Sunday, December 31, 2017

TOXIC: Pameran Sulam dan Kristik


TOXIC, Pameran ke 10 Kelompok Menyulam Seven Needles

YOGYAKARTA-Kelompok Menyulam Seven Needles kembali mengadakan pameran sulamnya yang ke 10. Pameran ini akan diadakan pada tanggal 6 sampai dengan tanggal 15 Januari 2018 di Galeri Kelas Pagi Yogya, JL Brigjen Katamso No. 48 Yogyakarta.

Pameran kali ini berjudul TOXIC, yang akan menggambarkan bagaimana para peserta telah teracuni dan diracuni kegiatan menyulam tangan. Pameran akan diikuti oleh 18 peserta yang akan memamerkan kurang lebih 70 karya sulam tangan dengan berbagai tema dan bentuk dan media.

Pameran akan dibuka pada 6 Januari 2018, pukul 16.00. Selanjutnya pada 7-15 Januari 2018, pameran akan digelar pada pukul 11.00-21.00, di Galeri Kelas Pagi Yogya, JL Brigjen Katamso No.48 Yogyakarta.

Menyulam bukan hanya pekerjaan nenek-nenek

Siapapun bisa mempelajari cara menyulam tangan, baik itu anak-anak, anak muda, orang dewasa, laki-laki maupun perempuan.

“Tujuan kami mengadakan pameran ini adalah juga untuk memperkenalkan kegiatan sulam tangan kepada anak-anak muda. Bahwa menyulam bukan melulu pekerjaan nenek-nenek atau oma-oma saja,” kata pendiri Seven Needles, Kristi Harjoseputro. Selain mengisi waktu luang, menyulam juga bisa menambah uang belanja.

“Seturut berjalan nya waktu, pameran di sana, pameran di sini, workshop di sana workshop di sini, sampailah kami disini, di pameran kami yang  ke 10,” kata pendiri Seven Needles, Kristi Harjoseputro.

Setelah berkali-kali pameran, makin lama menyulam makin diminati. “Dan Puji Tuhan, apa yang diharapkan pada awal dibentuknya kelompok ini tercapai, menyulam sudah mulai banyak dikerjakan oleh anak-anak muda, baik laki-laki atau perempuan. Ke depannya kami berharap kelompok Seven Needles ini bisa bertambah solid, berjaya, makin dikenal dan tetap eksis di kancah kegiatan menyulam tangan khususnya di Jogja,” kata Kristi.

Tentang Kelompok Menyulam Seven Needles
Seven Needles adalah kelompok bebas menyulam yang dibentuk oleh artis sulam Kristi Harjoseputro pada November  2009. Saat itu, peserta yang bergabung  7 orang dan memamerkan sekitar 30 karya.

Berikut ini pameran yang pernah diadakan / diikuti oleh Seven Needles:
1.“Seven Needles” di (ex) Karta Pustaka pada 8-13 September 2009
2. “The Power of Women in Art" di Purna Budaya pada 23 April-2 Mei 2011, The Journey
3. “Craft Carnifal Magic Fingers Syndicate" di Bentara Budaya pada 22-23 Oktober 2011
4.  Kelas pagi Yogya  17 Jan 2013
5. “Pasar kutu market & Kopi Keliling vol6" di Kedai Kebun Forum, April 2013
6. "Follow the Needles" di Tirana Art House pada 1 Mei-27 Mei 2013
7.  Jimbaran Resto  November  2013 - Januari 2004, End Year Exhibition
8.   Ledre cafĂ© dan TBY (Festifal Film Dokumenter)
9. “Colorful" di Tirana Art House, 24 Feb-22 Maret 2016

Tak hanya pameran, Seven Needles juga mengajarkan sulam tangan melalui workshop di hampir semua pamerannya.
      Hampir di semua pameran selalu ada workshop, dengan peserta terbanyak sampai 22 orang.
      Menyulam untuk anak: Pernah mengadakan workshop menyulam untuk anak-anak, dengan peserta 7 anak.
      SURABAYA: Workshop bersama komunitas My Sister Fingers pada Juli 2016 dengan peserta 15 orang
      Workshop di Pasar Buah Tangan #4 pada 12 November 2016, peserta 14 orang.
      JAYAPURA:  Mengajar sulam tangan untuk mama-mama pedagang di Pasar Mama Papua di Jayapura, Desember 2016, sebagai fasilitator dari PokJa Papua (mitra BUMN).

Sunday, December 10, 2017

Lifetime Achievement Award 2017

Lifetime Achievement Award 2017
Yayasan Biennale Yogyakarta – Biennale Jogja

Terkait penyelenggaraan Jogja Biennale, Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) memberikan penghargaan kepada seniman yang memiliki dedikasi, komitmen, kontribusi, prestasi, dan reputasi unggul dalam profesinya.  Kriteria penerima penghargaan ini dapat dikerucutkan menjadi sesosok yang memiliki kontribusi dan pengaruh besar pada dunia seni rupa di Yogyakarta, di Indonesia, dan di level internasional, utamanya pada aspek kreativitas, pemikiran, dan kontribusi pada kehidupan seni/seni rupa. Sesosok tersebut juga telah aktif di dunia seni/ seni rupa selama lebih dari 25 tahun.

Penghargaan ini disebut Lifetime Achievement Award (LAA), diberikan pertama kali pada tahun 2005 bersamaan dengan penyelenggaraan Jogja Biennale VIII. Penerimanya G. Sidharta Soegijo dan Sukasman. Berturut-turut kemudian pada 2007, penyelenggaraan Biennale Jogja IX, penerimanya Profesor Sedarso Sp., M.A., dan Edhi Soenarso. Pada 2009, penyelenggaraan Biennale Jogja X, penerimanya Kartika Affandi dan Soenarto Pr. Pada 2011, penyelenggaraan Biennale Jogja XI, penerimanya Djokopekik. Pada 2013, penyelenggaraan Biennale Jogja XII, penerimanya Moelyono. Pada 2015, penyelenggaraan Biennale Jogja XIII, penerimanya Jim Supangkat.



Pada tahun 2017, bersamaan dengan penyelenggaraan Biennale Jogja XIV “Equator”, Lifetime Achievement Award dianugerahkan kepada dua orang yang kami anggap memiliki dan memenuhi kriteria seperti sudah disebutkan tadi. Kedua orang ini kami pertemukan dalam satu panggung penghargaan dengan pencapaian berbeda. Yang pertama, Wiyadi (Drs), menjelang 70 tahun, seorang guru seni rupa yang mengajar di SSRI/SMSR Yogyakarta, kini SMK, dan sudah pensiun, Wiyadi dalam segala cuaca, terus menekuni melukis dengan tema Wayang Beber, pada kanvas dan kaca, dalam berbagai ukuran. Wiyadi pernah menerima penghargaan sebagai Pakar Seni Tradisional Wayang Beber dari Universitas Negeri Yogyakarta (1994), dan penghargaan dari Sinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (1992, 1993). Wiyadi menularkan ketekunan melukis ini pada murid-muridnya, dan sejak Pak Wiyadi – demikian ia biasa disapa – pensiun, maka sekolah itu (SMSR/SMK) tak memiliki guru yang memiliki kemampuan seperti dirinya. Karya-karya Wiyadi menyodorkan daya pikat yang demikian kuat, karena ketekunannya pada seni tradisional.




Yang kedua, Sunaryo (Drs), juga menjelang 70 tahun, perupa yang berkarya seni lukis dan seni patung, mengajar (dan sudah pensiun) di FSRD ITB Bandung. Sunaryo menjelajahi medium, teknik, dan presentasi, ulang-alik antara dwimatra dan trimatra. Berbagai penghargaan diterima dari berbagai institusi dalam dan luar negeri. Penghargaan terbaru sebelum LAA 2017 adalah Penghargaan dari Akademi Jakarta yang diterimakan pada pertengahan November 2017 yang baru lalu. Tak hanya berkarya seni, Sunaryo juga menginisiasi membangun ruang publik untuk pameran, diskusi, dan pertunjukan seni yang disebut Selasar Seni Sunaryo, dan Wot Watu, keduanya di wilayah Dago Pakar, Bandung. Perupa muda, pemikir, dan pengkaji seni rupa dapat melakukan gladi kreativitas dan pemikirannya pada ruang publik seni tersebut.

Dapat dikatakan kedua orang ini, Wiyadi dan Sunaryo,  sampai pada pencapaian berupa ‘menginspirasi generasi muda’ dalam aspek pencapaian kreativitas, pemikiran, dan keberpihakannya pada perkembangan penciptaan dan pemikiran seni/seni rupa.

(Yayasan Binnale Yogya)
Suwarno Wisetrotomo (Ketua), Butet Kartaredjasa, Eko Prawoto, Oei Hong Djien, Anggi Minarni, Dyan Anggraeni, Mella Jaarsma, Ong Harry Wahyu, Kuss Indarto, Nindityo Adi Purnomo (Anggota)