Monday, June 18, 2007

Borobudur Impasto-nya Anthony




Oleh Nunuk Ambarwati dan Puji Rahayu
Borobudur Agung
Menemui sosok Anthony David Lee, perupa kelahiran Manado, 2 Juni 1964 merupakan seseorang yang lebih dikenal sebagai jagoan masak. Mengaku memiliki keahlian melukis yang dia peroleh secara otodidak. Anthony yang saat ini tinggal di Denpasar, Bali ini sempat menggelar aksi melukis dalam sebuah jamuan makan malam, di lapangan Gunadharma, kompleks wisata Candi Borobudur, pada hari Rabu, 30 Mei 2007 lalu menjelang peringatan Hari Raya Trisuci Waisak 2551 BE/2007. Aksinya ini merupakan prakarsa Muncul Art and Culture Center yang digawangi oleh Soekeno [direktur UD Muncul, Yogyakarta] bekerja sama dengan Jogja Gallery [JG], Yogyakarta. Menampilkan corak impresionistik dengan teknik impasto [menumpuk cat di atas kanvas]-nya, Anthony melukis Candi Borobudur secara langsung, dengan media cat minyak di atas kanvas ukuran 980 x 280 cm. Lukisan sebesar itu, yang kemudian bertajuk ‘Borobudur Agung’ berhasil dia selesaikan hanya dalam rentang waktu 1 jam 40 menit saja.
Sebelum menggelar aksinya tersebut, Anthony sempat melukis bersama dengan Kartika Affandi di Museum Affandi, Yogyakarta. Hal tersebut dia lakukan sebagai bentuk partisipasi memeriahkan 100 Tahun Affandi yang bertepatan di tahun ini. Dua karya berhasil diselesaikannya, masing-masing tak lebih dari setengah jam saja. Dengan tema Affandi sebagai Barong dan Affandi sebagai Rangda. Dua lukisan tersebut rencananya akan turut dipamerkan di akhir Juni 2007 ini dalam sebuah pameran menandai eksistensi sang maestro.
Matahari sebagai ikon lukisan yang melekat pada Affandi menginspirasi sangat kuat pada diri dan lukisan-lukisan yang dihasilkan Anthony. Disamping warna, semangat dan goresan Affandi yang menginspirasinya, nuansa mistis biru tua pada karya seri Borobudur-nya Srihadi Soedarsono ternyata juga turut mengilhami karya Anthony. Untuk lebih menyiapkan penguasaan materi, tema dan keahliannya guna aksi pada malam 30 Mei 2007 yang lalu, hampir tiap malam dia menggoreskan banyak tube cat minyak dalam beberapa kanvas dengan tema Borobudur di kediaman Soekeno, sebagai studionya di Soragan, Yogyakarta.
Dengan latar belakang Candi Borobudur yang mistis malam itu, dihadiri kurang lebih 50 tamu undangan, terdiri dari para kolega dan para jurnalis. Jamuan makan malam diselingi musik mengantar Anthony menyelesaikan karya besarnya. Segera setelah Anthony merampungkan aksi melukisnya, dia menyempatkan untuk mendeskripsikan maksud lukisannya kepada para undangan. Lukisan yang dia hasilnya menurutnya belum selesai, dia mengundang semua orang yang melihat karyanya kemudian menyelesaikannya dalam hati dan pikiran masing-masing. Dia ingin mengajak masyarakat Yogyakarta untuk merenungkan berbagai peristiwa yang terjadi, misalnya bencana alam gempa bumi [dimana tahun ini merupakan peringatan 1 tahun gempa bumi di Yogyakarta dan sekitarnya]. Dengan adanya peristiwa itu, jangan selalu menyalahkan Tuhan. Seharusnya berpikir lebih cerdas, dan harus banyak belajar, segala sesuatu itu bisa terjadi mungkin kebanyakan karena dari kelalaian kita sendiri, seperti kurang peduli terhadap alam yang ada di sekitar kita, yang sebenarnya telah memberi kita kehidupan, keindahan, kekayaan yang melimpah. Saatnya kita untuk sadar dengan hal itu.
Yang menjadi keprihatinan Anthony lainnya adalah banyak orang yang tidak tahu, tidak sadar bahwa kita punya peninggalan yang amat luar biasa, seperti Candi Borobudur. Keberadaanya belum begitu diperhatikan, padahal ini adalah peninggalan yang amat luar biasa. Banyak orang yang tidak tahu tentang sejarah maupun maknanya. Ini menunjukkan bahwa orang-orang banyak yang belum bisa menghargainya. Sejak melihat Candi Borobudur, Anthony sangat kagum, dia terus membaca dan mencari tahu dari berbagai sumber sebelum dia tertarik untuk melukiskannya.
Borobudur bagi Anthony adalah sebuah bangunan yang sangat indah, cantik dan sangat kokoh. Sesuatu yang luar biasa, mempunyai nilai spiritualitas yang tinggi dan baik dari ukuran, bentuk mau pun keberadaanya. Dia mengatakan kekagumannya tersebut ketika melihat sendiri peristiwa yang terjadi dihadapannya. Seperti manusia yang selalu berubah, peradaban yang berubah bencana yang membuat semua kehidupa dan alam berubah, tapi Borobudur tetap kokoh. Kekaguman ini sangat kuat dirasakan oleh Anthony, semua direkam dalam memorinya dan diwujudkan dalam bentuk lukisan yang dikerjakan hanya dalam beberapa saat.
“Karya ini universal, dimana disana ada matahari dan bulan. Matahari terinspirasi oleh Affandi yang bersinar, mempunyai kekuatan yang luar biasa sebagai maestro. Bulan terinspirasi oleh perupa Srihadi Soedarsono. Terdeskripsikan orang sedang berdo’a artinya kita harus bersyukur kepada Tuhan. Tidak terus meminta kepada Tuhan, tapi harus lebih banyak belajar dan terus belajar serta waspada. Bencana yang digambarkan merupakan peringatan bagi kita”, jelas Anthony.
Meski batal tercatat masuk di Museum Rekor Indonesia [MURI] sebagai lukisan paling banyak [berat] menggunakan cat minyak, para tamu undangan merasa kagum dengan karya yang dihasilkan Anthony. Banyak komentar atas karya spektakulernya, terasa luar biasa dan indah. Bahkan KGPH Hadiwinoto, yang hadir pada malam itu, mengatakan karya ini mengandung nilai spiritual yang tinggi dan agung. Karya Anthony bisa memberi peringatan pada manusia, dimana manusia sebenarnya adalah makhluk yang lemah dan perlu menjalankan hidup dengan terus mendekatkan diri kepada Tuhan. Manusia harus terus menuju jalan kebenaran dan terus rendah hati dihadapan-Nya, meminjam pepatah orang Jawa yang mengatakan dalam hidup perlu memayu hayuning bawana, jelas Gusti Hadi.
Karya tersebut kini menjadi koleksi pribadi Soekeno dimana saat ini terpajang dan bisa dinikmati dalam pameran yang dikuratori Mikke Susanto, ‘Transposisi: Lukisan-lukisan Koleksi Kolektor Jateng-DIY’, digelar Jogja Gallery [JG], Yogyakarta, 22 Mei – 26 Juni 2007.

Si Misterius Anthony
Selama masa tinggalnya di Yogyakarta kala itu [kurang lebih 2 minggu], Anthony sangat aktif melukis setiap harinya. Dalam aktifitasnya melukis, Anthony lebih mengedepankan sisi entertainmen. Dengan senang hati dia persilakan kita melihat proses menyelesaikan lukisannya. Dia juga tak keberatan kita ‘mendikte’-nya untuk melukiskan satu obyek dalam kanvas kosongnya. Selama proses melukis, dia banyak menyertakan guyonan-guyonan yang menyegarkan, entah berhubungan dengan obyek lukisan mau pun kadang tidak sama sekali. Dia pun selalu akan mengakhiri lukisannya dengan mendeskripsikan setiap detail apa yang dia goreskan di kanvas tersebut. Mengapa ada burung, mengapa ada matahari, mengapa warnanya kuning atau biru dan seterusnya. Hal tersebut sangat jarang bisa kita temui dari perupa-perupa lain. Bagaimana seorang perupa menutup diri, menemukan momen yang tepat, mengisolasi diri guna berkonsentrasi menyelesaikan karya dan seterusnya. Situasi langka yang bisa dihadirkan Anthony tersebut di atas, memberikan kejutan-kejutan yang menarik bagi publik awam akan dunia seni lukis.
Maka tak mengherankan ketika pengamat seni sekaligus kolektor ternama, Dr. Oei Hong Djien mengomentari karya-karya Anthony yang lebih tepat sebagai pengisi ruang, dekoratif yang bersifat mengindahkan. Tak lebih dari itu.
Bagi Anthony sendiri, situasi berkarya dengan dilihat banyak orang tak menganggunya menyelesaikan karya. Meski konsekuensi atas situasi tersebut jelas terbaca pada lukisan yang dia hasilkan. Ketika banyak komentar yang ‘mengintimidasi’ otaknya, dimana situasi yang selalu berbeda mengurangi kenyamanannya dalam berkarya, atau bahkan dikte-dikte yang memberi masukannya, jelas terbaca pada kualitas karya.
Buat Anthony, kegiatan melukis juga merupakan salah satu terapi baginya. Dimana menurut pengakuannya pada malam peringatan hari ulang tahunnya yang ke-43, dia merupakan sosok yang hiperaktif, dimana ide dan gagasannya selalu berkembang. Dokter yang menanganinya menyarankan untuk sedikit mengurangi sisi hiperaktifnya apabila dia ingin hidupnya menjadi lebih baik.
Satu hal lain yang menarik darinya adalah gaya melukisnya. Dibantu dua orang asistennya, Putu dan Kadek, bertube-tube cat bisa dia habisnya dalam satu kali melukis. Biasanya Putu yang akan memplototkan tube cat di atas kaca dan Kadek yang terus mendokumentasikan tahap-tahap Anthony melukis, mulai dari goresan pertama hingga tanda tangan sebagai tanda akhir dia melukis. Tak heran dokumentasi aksi-aksi melukisnya dimana pun, bahkan di rumah orang-orang penting di Republik ini, sangat detail dan lengkap, bisa kita lihat di laptop yang selalu dibawanya.
Anthony juga sangat mengedepankan kebersihan dalam aksi melukisnya. Disamping bertube cat yang dia habisnya, berlembar-lembar tisu juga wajib tersedia ketika dia melukis. Setiap kali selesai menggoreskan satu warna dengan ‘spatula’-nya, dia seka spatula tersebut dengan tisu hingga bersih. Anthony mengaku, warna-warna murni dari tube cat lebih dia sukai daripada mencampur warna. Meski pun kadang memang ada sedikit warna-warna campuran yang dia hasilkan untuk memberi aksen tertentu pada lukisannya.
Meski penulis sempat mengikuti aksi-aksi melukis Anthony, kemisteriusan background-nya masih selalu menjadi tanda tanya. Siapa sih Anthony? Masih merupakan pertanyaan besar yang selalu membayangi. Dia tak pernah bisa serius mengatakan siapa dirinya sebenarnya, bagaimana dia mendapatkan keahlian melukis, atau kronologi pameran dan prestasi berkaryanya. Meski tak pernah serius menjawabnya, tidak demikian ketika dia menjelaskan setiap detail karyanya. Untuk hal yang satu ini, dia selalu menjawab dengan ‘tak penting perupanya, yang penting adalah karyanya'.

Rekomendasi #6

Magelang, 26 February, 2007
Pengelola Program Magang Internasional periode 2007-2008
Yayasan Kelola, Jakarta in cooperation with
Asialink, Centre, Australia
The Asian Cultural Council, United States of America
Ref: Letter of recommendation
Dear Sirs and Madams,
I have known Ms Nunuk Ambarwati for several years. From the first time I met her, she already showed high appreciation for art. Besides, her social intercourse with the art world (collectors, galleries, curators, writers, event organizers) in general and artists in particular has always been very good.
Knowing her better, I observed that she was always carving for more knowledge and experience in art, particularly contemporary art. In this respect Ms Nunuk Ambarwati had been involved in the activities of Cemeti Art Foundation for some period.
Last year she joint our team in organizing a wedding art event where 80 prominent artists were participating; an art event never happened before. It was to a significant part due to her contribution that this art event became a great success. In this collaboration I noticed that she has great responsibility for her work.
Since the end of 2006 Ms Nunuk is employed as program manager of the new established Jogja Gallery where I am appointed as one of the advisers. In a short period she has proven her capability to execute her job very well. Since the opening of this Gallery there have been continuous activities. After an exhibition is terminated a new exhibition follows immediately, besides other activities like art talks.
Nationally she has built a significant knowledge and experience in programming and organizing art events. If she could get the opportunity to broaden her knowledge and experience internationally, it definitely would be a great benefit for the Indonesian art world since Ms Nunuk Ambarwati’s dedication to art is beyond doubt.
Yours sincerely,
Oei Hong Djien
Art Collector
Owner and curator of OHD Art Museum
Board member of Singapore Art Museum
Board member of Art Retreat Museum, Singapore
Curator of Museum H. Widayat
Adviser of Jogja Gallery

Rekomendasi #5

Jakarta, February 3, 2007
Pengelola Program Magang Internasional periode 2007-2008
Yayasan Kelola, Jakarta
I have known Nunuk Ambarwati prior to the opening of Jogja Gallery on September 19, 2007. Nunuk Ambarwati has been assigned as the Program Manager of Jogja Gallery. Prior to joining Jogja Gallery, Nunuk Ambarwati had been working for Cemeti Art House in Yogyakarta.
Yogyakarta is the birthplace of many famous artists in Indonesia, but, ironically, Yogyakarta didn’t have a common facility that can satisfactorily showcase the talents of the artists. To bring a great contribution to the preservation and strengthening of Yogyakarta’s identity as the cultural hub of Indonesia, Jogja Gallery was founded and is pleased to appoint Nunuk Ambarwati as our Program Manager.
Not like other galleries that either mostly funded by the government or individual artists, Jogja Gallery was fully funded individuals (including myself) to support the preservation and development of culture, art, and social life. The challenge arises when the executives of Jogja Gallery are requested to prepare a program that balances the quality of arts and the survival of the gallery. I was initially pessimist about the capability of the executives who are all with virtually no background in business. Surprisingly, Nunuk Ambarwati has been demonstrated her capability and talent to set a one year program in very short time period that satisfiying the business approach without sacrificing the quality of the arts. Among other programs, the “Icon: Retrospective”, “Young Arrows”, the “Art from Tunisia” (join exhibition with the Government of Tunisia), the “Thousand Mysteries of Borobudur” (join exhibition with UNESCO), Indonesian Student Art, etc, are considered as monumental exhibitions that can only be prepared by a talented person such as Nunuk Ambarwati.
As the President Director of Jogja Gallery, I have no doubt concerning the quality and talent of Nunuk Ambarwati, and consider her as the key persons at Jogja Gallery.
Sugiharto Soeleman
President Director



Rekomendasi #4

Saya, Suwarno Wisetrotomo, kritikus seni rupa dan dosen di Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, bertempat tinggal di: Jalan Bangau 577B, RT/RW 13 / 26, Wonocatur, Banguntapan, Yogyakarta 55198 Indonesia (email: sangkrit@yahoo.com), menulis Surat Rekomendasi untuk Saudara Nunuk Ambarwati (dokumentator seni visual; perancang/manajer program kesenian/seni rupa), alamat: Jalan Gamelan Kidul 22 Yogyakarta, Indonesia (email: qnansha@yahoo.com).
Saya mengenal Nunuk Ambarwati (selanjutnya ditulis Nunuk), lebih dari sepuluh (10) tahun yang lalu, melalui berbagai aktifitas kesenian – khususnya seni rupa – di Yogyakarta, Indonesia. Nunuk banyak terlibat aktif dalam berbagai kegiatan seni rupa, baik sebagai dokumentator, publikasi kegiatan, mau pun sebagai perancang dan pelaksana program. Saya semakin mengenal dan banyak berkomunikasi ketika Nunuk bekerja penuh pada Yayasan Seni Cemeti (Cemeti Art Foundation), sebagai dokumentator dan pengarsipan seni visual, serta ikut mengerjakan SURAT YSC yakni media publikasi Yayasan Seni Cemeti. Diantara pekerjaan itu, Nunuk masih bisa membagi waktu dengan terlibat pada beberapa proyek seni rupa, antara lain Biennale Seni Rupa Yogyakarta. Kemudian saya tahu, Nunuk akhirnya menjabat sebagai Manajer Program di Jogja Gallery, sebuah galeri baru di Yogyakarta.
Karier profesinya itu menunjukkan bahwa Nunuk seorang yang serius dan professional dalam bidang yang diminatinya, yakni sebagai perancang dan manajer (pengelola) program pada sebuah institusi kesenian/kebudayaan. Di samping itu, luasnya pergaulan, serta pengalamannya mendokumentasi berbagai kegiatan kesenian/seni rupa, pasti akan sangat menunjang dalam mengelola suatu program,. Manajer program merupakan salah satu pemegang kunci hidup atau matinya kegiatan yang menarik dan bermutu pada institusi kebudayan/kesenian. Sementara kita tahu, posisi manajer program itulah yang justru mengalami krisis, atau dengan kata lain, masih terlalu sedikit yang professional. Nunuk, dalam pengamatan saya, dan sejauh yang saya ketahui, berada di jalur yang tepat dan sungguh-sungguh ia pahami, sekaligus dapat mengisi celah kekosongan ikhwal manajer program yang professional.
Aktivitas dan partisipasinya dalam berbagai peristiwa dan berbagai skala, menunjukkan bahwa Nunuk adalah seorang yang tahu persis tentang apa yang akan dikerjakan, juga tahu manfaat pekerjaan itu bagi masyarakat luas, khususnya bagi dunia kesenian/seni rupa.
Atas potensi, kesungguhan, dan pengalamannya dalam berpartisipasi di berbagai peristiwa kesenian (seni rupa), saya yakin, Nunuk Ambarwati dapat melakukan program-program yang diagendakan oleh Pengelola Program Magang Internasional periode 2007-2008 – Yayasan Kelola Jakarta, bekerjasama dengan Asialink, Centre, Australia, Asian Cultural Council, dan United States of America. Dengan kata lain, Nunuk Ambarwati merupakan kandidat yang pantas dipertimbangkan untuk diterima dalam Program Magang Internasional tersebut. Saya berharap, catatan dalam rekomendasi saya ini, dapat membantu pemahaman siapa saja tentang sosok dan profesi Nunuk Ambarwati, dan pada akhirnya dapat membantu dalam membuat keputusan yang tepat baginya.
Salam,
Yang membuat rekomendasi

Suwarno Wisetrotomo

Rekomendasi #3

Yang bertanda tangan di bawah ini adalah saya: Aloysius Nindityo Adipurnomo; seniman perupa; salah satu Direktur Rumah Seni Cemeti Yogyakarta dan Pendiri serta mantan Pengurus aktif Yayasan Seni Cemeti Yogyakarta.
Saya mengenal saudari Nunuk Ambarwati seiring bersama berkembangnya karier dan komitmen saudari Nunuk pada bidang manajemen kesenian, secara khusus seni rupa. Pada tahun 1999 saudari Nunuk bergabung pada Rumah Seni Cemeti Yogyakarta, dimulai sebagai staf pengelolaan galeri.
Tahun 2002, Nunuk meneruskan komitmen pengelolaan kegiatan seni rupa dengan membenahi dan mengembangkan bidang dokumentasi seni rupa, yang menjadi core utama kegiatan Yayasan Seni Cemeti Yogyakarta.
Tahun 2006 saudari Nunuk mendapatkan tawaran posisi menjalankan manajemen/pengelolaan Jogja Gallery di Yogyakarta hingga sekarang.
Sebagai narasumber dan kolega, maka dengan ini saya secara pribadi mendukung segala macam bentuk upaya yang diperhitungkan mengarah pada stimulant bagi berkembangnya fokus keahlian dan kariernya, terutama di dalam manajemen pengelolaan kesenian, khususnya seni rupa secara nasional dan internasional.
Saya berharap surat referensi ini bisa dipergunakan oleh berbagai pihak sebaik-baiknya dan proporsional.
Yogyakarta, 7 Februari 2007
Nindityo Adipurnomo


Rekomendasi #2

Yogyakarta, 5 January 2007
To whom it may concern,
I have known Nunuk Ambarwati since the 1990s in various activities of art and culture in general. Nunuk used to work for the Cemeti Art Foundation, and now works for the Jogja Gallery based in Yogyakarta. As far as I know she has well managed not only in handling art exhibitions, but also in organizing art events which included many people from different backgrounds, local and expatriate artists, as well as institutions.
From my observation on her achievements and attitudes I would say that she is indeed a professionally hard worker, who always pursue excellent goals. She works efficiently, effectively, and punctually. In dealing with documents and information she handles systematically. Another good aspect of Nunuk’s competency is that she is patient enough in organizing or coordinating works that deal with artists many of who are very individualistic and eccentric. I have seen in many occasions that Nunuk has managed to implement solutions that come from heart.
Other credible points of Nunuk are the facts that she has skills required for a modern professional manager / organizer, those are mastering digitally recording equipment as well as taking advantes of recent electronic media. Nunuk has useful and good documentations of art events, and of and ethnic and contemporary works of art.
Nunuk studied Communication at a significant university in her home city, that is the University of Gadjah Mada. She was born of a family who respect Javanese culture, namely Javanese dance, and lives in an area where live dwellers having traditional cultural relationship with the Sultanate Palace of Yogyakarta. She happens to be a Javanese dancer, therefore she has developed empathetic sense in approaching artists.
Based from what I know I highly recommend Nunuk Ambarwati to receive a chance for international internship organized by Yayasan Kelola.
I can be connected any time to give more explanation or details about Nunuk Ambarwati should Yayasan Kelola need more.
Yours Sincerely,
M. Dwi Marianto



Rekomendasi #1

Yogyakarta, February 14, 2001
Letter of Recommendation
Since November 2000 Nunuk Ambarwati supports me with her assistance in conducting the ongoing empirical study “Journalism in Indonesia”, which is based on a cooperation between Atmajaya University Yogyakarta, Indonesia, and Technical University of Ilmenau, Germany.
Graduated from the Communication Department of the Gadjah Mada University Yogyakarta, Ms.Ambarwati is working with full commitment, always on-time and well organized.
Along with this formal aspect, in her work she deals with many organizations and mass media. Ms. Ambarwati is conscious, hardworking, communicative and intelligent young person. Given the change to work in your company, she will enhance her skills and enrich her vision, and this is extremely useful for her future career.
I strongly recommend for this job. I’am certainly sure that Ms. Ambarwati is heading to a successful career.

Thomas Hanitzsch