Thursday, January 24, 2013

Keindahan Dalam Diam


KEINDAHAN DALAM DIAM
Pameran tunggal seni rupa oleh IMAM SANTOSO

Pembukaan:
MINGGU, 27 Januari 2013 | pukul 19.30 WIB
di Tirana Artspace,Jl Suryodiningratan 55 Yogyakarta
Pameran akan dibuka oleh Mikke Susanto
Teks pengantar pameran oleh
Shahrul Hisham Ahmad Tarmizi
(seniman asal Malaysia & staf pengajar di UiTM,Malaysia)

Dimeriahkan oleh acoustic music performance Agus (biola) & Cahyo (gitar)

Keindahan dalam diam adalah bagian dari proses saya untuk menghasilkan pencapaian karya yang lebih baik.Lebih banyak perenungan, mengkaji dan menyadari secara lebih dalam ke dalam sebuah jiwa yang penuh akan harapan,keinginan, cita-cita,pergolakan, kegelisahan sekalipun penyesalan dan rasa putus asa yang dangkal. Bertanya kepada diri sendiri akan sebuah arti, mempersoalkan persoalan yang sedang terjadi bukan dari luar sekali pun isu-isu besar, namun lebih ke dalam, karena setiap orang berhak mempunyai cerita dan bercerita secara subyektif.

Diam adalah bagian dari proses untuk menemukan sebuah jawaban. Dan jawaban adalah langkah pertama untuk mendapati sebuah pencapaian.Sekalipun kita akan selalu disibukkan dengan pertahanan di dalam sebuah kesuksesan.Proses, yang jujur dan apa adanya... Yang akan saya jadikan pijakan untuk melangkah, proses yang mengerti dan menyadari akan seberapa kapasitas kita untuk berjalan... Dan kenyamanan menjadi hal yang saya anggap penting, sebagai sebuah jalan untuk menemukan jawaban.

Maka, sendiri itu menjadi hal yang perlu dilakukan, monolog dan berpikir, berkompromi dan bersahabat dengan jiwa yang selaras dan seimbang untuk membawa dan membagi kehidupan kita di dalam dunia idealis dan kehidupan yang realistis. Sebuah harapan besar bagi saya untuk tidak segera mengakhiri proses ini dengan cepat, dan menjadi keinginan bagi saya untuk tidak berhenti mempunyai kegelisahan, semoga.
[Imam Santoso]

Pameran berlangsung hingga 25 Februari 2013
Buka setiap hari pk. 9 pagi - 9 malam
Gratis dan terbuka untuk umum.

Informasi selanjutnya silakan kontak:
TIRANA ARTSPACE
Jalan Suryodiningratan 55 Yogyakarta 55141
ph.0274 411615,081 827 7073
e. tiranahouse@yahoo.com atau qnansha@yahoo.com
www.facebook.com/TIRANAHOUSE
http://q-nansha.blogspot.com

Pengantar pameran

‘Keindahan dalam Diam'

Imam Santoso (lahir di Yogyakarta, Juni, 1986), lulusan jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta tahun 2011. Imam hadir untuk penikmat seni di Tirana Artspace untuk memaknai 11 karya drawing (ballpoint di atas kertas) dan 2 karya diatas kanvas, yang ia kemas dalam satu tajuk ‘Keindahan dalam Diam’. Tema ini sangat lekat dengan karakter seorang Imam Santoso. Dia mudah berbaur, tak suka banyak komentar soal apa pun, lebih memilih diam mengamati dan menyimpulkan sesuatu. Imam dikenal sebagai pribadi yang baik dan sangat akomodatif juga menghargai sahabat-sahabatnya. Karakter Imam yang bersahaja juga terbentuk karena kecintaan menyusuri gunung dan alam kala banyak waktu senggang.

Hal tersebut kemudian banyak terdeskripsikan pada karya-karyanya. Misal karya dengan judul ‘You are a sign to Find Me’ tergambarkan seseorang yang sedang berdiri di depan sebuah cermin. Melalui karya itu, Imam menyampaikan setiap kita bertemu dengan seseorang, pribadi tersebut kemudian bagaikan sebuah cermin untuk berkaca dan melihat diri kita sendiri. Tak jauh berbeda dengan karya ‘Mencari Tempat Sembunyi #1’ dan #2, disini Imam berbicara mengenai pencarian jati diri, siapa kita dan bagaimana kita seharusnya. Kadang pencarian tersebut harus dilakoni dengan sebuah renungan, menyepi dan menyendiri, untuk bagaimana kita bertindak selanjutnya. Tulisan Shahrul Hisham Ahmad Tarmizi kemudian sangat tepat ketika ia memberi judul ‘Pencarian Primitif yang Surealis di dalam Keberadaan Imam Santoso’. Imam seolah-olah terus gelisah atas pencarian atas dirinya sendiri. Membuatnya terus belajar dari banyak hal dan banyak pribadi yang ia temui. Eksplorasi-eksplorasi emosi atas dirinya yang masih muda, tergambar juga lewat karyanya berjudul ‘Amuk Asmara’ dan ‘Bagaimana Cara Mengalahkan Api’. Dua karya tersebut menggambarkan bagaimana kita mengemas emosi, mengalahkan ego diri sendiri dan mensiasatinya untuk dijadikan energi yang positif.

Bagi Imam, kenyamanan adalah faktor utama. Kali ini Imam banyak hadir dengan media ballpoint di atas kertas. Tidak ada alasan lain yang melatarbelakangi pemilihan medianya, kecuali faktor nyaman tersebut. ‘Saya lebih nyaman dengan ballpoint’, tegasnya waktu itu. Ketika saya tanya kenapa memilih tema ‘Keindahan dalam Diam’ pun, jawaban yang dilontarkan sama, nyaman dengan judul itu. Begitulah karakter Imam, sederhana, lebih memilih di belakang layar, lebih suka mengamati dari kejauhan.

Nunuk Ambarwati
Tirana Artspace

Pencarian Primitif yang Surealis di dalam Keberadaan Imam Santoso.


“ I see no reason to say anything at all about any artist. Maybe only to mention the name, mention certain works, to attract the attention of the reader: that I understand. After the reader’s attention has been elicited, then the artist has to present himself: I’m no longer interested. I present my own reflection, which maybe, or maybe not, connected to the artist or to art in general”[1]
                                                                                                                (Brian Dillon, 2009)

Perkenalan saya bersama Imam Santoso telah lama berlaku, sewaktu saya ke Jogjakarta mengikuti program NAFA’S residensi. Secara jujurnya niat saya menulis sama seperti yang dikatakan oleh Brian Dillon. Walaupun pada hakikatnya penulisan saya belum pasti memenuhi kehendak kritik seni (Art Critism), tetapi saya merasakan saya harus menulis, atas dasar seorang rekan. Dari mata seorang rekan yang beribu batu jauh, dari Malaysia ke Indonesia. Walaupun realitasnya saya juga sama seperti Imam, seniman kecil yang wujud dalam kelompok seni yang besar.

Brian Dillon menyangkal pendapat neutrality dan menyatakan tiada seni yang bersifat objektif. Bagi saya pandangan beliau berlawanan dengan kesenian dan kebudayaan masyarakat timur yang sangat sophisticated. Beliau menjelaskan keberadaan seni tidak mempunyai satu sistem khusus[2]. Ini mungkin boleh disamakan dengan suatu corak pemikiran yang bersifat otomatis. Sama seperti seseorang individu yang menghasilkan seni secara Automatism. Bagi saya Automatism ada kaitannya dengan primitif. Namun perlu dilihat dari kaitan dan peranannya terhadap nilai kemanusiaan.

Saya tertarik dengan kata-kata John Berger:

“ The primitive begins alone: he inherits no practice. Because of this the term primitive may appear at first to be justified. He does not use the pictorial grammar of the tradition – hence he is ungrammatical”[3]

John Berger menyifatkan seni primitif sebagai suatu yang dianggap tidak profesional dan hasil seni naïve. Namun bagi saya pandangan naïve hanya untuk anak-anak kecil yang belum mengenal seni (mungkin boleh disamakan dengan Automatism).

Sewaktu saya membaca karya Iman, tumpuan saya terus kepada kewujudan intipati kemanusiaan dan spiritualitas. Ini jelas kelihatan apabila saya merujuk eksplorasi masyarakat tradisi (primitif), contohnya dalam karya lukisan gua. Seniman barat seperti Paul Klee, Constantin Brancusi, Picasso & Henry More telah merujuk dan terpengaruh dengan gaya dan pendekatan hasil seni primitif (artistic form of primitive societies).[4] Persoalannya secara sadar atau tidak, Imam bukan sekadar berbicara tentang limit pengukuran dekoratif dan nilai ekspresif yang tertumpu kepada susun atur penggayaan primitif.
Imam menyusun perihal lukisannya berdasarkan sesuatu nilai yang mungkin bercorak autobiografi dan simbolik. Apa yang menariknya karya dia agak ‘sopan’ dengan karakter yang terlindung raut wajah, bentuk subjek yang kecil dan minimal yang dilukis memenuhi ruang kertas. Seolah-olah seperti sebuah perayaan atau ‘setting’ yang disengajakan, atau plot cerita yang bersifat progresif.

Imam’s picture come across as dreamy landscapes of patterned fabrics”[5]

(Michael Vatikiotis, 2009)

Subjek disusun seakan-akan mengikuti bentuk spiral sama seperti konsep meditasi masyarakat primitif ataupun suatu ritual kebudayaan Hindu-Budism (rujuk Borobudur). Yaitu bertujuan mengelilingi suatu upacara. Bedanya Imam lebih cenderung terhadap ruang lingkup sekitarnya. Malah ia merekam persoalan kehidupan sehari-harinya sebagai seorang seniman.

“Imam Santoso’s painting are consistent reflection of himself; he communicates through them. He include symbols from his daily life and repeat them in various painting”[6]                                                                                       
                                                                                                (Anis Azlinda Abdul Ghani, 2012)

Karya Imam ada kaitannya dengan permasalahan ‘sub-consious’. Yaitu gerak minda separa sedar (=subconsiousness) yang hangat diperkatakan oleh seniman-seniman Surrealism. Malah penggayaan yang separa abstrak dengan memberi ‘interpretating’ baru menampakkan unsur Surrealism.[7] Seniman seperti Paul Klee yang mungkin dinspirasikan dengan penggayaan primitif telah memberi satu momentum dalam pencantuman antara minda separa sedar dengan hasil kreatifnya. Dia meretas permasalahan fantasi dan metafisika yang sangat rumit untuk dipahami. Begitu juga karya Abstract Surrealism yang dihasilkan oleh Joan Miro, memusatkan ruang keterbukaan dengan mengambil kira kebarangkalian (=pertimbangan), antara imajinasi dan pengamatan audiens. Miro juga tertarik dengan kaedah Automatism yang menjadi elemen kuat dalam karyanya.

“ For me a form is never something abstract; it is always a sign of something. It is always a man, bird, or something else. For me painting is never form for form’s sake…”[8]
                                                                                                                                (Joan Miro, 1936)


                Penyataan Joan Miro ini sudah pasti memusatkan tentang penilaian tentang persoalan ‘kesamaan’ (similarities). Saya merasakan kesamaan harus dipertimbangkan dengan percantuman entiti. Contohnya saya sering melihat awan, kadang kala saya melihatnya seolah-olah menyerupai sesuatu bentuk lain, malah sering terlihat seperti hewan, daun dan sebagainya. Imam menghimpunkan nilai ‘similarities[9] yang saya maksudkan tadi.

Tidak dinafikan gaya lukisan Imam sangat kuat berbaur Surealism, namun intipati primitif dapat dikesan. Contohnya penggunaan imaji api, gunung ganang, hewan dan landskap mimpi memberi maksud personal dan simbolik. Pertembungan (=collision, conflict) antara objek harian dan  figur-figur aneh mempersoalkan jati dirinya yang seolah-olah berada dalam keadaan terapung.[10]

                Paul Gauguin juga tertarik dengan nilai spiritual dalam masyarakat Jawa yang sama sekali merujuk aktivitas ritual dan kebudayaan. Ini dapat di jelaskan dalam surat beliau yang disampaikan kepada Emile Bernard:

“You were wrong not to come the other day. There are Hindu dancer in the Javanese village. All the art of India is there, and my photographs of Cambodia literally are found there, too.”[11]
                                                                                                                                (Paul Gauguin, 1889)

Melalui ide-ide dengan suntikan gaya primitif, Gauguin meletakkan dirinya sebagai penghayat yang symbolist dan romantik[12].
Saya merujuk Gauguin dalam interpretasi lukisan Imam, dimana Imam juga mempersoalkan tentang identitas dirinya yang berkecamuk dan diambang kekeliruan. Karakter-karakter Imam merasa kesepian yang ia lontarkan. Kecantikan yang direka tidak semestinya diperkatakan secara lantang, tidak semestinya dapat dilihat menerusi pandangan mata. Seperti orang buta yang juga mampu melihat dari pandangan mata hatinya. Sepi karya Imam membicarakan perihal ‘primitif’ yang berbeda sudut pandang. Antara realitas dan mitos, antara modern dan tradisi, antara grafis dan seni murni, antara Pop dan Surreal. Semuanya bercampur antara ruang. Seperti keasyikan yang tiada penghujungnya, atau seperti tangisan terus tanpa hadirnya ketawa. Semua karakter yang dilukis mendokumentasikan perasaan dan pemikiran Imam Santoso. Dia hadir kaku di tembok ruang pameran. Namun memberi satu manifestasi besar yang merenung cita- cita seorang seniman muda.
Secara keseluruhan pameran ini memberi satu penghayatan dalam pencarian makna yang lebih cenderung kepada nilai kemasyarakatan. Walaupun soal primitif banyak menguraikan ketamadunan (=civilization). Imam Santoso memvisualkan ‘ketamadunan’ dalam konteks dirinya sendiri. Semoga terus sukses!

Shahrul Hisham Ahmad Tarmizi
Kelantan, Malaysia
11 Jan 2013, 4.30 a.m


Bibliografi:

1. Anis Azlinda Abdul Ghani, (2012) A Breathing Voice of South East Asia.: Nafa’s Residensi Showcase Cycle One 2012. Nafa’s Residensi. Yogjakarta. Indonesia.
2. Brian Dillon in conversation with Boris Grays, (2009). Who Do You Think You’re Talking To?. Frieze Magazine. Issue 121.
3. Duane Preble, Sarah Preble, revised by Patrick Frank, (2004). Art Form. Prentice Hall. USA
4. Herschel B. Chipp with Contributions by: Peter Selz & Joshua C. Taylor, (1968). Theory of Modern Art A Source Book by Artist and Critics.University of California Press. USA
5. James Johnson Sweeney,(1941). Joan Miro. ‘The Museum of Modern Art’. NY.USA
6. John Berger, (1980). About Looking. Bloomsbury Publishing. London
7. Judy S. De Loache, (2005). Symbol and Similarity: You Can Get Too Much a Good Thing. A Journal of Cognition and Development. Lawrence Erlbaum Associated, Inc. USA.
8. Mark O’ Conell, Raje Airey & Richard Craze, (2007). Dream, Sign and Symbol. Anness Publishing Ltd. London.
9. Michael Vatikiotis, (2009). My Favorite Sins: Pameran Imam Santoso dan Lugas Syllabus. Tembi Contemporary. Indonesia.
10. Sylvia Tombesi-Walton, (1998). Art Book: Gauguin. A DK Publishing Book. Venice


                                        



[1] Brian Dillon in conversation with Boris Grays, (2009). Who Do You Think You’re Talking To?. Frieze Magazine. Issue 121.
[2] Brian Dillon in conversation with Boris Grays, (2009). Who Do You Think You’re Talking To?. Frieze Magazine. Issue 121.
[3] John Berger, (1980). About Looking. Bloomsbury Publishing. London.

[4] Duane Preble, Sarah Preble, revised by Patrick Frank, (2004). Art Form. Prentice Hall. USA
[5] Michael Vatikiotis, (2009). My Favorite Sins: Pameran Imam Santoso dan Lugas Syllabus. Tembi Contemporary. Yogjakarta.Indonesia.
[6] Anis Azlinda Abdul Ghani, (2012) A Breathing Voice of South East Asia.: Nafa’s Residensi Showcase Cycle One 2012. Nafa’s Residensi. Yogjakarta. Indonesia.
[7] Herschel B. Chipp with Contributions by: Peter Selz & Joshua C. Taylor, (1968). Theory of Modern Art A Source Book by Artist and Critics.University of California Press. USA.
[8] James Johnson Sweeney,(1941). Joan Miro. ‘The Museum of Modern Art’. NY.USA
[9] Judy S. De Loache, (2005). Symbol and Similarity: You Can Get Too Much a Good Thing. A Journal of Cognition and Development. Lawrence Erlbaum Associated, Inc. USA.
[10] Mark O’ Conell, Raje Airey & Richard Craze, (2007). Dream, Sign and Symbol. Anness Publishing Ltd. London.
[11] Herschel B. Chipp with Contributions by: Peter Selz & Joshua C. Taylor, (1968). Theory of Modern Art A Source Book by Artist and Critics.University of California Press. USA.
[12] Sylvia Tombesi-Walton, (1998). Art Book: Gauguin. A DK Publishing Book. Venice

Wednesday, January 02, 2013



Kasih Harus Sampai

Oleh: Yuswantoro Adi

“The colors of a rainbow.... so pretty in the sky
Are there on the faces.... of people...going by
I see friends shaking hands.... saying..how do you do
They're really sayin... (I ....love....you).

I hear babies cry.....I watch them grow
(you know their gonna learn A whole lot more than I'll never know)
And I think to myself ....what a wonderful world
Yes I think to myself .....what a wonderful world”
           
            Cuplikan lagu ‘What A Wonderful World’ barangkali cukup tepat menggambarkan lukisan buah karya Kasih Hartono. Meski yang ia lukisankan serta-merta bukanlah cantiknya pelangi atau pemandangan alam nan indah. Namun sesungguhnya ia telah sedang mengamalkan pemandangannya terhadap dunia (baca: masalah keseharian dan aneka persoalan sosial, kemasyarakatan dan hal sejenis yang ia saksikan dan alami) dengan memakai asumsi bahwa apapun di muka bumi ini adalah “wonderful”.
            Wonderful punya arti harfiah sangat bagus. Maka tak heran hampir seluruh lukisan yang tersaji di pameran ini tampil dengan visual indah atau sengaja alias dibuat dengan mementingkan soal keindahan. Sebenarnya agak paradoksal, sebab ia menggambarkan seuatu yang bersifat sosialistik, namun ia memilih menyampaikannya dengan pendekatan estetik-artistik belaka. Jadi, jangan terlalu berharap Anda akan menemukan “persoalan, masalah, keluhan, kritik, protes apalagi dendam” di dalam kanvasnya.
            Lihatlah “Peaceful” sebuah lukisan yang menceritakan betapa buruknya sistem transportasi kita. Penumpang berdesakan hingga sebagian –atau malah separuhnya— tidak tertampung di mobil angkutan itu, sehingga nampak bergelayutan di belakangnya. Uniknya semua terlihat gembira dan tersenyum. Perhatikan pula judulnya!
            Saksikanlah secara seksama; “Menggapai Bintang” sebuah keluarga sederhana, divisualkan secara sederhana; bapak, ibu dan anak menaiki sepeda tua berjalan perlahan-lahan. Sang bapak nyaris atau bahkan sudah tertidur, ibu nampak kelelahan. Sementara anak sama sekali tidak kelihatan letih, justru begitu bahagia sekaligus bangga meski cuma mendapatkan pencapaian sederhana, yakni berhasil menunjuk bintang. Setidaknya ada dua catatan sederhana untuk lukisan ini. Pertama bintangnya tidak diperlihatkan jelas atau hanya berpendar samar saja. Kedua, seragam polisi yang dikenakan anak amat sangat jelas sekali.
            “Menuju Alun Alun” sekilas seperti potret dua orang perempuan muda, salah seorang di antaranya membawa tas plastik berisi ikan hias hidup, yang satunya mendorong gerobak (wadah jualan pukis) sambil menggendong anak kecil menenteng kencrung atau gitar mainan. Mereka telah sampai di sudut beteng keraton. Artinya sebentar lagi akan sampai ke alun-alun. Hingga di sini mungkin kita tidak menemukan apapun lagi kecuali potret itu. Coba lihatlah lebih teliti atau kalau ingin lebih tegas, tanyakan langsung pada pelukisnya. Anda akan memperoleh narasi yang mengharukan.
            Dua lukisan serupa; “Take Me Home” dan “Homeland” tentunya bermaksud berbicara tentang kerinduan seorang Kasih Hartono terhadap masa lalu atau (semoga tidak terlalu kurang ajar) masa depan hidupnya. Yang menarik dari kedua karya ini adalah mereka (lukisan tersebut)terasa puitik sekali. Oleh karenanya, jika tulisan yang saya buat sebagai pengantar, namun bukan catatan kuratorial ini; terasa romantis, melodramatik dan mendayu-dayu Melayu. Salahkan pengaruh semacam itu yang ditimbulkan oleh dua lukisan di atas!
            Nah, rasa serta influences itulah yang kemungkinan besar dapat gampang ditangkap oleh mata dan mata hati kita manakala memelototi karya-karya lukisan Kasih Hartono pada pameran kali ini. Sebuah pameran dengan tema utama dimaksudkan sebagai sosialisme namun taste romantismelah yang kita nikmati kemudian.
            Adakah berarti Kasih gagal? Justru tidak!
            Kasih, sesuai namanya sudah berusaha jujur dalam menggores kuas pada setiap kanvasnya dalam balutan semangat kasih, cinta, sayang, love and peace. Maka, baginya setiap hal dan kejadian di dunia ini selalu terlihat indah di matanya. Meminjam lirik sebuah lagu populer “Kasih tidak punya hati untuk menyakiti hati siapa dan apapun”. Bahkan dalam pengamatan saya, ia cenderung memilih sikap berhati-hati.
Barangkali ia agak naif melihat persoalan dunia. Karena, sejujurnya wonderful world hanya ada dalam lagu dan fantasi, imaginasi serta idealisme saja. Dunia senyatanya bukan seperti itu. Akan tetapi kenapa tidak kita membiarkan, mempersilakan, artinya memberi ruang atau kesempatan buat Kasih menikmati dunia sebagaimana yang ia yakininya? Toh kita juga diperbolehkan untuk menikmati bersamanya. Bukankah dengan demikian kita menjadi beruntung mendapatkan pencerahan (enlightenment) sekaligus pengayaan (enrichment) dalam memandang dunia dengan prespektif baru dan berbeda.
Dan memang begitulah tugas utama seorang seniman; memberi warna pada dunia. Dan pewarnaan yang ia lakukan itulah sebaik-baiknya yang kelak akan mampu memperbaiki sesuatu. Ya, tugas seniman itu bukan sekadar pencapaian artistik belaka, apalagi cuma motif ekonomi saja, melainkan  hendaknya punya nilai moralitas dan bersifat terpuji lagi mulia. Orang sering overestimate terhadap hal-ihwal berkesenian ini. Seolah seniman mampu atau lebih celakanya, seorang seniman itu sendirian, merasa bisa memberikan solusi terbaik dan kemudian mengubah dunia. Hahahaha. . . tidak se-bombastis itu kawan. . .
Yang penting, menurut saya, adalah bagaimana ide, gagasan, fantasi, imaginasi, pikiran dan pemikiran serta apapunlah namanya itu, dari seorang seniman sebagi kreator, pencipta dapat tersampaikan dengan sempurna kepada masyarakatnya. Kemudian pesan yang telah sampai tadi sanggup mendorong, menambah motivasi, memberi inpirasi pada siapapun untuk melakukan hal terbaik lainnya. Kegiatan berupa pameran bisa jadi salah satu caranya. Tingkat keberhasilannya tentu berbanding lurus dengan kualitas, kerja keras dan atau ikhtiar pengelolaan hal lain pendukungnya. Tapi bukan kapasitas saya dan tulisan ini untuk membahas persoalaan itu secara mendalam.
Alinea terakhir, dan semoga pantas menjadi yang paling terpenting. Kasih Hartono telah mengatakan sesuatu yang tentu saja penting menggunakan bahasa visual pilihannya melalui medium berupa karya senirupa. Satu tugas telah ia selesaikan dengan baik. Tugas berikutnya merupakan tugas bersama/berjamaah agar ia (Kasih Hartono, lukisan dan pamerannya) tidak hanya berhenti sebagai sebuah acara berkesenirupaan saja dan sudah!!!

Yogyakarta, 17 Desember 2012