Wednesday, October 31, 2007

Following the City Through Sketches

Muji Harjo, 'Ngejaman Kraton Yogyakarta', mixed media on paper, 30 x 42 cm, 2007

Sketches and Photography Exhibition ‘MATA-MATA JOGJA’
Jogja Gallery, Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta
3 – 18 November 2007

FOLLOWING IN THE CITY THROUGH SKETCHES
Mikke Susanto-Curator
Exhibition Participants: Denny ‘Snod’ Susanto / Deskhairi / M. Alfairuzha Hasby / M. Fadhlil Abdi / Masriel / Muji Harjo / WM. Hendrix
At glance, the sketches are similar to simple drawings of objects. But if we look at them in details, those drawings or drawn objects are such previews and documentation illustrating the recent situation of Jogjakarta. They are of a city with unique character entering by the edge of a change. The cycle of the change is not only rooting in the terrain of its human life but also relating to the natural change. It is probably affected by the earthquake hit the city a year ago and the way of thinking of the community members inflicted by another civilization ilfiltrating in the spaces and city planning of Jogjakarta as well.
These likely trivial pictures cover a thousand of memories to any one in fact. In the middle of this appalling change, the unavoidable turmoil, and uncertain situation have given rise to an awareness to carry out documenting in the early time. Furthermore, we have to set up things within the change itself. We have to move forward, create a new civilization. Furthermore, we have to get ourselves settled on within the change itself. It is important to be noticed that we hold local values and documentation of the glorious past. Therefore, sketches instead of photography become the very effective simple ways to reach the aim. One of the points to be stressed in this exhibition is that sketches and photography are proper to be put together as the vital instruments to life documentation. It is very reasonable to have this sketch exhibition The Eyes of Jogja arranged jointly with the photography exhibition Objective Paris at Jogja Gallery.
Through these simple works, we will see “a visual diorama” represented in the media of pencils, pens, Chinese ink, and water colors on papers. All of the sketches displayed in the exhibition room (some of them are printed in post cards) have a function to trace the last situation of Jogjakarta. They are of many kinds of things shown; the old historical buildings (there are also the photos of old buildings in Jogjakarta for a comparison), spreading rice-fields in a village, life portraits, plants, traditional weapons, and some traditional meal available until today. They are the works of the young artists staying and living in Jogja for years. With the academic capacity they have when studied sketch at ISI Yogyakarta, I dare to say that their works are good to be apreciated.

Tuesday, October 16, 2007

Dari Pameran ke Pameran


Sebuah Evaluasi untuk 1 Tahun Berdirinya Jogja Gallery [JG]
Oleh Nunuk Ambarwati*
Tulisan ini disampaikan sebagai bentuk evaluasi kinerja Jogja Gallery yang telah berjalan setahun [September 2006 – September 2007]. Penulis yang juga merupakan staf internal Jogja Gallery berupaya senetral mungkin dalam menyampaikan hasil tulisannya. Terima kasih atas dukungan semua pihak terhadap Jogja Gallery selama ini. Semoga bermanfaat.

Sudah lebih dari setahun lalu, tepatnya awal Agustus 2006, ketika penulis akhirnya berani menerima ‘tantangan’ untuk ikut membangun sebuah galeri baru, Jogja Gallery di sebuah kota budaya, Yogyakarta. 19 September 2007 ini, genap setahun Jogja Gallery berdiri dan terbilang aktif. Hingga akhirnya penulis menerima tawaran untuk menerima tanggung jawab sebagai program manager pada waktu itu, memakan waktu dan pikiran. Banyak pertimbangan berkecamuk ketika masih menyangsikan kemampuan diri sendiri, dimana hampir senada dengan banjirnya kritik, respon sebelah mata menyambut berdirinya Jogja Gallery kala itu. Mulai dari untuk apa sebuah galeri baru berdiri di tengah kondisi stagnannya seni visual Indonesia dari pengaruh pasar atas gencarnya karya-karya perupa China kala itu.
Juga perihal tanda tanya publik mengenai siapa saja ‘oknum’ di balik berdirinya galeri tersebut, akankah menjadi jaminan sebuah galeri bisa diandalkan dan dibanggakan, apalagi menggunakan nama kota sebagai brand-nya. Jogja Gallery murni dibangun dari dukungan investor. Seperti sudah diketahui, dimana rata-rata pendiri galeri di Indonesia adalah orang asing, tetapi tidak dengan Jogja Gallery. Para pendiri Jogja Gallery yang kesemuanya berasal dari Yogyakarta tersebut adalah KGPH Hadiwinoto, Sugiharto Soeleman, KRMT Indro ‘Kimpling’ Suseno, Bambang Soekmonohadi dan Soekeno. Sorotan tajam publik Yogyakarta khususnya tertuju kepada Direktur Eksekutif, KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno, yang lebih dulu dikenal sebagai akitifis event organizer piawai di kota ini. Mau jadi apa Jogja Gallery, siapa saja yang bakal pameran di sana, jenis pameran apa saja yang bakal dipresentasikan? Mau sampai kapan galeri bisa hidup? Hingga masalah profit yang bakal diraup galeri ditengah lesunya pasar? Tak kalah seru juga semacam beban yang harus ditanggung, ketika merangkul Mikke Susanto dan M.Dwi Marianto sebagai tim kurator awal yang membidani program-program pameran di Jogja Gallery. Hingga menempatkan penulis sebagai program manager. Meski kemudian, M. Dwi Marianto megundurkan ditengah-tengah berjalannya proses [tepatnya awal Februari 2007].
Berdirinya Jogja Gallery waktu itu sepertinya belum bisa mengakomodasi kebutuhan dan kecenderungan tren seni visual yang berkembang. Sehingga memunculkan kritikan-kritikan pedas dari publik atas berdirinya galeri baru ini. Bentuk kesangsian bahkan kekhawatiran di masa depan atas mubazirnya membangun sesuatu yang tidak ditangani oleh orang yang tepat di bidangnya. Demikian asumsi penulis.
Sumber daya manusia
Hal-hal tersebut tak dipungkiri mempengaruhi psikologis kerja para staf Jogja Gallery sehari-hari. Memilih sumber daya manusia atau para staf untuk diposisikan pada masing-masing yang kompeten bidangnya. Untuk bersama sebagai tim yang solid, membangun sebuah galeri baru ditengah banyak sorotan, bangunan megah yang berposisi strategis di titik nol kilometer, fasilitas ruang pamer lebih dari galeri lainnya di wilayah Yogyakarta. Bagaimana bisa mendatangkan publik ke ruang pamer dengan tiket masuk. Dimana hal tersebut belum menjadi kebiasaan publik ketika mengunjungi ruang pamer. Memberikan persepsi positif untuk setiap kali even pameran yang diselenggarakan dengan target-target keberhasilan yang selalu dipertaruhkan.Tantangan-tantangan tersebut bukan hal mudah bagi kami para staf ketika menerima Jogja Gallery sudah sedemikian adanya. Apalagi bagi para staf yang belum mengetahui bagaimana hiruk pikuknya di belakang layar ketika memutuskan mendirikan Jogja Gallery. Mengapa brand color warna hijau yang dipilih. Mengapa desain arsitektur konvensional ala Keraton Yogya yang digunakan, dan seterusnya.
Berbagai konflik internal turut mewarnai tumbuh dan berkembangnya Jogja Gallery. Seleksi alam terus berlaku, staf datang dan pergi, ada yang bertahan dan sebaliknya, menyesuaikan dengan tingginya kriteria sumber daya manusia yang dibutuhkan. Staf atau sumber daya manusia ini menjadi satu hal sangat penting yang penulis sadari untuk menjadi perhatian. Membentuk tim yang solid dan tetap bekerja dengan bisa membedakan batas profesional dengan personal. Dewan direksi mau pun manajemen terus memotivasi tim untuk bekerja sebaik dan semaksimalnya, juga mendelegasikan kerja seefektif mungkin. Hingga siap meng-counter berbagai persepsi negatif yang mungkin timbul atau berkembang dari eks staf atas ketidakpuasan atau ketidakcocokan dalam bekerja. Dimana di Jogja Gallery, manajemen sangat menyadari bahwa tidak melulu memiliki latar belakang seni rupa menjadi jaminan seorang staf bisa bekerja, demikian sebaliknya. Kemauan dan saling belajar dari kesalahan dan pengalaman lebih diutamakan untuk selalu dicatat dalam ‘buku teori’ sebagai pelajaran di masa mendatang.
Untuk itu, hanya waktu dan proses yang bisa membuktikan hasil kerja keseluruhan. Saling memotivasi, memberi dukungan di sela tingginya frekuensi kerja menyiapkan pameran dan mengubah kritikan tersebut menjadi dorongan positif. Baru satu tahun eksis, sangat belum cukup menjadi ukuran keberhasilan. Masih harus menyiapkan nafas panjang, pikiran positif dan tenaga yang selalu segar untuk menyiapkan even-even berikutnya.
Manajemen yang berbenah
Terus-menerus menciptakan inovasi merupakan salah satu bagian dari bentuk survive yang dilakukan Jogja Gallery. Untuk sekadar bisa hidup, merupakan misi awal yang tak terlalu muluk di tengah kompetisi pasar seni rupa Indonesia. Pasar yang penulis nilai sebenarnya tidak cukup sehat baik di Indonesia mau pun global. Pembenahan pada level manajerial terus dilakukan berdasarkan berbagai ‘benturan’ yang ditemui langsung di lapangan. Pujian mau pun komplain diubah menjadi siasat dan strategi yang tak henti dibenahi untuk terus bisa bertahan. Maka manajemen Jogja Gallery sepakat untuk memaknainya sebagai manajemen yang terus berbenah. Suatu kebijakan atau ketentuan bahkan bisa terus diupdate per minggu guna mendapatkan kinerja yang lebih baik.
Seiring meningkatnya aktifitas dan keberhasilan tiap penyelenggaraan pameran di Jogja Gallery, sorotan publik pun semakin kuat. Sorotan tersebut dirasakan menyeluruh, tidak melulu pada tema, muatan mau pun karya dalam tiap kali pameran yang diselenggarakan, juga kepada manajemen internal hingga tiap person yang terlibat di dalamnya. Hal tersebut jelas menyemangati manajemen Jogja Gallery untuk terus meningkatkan kualitas tiap even yang digelarnya dengan dibarengi niatan positif untuk turut memajukan infrastruktur seni rupa Indonesia. Dalam hal ini penulis lebih fokus pada sistem manajemen dan pasar yang berkembang dengan luar biasa mengejutkan dan kadang sangat sulit diprediksi. Di saat lukisan memasuki dunia bisnis yang sebenar-benarnya, maka mungkin kita harus menanggalkan ‘pesan’ dari lukisan tersebut. Siapa yang bermodal besar dia yang menguasai pasar. Modal bahkan bisa membentuk selera. Kita pun terseret berlaku dalam pasar yang sesungguhnya tersebut. Perilaku para pelaku pasar ini kadang membuat penulis gerah. Bahkan ketika perupa ikut terjun di dalam pasar itu sendiri. ‘Permainan-permainan’ dilancarkan para pelaku pasar. Jogja Gallery menyadari hal tersebut dan sebagai salah satu pelaku pasar kita harus jeli dan tidak terjebak dalam ‘permainan’ tersebut. Berani menentukan sikap dan berlaku tegas dengan ketentuan yang disepakati dalam manajemen, menjadi modal untuk menentukan arah misi dan visi galeri di tahun-tahun mendatang.
Itu baru salah satu sisi ekternal yang mempengaruhi pembenahan manajerial. Sisi internal yang menjadi pekerjaan rumah manajemen Jogja Gallery adalah para pelaku modal atau investor galeri ini sendiri. Penulis berupaya untuk masing-masing person di dalamnya menjalankan fungsi sesuai porsinya. Dimana tidak semua person di Jogja Gallery memiliki cukup banyak bekal untuk siap bertarung di dunia seni rupa. Bahkan bekerja di dunia kreatif seperti di galeri seni rupa seperti Jogja Gallery, harus bisa berkompromi dengan segala hal. Ketika harus mahfum untuk menekan idealisme tanpa mengurangi kualitas even yang bakal digelar dan sebagainya.
Catatan presentasi**
Dari September 2006 ke September 2007, tercatat telah menggelar 16 even pameran seni visual. Pada awal berdirinya Jogja Gallery, memang diniatkan dalam setahun pertama untuk menggelar pameran kelompok dengan media beragam, tidak melulu seni lukis. Hal tersebut diupayakan untuk mengakomodasi berbagai varian [media, aliran mau pun generasi perupa] yang ada di Indonesia terutama di Yogyakarta. Diharapkan dari misi tersebut di atas, Jogja Gallery mampu menempatkan posisinya terlebih dulu sebagai ruang pamer baru di Yogyakarta yang membuka dirinya bagi siapa pun. Kalau pun ada satu pameran tunggal yang pernah berlangsung ketika usia Jogja Gallery masih seumur jagung, yaitu pameran karya Hanafi (13 Januari – 2 Februari 2007), hal tersebut berdasarkan proposal masuk, dan pada akhirnya disetujui kurator dan manajemen Jogja Gallery. Maka definisi pameran tunggal di sini adalah pameran tunggal yang didanai, diorganisir dan dipromosikan sepenuhnya oleh pihak Jogja Gallery.
Menurut penulis, ada sedikit salah perhitungan dari pihak investor ketika membangun fisik Jogja Gallery. Dana yang disetorkan oleh para investor terlanjur membengkak untuk menyempurnakan bangunan fisik galeri tersebut. Sehingga tidak atau belum terpikirkan untuk menyalurkan dana operasional guna operasional sehari-hari atau penyelenggaraan pameran tiap bulannya. Hal tersebut berimbas kepada dana tiap penyelenggaraan even di Jogja Gallery. Tim manajemen terkesan terengah-engah untuk terus-menerus mencari sponsor untuk tiap penyelenggaraan pameran, demikian halnya ‘tuntutan’ untuk memberikan masukan dari hasil penjualan karya. Hal tersebut memang sah ditujukan kepada manajemen Jogja Gallery, dimana memang galeri ini murni swasta, sebuah perseroan terbatas tepatnya.
Beberapa target keberhasilan sebuah even pameran selalu dipasang. Paling tidak untuk saat ini bagi Jogja Gallery target-target yang harus selalu diingat dan terus-menerus diharapkan peningkatannya dari pameran ke pameran adalah: a. jumlah pengunjung [pengunjung harian dan apresiasi untuk pelajar], b. target pemasukan [sponsor dan penjualan karya], c. media coverage.
Jogja Gallery selalu mengedepankan beberapa unsur dalam setiap even pameran yang digelar, yakni unsur idealisme, edukasi, apresiasi, entertainmen dan komersial. Meski untuk tiap kali pameran akan selalu berbeda prosentase tiap unsurnya. Sebagai contoh dalam pameran ‘Eksisten’ (27 Februari – 25 Maret 2007) unsur komersialnya akan memiliki prosentase lebih tinggi dibanding dengan pameran ‘Transposisi : Lukisan-lukisan Kolektor Jateng –DIY (22 Mei – 26 Juni 2007) yang lebih tinggi prosentasi edukasi dan apresiasinya. Kelima unsur tersebut dikolaborasikan sedemikian rupa guna lebih memantapkan positioning Jogja Gallery di dunia seni rupa Indonesia.
Dalam tiap kali menyelenggarakan evennya, Jogja Gallery memperhatikan proses regenerasi perupa dengan membuka peluang kompetisi atau undangan terbuka untuk berkarya. Yakni pada pameran ’40 Perupa Muda Terdepan Indonesia: Young Arrows’ (2 Desember – 5 Januari 2007), ‘The Thousand Mysteries of Borobudur’ (20 April – 9 Mei 2007) dan ‘200 Tahun Raden Saleh: Ilusi-ilusi Nasionalisme’ (18 Agustus – 9 September 2007). Selain bertujuan menjaring perupa muda baru dan berbakat, peluang kompetisi tersebut juga merupakan bentuk promosi Jogja Gallery menempatkan positioning-nya di jagat infrastruktur seni rupa Indonesia. Di samping itu pula mengukur demand salah satu stakeholder Jogja Gallery yaitu perupa atas keberadaan galeri itu sendiri. Seberapa besar Jogja Gallery dibutuhkan keberadaannya? Atau seberapa besar minat perupa atas kurasi yang ditawarkan? Dari ketiga peluang yang Jogja Gallery tawarkan tersebut rata-rata 100-an proposal masuk untuk diseleksi. Dan hingga kini, para perupa terus menunggu hadirnya kompetisi baru yang dibuka, mengingat telah cukup lama Indonesia vakum dari kompetisi seni rupa bergengsi.
Meski demikian, pameran seni lukis mendominasi dari sekian pameran yang telah dilaksanakan di Jogja Gallery. Hal tersebut terjadi karena diperkuat dengan latar belakang sebagai berikut:
  1. Potensi profit pasar seni visual Indonesia yang memang masih dominan terhadap seni 2 dimensi, terutama seni lukis.
  2. Demikian halnya, respon tinggi untuk mempresentasikan karya-karya datang dari perupa-perupa 2 dimensi/seni lukis.
  3. Tuntutan [secara tidak langsung] internal Jogja Gallery untuk menampilkan karya-karya yang mengakomodasi selera mereka, paling tidak dalam waktu setahun tersebut.
  4. Hal teknis cukup menjadi pertimbangan penyelenggaraan pameran non 2 dimensi, misal ketersediaan alat dan infrastruktur pendukung, juga biaya yang lebih besar dibanding menyelenggarakan pameran 2 dimensi.
Dari ke 16 even tersebut, 5 diantaranya merupakan hasil kerja sama dengan pihak lain. Yaitu:
  1. Pameran seni lukis ‘Pallinjang: Salt Water’, kerja sama dengan Wollongong University, Australia (19 September – 20 November 2006).
  2. Pameran seni visual tunggal ‘Id: Hanafi’ karya Hanafi, kerja sama dengan O House Gallery, Jakarta (13 Januari – 2 Februari 2007).
  3. Pameran seni lukis ‘Bonding the Brotherhood between Tunisia and Indonesia’, bekerja sama dengan Kedutaan Tunisia di Jakarta (10 – 20 Februari 2007).
  4. Pameran seni visual ‘The Thousand Mysteries of Borobudur’, bekerja sama dengan UNESCO Office, Jakarta dan beberapa mitra lainnya (20 April – 9 Mei 2007).
  5. Pameran seni lukis ‘Bersemangat Meraih Cita-cita’, bekerja sama dengan Global Art, Yogyakarta (10 – 12 Agustus 2007).
Definisi kerja sama di sini adalah even tersebut diroganisir oleh Jogja Gallery dan mitra [dengan porsi masing-masing lembaga berbeda tiap kali penyelenggaraan], dalam hal pendanaan, mengorganisir pameran, penyediaan material pameran, publikasi, promosi, penjualan karya dan sebagainya.
Respon Publik
Dari berbagai presentasi pameran tersebut, sambutan publik luar biasa menarik dan positif bisa penulis kumpulkan. Sambutan tersebut dikumpulkan dari media coverage, buku kritik saran setiap pameran yang diselenggarakan mau pun masukan lisan kepada Jogja Gallery. Pada intinya, para perupa membutuhkan ruang pamer untuk menggelar dan mempromosikan karya-karya mereka. Demikian pula sebaliknya, galeri membutuhkan karya-karya berkualitas dari para perupa. Berbagai bentuk tawaran kerja sama untuk bisa mempresentasikan karya terus berdatangan ke Jogja Gallery. Kesempatan untuk bisa berpameran di Jogja Gallery ini didorong oleh beberapa faktor antara lain karena representasi sebuah ruang pamer yang baru, fasilitas yang cukup memadai, tempat yang strategis dan prestisius, manajemen yang tertata apik. Dari berbagai sumber, penulis bisa menyimpulkan positioning Jogja Gallery di mata publik untuk saat ini adalah sebuah ruang pamer dengan fasilitas dan aktifitas pameran berskala nasional bahkan internasional dengan segmen publik kelas menengah ke atas yang menampilkan karya-karya berkualitas. Selamat ulang tahun yang pertama Jogja Gallery, sukses selalu sukses!
Catatan kaki:
* Penulis masih tercatat sebagai Program Manager Jogja Gallery dan terlibat sejak awal digelarnya pameran perdana ‘ICON: Retrospective’ di sana.
** Baca pula tulisan ‘Summary Pameran Jogja Gallery’ untuk lebih detailnya.
*** Buku referensi:
1.
‘How to Get Ahead in Business’, Richard Branson, Virgin Books, London, 1993.
2.
‘Managing Museums and Galleries’, Michael A. Fopp, Routledge, New York, 1997
3.
‘Art Marketing 101: A Handbook for the Fine Artist’, Constante Smith, Artnetwork, USA, 2002
4.
Berbagai sumber.

Saturday, October 06, 2007

Thursday, October 04, 2007

SETELAH 20 MEI*

Kompetisi Terbuka Jogja Gallery, 2008
Pameran Seni Visual ’100 th KEBANGKITAN NASIONAL’
SETELAH 20 MEI*
Jogja Gallery, Yogyakarta, 20 Mei - 8 Juni 2008
Kompetisi ini diselenggarakan untuk turut memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional yang akan jatuh 20 Mei 2008. Melalui kompetisi ini, Jogja Gallery mengajak para perupa untuk ikut merespon isu kebangkitan nasional. Dimana dalam kurun waktu 100 tahun, kebangkitan nasional bagi kalangan muda Indonesia memiliki penyikapan yang beragam sesuai riuhnya globalisasi yang tak bisa disangkal turut memberi pengaruh pada pola pikir, penyikapan, gaya hidup bahkan kepribadian personal mau pun bangsa Indonesia sendiri. Hasil dari kompetisi seni visual terbuka ini akan dijaring karya-karya [dengan media bebas] yang akan dipamerkan di Jogja Gallery mulai tanggal 20 Mei – 8 Juni 2008. Kompetisi ini juga bertujuan untuk mendapatkan perupa-perupa berbakat dengan mengedepankan kualitas karya melalui penyikapan semangat kebangkitan nasional terkini!
Abstraksi
Dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA, pada 20 Mei 1908 di Jakarta secara resmi terbentuk perhimpunan nasional Indonesia, Budi Utomo. Secara mendasar perhimpunan itu bertujuan untuk mencapai keharmonisan bangsa dengan memajukan sektor pendidikan, pertanian, peternakan, perdagangan, teknologi dan kebudayaan; serta bertujuan meningkatkan citra bangsa menjadi lebih terhormat dengan cara mempersatukan bangsa dengan mencapai kemerdekaan. Sepenuh-penuhnya.
Melihat upaya yang dilakukan oleh para pejuang bangsa (saat itu Budi Utomo dipimpin oleh para dokter, jaksa, guru, opsir legiun), pantaslah jika kita kini melihat kembali upaya mereka sebagai cerminan. Seratus tahun silam—bertepatan pula dengan 10 tahun reformasi—bangsa ini melakukan kebangkitan secara serempak. Namun, di masa ketika kita harus mempertahankan bangsa dari amuk ribuan persoalan dan jatuhnya moral para individu, apa yang bisa kita tarik dari sana? Salah satunya adalah mulai melirik kembali sejarah untuk memunculkan semangat baru: bangkitnya akal budi, hormat pada aturan & moral, serta sepenuhnya merdeka bagi setiap orang. Tanpa was-was.
Didorong oleh momen bersejarah itulah, dengan bangga Jogja Gallery mengundang Anda para perupa seluruh Indonesia untuk bersama bergabung dalam pameran peringatan ini yang akan berlangsung 20 Mei – 8 Juni 2008. Seperti halnya kata sang ”mutiara bangsa” Onze Tjip--Tjip Kita, panggilan tokoh penting Budi Utomo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo--bahwa bukan persoalan pertentangan Timur & Barat, Hindia & non-Hindia, melainkan penaklukan dalam segala bentuk yang harus dilarang. Sejarah mengajarkan kita untuk tidak tunduk dan takluk pada keadaan yang tertekan, dan yang lebih penting dari itu adalah menjaga agar setiap anak bangsa ini punya etika yang sehat. Sesehat-sehatnya.
Pameran ini mengharapkan karya-karya seni rupa Anda yang memiliki beberapa kerangka pemikiran.
Pertama, secara tematik bisa menggambarkan—misalnya secara ilustratif/realistik—situasi pada saat berlangsungnya peristiwa dalam Sejarah Kebangkitan Nasional.
Kedua, menggambarkan citra para tokoh yang berperan di dalamnya dan sejauh mana semangat kebangsaan dan perjuangan mereka dalam memerdekakan bangsa.
Ketiga, memberi edukasi bagi sebagian besar individu bangsa ini untuk mengetahui gejolak pemikiran dan wacana (politik, kebudayaan & sosial) yang ada saat itu, secar khusus dalam sejarah Kebangkitan Nasional.
Keempat, menarik benang merah atas peristiwa tersebut dengan berbagai kejadian atau fenomena yang saat ini berlangsung di Indonesia: rasa nasionalisme, hilangnya harta atau beberapa pulau atau tradisi lokal di Indonesia, semangat ”berpecah-belah” yang kini mulai terasa, dan sebagainya.
Dengan demikian karya-karya yang akan ditampilkan dalam pameran ini merujuk secara sistemis dan berupaya untuk menggambarkan secara menyeluruh rangkaian sejarah Kebangkitan Nasional Indonesia. Melalui riset yang dilakukan oleh perupa, melalui berbagai perenungan terhadap peristiwa negeri ini, melalui peringatan ini, kekurang-populeran peristiwa Kabangkitan Nasional (misalnya di mata anak muda saat ini) dapat lebih bergema. Nasionalisme dan perjuangan harus tetap berlangsung, apalagi berjuang untuk ”melawan lupa”.
*) judul diambil dari tulisan Goenawan Mohamad dari Nirwan A. Arsuka (editor), Kata, Waktu, Esai-esai Goenawan Mohamad 1960-2001, Jakarta, Pusat Data & Analisa TEMPO, 2001.
Terdapat banyak bacaan & referensi yang dapat dipakai, antara lain:
  1. Manuel Kaisiepo, ”Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo, Dari ”Kebangkitan Jawa” ke ”Kebangkitan Nasional”, dalam JB. Kristanto (ed.), Seribu Tahun Nusantara, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2000.
  2. Akira Nagazumi, The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of the Boedi Oetomo, 1908-1918, Tokyo Institute of Developing Ecomonic, 1972. / [Versi Bahasa Indonesia] Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908 – 1918, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1989
  3. Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985.
  4. Takashi Shiraishi, ”Impian Mereka Masih Bersama Kita”, dalam JB. Kristanto (ed.), Seribu Tahun Nusantara, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2000.
  5. Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jakarta: Gramedia, 1999.
TemaSejarah & Kreativitas Berbangsa’.
Kriteria Seleksi
  1. Kompetisi bersifat terbuka, berskala nasional, tanpa batasan usia.
  2. Peserta perorangan atau kelompok.
  3. Jenis dan media berkarya bebas.
  4. Karya harus asli, didasarkan pada ide yang orisinal, tidak sedang diikutkan dalam kompetisi yang lain dan bersedia untuk dijual.
  5. Ukuran untuk karya 2 dimensi tidak melebihi 300 x 300 cm.
  6. Ukuran untuk karya 3 dimensi 100 x 100 x 300 cm.
  7. Sedangkan seni instalasi/ multimedia menyesuaikan.
  8. Selain artistik, tema karya berdasarkan sejarah yang relevan atau berbasis pada kesadaran kreatif dalam berbangsa, serta menciptakan situasi yang membuka peluang bagi kemajuan bangsa di segala aspek (lebih khusus lihat paragraf akhir dalam pengantar pengumuman ini).
  9. Wajib menyertakan foto karya yang diikutkan seleksi tahap pertama, dengan ukuran 10 R-glosy, dikirim bersama dengan konsep karya, biodata & foto perupa serta informasi detail karya, diketik rapi.
  10. Khusus untuk karya 3 dimensi, harap memberikan foto detail karya.
  11. Khusus untuk karya multimedia, harap menyertakan berkas karya pendukung, misal CD interaktif dan sebagainya.
  12. Panitia tidak menerima kiriman foto karya dan sebagainya melalui surat elektronik (email).
Waktu pelaksanaan
  1. Seleksi tahap pertama, 20 Maret 2008, dengan materi seleksi foto karya; sehingga sangat diharapkan foto karya diterima oleh panitia paling lambat tanggal 15 Maret 2008, pukul 21.00 WIB [bukan cap pos].
  2. Seleksi tahap kedua, 10 April 2008 à peserta mengirim karya secara langsung dengan ke Jogja Gallery.
  3. Setiap karya yang masuk dalam pameran adalah yang berhasil melalui 2 tahap penjurian. Karya-karya yang tidak lolos seleksi tahap kedua bisa diambil kembali oleh peserta.
Penghargaan
  1. Sekitar 50 karya terpilih akan dipamerkan dalam pameran seni visual 100 tahun Kebangkitan Nasional ‘Setelah 20 Mei’, di Jogja Gallery, 20 Mei – 8 Juni 2007.
  2. Dewan juri akan menetapkan 5 besar karya terbaik dan akan mendapatkan penghargaan berupa uang masing-masing Rp. 3.000.000,- dan sertifikat.
  3. Pengumuman pemenang pada tanggal 1 Mei 2008 akan diumumkan baik secara personal maupun melalui situs kami.
  4. Keputusan dewan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
  5. Hal-hal lain yang belum jelas dapat ditanyakan ke Jogja Gallery.
Dewan Juri
  1. Prof. Soedarso Sp. MA. (Sejarawan Seni & anggota dewan penasehat Jogja Gallery)
  2. dr. Oei Hong Djien (Kolektor & anggota dewan penasehat Jogja Gallery)
  3. Mikke Susanto, S.Sn. (Staf Pengajar FSR ISI Yogyakarta & Kurator Jogja Gallery)
Selamat bekerja dan kami tunggu karya Anda.
Semua berkas silakan kirim ke
Panitia Kompetisi Seni Visual ’100 th Kebangkitan Nasional’
Nunuk Ambarwati [+62 81 827 7073]
R. Daru Artono [+62 856 4389 8779]
Jogja Gallery [JG]
Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta 55000
Telepon +62 274 419999, 412021
Telepon/Fax +62 274 412023
Telepon/SMS +62 274 7161188, +62 888 696 7227
Email : jogjagallery@yahoo.co.id
info@jogja-gallery.com
www.jogja-gallery.com