Wednesday, August 26, 2015

Kumbang Kinetik


Facebook mengantarkan perkenalan saya dengan Dedy Shofianto. Seorang seniman muda, spesialis kriya kayu. Foto profil Dedy waktu itu adalah karya dia. Foto itu membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang Dedy. Karya dalam foto itu berupa bentuk binatang serangga yang terbuat dari potongan-potongan kayu yang dirakit. Saat lihat di foto tersebut, saya pikir karyanya statis, hanya seperti patung kayu yang diam. Tapi ternyata tidak! Karya serangga kayu rakitan itu bisa bergerak. Sayapnya naik turun, terlihat pula gear yang juga terbuat dari kayu bergerak memutar. Digerakkan dengan dinamo kecil, karya seperti ciptaan Dedy ini disebut dengan kayu kinetik. 


Karya Dedy "Seeking Indentity" yang digerakkan dengan teknik manual.
Kinetic art merupakan perpaduan antara unsur seni dan teknologi mekanis dipercaya tetap mampu memberikan nilai estetik yang inspiratif bagi para penikmatnya (sumber web Edwin Gallery). Sedangkan dikutip dari buku Diksi Rupa, yang dimaksud kinetic art atau seni kinetic atau patung bergerak (sculpture in motion) menurut R Mayer, kinetic art mengarah pada karya seni yang menkonstruksikan elemen bergerak dengan sumber tenaga, bisa artifisial (buatan) maupun ilmiah. 


Dedy memang bukan seniman pertama kali yang berkarya dengan media ini. Sebelumnya ada seniman lebih senior ketimbang dia, Rudi Hendrianto yang juga berkarya dengan kayu kinetik. Selisih hampir 1 dekade dengan Rudi, Dedy memang baru saja menyelesaikan TA (tugas akhir) dari jurusan seni kriya, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta (2015). Dedy mengaku belajar banyak dari Rudi Hendriatno dan juga senior lainnya yang berkarya dengan media kayu, seperti Abdi Setiawan. Menurut penuturannya, ia baru mulai membuat karya kayu kinetik sejak 2 tahun terakhir. Sebelumnya dia membuat karya ukir-ukiran. Dan ia masih sangat antusias menekuni karya berteknologi ini hingga beberapa tahun ke depan. 


Saat ini Dedy sedang mengeksplorasi binatang kumbang tanduk (oryctes rhinoceros) sebagai obyek karyanya. Dikutip dari lembar intisari halaman TA-nya, Dedy mengatakan kumbang tanduk sebagai inspirasi penciptaan karya seni kinetik kriya kayu karena memiliki beberapa kelebihan, yaitu keindahan kumbang tanduk dan seni kinetik. Disamping itu, menurut penuturannya Dedy kecil sering bermain adu tarung kumbang tanduk bersama teman-temannya. Ini pula yang mendasari minatnya memilih jenis serangga berukuran rata-rata 10-15 cm ini sebagai materi utama karyanya.

"Evolution" | kayu jati, jati Belanda/pinus, elektrik motor | 120 x 100 x 114 cm | 2015


Untuk memperjelas anatomi kumbang jenis ini, Dedy membeli kumbang yang diawetkan dari seorang penjual koleksi binatang serangga di kawasan Kotagede. Harga kumbang yang diawetkan itu sekitar Rp 100ribu. Semakin besar kumbangnya, semakin mahal. Atau darimana kumbang itu berasal, misalnya kumbang import, maka biayanya juga semakin mahal. Si penjual sempat heran, karena Dedy baru pertama kalinya anak ISI yang datang ke tempatnya untuk membeli koleksi serangga. Karena biasanya, mahasiswa-mahasiswa jurusan ilmu science seperti biologi dari UNY atau perguruan tinggi lainnya yang sering request berbagai serangga untuk kepentingan studi.

Dedy kemudian ‘membongkar’ kumbang yang sudah diawetkan itu untuk dipelajari anatomi tubuhnya. Sehingga ia sangat paham struktur bentuk tubuh kumbang tanduk. Dengan demikian, ia bisa sangat percaya diri medeformasi sedemikian rupa karya-karya kumbangnya berdasar anatomi yang sudah ia pelajari sebelumnya. Bisa saja ia mengubah sayap, tanduk depan atau kaki kumbang di karyanya lebih terkesan ekstrim hingga lebih mirip monster atau binatang hybrid. Sehingga si kumbang memiliki rumah di badannya atau bahkan lebih mirip kalajengking. 


Dedy juga memperhatikan porsi ukuran karyanya. Karya Dedy rata-rata berukuran 100 x 100 x 100 cm. Maka ia harus memperbesar ukuran asli kumbang tanduk koleksinya. Kumbang asli yang berukuran panjang 10 cm misalnya, akan ia buat 10 kali lipat lebih besar; maka ia mengukur skala yang tepat untuk memperbesarnya. 

Karya Dedy yang ditempel di tembok. Judul 'Mekanik Kepala Kumbang Tanduk' | 2015

Menariknya karya Dedy adalah dia menggunakan potongan-potongan kayu jati, jati belanda/pinus bekas yang ia ambil dari pembuat furniture. Bahan kayu jati ini dipilih dengan pertimbangan kualitas karakter kayu jati yang memiliki serat bagus. Biasanya ia beli sekarung, isinya macam-macam ukuran potongan kayu. Semakin besar ukuran potongan kayu itu, semakin mahal juga ongkos penggantinya. Di samping itu, Dedy memilih untuk tidak memakai zat kimia untuk membuat kayu lebih mengkilat. Tapi dia memakai teknik sangkling, yakni menggosok kayu dengan kayu hingga mendapatkan warna mengkilat dan kesan alami pada kayu tersebut. Apakah awet? Iya kata Dedy. Kayu dijamin tidak akan dimakan rayap. Meskipun tidak dilapis zat kimia, kayu tetap awet dengan teknik sangkling karena kayu yang dipakai adalah kayu jati. Karena ia menggunakan teknik sangkling ini, ia harus dua kali kerja. Pertama ia rakit dulu potongan-potongan kayu hingga membentuk karya, kemudian ia bongkar untuk dilakukan teknik sangkling, setelah itu baru dirakit kembali. Keistimewaan lainnya adalah Deny termasuk seniman yang bisa dihitung dengan jari, yakni seniman yang menggunakan karya kinetik (menggabungkan sains, teknologi dan seni) dan menggunakan hampir 100% media kayu pada karyanya.



Detail
Karya Dedy semuanya serba kayu, Kecuali dinamo dan kabel-kabelnya.  Untuk bodi karya ia gunakan kayu jati, untuk pusteknya ia gunakan kayu jati Belanda (kayu packing). Pustek penyangga karya menjadi satu kesatuan dengan karya tersebut. Gear untuk membentuk putaran pun ia bikin dari kayu, sehingga harus sangat presisi sehingga bisa berputar dengan sempurna dan tidak retak. Persoalan presisi merupakan salah satu kesulitan dalam membuat karya ini. Bila tak presisi karya tidak bisa bergerak sempurna. Ia juga harus memperhatikan serat kayu, bila tidak kayu bisa patah atau pecah. Satu karya berukuran 100 x 100 x 150 cm bisa dia selesaikan dalam waktu kurang lebih 1 bulan. Untuk mempersiapkan karya TA, ia membuat 6 karya dalam waktu 4 bulan. Saat ini ia masih berkarya di rumah kontrakannya dekat kampus ISI Yogyakarta. Rumah kontrakan ini ia gunakan juga sebagai studio kerja. Ia juga sudah memiliki sendiri alat potong kayu sehingga ia leluasa berkarya. 

Dedy Shofianto lahir di Sungai Bulian, Jambi 15 Desember 1991. Namun demikian sejak kecil ia sudah sering bolak balik Jambi Yogya. Sekolah dasar hingga SMP ia sekolah di Yogya. SMP hingga SMA kembali ke Jambi. Dan akhirnya kembali lagi ke Yogya untuk kuliah di ISI. Berbagai prestasi pernah ia raih antara lain juara pertama lomba prototype kriya FKY ke 25 & 26 (2013 & 2014), karya terbaik pameran Dies Natalis ISI Yogyakarta ke 28 & 29 (2012 & 2013). Dedy tercatat aktif mengikuti berbagai pameran bersama sejak 2010. 

Foto-foto diambil dari facebook Dedy Shofianto  https://www.facebook.com/shofiantodedy?fref=ts 

Koran Sindo, Kamis 10 September 2015, hal 9-10.
 
Tribun Jogja | Minggu 20 September 2015 | Halaman 18.

Tuesday, August 11, 2015

Buku Sketsa Solichin


Baca juga: Solichin si Pelukis Realis - http://nunukambarwati.blogspot.co.id/2015/10/solichin-si-pelukis-realis.html

Tampilan buku The Sketchbook Solichin.

Ini merupakan gagasan yang menarik. Mengkombinasikan paket yang komprehensif dan menonjolkan keunikan. Saya menyebutnya sebagai sebuah gabungan berbagai seni yang dikemas cerdas, elegan dan cantik, terbit dari passion yang keluar dari hati. Bila kita mendapatkan buku ini, kita bisa mengurai bahwa disana ada seni penerbitan buku, seni rupa berupa sketsa/lukisan, seni menjual, seni arsitektur dan nilai historis heritage yang kental. Idenya adalah residensi seorang seniman otodidak, bernama Solichin, asal Semarang. Ia melakukan residensi di Losari Resort & Spa di kawasan nan sejuk, Magelang. Losari merupakan kawasan perkebunan kopi masa kolonial yang dilengkapi dengan tempat pengolahan kopi. Perkebunan kopi (plantation) di Losari masih dikembangkan, namun bangunan kolonial di sekitarnya, kemudian difungsikan sebagai resort yang telah dikembangkan berikut paket wisata yang berhubungan dengan kopi dan tradisi. 

Seniman melakukan residensi di Losari selama waktu yang disepakati. Membuat studi sketsa tempat atau sudut tertentu di resort tersebut yang memiliki nilai historis atau keunikan yang terdeskripsikan menarik. Kemudian kumpulan sketsa tersebut dibukukan. Diberi pengantar di setiap sketsa yang digambarnya. Bukunya dicetak hardcover, sampul sederhana warna coklat tua polos dengan teks judul buku warna emas. Dicetak dengan kualitas tinggi dan berbahasa Inggris. Sangat recommended menjadi souvenir yang elok bagi kolega atau tamu khusus pengunjung Losari Resort & Spa tersebut. Buku ini terasa intim dan hangat saat diterima, serasa mendapatkan karya-karya sketsa Solichin dengan spesial meskipun bukan karya aslinya.

Tak hanya itu tentunya, kala itu saya berkesempatan menghadiri acara pembukaan pameran di Losari, disertai dengan pameran sketsa original karya Solichin dan mengundang tamu-tamu untuk makan siang, santai menikmati suasana resort yang dingin, ngobrol ringan hingga lobbying dan juga melakukan charity. Buku ini menjadi sebuah artefak berharga dari sebuah proses. Yang lebih menarik adalah sebuah kombinasi marketing yang terpaket elegan, indah dan multi segmen bukan. Bagaimana tidak? Buku ini kemudian jelas bermanfaat bagi para pecinta traveller, perhotelan dan pariwisata, penggiat heritage dan seni rupa itu sendiri.

Salah satu karya Solichin dalam buku tersebut.
Solichin yang saya kenal memang bukan lulusan sebuah perguruan tinggi seni. Solichin seorang otodidak dalam berkarya. Tetapi karya realisnya memang kuat, meski ia perlu memiliki pengayaan lebih dalam pada detail saat menggambar figur saat saya kenal dia tahun 2008 itu. Gaya lukisan Solichin berupa sketsa dengan pensil dan realis. Sayangnya saya belum mendapat informasi, kenapa Solichin yang dipilih dalam proyek ini. Dalam buku tersebut, Solichin berhasil mendokumentasikan Losari Resort & Spa berupa 26 karya sketsa plus 2 sketsa wajah (dirinya sendiri dan Grabiella Teggia), bertitimangsa antara 2003 hingga 2007, semua berukuran sama. Semuanya menggunakan media pensil di atas kertas. Kertas yang digunakan dalam buku tersebut pun, sejenis kertas untuk membuat karya sketsa tapi berbahan tebal. Sehingga meskipun buku ini hanya berisi 46 halaman, tetapi tebalnya 1,5 cm karena kertas yang digunakan tiap halamannya sudah tebal. 

Solichin menggambarkan beberapa ruangan, mulai dari ruang resepsi (menerima tamu), villa, taman dan restoran di tempat itu. Bahkan hingga sebuah pohon klengkeng atau monumen kecil di kawasan tersebut. Salah satu yang menarik, ada sketsa berjudul ‘The Unfinished Elephant’, pencil on paper, ukuran 49,5 x 34,5 cm, 2003. Di sebelah halaman sketsa tersebut diberikan deskripsi pendek mengenai gambar yang ada dalam sketsa itu, dalam bahasa Inggris: ‘The Unfinished Elephant. At Muntilan Village, there was an artist, famous stone carver, descendant from the ancestors who carved the Borobudur Temple. When I stopped, he was carving three small stone elephants. “Stop… stop”, I said. “ I want them unfinished”. He did not understand why'. Setiap deskripsi yang menyertai sketsa Solichin disusun oleh Gabriella Teggia, ia dikenal sebagai konseptor hotel bernuansa butik, Amanjiwo dan Losari, keduanya berlokasi di Magelang, Jawa Tengah. 
Profil Gabriella Teggia & Solichin berikut sketsa wajah mereka yang termuat dalam buku.
Solichin lahir di Semarang, tepatnya 23 Desember 1968. Orang tuanya memberi nama Ahmad Solichin. Segera setelah dia lulus tahun 1995, dia mencoba peruntungan di bisnis Stock dan menjadi stock broker di Semarang. Kemudian dia menyadari bahwa itu bukan dunianya dan dia memutuskan untuk berubah tujuannya. Memilih Yogya sebagai kota tempat tinggalnya, Solichin kemudian memulai hidup barunya sebagai seniman di tahun 2002. Disamping sketsa, dimana itu merupakan keahliannya, Solichin juga merupakan pelukis yang berbakat. Ia memilih aliran realis untuk gayanya. Ia percaya bahwa realisme merupakan cara terbaik untuk menggambarkan dunia dalam sebuah kanvas.


Buku berdimensi 15 x 22 x 1,5 cm, dengan judul lengkap ‘The Sketchbook Solichin. Losari Coffee Plantation Resort & Spa’, merupakan terbitan Losari Coffee Plantation & Spa, Magelang. Diproduksi oleh Naturatama, yang berbasis di Jl Kaliurang, Yogyakarta. Naturatama digawangi oleh pasangan suami istri Ratna Amatsari T & Nanok Tunarno yang memang dikenal handal dalam hal mendesain sebuah terbitan mulai dari konseptor hingga sebuah buku/majalah terbit. Ditengok dari karya-karya sketsa yang dihasilkan Solichin antara tahun 2003-2007, buku ini toh akhirnya terbit di tahun 2007. Betul-betul sebuah proses. Maka menurut saya, hal ini layak dicopi oleh seniman-seniman yang berniat melakukan residensi. Agar bisa berpikir multiside, multibisnis, multisegmen, berkarakter serta long lasting. Sehingga apa yang dihasilkan dari residensi tidak sekadar hanya berkarya di tempat lain dalam waktu tertentu, pameran dan selesai. Tetapi tentu saja, ini memerlukan sinergi berbagai pihak. Seperti penyandang dana untuk penerbitan buku, penulis, kurator, venue, publikasi dan marketing buku itu sendiri ketika telah terbit dan sebagainya; tentu bukan perkara murah. Tapi setidaknya patut dicoba bukan, banyak hal bisa dieksplorasi !
Greeting dari Mbak Ratna Amatsari :)