Thursday, March 15, 2007

Ingin Terbang Lebih Tinggi

Kemampuan me-manage pameran, dan berkecimpung dalam pengelolaan galeri seni membawanya melanglang ke sejumlah negeri. Pengalaman pun dikecap, dari sebuah profesi yang menurutnya masih langka, menawarkan tantangan tinggi dan kemampuan yang tak cukup diraih sekejap mata.
Nunuk Ambarwati. Sosok wanita satu ini cukup dikenal di tengah pasang surutnya arus berkesenian di Jogja. Memang lebih karib di belakang layer, mengurus tetek bengek manajerial berkesenian, khususnya seni rupa. Coba saja tanyakan pada Nunuk, nilai sebuah lukisan yang bagi awam terlihat serupa corat-coret dan goresan abstrak yang rumit ditafsirkan. Dia tahu persis, bagaimana sebuah karya seni layak mendapat penilaian.

Sekadar menafsir sebuah karya ternyata memang tidak ringan. Butuh pembelajaraan panjang. Teori-teori seni rupa dari buku-buku tebal berbahasa asing pun menjadi santapan keseharian. Senyatanya proses untuk memiliki kemampuan serupa itu sungguh tak singkat.
“Makanya profesi seperti ini masih jarang. Padahal prospeknya sangat bagus. Makin bertumbuhnya seni-seni kontemporer dan galeri-galeri di tanah air membutuhkan peran seorang manajer program dan seni. Setiap galeri butuh sosok manajer yang mampu menggerakkan arah kerja galeri itu. Kehadirannya pun harus membawa brand tertentu, menciptakan brand positioning, laiknya sebuah konsep produk yang membawa citra perusahaan”, kata Nunuk yang kini bergiat di Jogja Gallery sebagai Manajer Program di celah perbincangan dengan Bernas Jogja, pekan lalu.
Nunuk bergabung dengan Jogja Gallery sejak awal berdirinya, September silam. Sebelumnya enam tahun lebih Nunuk bergabung dengan Yayasan Seni Cemeti di bidang pendokumentasian. Dari pergulatannya di dunia seni selama bertahun-tahun itu Nunuk telah mendapatkan eksperimentasi yang tak kecil. Banyak ilmu dan pengalaman didapatnya, saat bersinggungan dengan pelaku-pelaku seni berbagai negeri, juga pengalamannya memintas berbagai Negara. Diantaranya Hong Kong, Taiwan, Korea dan Singapura.
Sudah barang pasti kemampuan berbahasa asing dan kepiawaian lobi menjadi modal utama menekuni profesi itu. Ditunjang pendidikan formal Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, dan minat menekuni seni, klop sudah bidang itu menjadi pilihan hidupnya.
Namun meski pengalaman yang diraih telah cukup banyak, wanita kelahiran 18 November 1976 yang masih melajang itu merasa belum ‘apa-apa’. Masih bertebar sederet obsesi yang ingin diraih. Sayap pun terus dikepakkan untuk terbang lebih tinggi. Tak hanya terbang di Asia untuk mengecap pengalaman, namun pula terbang ke berbagai benua.
“Inginnya bisa mempelajari seni dan manajemen galeri ke berbagai benua. Target jangka pendek, magang di sebuah galeri di Australia, saat ini sedang dijajaki”, kata Nunuk yang aktif dalam berbagai kegiatan seni pertunjukan semasa SMP hingga kuliah itu.
Itu untuk urusan kerja. Namun soal target dalam kehidupan pribadi, menurutnya tak perlu dibagi-bagi. Toh inspirasi sosok wanita atas kaumnya lebih ‘prestige’ dikaitkan urusan pencapaian karya, bukan perkara-perkara personal yang kini rajin membayang di layar kaca serupa melekati para pesohor.
Oleh: Shanty Hapsari
Dimuat di Surat Kabar Harian Bernas, Minggu Pahing, 11 Maret 2007, halaman 1

Saturday, March 03, 2007

Fluktuasi Pendokumentasian Format Digital

Pada awal menekuni dunia pendokumentasian (archiving) di pusat dokumentasi seni visual Cemeti Art Foundation/CAF, Yogyakarta, pada kurun waktu 2002-2003, saya dihadapkan pada persoalan memanajemen arsip yang sedemikian kaya dalam bentuk analog atau printted matter. Hingga pada perkembangan selanjutnya kebutuhan untuk memperpanjang umur arsip-arsip analog / printted matter tersebut ke bentuk digital (mengkonversinya dalam bentuk cakram) menjadi hal yang mendesak. Mempertimbangkan iklim tropis di negara kita yang sangat tidak bersahabat dengan bidang kearsipan ini, ditambah niatan agar diseminasi informasi yang lebih aksesibel. Kebutuhan ini tidak saja terjadi di pusat dokumentasi CAF, tetapi juga di Pusat Dokumentasi Yayasan HB Yasin, demikian pula di Balai Konservasi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, di Jakarta.
Ketika format digital menjadi salah satu pilihan konservasi atas arsip-arsip kita di Indonesia, dan ketika kita masih ‘terengah-engah’ baik segi waktu, energi, penyimpanan hingga pendanaannya menuju ke sana; sementara sejarah di Jerman telah mencatat, kepedulian dalam pengarsipan, terutama pada media digital, sudah dimulai satu dekade setelah seni video lahir di negara tersebut (1963) oleh berbagai individu mau pun lembaga (tulisan Krisna Murti, Beberapa Catatan “40yearsvideoart.de”). Satu hal yang ironis dan paradoks memang.
Sebuah pameran dan buku referensi sebagai output dari proyek “Interarchiv” di tahun 2002 oleh ‘Kunstraum der Universität Lüneburg’, Jerman bisa menjadi salah satu contoh sebuah kepedulian yang sangat luar biasa akan bidang pendokumentasian dalam berbagai format. Proyek ini didahului dengan berbagai seminar dan lecture oleh orang-orang profesional di bidang seni, mengenai inventarisasi arsip menggunakan berbagai media yang berbeda hingga teknik yang tidak umum untuk tidak hanya bergantung pada keunggulan teknik digital. Hal ini diikuti dengan prinsip dasar untuk mengelola karakteristik masing-masing arsip itu sendiri, seperti pendekatan personal, sementara secara bertahap membuka kesempatan kepada publik untuk bisa mengakses arsip-arsip itu sebagai sebuah pintu masuk atas pengetahuan dan jaringan yang lebih luas. Proyek ini merupakan kolaborasi antara seniman Dusseldorfer Hans-Peter Feldmann dan berdasarkan kerja kearsipan yang hingga saat ini belum selesai dari seorang kurator kearsipan Hans Ulrich Obrist pada ‘Kunstraum der Universität Lüneburg’. Bukunya sendiri terfokus pada wacana terkini mengenai praktek kearsipan. Bagaimana fungsi dan kemungkinan koleksi, museum atau arsip budaya pada situasi globalisasi dan media virtual didiskusikan sama pentingnya mengenai bagaimana pola konstitusi, pola kerja dan kekuatan akan memori.
Sementara proyek “40yearsvideoart.de, Digital Heritage: Video Art in Germany from 1963 to Present” ini lebih terfokus dan mengajak kita untuk mulai memikirkan bagaimana format konservasi yang ideal atas media video atau digital. Maka saya sependapat dengan Krisna Murti dalam tulisan yang disampaikannya mengenai bagaimana Jerman tampak mempunyai kesadaran institusi dan institusionalisasi budaya, semusykil apa pun termasuk video, sebagai tanggung jawab kelangsungan peradaban termasuk kepada generasi mendatang.
Ketika kita masih dihadapkan banyak ‘pekerjaan rumah’ atas situasi pendokumentasian seni visual Indonesia, mulai dari hal teknis hingga non teknis. Seperti persoalan mengumpulkan data, memanajemen hingga diseminasinya baik melalui media cetak, visual mau pun virtual. Ketika kita dihadapkan pada perkembangan media digital ini begitu pesat, dan kita juga dihadapkan pada pilihan format manakah yang paling tepat untuk bidang kearsipan seni visual Indonesia? Dimanakan kita harus berdasarkan diri antara material arsipnya [kuantitatif] atau lebih pada fungsi kearsipan itu sendiri [kualitatif]? Bagaimana mendokumentasikan materi yang tidak dapat terdokumentasikan [un-documentables] seperti performance dengan bau atau rasa? Ataukah dihadapkan pada pertanyaan format video ini sebagai dokumentasi atau sebuah video artwork? Ketika masalah konservasi/restorasi karya seni rupanya sendiri masih menjadi sesuatu yang sangat mewah, kompleks dan langka di dunia seni visual kita saat ini. Bagi saya proyek “40yearsvideoart.de, Digital Heritage: Video Art in Germany from 1963 to Present” ini merupakan bentuk ‘tamparan halus’ untuk membangunkan para arkhivaris Indonesia kita akan kepedulian pendokumentasian dalam bentuk dan sedetail apa pun. Maka apa yang bisa saya sarankan untuk situasi pendokumentasian seni visual Indonesia saat ini adalah:
Konservasi fisik yaitu melakukan konservasi standar dan semaksimal mungkin bisa kita lakukan. Seperti penyimpanan dengan suhu tertentu, perawatan berkala dan hal teknis lainnya. Yang kedua adalah back up atas arsip itu sendiri. Back up di sini pun tidak melulu pada satu format saja. Sebagai misal format arsip tersebut dalam bentuk audio, maka back up penting lainnya adalah dalam format transkrip dan seterusnya. Pada prinsipnya saya tidak ingin terbebani atau tergantung pada satu pilihan media teknis yang seperti apa. Pilihan media teknis itu sendiri saya serahkan kepada masing-masing konservator, mana format yang paling ideal untuk karakteristik bentuk arsip itu sendiri.
Konservasi non fisik yaitu menjadikan material arsip yang pasif sebagai sumber belajar yg aktif. Hal ini penting untuk bisa membuat arsip itu sendiri lebih bisa ‘hidup’ lebih panjang, terakses lebih luas dan mengembangkan berbagai kemungkinan dengan melibatkannya ke berbagai lintas disiplin. Dimana kita tahu arsip berperan penting dalam wacana kontemporer di bidang seni visual, museology, cultural studies dan filosofi. Konservasi ini bisa dalam bentuk pengembangan atau memproduksi kembali materi arsip tersebut dalam sebuah program seperti pameran, riset dan sebagainya. Karena arsip tidak hanya sebuah catatan, tetapi sebagai bentuk dorongan dan inisiator yang aktif untuk memproduksi sesuatu.
Disamping itu, yang lebih penting lainnya mengenai tingkat kesadaran atas pendokumentasian itu sendiri pada setiap individu. Kesadaran sebagai ‘penjaga’ dari originalitas, keaslian karakteristik dan keunikan material arsip, sebagai pelindung dari warisan budaya dan seorang manajer dari himpunan pengetahuan. Maka dengan ini bagaimana kita terus-menerus memunculkan regenerasi dokumentator-dokumentator handal mau pun pusat-pusat dokumentasi baru yang spesifik di bidangnya masing-masing.
*Nunuk Ambarwati, tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Pernah bekerja sebagai Head of Archive and Media Relations di Cemeti Art Foundation [CAF], Yogyakarta pada kurun waktu Februari 2002 – November 2006. Saat ini bertindak sebagai Program Manager di Jogja Gallery/JG [www.jogja-gallery.com], Yogyakarta. Kontak selanjutnya melalui email: qnansha@yahoo.com