kaya dan panjang.

Sehubungan dengan program tersebut, kami juga bermaksud untuk memperkaya khasanah database kami dan juga menjalin kemitraan dengan berbagai lembaga seni rupa di Indonesia yang juga memiliki khasanah dokumentasi dan arsip yang penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Maka jadilah mitra arsip IVAA!

Dengan menjadi mitra arsip IVAA, kami berharap sekiranya Anda bersedia untuk memberikan kopi atas arsip tersebut agar dikelola oleh IVAA terutama untuk program Online Archive kami. Dengan begitu, link web dan profil serta logo institusi Anda akan dimuat secara khusus dalam portal tersebut.

Kami tunggu tanggapan Anda segera melalui fax di +62 274 372095, dan email program@ivaa-online.org [cp: Farah/Pitra/Sigit] Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Hormat kami,
Farah Wardani
Direktur Eksekutif Indonesian Visual Art Archive/IVAA

Dedication to The Future!

SELEKSI KARYA
Khusus Untuk MAHASISWA ISI Yogyakarta

ACADEMIC ART AWARD #2
'Dedication to The Future'


Program Hibah Kompetisi A2 Jurusan Seni Murni
FSR ISI Yogyakarta & Jogja Gallery, Yogyakarta

Dunia pemikiran dan praktik seni rupa di Indonesia, kini telah mengalami perkembangan pesat, melampaui batas-batas konvensi. Saat ini terjadi eksplorasi pemikiran dan praktik seni. Akibatnya terdapat beragam cara dan pendekatan pembacaan hingga pemaknaan terhadap karya seni rupa. Namun kenyataan lain berbicara, bahwa pendidikan seni rupa di Indonesia, masih ebrada dalam bentuk yang konvensional, yakni masih berada dalam paradigma seni rupa yang terbagi dalam bidang-bidang minat utama seni lukis, seni grafis, seni patung, desain dan kriya seni. Sebagai suatu model pendidikan, tentu saja hal ini tidak ada salahnya, dan justru harus memperoleh dukungan yang memadai dari berbagai pihak.

Dalam kerangka itulah Jurusan Seni Murni - Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta yang memperoleh dana Hibah Kompetisi A-2, bekerja sama dengan Jogja Gallery, dalam kesempatan ini berkeinginan mengundang Anda untuk mengambil bagian dalam pameran Academic Art Awards / AAA #2 ini dengan tema 'Dedication to the Future' yang akan diselenggarakan di dua kota yakni,

JOGJA GALLERY, Yogya, 17 Des 2008 - 11 Jan 2009.
MUSEUM NEKA, Bali, 23 Des 2008 - 7 Jan 2009.

Guna keperluan tersebut panitia mengundang segenap mahasiswa aktif mau pun non-aktif yang terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Seni Murni FSR ISI Yogyakarta untuk mengikuti seleksi karya pada:

Jumat, 21 November 2008
Tim seleksi: Suwarno Wisetrotomo, Mikke Susanto & Ketua Minat Utama [Lukis, Patung, Grafis, ISI Yogyakarta]
Karya ditunggu mulai 17 - 20 November 2008.
Paling lambat pukul 09.00 WIB di Galeri Katamsi.
Dan telah didaftarkan kepada Bapak Subardi [staf administrasi Minat Utama Seni Lukis].
Catatan: karya-karya yang akan diajukan untuk seleksi, disesuaikan dengan minat utama yang bersangkutan.

Kami tunggu karya-karya terbaik Anda!!!

Jogja Gallery [JG]
Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta 55000 Indonesia
Phone +62 274 419999, 412021
Phone/Fax +62 274 412023
Phone/SMS +62 274 7161188, +62 888 696 7227
email jogjagallery@yahoo.co.id / info@jogja-gallery.com

http://jogja-gallery.com/

Sunday, November 02, 2008

Self Portrait, Portraits Ourselves


A portrait can really talk much regardless the medium, whether painting, sculpture or photography. At present photography has become a popular medium for people to disseminate their self-expression. People can independently share and get feedbacks concerning their self-portraits through online media. These are the faces and discourse of self-portrait of today. Private domains become so thin that public can easily access them. Therefore, we can find out at least how the “faces”, identities, social issues and development of people’s mindsets really are.

Reading Mikke Susanto’s curatorial note for the exhibition entitled ‘Self Portrait : Famous Living Artists of Indonesia’ at Jogja Gallery can give a depiction of the long journey of the history of self-portrait art, from the civilization of ancient Egypt, ancient Rome, Renaissance era to modern era as what is happening in Indonesia and what will end in this exhibition. It is a visual art exhibition that puts forward self-portraits of the famous artists of this country. We can enjoy this exhibition from 7 to 30 November 2008.

Jogja Gallery as a space for displaying and appreciating contemporary artworks of our artists tries to accommodate the issues as mentions above. With the artworks of 32 participating artists, this exhibition shows their explorations of discourses and media in relation to themselves as the objects. The emphasized word ‘famous’ reminds us of the comparison of the fluctuating polemics developing between self-portraits of well-known and not well-known persons.

Approaching the end of 2008, through this exhibition Jogja Gallery would like to invite public to do self-introspection with their own portraits. We are about to enter the gate into national culture of 2009 with fresher and more challenging hope, dream, spirit and struggle.

We would like to express our appreciation and gratitude to all artists participating in this exhibition with their inspiring works. Also we would like to thank to everyone, our partners, sponsors and print and electronic media who have been supporting Jogja Gallery all this time.

Have a nice exploration!

Bambang Soekmonohadi
Member of Supervisors Board of Jogja Gallery

Sunday, October 26, 2008

Scorpio & Scorpio


When two Scorpions make a love match, it is a fierce tempest of intense passion. Both are obsessed with one another, and they move forward in love, sex and romance at an accelerated -- some would say foolish -- way. Personal relations are positively steamy but, to the equal and opposite extreme, disputes will also be frenetically powerful. This relationship could go either way: It will either be the most wonderful thing in the world or a destruction of both involved.

The romantic merger of two sexy Scorpions can bring out the best in both love mates; each will use their intense emotional and intuitive natures to love their partner very deeply. Resolve and passion will keep these two together. The most powerful and threatening external forces will have a difficult time intruding on the happiness of a truly committed Scorpio couple. If they can wrangle their ardent energies, this power pair can set off fireworks.


The Planets Mars and Pluto rule Scorpio. Mars is the ancient God of War, always charging forward -- passionate, aggressive and courageous. Pluto is the higher octave of Mars and controls the power, destruction and rebirthing elements of the Scorpio-Scorpio relationship. These two planets together allow the Scorpion to bounce back after disappointments or tragic losses. Fortunately for the Scorpion, intense passions inflate the importance and loss of everything.


Scorpio is a Water Sign, so their first instinct in love is to respond deeply, passionately, fervently, and if they decide to express themselves, its never done halfway. Scorpios should commit themselves to this goal: Tame the vengeful or vindictive side of their intuitive personalities, and to celebrate the extreme ups and quickly forget the downs. A Scorpio must let go and really say what they want, what they feel, what they need, to their love mates. Pent-up emotions can become toxic, frustrating the one feeling them and confusing the one wondering about them. Because both are so devoted, jealousy may become an issue. Be strong, brave Scorpios, and overcome this hurdle together!

Scorpio is a Fixed Sign. Idea shortages are never an issue with this pair. No couch potato couple this one -- they like to stay active, and they'll accomplish much together. They share a knack for investments and risks -- calculated ones, that is. A Scorpio couple will thoroughly research and investigate an idea if that's what it requires. Once Scorpio love mates set their eyes on the prize, that's it -- it's theirs.

What's the best thing about a Scorpio-Scorpio love match? The intensity of love that this couple can feel. They're very goal-oriented, and their shared power makes them an incomparable, unconquerable duo! Utter devotion ensures that this relationship will continue for a long time.


Self Portrait : Famous Living Artists of Indonesia


Abstrak Kuratorial

Pameran Seni Visual
SELF-PORTRAIT Famous Living Artists of Indonesia
(POTRET DIRI Seniman Ternama Indonesia)

Jogja Gallery, Yogyakarta, 7 – 30 November 2008

I have a face, but a face is not what I am.
(Julian Bell, Five Hundred Self-Portraits, Phaidon, New York, 2000)

Setiap potret adalah duel—antara perwujudan dan peleburan diri; antara obsesi mengintip jiwa yang telanjang dan naluri untuk menyembunyikannya.
(Yudhi Soerjoatmodjo, “Kolam Narsisus Poriaman”, Tempo, 27 Februari 1993)

Hampir dipastikan, dalam sejarah hidup dan karir perupa, ia pernah menggambar dan memotret dirinya. Potret diri (atau “diri” yang lain) berbentuk foto, patung, lukisan, atau seni lainnya menyimpan segudang masalah. Hidup di antara problem mimetik, kesenangan, seni pesanan, atau pada waktu yang sama dibuat untuk sekadar mengejar nilai estetik. Problem tersebut biasanya lahir ketika persilangan antara kesempatan dan konfrontasi diri seniman, antara sifat romantisme dan kecenderungan sentimentalisme (lebih kasar mungkin disebut Narsisme) berbaur.


Potret di sini bukanlah sebuah gambar mengenai aktivitas kehidupan. Potret lebih banyak bergerak pada tataran sebuah catatan peringatan, buah pikir serta akhirnya berfungsi sebagai “korban” atas dirinya sendiri. Sang seniman lebih banyak berujar mengenai banyak hal dalam karyanya dengan memakai tubuh, wajah, imaji tentang dirinya sendiri. Ia tidak menggambarkan realitas dengan sebuah citra atau sekumpulan tanda-tanda di luar dirinya, tetapi lebih pada “mendera” diri untuk mencapai situasi yang kadang tampak ekstrem.


Perkara lukisan potret diri, dalam sejarah seni rupa telah berkembang pesat. Seni potret telah muncul sejak era seni Timur Jauh (1500 SM.) dan Mesir Kuno yang hidup selama 4000-an tahun. Terbukti dengan adanya bentuk potret diri pada lukisan dinding piramid, selain pada bentuk-bentuk seni patung lainnya. Kala itu perkembangan potret memang bukan mengejar penampakan volume dan kepersisan wajah, namun hanyalah sekadar simbolisasi dari raja-raja yang mereka hormati. Seniman pada masa ini belum tampak mengekplorasi dirinya sendiri.
Di era Romawi kuno potret diri mulai terasa naturalistik, setengah bervolume, namun masih nampak dekoratif. Selain pada lukisan, mereka juga mengembangkan pada patung batu, logam dan lilin dengan kecermatan yang lebih berkembang dari masa sebelumnya. Barulah pada abad ke-15 dan 16 di era Kristen kuno di Eropa, potret diri semakin berkembang pada fungsi agama. Di sela penggambaran Maria dan Jesus (atau sering pula disebut ikon) banyak diproduksi untuk gereja, wajah-wajah seniman muncul sebagai bagian dari representasi physiognomy (ilmu firasat) individu, pelukis itu adalah Pisanello dan van Eyck. Pisanello mengembangkan potret dirinya sebagai profil pada medali (logam), sedang van Eyck melukis dirinya sebagai orang lain pada karya Giovanni Arnolfini and his Wife.

Di era Renaissans, potret diri berkembang sebagai bentuk seni pesanan sangat kuat. Para patron, penguasa, pemimpin gereja menjadi pemesan yang sangat dihargai oleh seniman. Ukuran dan gaya lukisannya tampak sedemikian menarik, berkembang lebih bervolume, realistik, dan cenderung dilebih-lebihkan sekaligus romantis: yang jelek nampak cantik, yang cacat dimanipulasi, dan yang biasa dibuat berwibawa. Di masa ini potret diri selain sebagai wujud visual, namun kadang juga dicampuri dengan suasana mitos dan pesan religi. Di sini muncul nama-nama pelukis seperti Veronese, Titian, Tintoretto, Botticelli, dan Velasquez.
Pada era modern seni potret berkembang menjadi aktivitas utama hampir pada setiap seniman. Selain memotret orang lain, sang perupa selalu menyediakan waktu untuk mendokumentasi dirinya pada karya-karyanya sendiri, baik dengan sketsa, lukisan, patung maupun seni grafis. Potret diri seolah telah menjadi satu kajian tersendiri bagi seniman. Ia memiliki fungsi membawa ego seniman-yang merasa telah dikenal oleh publik-sebagai manusia yang patut untuk dilihat, dicatat, sekaligus dihormati.

Tak kurang seperti Rembrandt dengan amat jeli menampilkan perkembangan dirinya sendiri sejak muda hingga tua: berjenggot dan hampir mati. Puluhan potret dirinya lahir sebagai catatan perkembangan seni yang menandakan upaya seniman bahwa sesungguhnya potret diri telah menjadi satu peruntungan dan tanda perjalanan. Paul Cezanne dan van Gogh melukis dengan gaya Impresionismenya, Picasso memunculkan abstraksi potret dirinya dengan gaya kubis, hingga kemunculan seni potret wajah milik Warhol pada pop art yang dibuatnya dengan warna-warna cerah tahun ‘60-an. Di tahun ‘70-an muncul lukisan megapotret hiperrealis milik Chuck Close.


Seni modern Indonesia memunculkan seni potret dengan cerita yang menarik. Raden Saleh memulai dengan kesadaran Romantikisme yang didapatkan dari tempat gaya itu lahir. Ia berhasil mendokumentasi sekian puluh wajah para pesohor Jawa dan beberapa lainnya dengan teknik yang sangat sempurna. Munculnya seni potret Affandi yang berhasil mengeksploitasi dirinya sendiri pada tingkat yang paling ekstrem; menggambar pose telanjang sebagai sarana mengenal dirinya sendiri dengan cara berdiri pada sebuah cermin.

Namun di tangan Basoeki Abdullah seni potret tampil dengan kesadaran mimetik dan kesenangan (pleasure). Dibuat dengan keterampilan yang tinggi dan dalam tempo tak lama. Dari tangannya muncul ratusan karya potret orang lain dan beberapa tentang dirinya sendiri. Bila tangan Affandi menggenggam pisau, tangan Basoeki menghadirkan bunga. Sejak itu seni potret di Indonesia berkembang diantara ribuan ide.


Namun jika melacak berbagai kecenderungan yang lebih umum dalam konteks seni rupa dunia, karya ‘potret diri’ selama ini memiliki kecenderungan:

1. IDENTITAS: Memperlihatkan isu tentang identitas diri di seniman secara utuh, tanpa dibebani oleh isu dan konteks yang lain atau menjadi catatan dan sejarah pribadi dengan kompleksitas psikologi si seniman. (Rembrant van Rijn melukis dirinya sendiri sebagai catatan wajah di setiap usia, bisa lihat van Gogh)
2. TESIS & EKSPERIMENTASI: Memperlihatkan kecenderungan eksperimentasi dan kreativitas media atau teknik dalam visualisasi potret diri. Bahkan dapat pula sebagai bagian dari sarana pengajuan tesis baru dalam kreativitas seni. (Gustave Courbet ketika memproklamasikan Realisme, Egon Schiele dengan memanfaatkan fotografi untuk mengeksplorasi lukisan cat airnya, Salvador Dali dengan gaya surealistik, Dubuffet dengan Art Brut, Yoshimasa Morimura dengan gaya objek buah-nya, Yue Ming Jun atau Fang Li Jun dengan karakter kepalanya yang khasnya)
3. KONTEKS SOSIAL & SEJARAH: Memperlihatkan hubungan antara berbagai hal, situasi dan kondisi yang sedang berlangsung pada saat ini maupun dengan konteks sejarah (masa lalu) peradaban dengan diri si perupa. Dalam hal ini dapat dilihat pula bahwa posisi seniman sebagai makhluk sosial yang berada di tengah-tengah masyarakat. (Leonardo da Vinci pada Monalisa atau Shirin Neshat dalam karya Seeking Martyrdom, 1955)
4. Kecenderungan yang mengarah pada percampuran ide-ide baru yang mungkin belum tercatat dalam sejarah.

Dalam pameran ini diharapkan perupa melukiskan dirinya sendiri (dalam hal ini ekplorasi wajah sangat dan lebih diharapkan), sesuai dan secara jujur diakui sebagai bagian dari karakter yang dimilikinya saat ini. Adapun perihal media, dibebaskan: lukis, patung, grafis, sesuai dengan kebiasaan dalam berkarya seni. Dalam hal ini kurator akan membaca berbagai peragai yang muncul dalam setiap karya potret diri yang dihasilkan perupa. Sampai sejauh manakah wacana ‘potret diri’ di tangan perupa pada masa kini? Perupa dapat melakukan eksplorasi wacana atau disesuaikan dengan gaya karyanya, atau dapat pula memilih kecenderungan (klasifikasi) yang telah diungkap di atas.


Pameran ini mencoba memetakan ‘peristiwa’ melalui wajah para perupa.

Selamat berkarya & salam budaya.

Mikke Susanto [Kurator]

Bicara Asia Tenggara Lewat Seni Rupa



Berbicara mengenai Asia Tenggara, menjadi mahfum ketika saat ini banyak menjadi sorotan karena beberapa negara-negara di bagian ini menunjukkan kepesatan tingkat perekonomian mereka. Dalam dunia politik dan kebudayaan, kita mengenal jargon ”hubungan government to government” dan ”people to people”. Ketegangan-ketegangan yang terjadi antar pemerintah dari dua negara, misalnya, tak selamanya identik dengan yang terjadi pada hubungan antar masyarakatnya, khususnya para senimannya. Dan ketika berbicara pada kotak kesenian dan kebudayaan, sepertinya akan sepakat, bahwa seni dan budaya menjadi salah satu perekat hubungan bilateral maupun multilateral masing-masing negara. Dimana terkadang, seni dan budaya seperti tidak terpengaruh akan fluktuasi suhu politik mau pun ekonomi. Malah selama ini nyaris tak pernah terdengar ketegangan yang serius di antara para seniman dari negara-negara Asia Tenggara. Seni juga bisa menjadi obrolan yang panas pada forum formal mau pun unformal kita di era lintas batas saat ini.

Menjadi bagian dari negara yang berposisi di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peranan penting memeriahkan peta seni rupa global. Di tengah gencarnya promosi karya-karya perupa-perupa Indonesia di luar negeri, serta persaingan wacana pasar dan pasar wacana seni rupa Asia saat ini. Maka, sangat tepat ketika gagasan pameran seni visual perupa-perupa Asia Tenggara ’T.V-I.M’ di Jogja Gallery, Yogyakarta, 17 Oktober – 2 November 2008 ini diselenggarakan. Tepat diselenggarakan di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, dimana di kota inilah pergerakan seni rupa muncul dan menguat. Tepat, di saat fokus seni rupa global saat ini mengarah pada karya-karya perupa asal Asia Tenggara. Saya gembira Jogja Gallery dapat menyelenggarakan pameran ini. Sebab dengan begitu para seniman dapat saling bertukar informasi, memperluas wawasan, membanding-bandingkan, dan lebih dari itu adalah memahami apa yang ingin disampaikan oleh para seniman yang ikut terlibat dalam pameran ini.

Bersama dengan perupa-perupa asal Thailand, Vietnam dan Malaysia mari kita saksikan bersama bagaimana tema-tema indigenous muncul dalam kemasan kontemporer. Karya-karya dari negara-negara tetangga kita, yang kadang terasa jauh padahal dekat, kadang tak masuk dalam perhitungan padahal tetap eksis. Bagaimana keunikan, orisinalitas dan rasa kebangsaan mungkin masih terasa kental dimunculkan lewat karya-karya yang tersajikan kali ini.

Kita tahu, yang diungkapkan dalam seni adalah campuran dari macam-macam perasaan, imajinasi, khayalan, impian, dorongan, naluri, ide-ide, pendapat, yang semuanya berpusat pada nilai estetis karyanya. Sebab seniman pertama-tama didorong oleh nilai keindahan, meskipun bukan keindahan dalam pengertian dangkal.

Meski penyelenggara sadar, belum sepenuhnya bisa menampilkan representasi karya semua negara di Asia Tenggara, setidaknya dan semoga pameran kali ini menambah kerekatan hubungan antar infrastruktur seni kita dengan banyaknya agenda acara pendukung yang menyertai digelarnya perhelatan ini. Menjadi mata rantai yang tak berujung antara perupa, kolektor dan pecinta seni. Juga mengingatkan kembali akan posisi penting perkembangan seni rupa kita di peta Asia Tenggara khususnya dan internasional pada umumnya.

Seni yang baik bisa mengungkapkan keluhuran, keindahan, keanehan, kelucuan, kegembiraan, dan bahkan kekejaman manusia. Seni yang baik juga bisa mengagetkan, menimbulkan kontroversi, dan terkesan provokatif. Sebab melalui karya-karyanya, seniman memprovokasi kita untuk bisa membuka dimensi yang lebih mendalam dari realitas dunia, realitas manusia.

Selamat berpameran kepada para perupa, selamat menikmati karya-karya yang tersajikan kepada para penikmat seni. Tak lupa, Jogja Gallery, Kelompok Seringgit dan Art Societes mengucapkan terima kasih atas apresiasi seluruh mitra kerja, rekan-rekan media, sponsor dan pendukung pameran ini. Kami tak pupus berharap, melalui pameran ini, semoga kita tak pernah lelah berkompromi untuk terus memajukan seni rupa kita.

Salam hangat,
Moetaryanto
Anggota Dewan Penasehat Jogja Gallery

Thursday, February 07, 2008

Komedi Putar, 15 - 30 March 2008


Diskusi Pra Even Kebangkitan Nasional



Notulen Diskusi Pra Even
Pameran Seni Visual 100 tahun Kebangkitan Nasional
‘Setelah 20 Mei*’
Jogja Gallery [JG], 2 Februari 2008, pukul 16.00 WIB – selesai
Narasumber:
DR. Baskara T Wardaya SJ
[Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik / PUSDEP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta]
DR. Sri Margana, S.S., M.Hum, M.Phil
[Staf pengajar Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta]
Moderator:
Mikke Susanto, S.Sn
[Kurator Jogja Gallery]
Pengantar:
Untuk menjaring karya-karya seni terbaik, Jogja Gallery menyelenggarakan diskusi pra even kompetisi seni visual dalam rangka 100 tahun Kebangkitan Nasional ‘Setelah 20 Mei*’. Diskusi ini bersifat terbuka untuk perupa mau pun mereka yang tertarik hubungan antara seni visual dengan sejarah Kebangkitan Nasional. Diskusi ini membahas pergolakan wacana dan polemik tentang Kebangkitan Nasional serta menguak dokumen-dokumen penting berupa foto-foto atau artefak-artefak lain yang terkait dengan hari Kebangkitan Nasional yang telah berusia 100 tahun ini.
Kompetisi ini sendiri diselenggarakan untuk turut memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional yang akan jatuh 20 Mei 2008. Melalui kompetisi ini, Jogja Gallery mengajak para perupa untuk ikut merespon isu kebangkitan nasional. Dimana dalam kurun waktu 100 tahun, kebangkitan nasional bagi kalangan muda Indonesia memiliki penyikapan yang beragam sesuai riuhnya globalisasi yang tak bisa disangkal turut memberi pengaruh pada pola pikir, penyikapan, gaya hidup bahkan kepribadian personal mau pun bangsa Indonesia sendiri. Hasil dari kompetisi seni visual terbuka ini akan dijaring karya-karya [dengan media bebas] yang akan dipamerkan di Jogja Gallery mulai tanggal 20 Mei – 8 Juni 2008. Kompetisi ini juga bertujuan untuk mendapatkan perupa-perupa berbakat dengan mengedepankan kualitas karya melalui penyikapan semangat kebangkitan nasional terkini!

Mikke Susanto: Diskusi ini diselenggarakan untuk mencari berbagai hal dengan tema yang dimaksud agar bisa diungkap dalam bentuk seni visual. Pentingnya even kali ini adalah peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini adalah yang ke-100, dan tidak akan pernah bisa terulang. Mungkin yang peringatan yang ke 200 nanti, cukup fenomenal, itu pun kalau memang masih ada nasionalisme. Sembari kita akan diskusi lebih lanjut tentang Kebangkitan Nasional, selaku pembuka, diskusi ini akan dipandu saya sendiri. Diskusi bersifat terbuka untuk umum, tidak harus perupa yang berminat mengikuti kompetisi dan non formal. Silakan merespon wacana mau pun teknis. Kurator dan manajemen Jogja Gallery [JG] akan menyiapkan diri untuk masalah-masalah teknis.
Memperkenalkan, Romo DR. Baskoro T Wardaya, direktur Pusdep, lebih konsentrasi ke sejarah pasca kemerdekaan secara formal ilmiah. Dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dalam diskusi ini harapannya lebih mengarah kepada kontekstualisasi even-even mau pun program-program yang terkait dengan persoalan politik mau pun sejarah kebangsaaan. Banyak teman-teman seniman yang ingin mendapat inspirasi dari sejarah bangsa. Pameran yang sifatnya terhadap penghormatan sesuatu, telah banyak dibuat oleh banyak galeri di Indonesia. Khusus pada even kali ini, saya lebih ingin mencermati tidak melulu pada penghormatan pada peristiwa, tapi lebih pada perosalan kebangsaaan karena seniman juga bagian dari masyrakat dan bangsa. Ada pijakan utama yaitu nasionalisme. Di sini lebih penting menjadi metafora atau titik kajian yang utama. Ketika kompetisi yang pernah diselenggarakan oleh JG dalam rangka 200 tahun Raden Saleh, dibahas melalui salah satu karya Raden Saleh. Tapi kali ini lebih dibahas lewat even Kebangkitan Nasional secara umum, dimana peristiwa ini sangat jauh lebih muda daripada Raden Saleh, berselang 100 tahun.
KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno: Kegelisahan JG sudah lama kita pikirkan, ketika setahun sebelum Mei 2008 mulai muncul even ini. Kegelisahannya, ini kita mau memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, tapi apa yang terjadi pada bangsa ini? Apakah kita betul-betul sudah bangkit? Padahal kalau kita lihat, problem bangsa ini semakin banyak. Dirunut sejarah, kebangkitan nasional pertama, intinya dari Pangeran Diponegoro hingga munculnya Boedi Oetomo. Seperti Dr. Wahidin Soedirohoesodo keliling dengan sandal jepit memprovokasi tentang kebangkitan nasional. Kalau dipikir gila-gila semua para pendahulu kita. JG dan kita semua sepakat, kita bisa melakukan kebangkitan nasional melalui seni budaya. Sementara pamungkas itu adalah seni budaya. Hasil pendataan riil, yang tidak dilakukan pemerintah, komunitas, penggerak bahkan even seni budaya itu ada ratusan ribu seluruh Indonesia. Indonesia Visit Year tahun ini pun tidak muncul. Dari satu kotak, seni budaya ini, diharap lebih konsisten dengan kompetisi yang dimunculkan. Niat dari JG, kami sadar penuh bahwa mungkin tidak ada artinya, mungkin ada yang mencemooh, tapi kita tetap harus melakukan sesuatu. Terlalu berat ketika kita harus memikirkan kebangkitan nasional yang sesungguhnya. Tapi kita bisa melakukan banyak hal, melalui hal kecil ini. Jadi titip untuk para penulis dan para perupa ikutlah kompetisi ini dengan ‘jiwa’. Karena ‘jiwa’ Anda ada dalam karya ini di kesempatan yang langka, 100 tahun Kebangkitan Nasional kali ini. Kebetulan saya ikut terlibat dalam kepanitiaan yang melibatkan UGM, ketua Prof. Soetaryo. Namun kepanitiaan ini terkesan masih ceremonial. Karena membangun kebnagkitan nasional jaman dulu itu taruhannya nyawa pada masa itu. Sementara kita memperingati kesannya hanya ceremonial. Untuk itu kita harus serius. Mari kita buktikan kita punya aura dan daya yang lebih konkret dan lebih ‘berbahaya’ dan akan terpengaruh melalui pameran kali ini. Semua bisa merasakan kekuatan perjuangan dan kenyataan bahwa ‘perjuangan’ itu tidak habis-habisnya. Marilah kita sambut dengan baik. Pastilah kami banyak kekurangan dan keterbatasan, kami hanya punya niat baik untuk semuanya dalam mengisi satu item yang tidak pernah bisa diukur.
Mikke Susanto: Saya meneruskan rangkaian peristiwa 100 tahun Kebangkitan Nasional. Bahwa akan ada bnayak rekan-rekan di seluruh Indonesia merespon even ini. Saya kira persoalan ini memang menjadi milik kita sendiri, alangkah baiknya, kita harus lebih baik. Dan 100 tahun Kebangkitan Nasional dan peristiwa 10 tahun Reformasi ini tidak jelas arahnya. Satu pembicara yang belum saya perkenalkan adalah DR. Sri Margana, beliau baru saja lulus, 3 minggu lalu dari studi PSd di Leiden, Netherland. Beliau memang bekerja sebagai staf pengajar ilmu sejarah UGM. Apa opini mereka tentang Kebangkitan Nasional. Ada banyak buku dan selebaran, beberapa catatan dari situs internet yang mempertanyakan kembali tentang Kebangkitan Nasional. Mas Margana akan bicara tentang buku-buku tentang konteks sosial politik saat itu. Terutama tentang catatan Ki Hajar Dewantoro tentang Kebangkitan Nasional.
Sri Margana: Selamat sore. Saya memimpikan bisa berkomunikasi dengan komunitas seni. Saya juga suka seni tapi tidak kesampaian, ingin merasa menjadi seniman juga. Saya diberi tugas sama Mas Mikke, ide awalnya adalah bahwa nanti ada peringatan Kebangkitan Nasional dan para perupa bisa mengungkapkan persepsi mereka dan bisa diberikan inspirasi melalui diskusi ini. Maka saya tidak akan cerita sejarah. Saya akan bicara mozaik-mozaiknya saja, yaitu hal-hal yang mungkin tidak bisa diketahui di pelajaran sekolah atau buku tentang Kebangkitan Nasional itu sendiri.
Boedi Oetomo [BO], sebetulnya ada banyak kontroversi yang menyertainya. Ada yg menggugat sangat keras sekali, bahwa BO tidak layak untuk menjadi tonggak kebangkitan nasional hanya karena anggotanya para priyayi Jawa, dan hanya kegiatan sekumpulan priyayi. Kapan sebenarnya Indonesia memperingati Kebangkitan Nasional? Tahun 1948. Yg mempunyai ide, kala itu adalah presiden Soekarno. Tahun 1948 itu adalah periode dimana Indonesia sedang berjuang memproklamasikan kemerdekaan. Kenapa punya ide itu dengan melihat BO, karena Indonesia sudah mulai terbelah-belah lagi, ada perjanjian Renville, Van Royen, yang membuat Indonesia semakin sempit. Maka Soekarno punya ide, mempunyai momen dan kekuatan untuk membangun kembali, semngat Indonesia untuk bersatu lagi. Waktu itu namanya bukan Kebangkitan Nasional, tapi kebangunan nasional. Maka berkumpullah organisasi-organisasi Islam, Kristen di Yogyakarta untuk menyepakati kebangunan nasional, dan diterima. Ada kontroversi datang dari Hatta, tidak setuju. Jangan sampai Kebangunan Nasional menyaingi 17 Agustus. Jadi Indonesia seharusnya hanya punya ada satu hari nasional saja yaitu 17 Agustus saja. Kemudian Ki Hajar Dewantoro menanggapi, tahun 1950, dia juga menyinggung, termasuk peristiwa penyerahan kedaulatan itu tidak disamakan dengan 17 Agustus. Ki Hajar Dewantoro, punya pendapat bahwa Hatta benar tapi juga salah. Salahnya adalah alangkah miskinnya suatu bangsa hanya punya satu hari nasional saja. Kalau perlu kita mempunyai hari nasional sebanyak mungkin. Dan tidak harus, hari nasional tersebut harus menjadi hari libur atau tanggal merah. Makanya ada sebuah buku, banyak buku kontroversi yang muncul, saya baca ya mereka terlalu historis, kan motifnya terlalu akademis, kalau saya ungkapkan di sini bisa lebih kacau. Kemudian saya bongkar buku, di perpustakaan jurusan Sejarah UGM, ada dari Ki Suratman. Ini buku yang ditulis alm. Ki Hajar Dewantoro, mengapa kita memperingati Kebangunan Nasional tgl 20 Mei dan kenapa BO. Ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan 17 Agustus, apakah saat itu juga Indonesia merdeka? Kan enggak, masih ada Agresi Belanda dan seterusnya, masih sampai tahun 50 berperang dan berdiplomasi. Apakah rakyat terbebas dari kaum feodal kan juga tidak. Ketika BO dianggap kebangkitan nasional apakah juga semua orang bangkit. Sebuah nation state itu perlu mitos-mitos untuk kelangsungan hidupnya, salah satunya dengan menciptakan hari-hari nasional. Yang penting kita mempunyai satu momen sebagai mitos nasional sebagai ideologi. Jadi bagi sejarawan, kontrovesi semacam ini biasa. Sejarah selalu subyektif dan tidak perlu diperdebatkan. Kalau melihat dari tingkah laku dan hal-hal yang secara nyata para tokoh-tokohnya, tidak diragukan sedikit pun, bahwa mereka telah melakukan hal-hal yang luar biasa. Saya punya banyak cerita menurut Ki Hajar Dewantoro, 1908 – sampai Indonesia merdeka itu adalah masa Indonesia bangkit. Semua kontrovesi dalam buku itu adalah tokoh-tokohnya. Yang penting perilaku para tokoh-tokohnya ini yang penting ditiru. Misalnya Dr. Cipto Mangunkusumo, dia juga tokoh BO, dia seorang dokter, dokter jawa pertama yang diberi penghargaan oleh pemerintah Belanda, karena berhasil memberantas penyakit pes. Akhirnya dia mengembalikan penghargaan itu kepada Belanda, dan menaruhnya di pantat. Ada tokoh lain, Sosro Kartono, beliau adalah kakaknya Raden Ajeng Kartini, waktu itu dia diundang ke Brussel, untuk memberikan pidato, dia memberikan kritik kepada pemerintah kolonial Belanda, bahwa penjajah sengaja membodohkan rakyat. Kemudian pidatonya itu dimuat di sebuah koran, kemudian profesornya membaca. Kemudian dia bilang kalo promotornya Sosro Kartono masih Snouke Gorgoye, dia tidak pernah menjadikannya professor. Tapi Sosro Kartono adalah orang yang hebat, waktu itu dia juga mendapatkan tawaran, apabila ingin menyudahi disertasinya, maka hutang-hutang dia akan dianggap lunas. Kemudian, dia menjawab, bahwa hutang dia itu adalah satu-satunya kekayaannya, maka kalau diambil sama saja mengambil kekayaannya. Dan masih ada banyak cerita. Apakah sebetulnya yang mendasari semangat kebangkitan nasional. Dr. Ismangun, aktif di Perhimpunan Indonesia, waktu itu dia mau menjalani ujian menjadi doktor. Tapi Ismangun tidak boleh dikasih kursi, dia dikasih tikar. Ada Ali Sastroamijyo, dia ditahan di Belanda, karena dia aktif karena dianggap menghasut untuk membangkitkan semangat kemerdekaan. Ali Sastro waktu dia dipenjara dia seharusnya harus ujian menjadi sarjana hukum, oleh polisi diambil dari tahanan dan menjalani ujian, dia dicecer habis-habisan untuk kelihatan bodoh, tapi akhirnya dia lulus. Jangan hanya menilai sesuatu dari apa yang nampak di kertas, tapi kita juga harus mempelajari tokoh-tokohnya. Saya punya koleksi-koleksi foto. Ini hanya sekadar memberi impresi, rakyat kita seperti apa, supaya bisa memahami lebih jauh. Kenapa BO awalnya bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan. Ketika tokoh-tokoh kita sedang berpikir tentang nation state saat itu. Saya ingin memberikan konteks sosial, budaya potret masyarakat saat itu, seberapa kemajuan dan tingkat kehidupan masyarakat saat itu. Ada festival rakyat seperti memanah dan balap kuda, dalam periode kolonial saat itu. Keadaan seperti ini sebenarnya juga masih bisa kita temukan sampai sekarang. Kemudian apa sih kegiatan para doktor, STOVIA saat itu? Ada image tentang sebuah penyuluhan kesehatan kepada masyarakat. Kepala desa bertugas mengumpulkan penduduknya untuk diberi penyuluhan kesehatan. Ada penyuluhan juga dengan layar tancap. Jadi dokter-dokter waktu itu sudah membuat langkah-langkah nyata. Lewat proses ini persoalan nasionalisme juga bisa disampaikan. Jadi peran dokter memang berpengaruh saat itu, karena pemerintah kolonial bermasalah dengan masalah kesehatan supaya wabah-wabah penyakit itu tidak menjadi masalah dan menular ke para kolonial. Ada image tokoh -tokoh jaman Belanda, Alimin dan Muso. Tiga Serangkai yg mempengaruhi PI menjadi sangat radikal di Belanda. Banyak tokoh-tokoh STOVIA yang bisa melanjutkan studinya di Belanda. Ada cerita tentang Goenawan Mangoenkoesmo, waktu itu dia diundang organisasi untuk memberikan pidato, tapi diprotes karena tidak radikal dan tidak pernah bertemu dengan tokoh-tokoh Belanda, sampai pada acara itu dia mau berkelahi karena dikritik.
Mikke Susanto: Salah satu cara menjaring karya adalah dimensinya yang ilustratif, tidak mesti karya mempunyai konteks sosial saat ini. Jadi dimensi kebudayaan juga punya pengaruh besar terhadap pemikiran di masyarakat saat itu. Selanjutnya disambung oleh Romo Baskoro tentang bagaimana kontekstualisasi sejarah ini pada masa sekarang.
Baskara T Wardaya: Saya kira dengan mendengarkan presentasi dari Mas Margana sudah jelas, saya menambahkan beberapa hal saja, siapa tahu bisa menjadi tambahan masukan, sehingga memberikan inspirasi visual. Mengapa sih kita perlu belajar sejarah? Mengapa kita perlu berurusan dengan sejarah? Mungkin bikin ngantuk atau membosankan, tergantung dari cara pengajaran. Sejarah itu menjadi penting, setidaknya sejarah adalah hal yang membedakan kita di dunia ini. Sejarah yang membedakan manusia dengan benda atau binatang. Hanya manusia yang tahu sejarahnya, maka itu menjadi esensi kemanusiaan kita. Saya kira menjadi turun derajat kita sebagai manusia, apabila kita tidak mengetahui esensi kemanusiaan kita. Oleh karena itu apa pun profesi kita, kesejarahanlah yang menyatukan kita sebagai mahluk yang bernama manusia. Apa sebenarnya sejarah itu? Sejarah dipahami dalam 3 hal, sejarah sebagai peristiwa masa lalu, sesuatu yang terjadi di masa lalu itu kita sebut sebagai sejarah. Sejarah juga bisa sebagai cabang ilmu yang merekonstruksi, menerangkan masa lalu. Sejarah juga bisa disebut sebagai sebuah wacana, entah itu sosial mau pun politik. Nah ini dimensi menarik dari sejarah. Selama ini BO merupakan titik tolak sebagai kebangkitan nasional. Meski ada kontroversi, dimana ada pendapat bahwa Syarikat Islam yang seharusnya berhak untuk itu. Beberapa waktu lalu, Anda mungkin pernah mendengar mengenai dibakarnya buku-buku sejarah. Ada pertempuran wacana di situ. Semasa pemerintahan Orde Baru, sejarah menjadi selektif dan menjadi medan pertempuran wacana, yaitu wacana sosial politik. Nah tadi kita banyak ngomong apa yang disebut nasionalisme. Apa itu nasionalisme? Ada banyak definisi, tapi pengertian umum adalah sebuah pemahaman atau wacana politik yang menerangkan sebuah entitas politik tidak lain ditentukan oleh suku, agama atau garis keluarga [keturunan], tetapi oleh sebuah identitas sosial besama. Nah biasanya muncul atas masa lalu bersama atau ingatan kolektif, maka ada rasa kesatuan dan atau bangsa sehingga ada nasionalisme. Kalau feodalisme itu ditentukan oleh garis keturunan. Sebuah bangsa, ada identitas bersama yang diciptakan, yang bisa disebut sebagai imaging communities, ada sebuah reka bayang kita sebagai bangsa. Semasa pemerintahan colonial Belanda, pengertian mereka bahwa yang namanya Jawa, Dayak, Aceh itu bangsa. Ya pengertian bangsa memang sebenarnya itu. Mulai abad 20 ada pengertian yang melebihi sebuah itu, bahwa Indonesia sebagai bangsa, dan yang lainnya suku. Kalau dibalik, suatu bangsa bisa dipertahankan kalau bisa mempertahankan ingatan kolektif itu. Dalam hal ini, ada ikatan disana. Maka menjadi penting, apa pun profesi kita, kalau masih ingin mempunyai Indonesia, maka kita pelihara ingatan kolektif itu.
Di dalam konteks itulah lahir ide mengenai kebangunan nasional atau Boedi Utomo. Pada waktu tahun ’48, kita mau diserang oleh Belanda, di samping itu ada pertentangan antara tentara pemerintah dan tentara kiri, bangsa ini hampir terpecah-pecah, dan membutuh sesuatu yang menyatukan. Ini salah satu cara untuk mengikat kita sebagai sebuah bangsa. Sebenarnya satu atau dua hal yang bisa kita tambahkan, dr. Wahidin Soedirohoesodo, di Mlati Sleman, ada yang mengatakan dia mendapat pengaruh dari A. Rifai, dia prihatin sejak runtuhnya Hinduisme, Jawa mengalami kemunduran. Yang dulunya bisa membangun Borobudur dan Prambanan yang begitu megah, saat ini mengalami kemunduran. Dia prihatin, seperti masalah pendidikan. Bagaimana rakyat bisa mendapatkan pendidikan modern. Namun seorang Wahidin Soedirohoesodo tidak memiliki uang waktu itu. Kemudian ia ketemu dengan bupati, bahkan dia rela hingga menunggu 10 jam, baru bisa bertemu dengan bupati. Dia memprovokasi lebih dari satu bupati, akan perlunya memberikan beassiwa pendidikan. Bupati-bupati tersebut setuju. Maka Wahidin mengutarakan niatnya akan kebutuhan dukungan dana. Tapi bupati-bupati itu banyak yang menolak ketika harus memberi uang. Akhirnya sampailah dia ke Batavia dan bertemu dengan anak-anak muda. Hingga muncullah sebuah niatan yang berbudi dan bertujuan mulia, maka jadilah gerakan Boedi Oetama [BO]. Hingga ada kongres pertama yang diselenggarakan di Yogyakarta.
Pada satu sisi memang agak problematis, karena ada kelas dibawah priyayi tapi diatas kelas menengah. Ada perdebatan ketika agenda pertemuan di Yogyakarta kala itu. Pertama, adalah kelompok yang wawasannya agak sempit. BO kala itu tidak hanya berurusan dengan orang Jawa tapi juga Belanda, tidak hanya mengurusi bidang pendidikan melulu tetapi juga politik. Sehingga BO tidak murni urusan Jawa. Kemudian ada kontroversi karenanya dan hal itu lumrah, sehingga membuat sejarah itu dinamis. Yang penting bagi kita, ada dan perlunya ingat kolektif itu sebagai identitas sosial dan politis bagi kita. Apa yang bisa kita sumbangkan? Adalah dengan belajar sejarah, dengan melihat foto-foto tadi, di situ kemanusiaan kita ada. Dengan belajar sejarah, kita menggaris bawahi keberadaan kita sebagai manusia.
Sigit [Forum]: Kata kebangkitan bagi saya sangat seksi. Artinya di sini orang bisa bangkit itu biasanya karena ada yang mengelus-elus dan membisiki. Dari sekian foto yang tadi ditampilkan, semuanya berjenis kelamin laki-laki. Nah, sebenarnya ada yang perempuan tidak? Saya pernah bertanya kepada keluarga dari dr. Wahidin. Istri dr. Wahidin itu keturunan Jerman Perancis, jadi memang none Eropa. Dr. Soetomo itu juga istrinya orang Eropa, katanya perawan. Dr. Wahidin juga mewarisi masalah Retno Dumilah, yang artinya seperti kurang lebih adalah air mani. Yang itu juga warisan dari cendekiawan Belanda. Kemudian pertanyaan saya, ini ada hubungan apa antara intelektual Belanda dengan kita waktu itu? Apa hubungan none Eropa dengan tokoh-tokoh kita? Saya mengharapkan ada cerita mengenai itu. Terima kasih.
Mikke Susanto: Dr.Cipto dianggap orang yang paling tua untuk memberi nasehat. Bisa ‘ereksi’ karena distimulus oleh bacaan, bukan karena sentuhan, karena lebih banyak bersentuhan dengan buku.
Baskara T Wardaya: Ada hal yg membuat kita menjadi sebuah bangsa. Pertama, secara internal, karena kesamaan penderitaan di jajah oleh Belanda. Nasionalisme selalu ada faktor internal, misal para pelajar STOVIA ada dalam posisi yang tanggung. Secara eksternal, pada tahun 1901, Belanda memiliki ratu baru, Wilhelmina dengan menerapkan politik etis. Penjajahan Belanda yang terlalu kejam terhadap Indonesia kala itu, dengan politik etis berupaya mengurangi kekejaman itu dengan memberikan edukasi, irigasi, imigrasi. Ini adalah keahlian menangkap momentum. Hal ini dimata seniman itu menjadi sesuatu yang menarik. Kepekaan dan keahlian itu kita harus punya, dimana dimiliki oleh anak-anak STOVIA . Dan dalam sejarah, perubahan itu kebanyakan diawali oleh anak-anak muda, umur 20-an ini.
Forum: Lebih detail apa sih peran Sastro Kartono atau konsep dia tentang konsep nasionalisme? Setelah dia ke Indonesia lagi, kemudian menetap di Bandung. Dalam sejarah tidak pernah disebut-sebut tentang peran dia. Mengutip dalam pidatonya dia, yang juga sangat keras sekali pada Belanda, dia mengatakan bahwa dia akan menjadi musuh bagi siapa saja. Saya ingin tahu lebih detail tentang konsep dia tentang nasionalisme dan Indonesia.
Margana: Sasro Kartono ke Belanda pada awalnya, sebenarnya membawa misi kesenian yaitu memperkenalkan wayang. Dia juga mengenalnya konsep wayang dalam sebuah buku. Dia sangat dekat dengan Abendanon yang sangat terbuka. Saat itu Abendanon adalah Menteri Kebudayan, dia juga memberi inspirasi masyarakat untuk mendirikan sebuah organisasi. Tahun 1893-an, akhir abad 19, masih jauh dari BO waktu itu, tapi sikap dia waktu itu yang sangat menginspirasi mahasiswa adalah ketika dia diperlakukan tidak layak professor-profesor Leiden yang sangat kolot itu. Dia menguasai 13 bahasa, dia satu-satunya orang Indonesia pertama yang menjadi wartawan, dia punya gaji yang snagat tinggi sebagai orang pribumi. Konsep-konsep nasionalisme dia kalau dirunut-runut tidak ada, karena filsafatnya yang ‘kantong bolong’. Yaitu rejeki itu jangan disimpan di kantong sendiri, biarkan kantong bolong, dibagikan rejeki itu kepada yang lain. Dia juga dianggap tokoh klenik. Oleh Soekarno dia dikagumi dari aspek spiritualnya. Makanya Soekarno dalam pandangan-pandangannya lebih njawani dan sinkretisme, Sastro Kartono lebih dihargai karena ke-jawaan-nya itu, sikap-sikap religius dia, bukan dari paham-paham kebangsaaannya. Sosok Kartono sebagai sosok nasional terutama saat di Eropa.
Forum: Dia sempat dituduh sebagai komunis? Apakah ada sikap politis dia untuk hal ini ketika dia kembali ke Indonesia?
Sri Margana: Dia tidak berbuat apa-apa dalam hidupnya. Dia inward looking, kontemplasi, dia dituduh macam-macam tetapi dia tidak pernah merespon.
Mikke Susanto: Ada satu hal yang menarik akan pilihan kita terhadap selera mau pun gaya hidup dari para tokohnya. Sekarang dimensinya menjadi kuat sekali, buat Belanda atau Eropa, hal itu lebih universal, lebih lebar dimensinya. Pikiran untuk tetap menjadi Jawa atau Indonesia mungkin akan menjadi menarik dalam khasanah waktu itu.
Rahma [Forum]: Di awal dikatakan kalau kebangkitan nasional dicetuskan Soekarno, itu 3 tahun sesudah proklamasi. Yang masih menggantung, Soekarno sendiri lebih condong ke pemikiran kiri, komunis. Apa dari statement narasumber tadi dikatakan, tentang bagaimana menciptakan hari nasional. Apakah Soekarno waktu itu, murni membangkitkan nation state atau ada faktor politik untuk mencari pengakuan dari negara luar? Ada faktor politik lain yang melatarbelakangi pencetusan hari itu?
Sri Margana: Perhatian Soekarno waktu itu atas usul kebangkitan nasional adalah karena dia melihat masih adanya bahaya mengancam atas kedaulatan Indonesia saat itu. Tahun ‘48 itu agresi Belanda akan datang, demikian pula dengan perjanjian Roem Royen justru membuat Indonesia menjadi terbelah-belah. Dan dia melihat sebagian tokoh-tokoh nasional waktu itu juga terbelah pemikiran tentang Indonesai yang merdeka. Maka kita perlu sebuah mitos nasional yang bisa menjadi kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan. Orang sudah merdeka kok masih merundingkan tentang kedaulatan. Jadi jawabannya adalah murni karena Soekarno prihatin atas kedaulatan kebangsaaan Indonesia.
Choirodin [Forum]: Seperti tadi sudah dijelaskan, saya ingin mengaitkan langsung dari spirit yang diambil, dimana ketika kemerdekaan ada ancaman sehingga muncul sebuah statement kebangunan nasional. Apa yang diharapkan dari even ini, kompetisi atau pameran seni visual itu sendiri? Konsep budaya itu minimal bisa berpartisipasi dalam momen tersebut. Karena untuk konteks saat ini menurut pengamatan saya sendiri, seakan-akan juga sama halnya dengan kejadian saat itu, cuman beda konsep, dimana nasionalisme juga diambang kehancuran. Tidak sebatas territorial, lebih dari masalah identitas kebangsaaan, atau kebanggaan menjadi Indonesia.
Mikke Susanto: Selaku kurator, pada awalnya keinginan untuk membuat even ini muncul sesungguhnya dari berlalunya 10 tahun Reformasi. Ini harus kita rayakan bersama, menjadi satu momentum, mengipaskan kembali sensibilitas kita semua, untuk memunculkan satu gerakan budaya. Membangkitan lagi persoalan kita saat ini. Tujuannya bukan persoalan kemerdekaan lagi, ada banyak hal yang muncul yang menjadikan kita kriris. Seperti hak royalti, hak kita sebagai kebudayaan atas itu yang diambil. Terkait dengan tujuan pameran ini, bahwa kita ingin memperingati, tidak berhenti di situ, peringatan ini harus melahirkan satu statement, bahwa kita masyarakat seni di Yogyakarta, mampu memberi satu jalan untuk menggugah persoalan-persoalan itu, menggambarkan persoalan di tengah masyarakat kita ini. Apakah ini masih sensitif bahwa ini masih masalah atau bukan? Apakah kita masih punya ingatan kolektif ini? Saya gembira banyak berita bahwa kompetisi ini banyak direspon oleh para perupa di berbagai kota. Memang karena keterbatasan ruang sehingga harus menyeleksi. Beberapa hal mengenai sebuah karya masuk selseksi atau tidak, bisa dilihat kriterianya dalam brosur yang manajemen JG distribusikan. Persoalan lain adalah para tokoh, penghargaan kita terhadap imajinasi para tokoh ini untuk membentuk masyarakat bersama, meski agak membingungkan ketika bahwa ada Belanda maka kita ada. Persoalan wacana, itu akan menjadi polemik lagi, karya-karya Anda akan sangat mungkin didebat oleh publik. Persoalan kontekstualisasi masyarakat sekarang. Jadi itu hal-hal yang ingin saya tangkap.
Baskara T Wardaya: Saya ingin bicara seusatu yang mungkin tidak berkait langsung dengan kegiatan. Mengapa sejarah itu penting, saya guru sejarah, jadi harus promosi. Yang menurut saya yang agak lemah, dan akibatnya 2 minggu terakhir, cara berpikir logis kita itu agak lemah dan itu dibombadir dari luar, sehingga kurang kritis. Kita lagi ribut soal pahlawan, apakah alm. Soeharto layak disebut pahlawan dan sebagainya. Sementara definisi pahlawan itu adalah yang berjuang melawan Belanda. Misalnya Diponegoro, padahal dia hanya berjuang untuk Tegalrejo misalnya. Bahwa saat itu belum ada yang namanya Indonesia [ada Indonesia setelah tahun 1908 dan seterusnya]. Sebenarnya ada anak-anak muda yang berjuang, namanya 26 di Jawa, 27 di Sumatra, mereka berjuang untuk Indonesia. Sayangnya mereka PKI, sehingga tidak diakui. Nah bagaimana selektifnya kita akan hal itu. Maka definisi pahlawan perlu dipertanyakan lagi. Kita semua terpukau oleh media massa itu dan marilah kita berpikir ulang akan itu. Saya kira sejarah membuat kita berpikir misalnya tentang hal itu, sehingga kita menjadi bangsa yang kritis. Tugas kita bersama untuk kembali ke sana, situasi kita agak berbeda tapi mirip.
Sri Margana: Ini menjawab kegelisahan tentang kehilangan identitas ke-Indonesia-an itu, kita semua merasa kehilangan kebanggaan ke-Indonesia-an itu. Apa yang diharapkan saya kira adalah sampai sekarang semangatnya itu yang masih dibutuhkan. Makanya kita harus selalu terus membangun kebangunan itu, didengung-dengungkan terus, supaya menjadi semangat. Membangun visi itu harus punya perspektif ke belakang, punya pengalaman sejarah yang kuat. Masyarakat kita sendiri punya apriori dalam sejarah. Tidak ada yang bisa dijadikan panutan. Maka tugas seniman-seniman mengambil alih fungsi itu dengan sense of art itu melalui karya-karya mereka, sehingga publik menjadi lebih mudah menerima, daripada membaca teks sejarah yang membuat ngantuk.
Mikke Susanto: Diskusi ini hanya satu penggal, irisan kecil dari cerita kebangkitan nasional. Satu hal kecil ini bisa menjadi banyak hal untuk ke depan. Harapan saya sebagai kurator dan manajemen JG, kesenian jaman sekarang itu bebas, tidak ada kungkungan sebagai penggiat seni dari penguasa dan dari mana pun. Bagaimana menelurkan persoalan bangsa ini menjadi lebih menggigit, saya kira di situ pentingnya kaitan antara displin ilmu untuk bisa berkait terus di Jogja Gallery. Kalau waktu itu di tahun ‘70-an, ada poros Malioboro, Gampingan dan Bulaksumur, intens dikerjakan. Di tahun ‘80-an akhir, ‘benang’ itu sudah mulai putus. Jogja Gallery diupayakan sebagai media baru supaya kawasan utara dan selatan menjadi satu melalui keberadaan Jogja Gallery. Kesimpulan akhir berkaryalah yang bagus supaya masuk seleksi. Tidak ada batasan apa pun soal teknis, bias membuat statement baru tentang apa itu seni jaman sekarang. Dan opini Anda tentang kebangkitan nasional akan terus diharapkan.
Selesai.
Informasi dan keterangan selanjutnya, silakan menghubungi
Jogja Gallery [JG]
Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta 55000 INDONESIA
Telepon +62 274 419999, 412021
Telepon/Fax +62 274 412023
Telepon/SMS +62 274 7161188, +62 888 696 7227
Email jogjagallery@yahoo.co.id
info@jogja-gallery.com
http://jogja-gallery.co