Wednesday, October 17, 2012




Materi teks untuk profil seniman di Tribun Jogja

Membaca karya Imam Santoso (kelahiran Juni 1986), sebenarnya membaca karakter dan kepribadian dia. Karakter seorang Imam Santoso adalah seorang yang adaptif, artinya orang yang mudah menyesuaikan diri dengan kondisi dimana dia berada atau tinggal saat itu. Dan dengan demikian pun, Imam juga seorang yang mudah terinspirasi ketika ada gagasan yang menghampirinya melalui obrolan bersama teman atau dari dia melihat sesuatu.

Lulusan ISI Yogyakarta ini sangat menikmati dunianya sebagai seorang seniman. Semasa kecil ada 15 penghargaan disabetnya dalam dunia gambar-menggambar. Latar belakang keluarganya tidak ada yang membentuknya menjadi seorang seniman, hingga suatu saat guru SMPnya mempengaruhinya untuk masuk kuliah seni. Dan jadilah sosok Imam Santoso yang seperti sekarang.

Tema berkaryanya sederhana, diambil dari kehidupan dia sehari-hari dan apa yang sedang dia rasakan. Tema-tema yang diambil bersumber dari kehidupan dia sehari-hari dan tema sosial, psikologi atau bahkan politik. Apa yang digambarnya merupakan tema-tema yang nyata, kejadian sesungguhnya yang pernah terjadi. Judul-judul karya yang dipilih Imam pun sangat lugas dan jelas. Imam tidak kesulitan menentukan tema untuk karyanya. Baginya gagasan itu selalu berloncatan dalam kepalanya, tapi saying, dia bukan tipe orang yang dokumentatif atau tidak membuat arsip atas gagasan-gagasan tersebut. Sehingga seringkali tema itu berlalu begitu saja sebelum sempat dia tuangkan dalam sebuah karya. Tema yang sedang ia geluti saat itu bisa dieksplorasinya selama kurang lebih satu tahun.

Selama masa studinya Institut Seni Indonesia (ISI), Yogya, Imam mengaku banyak terforsir ke studi bentuk kemudian baru mencari narasi. Studi bentuk seperti pengembangan karakter atau pencarian karakter personal.  Imam menyadari bahwa ia kurang bisa menguasai bentuk-bentuk realistik, tidak cukup menguasai soal pewarnaan,  tapi Imam kuat untuk studi garis. Karya seniornya, Eko Nugroho, mencari inspirasinya pada masa itu. Karya Eko Nugroho memang sederhana namun sarat makna.

Di tahun 2009, bersama seorang rekan seniman, Imam mengeksplorasi tema ‘My Favorite Sin’. Karya-karya mereka kemudian dipamerkan dengan judul yang sama di Tembi Contemporary Gallery (17 November – 5 Desember 2009). Latar belakang tema ini adalah bagaimana seseorang muda mencari jati diri.

Tahun 2010-2011, Imam mengambil tema televisi. Kenapa ambil tema televisi? Media itu yang sangat dekat dengannya, karena sehari-hari berkomunikasi dengan televisi. Televisi sebagai teman, sebagai bentuk interaksi, monolog pada diri sendiri. Di tahun yang sama, Imam banyak membuat studi tentang bayangan, menurutnya bayangan itu romantik. Dan Imam mendeformasi bayangan dalam karya-karyanya menjadi figure yang panjang-panjang.

Bila kita amati karya-karya Imam, terutama mulai tahun 2010, obyek manusia yang dilukisnya tidak memperlihatkan wajah di situ. Baginya, penggambaran wajah tidaklah penting dan tidak harus digambarkan sebagai seorang laki-laki atau perempuan, tetapi dari asesori, pakaian yang dipakai atau ikon-ikon yang menyertainya. Sehingga penikmat karya seni tetap bisa mendefinisikan jenis kelamin figur yang terdapat dalam obyek itu.

2011, ketika kemudian teknis dan karakter karya sudah ia temukan. Imam kemudian lebih mengeksplorasi judul karya. Imam membuat judul karya yang lugas dan tegas. Ia ingin agar orang bebas menginterpreasi karyanya. Dari judul tersebut, ia ingin mendapatkan feedback dari publik.

Di tahun 2012, Imam berkesempatan mengikuti sebuah program residensi di Yogyakarta selama 3 bulan. Selama menjalankan program residensi tersebut, Imam berhasil menyelesaikan lebih dari 5 karya yang kemudian dipamerkan di bulan Juli 2012 yang lalu.

Lukisan-lukisan Imam Santoso merupakan refleksi konsisten dirinya sendiri, ia berkomunikasi melalui mereka. Imam memasukkan simbol dari kehidupan sehari-harinya dan mengulangi mereka dalam berbagai lukisan. Dia adalah simbol dari kontradiksi dan ekspresif tentang hal itu. Dia melukis Sekaten (pesta rakyat tahunan) namun tanpa kerumunan dan kebisingan. Ia melukis tradisi Keraton bertanya-tanya apakah remaja hari ini akan tertarik untuk melestarikan budaya ikonik kota, atau lebih dikonsumsi oleh urbanisasi dan budaya pop. Karya-karyanya yang hidup, adaptif, nyata namun imajinatif.

Nunuk Ambarwati

Dimuat di koran Tribun Jogja, Rubrik Art & Culture, halaman 12, Minggu, 7 Oktober 2012





Materi teks untuk profil seniman halaman Art & Culture Tribun Jogja



BERAWAL DARI SENI GRAFIS

Theresia Agustina Sitompul ( 5 Agustus 1981), seorang dengan marga Batak yang dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur kemudian tinggal dan berkarya di Yogyakarta. Baru-baru ini, namanya menjadi buah bibir di kalangan seni rupa Indonesia, karena Tere, demikian panggilannya; berhasil menjadi terbaik III, Triennal Grafis Indonesia IV tahun 2012 yang diumumkan awal Oktober ini. Istimewanya adalah, Tere mencatatkan sejarah sebagai perupa grafis perempuan pertama yang memenangkan kompetisi 3 tahunan yang diselenggarakan oleh Bentara Budaya Jakarta tersebut. Membawa karya yang berjudul Book Prints and Memory berhasil memikat perhatian 12 juri dan mengeliminasi total 405 karya yang masuk di ajang itu.

Pada Triennal Grafis Indonesia IV ini konvensi (norma aturan) di dunia seni grafis ditegakkan. Konvensi seni grafis yang dimaksud adalah seni grafis yang masih bisa dikenali seperti teknik cukilan kayu, litografi, cetak dalam, dan cetak saring atau serigrafi/sablon. Seni Grafis (printmaking) adalah sebuah seni yang reproduktif. Dalam hal ini setiap karya grafis hendaknya dicetak lebih dari satu. Cetakan-cetakan tersebut adalah edisi yang memang harus ada untuk membedakan karya grafis dengan karya dwimatra lainnya: lukisan, yang barang tentu hanya dibuat satu. Sebagai sebuah karya cetak, setiap pencitraan, dalam hal ini berkaitan dengan setiap warna dalam karya seni grafis, dibuat dari matriks yang berbeda. Matriks adalah pelat cetakan, darimana pencitraan dalam karya grafis berasal. Banyaknya warna menunjukkan banyaknya matriks yang digunakan. Kualitas cetak ditentukan oleh ketepatan (presisi) dan keidentikan (kesamaan) satu edisi dengan edisi yang lainnya. Di Indonesia, beberapa tahun yang lalu, edisi dan matriks sempat diabaikan. Dalam usahanya untuk bersaing dengan seni lukis, sebagian besar penggrafis di Indonesia meninggalkan disiplin cetak—dan membuat karya mereka (semakin) tidak berbeda dengan lukisan. Edisi ditinggalkan sebagai laku dari pengeksklusifan karya. Karya hanya dibuat satu untuk menaikkan harga. Ukuran dibuat relatif besar. Dengan ukuran yang besar , teknik pewarnaan seringnya tidak dicetak, melainkan dilukis (handcoloring).

Untuk mengikuti kompetisi Triennale Grafis ini, karya Tere juga kembali pada konvensi seni grafis yang disebut intaglio (cetak dalam) dan relief print (cetak tinggi). Dengan kombinasi dua media tersebut dan sebuah konsep sederhana Tere menggambarkan kenangannya semasa kecil, seperti tinggal di kaki Gunung Welirang, di sekeliling rumah terdapat pohon cemara. Menggambarkan memorinya sewaktu kecil saat ia bangun pagi yang ia cari pertama kali adalah ayam-ayam di halaman belakang, pengalaman hidupnya dengan seorang adik yang difable, 3 saudara perempuan dan melewati bunga matahari yang berada di rumah tetangga saat berangkat sekolah mulai taman kanak-kanak hingga SD. Dalam detail karya itu ada narasi atau quote yang menjelaskan karya grafis itu sendiri meski tidak secara harafiah. Bentuk karya yang ia buat saat itu dikemasnya dalam bentuk buku, karena baginya ada relasi kuat antara buku dengan teknik cetak-mencetak dan buku adalah benda yang biasa kita temui sehari-hari. Jadilah sebuah buku kenangan pribadi  seorang Tere. Ia memang selalu tidak jauh dari keadaan sekitar dari mendengar, melihat dan merasakan ketika ia memunculkan tema dalam karyanya. Meski ia mengaku seniman Kiki Smith (lahir di Jerman, 1954), seorang perupa perempuan Amerika cukup berpengaruh terhadap proses karyanya.

Tere menjatuhkan pilihan basis seni grafis sebagai media dalam karyanya sejak awal studinya di Institut Seni Indonesia /ISI (1999-2007) dan dilanjutkan ke studi pasca sarjana ISI (2009-2011) tetap dengan pilihan yang sama yakni seni grafis. Tere mengaku tidak bisa berpindah ke lain hati, ia ingin terus konsisten di media ini. Karena saat mengerjakan karya grafis, banyak kejutan saat melalui proses berkarya. Proses pengerjaan karya grafis yang manual,semisal dalam pengerjaan teknik cetak dalam (intaglio) bagaimana penggunaannya dengan mesin pres, teknik penintaan, goresan, pengasaman dan kelembaban kertas; justru hal-hal tersebut yang membuat Tere sangat menikmati media ini. Tiap kali berkarya selalu ada tantangan dan kejutan; terkadang ada beberapa efek yang tidak sengaja muncul karena hubungan dari proses yang sudah berjalan tadi, entah karena tekanan mesin pres, proses pengasaman atau penintaan, dan kemudian proses mencetak akhirnya mengangkat kertas dari atas plat. Banyak teknik yang bisa dipelajari dan dengan perlakuan yang berbeda membangkitkan gagasan-gagasan atas karya-karya Tere.

Keseriusannya pada dunia seni grafis pun ia wujudkan dengan membangun sebuah kelompok dengan nama Studio Grafis Minggiran (berdiri 1 September 2001) bersama rekan-rekan kuliahnya, antara lain Alexander Nawangseto, , Danang Hadi P, Ruly Putra Adi, Deni Rahman, Luqi dan Bintang (formasi baru). Studio Grafis Minggiran adalah sebuah studio (bengkel kerja) terbuka yang memfokuskan diri dalam pengembangan teknik seni cetak grafis (printmaking). Gagasan membangun komunitas non profit ini didasarkan karena perkembangan seni grafis Indonesia sejak tahun 1940 begitu lambat dan dalam kondisi yang kekurangan. Selain itu, kebanyakan studio grafis berada dalam kampus atau milik pribadi. Kesulitan bagi para pegrafis apalagi bagi mahasiswa seni grafis untuk bereksperimen dan berkarya di luar waktu kuliah semakin terbatas. Saat ini, Studio Grafis Minggiran terus berkembang, masih aktif dan menjalankan beberapa program edukasi maupun apresiasi seni grafis dalam bentuk pameran atau workshop di berbagai tempat dengan peserta yang bervariasi baik dari kalangan seniman, mahasiswa, pelajar, maupun masyarakat umum.

Sebagai seorang yang eksploratif, Tere tidak berhenti pada media di atas kertas saja. Pengembangan gagasan banyak muncul di benaknya. Ia pun melakukan eksplorasi media hingga karya 3 dimensi seperti patung atau instalasi dari bahan resin dan aluminium. Meski pun eksplorasi karyanya kemudian tersaji dalam bentuk 3 dimensi, Tere tetap memasukkan unsur-unsur teknik seni grafis didalamnya. Eksplorasi media ini telah ia jalani semasa kuliah, namun akhirnya berhasil ia wujudkan di tahun 2008, ketika karya 3 dimensi pertamanya dipamerkan di sebuah pameran bersama galeri seni rupa di Yogyakarta. Hingga saat ini, Tere semakin berani dan percaya diri menampilkan karya-karya fenomenal dan terkadang gigantik atau berukuran besar, seperti bisa kita lihat pada pameran tunggalnya di tahun ini bertema Prints from The Book of Genesis, Seeds of Peace yang dipamerkan di Bandung. Karya-karya hebatnya tersebut semua berawal dari seni grafis.

Nunuk Ambarwati

Dimuat di koran Tribun Jogja, rubrik Art & Culture, halaman 12, Minggu, 21 Oktober 2012