Wednesday, October 25, 2006

Q n A about Residency Program

Photo courtesy
Nindityo Adipurnomo,
"Who Wants Take Me Around",
Residency in Cardiff, England

Wawancara antara saya dengan 4 orang seniman Indonesia, Nindityo Adipurnomo, Iwan Wijono, Angki Purbandono dan Arie Dyanto. Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui seberapa penting program residensi (pertukaran seniman) bagi seniman itu sendiri dan bagaimana program residensi yang diinginkan. Hasil wawancara ini memang sengaja tidak diedit, apa adanya. Pemilihan seniman yang menjadi responden pun cukup bervariatif, Nindityo Adipurnomo, perupa dan pengelola Cemeti Art House, jelas mempunyai banyak pengalaman melakukan program residensi baik di negara Asia mau pun Eropa. Sementara Iwan Wijono seorang performer artist, meski pun telah beberapa kali melakukan kunjungan ke luar negeri tetapi ternyata belum dapat dikatakan program residensi. Ada Angki Purbandono, seniman yang fokus di bidang fotografi, salah satu motor penggerak ruang alternatif MES 56 yang baru saja menyelesaikan program residensinya selama 1 tahun di Korea, dan merupakan pengalaman pertama baginya. Dan terakhir Arie Dyanto, salah satu personil kelompok Apotik Komik yang banyak bekerja di ruang publik mempunyai beberapa pengalaman menarik pula seputar program residensi yang bekerja di ruang publik. Apabila Anda ingin mengambilnya sebagai materi penulisan dan publikasi lainnya, mohon menyebutkan sumber dengan benar dan jelas. Terima kasih.



Wawancara melalui email:
Iwan Wijono, 11 Agustus 2005
Nindityo Adipurnomo, 11 Agustus 2005
Angki Purbandono, 5 Februari 2006
Arie Dyanto, 7 Februari 2006
(1) Apakah kamu pernah melakukan program residensi?
Kalau iya, tolong jelaskan dimana, kapan, berapa lama?

Nindityo Adipurnomo:

Residensi artist yang pertama di RIJKSAKADEMIE VAN BEELDENDE KUNSTEN, tahun 1986-1987, Amsterdam, Belanda. Tahun 1999, residensi selama 3 bulan di Bute Town Studio, Cardiff Wales, Sponsornya The Visiting Arts dan British Art Council London, Inggris.
Tahun 2002, residensi selama 3 minggu di Fukuoka Asian Art Museum, Fukuoka. Disponsori oleh Fukuoka Triennale II, Jepang. Residensi tahun 2004 selama satu bulan di Studio Joo Chiat Road 106, Lassale College of the Arts Siangapore. Disponsori oleh Post Graduate Programme dari Lassale, Singapore. Yang terakhir adalah paket residensi dan workshop kilat di Hong Kong International Artist Workshop. Disponsori oleh Art Trust and Triangle tahun 2005 di Hong Kong.

Iwan Wijono:

Aku tidak pernah ikut program residency, pernah coba yg UNESCO dll tapi selalu ditolak, nggak tahu kenapa, mungkin karyaku kurang standard kontemporer kali buat mereka, tapi aku ampe kecapekan untuk diundang langsung festival performance internasional di luar negeri, bahkan mereka sering tidak tanya aku mau ngapain,tidak minta proposal, mungkin kencing sambil minum Coca Cola pun diterima sebagai performance art yang bagus :) Walau aku tidak pernah punya program residency, namun sering sesudah festival aku tinggal lebih lama di rumah-rumah seniman, buat project baru, bahkan terlama pernah 3 bulan di Mexico City termasuk kota-kota lain sekitarnya. Arie Dyanto: Rimbun Dahan , Malaysia November 2005 sampai Maret 2006.
(2) Apa yang memotivasi kamu untuk ikut program residensi?
Nindityo Adipurnomo:
Sejujurnya, sebenarnya setiap tempat dan kesempatan selalu memiliki atau akan memunculkan motivasi yang berbeda-beda. Kadang bisa berupa : semacam upaya untuk mengurung diri dengan atmosphere budaya yang berbeda, yang berharap bisa menyuntik semangat dan pola pikir baru! Terkadang juga sepele; mau mencari lawan konversasi sehari-hari secara beda, dengan bahasa dan ungkapan yang beda, semacam melatih berbahasa saja. Terkadang juga karena mau secara politis mempertahankan dan memperluas jaringan yang sudah secara pribadi maupun kelembagaan dibentuk. Yang paling sering adalah jalan-jalan rekreasi buang pikiran-pikiran sebal, pariwisata, introspeksi dan sebagainya. Tetapi juga sering menjadi semacam cara untuk mengatur diri supaya tetap pada jalur bekerja sebagai seniman dengan input-input yang jauh lebih besar dan luas, karena pertemuan dan konfrontasi dengan karya-karya seni maupun teman-teman seniman dari banyak negara selalu membantu memperjelas pemetaan saya pribadi. Pendek kata saya tidak mau seperti katak dalam tempurung saja, tapi mungkin seperti katak di atas gunung salju kalau perlu! Yang terakhir ialah yang masih menjadi bagian kepariwisataan itu adalah selalu adanya kehausan untuk memenuhi tantangan-tantangan baru (ini manusiawi sekali ya)!
Angki Purbandono: Seperti masuk ke sebuah restoran Cina. Hari pertama aku pilih menu babi kecap. Hari kedua aku akan coba nasi goreng udang. Dan begitupula dengan hari lainnya aku akan memilih dan mencoba menu yang lainnya. Program residensi adalah salah satu menu aktivitas seni yang aku harus coba pilih untuk bisa melihat seberapa jauh aku bisa berinteraksi diantara perbedaan dan persamaan yang aku tidak tahu sebelumnya.
Arie Dyanto: Pertama sebagai seniman, menjadi semacam kebutuhan untuk sebisa mungkin mendapatkan kesempatan untuk melakukan proses kreatif yang beragam, aku masih percaya program residensi bisa menawarkan hal yang seperti itu.

(3) Di negara mana kamu ingin melakukan program residensi? Dan mengapa?

Nindityo Adipurnomo: Maksudnya kalau saya sekarang dapat tawaran untuk milih gitu? Di hampir semua Negara di Eropa, saya merasa masih banyak yang akan menarik dan bisa menyuntik dan menghidupkan saya kembali, terutama Negara-negara yang baru saja maupun sedang masuk dan bergabung dengan Uni Eropa misalnya! Kalau harus milih misalnya Turki, saya ingin sekali ke sana, seandainya menerima kesempatan untuk undangan Istanmbul Biennale, misalnya!
Di Asia saya masih saja senang dengan Jepang dan Korea, India, Vietnam, Thailand. New Zealand, Australia bagian utara (Darwin, Adelaide), Meksiko, Gana, dan beberapa kota romantis di Amerika seperti San Francisco. Wuaah buanyak tempat yang pasti masih akan menyegarkan dan menghidupi fantasi hidup saya. Harapan untuk akan mengalami itu semua juga masih sangat buanyak. Dan saya sadari bahwa hal itu pula yang membuat saya masih terus punya semangat. Buat saya realitas di dunia maya (lewat internet dan teknologi canggih komunikasi lainnya), sangat berbeda dengan kalau saya berada dalam realitas kehidupan, kebudayaan tiap-tiap negara itu sendiri; karena realitas dunia maya kan hanya sebagian kecil aspek dari kehidupan dan kebudayaan yang sesungguhnya.
Salah satu contoh misalnya, pengalaman saya terkurung di dalam kamar hotel yg sempit dari lantai 14, di sebuah kota urban metropolitan yang orientasi kependudukannya biasa vertical, bukan horizontal. Suatu malam saya terjepit dengan keadaan harus mengejar kereta api cepat ke bandara internasionalnya, dan sialan mekanisme lift bangunan hotel itu ngadat. Semua penghuni hotel malam itu terpaksa naik turun tangga biasa, bawa tas, koper dan tetek bengek lain, dengan pemandangan melalui jendela kanan kiri anak tangga adalah sampah-sampah menumpuk dari setiap penghuni hotel yang pernah menginap sepanjang sejarahnya hotel tersebut. Rasanya tidak akan mudah disederhanakan begitu saja melalui download sebuah situs!
Iwan Wijono: Aku suka residency pada negara-negara yg hampir punya problem yg sama dg Indonesia: korupsi, dikuasai pasar Amerika, banyak pemberontakan di hutan-hutan, banyak orang anarki (bukan kekerasan menurut pemerintah kita itu lho) & underground (yg bener-bener underground bukan punk fashion misalnya he... he...).
Angki Purbandono: Kalau kamu tidak keberatan semua negara aku bisa! cihuuuyyyy... jelas say!... melakukan sebuah perjalanan keliling dunia... menetap disana untuk beberapa waktu... mempunyai teman baru, berbaur dengan budaya mereka... makan dan minum minuman lokal mereka.... waaaahhh itu baru mukjizat utk para yang berbakat tentunya mwaahh.
Arie Dyanto: Sebenarnya buat aku di negara mana saja tidak menjadi masalah, yang menjadi tekanan mungkin adalah persoalan fasilitas dan kesempatan dimana aku bisa mengembangkan
kerja yang aku rencanakan atau yang sudah aku kerjakan sebelumnya. Jujur program residensi tidaklah mudah ada banyak tekanan yang harus dialami karena meninggalkan tanah air misalnya berarti juga meninggalkan pekerjaan dan kesempatan jadi berhitung untung rugi aku lebih memilih kalo keluar negeri, negara-negara yang tidak menawarkan ekstra konflik diluar proses kreatif, misalnya bahasa, politik, atau fasilitas yang kurang, ini bisa diartikan bayar tiket sendiri, allowance yang mepet atau tempat-tempat yang terpencil, trus nggak ada internet. Kalo mau susah mending di negeri sendiri ajalah daripada kelihatan nggaya diluar negeri tapi
pas pulang sibuk mbayar utang sana-sini.
(3) Apa yang kamu bayangkan ketika kamu akan melakukan program residensi di negara yang kamu maksud tersebut?
Nindityo Adipurnomo:
Yang saya bayangkan adalah kejutan-kejuatan macam apa, surprise yang bagaimana dan konfrontasi seperti apalagi yang nanti akan saya hadapi? lantas betulkah saya nanti bisa membuat kompromi, adaptasi dan atau malah sebaliknya saya akan pulang dengan penuh kekecewaan, kekalahan atau ekstase seperti apalagi?. Sebenarnya memang benar untuk kasus saya pribadi; kadang yang namanya harapan-harapan itu, niatan dan rencana itu selalu lebih besar dari pada realitas setelah menjalani residensi. Jadi periode-periode untuk merenung, mengevaluasi dan menilai kembali pengalaman-pengalaman itu yang justru bagi saya penting, dan seakan-akan panjang sekali habisnya, berkesan terus deh! Hampir dipastikan membuahkan beberapa konsep menarik untuk bikin karya. Secara tidak langsung, pemikiran-pemikiran yang bermunculan saat itu, sering menjadi bekal inspirasi buat model-model penyelenggaraan pameran dan atau penyelenggaraan proyek seni rupa di galeri, maupun buat saya sendiri.
Angki Purbandono: Jaman sekarang untuk mempersiapkan sebuah perjalanan sudah sangat mudah. Sebelumnya aku kan browsing di internet dimana negara yang akan aku tuju dan melihat semua informasi negara tersebut. Tapi biasanya pertama kali yang aku bayangkan adalah tempat atau aktivitas yang 'underground' di negara tersebut. Arie Dyanto: Yang bisa kebayang mungkin, bisa melakukan komunikasi dengan baik secara oral maupun emosi misalnya gak ada konflik ras , berada dalam situasi yang kondusif untuk memfokuskan diri pada pekerjaan atau planning, gak repot cari tool material dan transportasi juga persoalan isi perut kalo pulang gemuk oke tapi pulang kurus itu masalah, di negara sendiri mungkin kita tidak terlalu terforsir untuk mempelajari tehnik skill, ataupun bentuk kesenian yang ingin dikembangkan karena rutinitas keseharian dan fungsi sosial kita dalam komunitas, jadi berada dalam satu ruang lingkup yang tidak terikat satu rutinitas atau lepas dari bagian sosial komunitas bisa mendorong kita untuk lebih konsentrasi dan berani melakukan eksplorasi eksperimentatif, sekaligus juga mendapatkan ide-ide dari tempat dimana kita melakukan program residensi. Jadi aku nggak bisa membayangkan kalo ikut program residensi trus diangkat jadi pak RT atau Lurah repot.
(4) Konsep residensi seperti apa yang kamu idealkan? Misalnya: ada program residensi yang durasinya lama sekali terus program itu khusus hanya meningkatkan skill seniman, jadi seniman itu diberikan studio, fasilitas dan hanya berkarya saja. Atau misalnya ada program yang 1-3 bulan yang membuat proyek di negara itu, atau hanya berpindah tempat saja, berkolaborasi sama seniman lokal dan sebagainya. Nah konsep residensi menurut kamu itu yang seperti apa atau yang bagaimana?
Angki Purbandono: Program residensi dengan beasiswa penuh itu saja. Fasilitas dan waktu aku pikir menyesuaikan dengan konsep residensi itu sendiri.
Arie Dyanto: Buat aku yang paling ideal buat saat ini adalah program residensi yang nggak terlalu lama dan bersifat project, fasilitas studio bisa menarik asalkan tidak menjadi keharusan dimana seniman hanya berkutat disitu utnuk menghasilkan karya 1, 2 dan seterusnya kemudian dikalkulasi dalam bentuk presentasi pameran atau studio terbuka. Buat aku skill bisa jadi penting meskipun untuk itu bisa ditingkatkan dimana saja, kolaborasi bisa menarik walaupun aku yakin lebih memakan energi karena ada ketegangan individu bisa asik tapi juga bisa ancur, ntar waktu habis cuman buat ngurusi project trus nggak ada acara jalan-jalan cari sepatu wah jangan itu, karena pas pulang kok rasanya cuman kayak habis pulang ngantor.
Balik ke ideal menurutku lebih menarik bila seniman diundang dalam program residensi selama waktu yang tidak terlalu lama, 1-3 bulan dan di sertakan disitu dalam sebuah project yang bisa menawarkan interaksi dengan publik seni atau umum lokal, project disini bisa digagas oleh seniman itu sendiri ataupun masuk dalam project yang disiapkan oleh penyelenggara. Seniman bisa dikasih ruang kerja bisa studio benar ataupun gabung dengan tempat tinggal, tapi bukan hanya untuk nambah karya baru apalagi bikin karya yang sama seperti yang ditanah air, misalnya bawa setumpuk foto anak-anak TK dikampung sendiri trus dilukis di negara lain, dipamerkan trus pulang kaya karena laku dibayar duit euro.
(5) Pengalaman menarik apa yang kamu alami selama menjalankan program residensi?
Nindityo Adipurnomo:
Saya kira jawaban saya untuk pertanyaan no. 4 itu juga sudah cukup mencakup untuk menjawab pertanyaan no.5 ya? Satu tempat keramaian yang selalu tidak bisa saya lupakan untuk saya kunjungi adalah pasar. Pasar yang dibicarakan banyak orang, yang menjadi kebanggaan daerah setempat, baik itu kota, provinsi, prefecture atau apalah.
Iwan Wijono: Pernah lama di Canada sampai 2 kali (2002& 2004) sampai buat project dgn homeless people, dengan membuat 2 lembar leaflet, yg satu untuk publik diminta membawa koin dan makanan ke galeri, satu leaflet untuk homeless di Toronto (ada sekitar total se kota 30 ribu) diundang makan malam dan main musik. Di galeri terkumpul koin banyak, makanan dan ada alat musik, ya udah itu aja, jadi pesta rame homeless di galeri, drpd mereka kedinginan, saat itu banyak salju Nov-Dec 2002.

Kalau di Singapore, susah situasinya, capek, akhirnya kolaborasi dgn Kai Lam ditangkap polisi di jalan dan interograsi 4 jam. Di Thailand mending lah, di Jepang susah, kita terlalu tergantung dg orang Jepang/organisernya(karena bahasa dan mahal).
Angki Purbandono: Hari pertama di Korea: Ditempeleng di jalan sama bapak-bapak... ya umurnya kira-kira 65 tahun... karena aku minum Soju-minuman keras khas Korea-langsung dari botolnya hehehehe... trus dia ambil gelas plastik-cup-disalah satu warung tenda disekitar situ... trus dia ajarkan cara minum Soju yang benar... ya akhirnya kita minum berdua! dasar kejam bapak satu itu... mau minum bareng aja harus tempeleng dulu... gak papa setelah hari itu aku jadi tau cara minum Soju yang benar hehehehe. Arie Dyanto: Pengalaman menarik buat aku lebih banyak bersifat personal lah, maksudnya.aku suka mengamati sebuah komunitas dan melihat kehidupan mereka dari sisi humanitas individu, misal persinggungan dengan personalitas individu yang aku temui disitu lengkap dengan persoalan hidup mereka, bisa dari fashion, bisa cara minum, masak atau hubungan dengan mertua mereka macam-macam pokoknya yang nggak ada hubungannya dengan seni apalagi museum seni. Misalnya di Malaysia sekarang aku bisa mengenal betapa berbedanya kita dengan mereka disitu walaupun agama, warna kulit ataupun bahasa yang hampir sama, tetapi sekaligus betapa samanya persoalan kita sebagai manusia dalam melakukan fungsi sosial sebagai bagian dari komunitas nggak peduli rasnya apa. Yang paling menarik mungkin aku dapat kesempatan melihat sisi kehidupan teman-teman Cina disini sebagai seniman dan individu yang berbeda dengan apa yang aku lihat di Indonesia.
(6) Untuk di Indonesia, kamu lebih memilih seniman Indonesia yang keluar menjalankan program residensi atau seniman asing yang ke Indonesia? Mengapa?
Nindityo Adipurnomo: Kalau saya jelas memilih dua-duanya kan? Sederhana uraiannya, pengalaman menjadi tamu dan menjadi penerima tamu harus sama-sama kita lakukan!
Iwan Wijono: Di Indonesia tentu keduanya penting untuk residency dari Indo ke luar maupun sebaliknya, namun targetnya apa dulu, kan tiap program punya view beda-beda kali, kalau aku sendiri pasti suka untuk datang dan eksplore situasi lokal dan bergerak di situ, yang jelas aku tidak suka residency yg terlalu instant, hanya bekerja di studi terus target pameran udah...,ini yang banyak dilakukan ! Go to hell ! he... eh !
Angki Purbandono: Seniman Indonesia ke luar negeri... karena kita bisa mendapatkan 'action' langsung. Dan bisa melihat peta aktivitas seni kita dari negara orang menurutku bisa memperkuat intensitas personal dari seniman tersebut.
Arie Dyanto: Jujur lebih enak didengar kalo seniman kita yang keluar, kenapa? Buat aku mungkin ini salah satu jalan untuk bisa keluar negeri sebelum mampu bayar sendiri, terus seniman di negara kita yang kebanyakan masih kayak aku perlu untuk bisa keluar melihat diri sendiri dan dunia luar ketika berada diluar, karena sering kita merasa tahu banyak tentang seni di negeri sendiri atau dunia luar pas disana kok semua meleset, bisa jadi tambah nasionalis atau malah kecewa dengan Negara sendiri, disini bonusnya. Kalo seniman asing ke Indonesia menarik juga tapi kita masih sering apriori ya, kalo menarik oke tapi kalo nggakpun tetap oke pokoknya cuek yang penting mereka datang buat karya kita tonton, diskusikan trus setelah itu hari-hari jalan seperti nggak terjadi apa-apa, yang nglukis ya nglukis yang matung-matung . tapi kalo ada di kita yang keluar pasti yang lain pada panas pengen keluar juga. Atau barangkali cuma aku yang mikir gitu ya?

Monday, October 23, 2006

Intra-Asia AIR Network

TAIWAN
Bamboo Culture International
Taipei Artist Village
Taiwan Artist Village Alliance
Sponsors
Council for Cultural Affairs, Taiwan
Taipei Culture Bureau
Tainan City Government
Tainan County Government
Miaoli County Government
Asia Cultural Council
Home Affairs Bureau (Arts Development Fund)
Hong Kong SAR Government
Long Fong Co. Ltd.




Program


July 17 to 19 Workshop: Pilot Project AIR Asia - Mapping Asian Artists' Mobility
The July event will start with a two day workshop session aiming at the mapping of intra Asia systems of communication and support, under supervision of professional consultant San San Wong. The workshop will be held at several AIRs in the South of Taiwan – relaxed and country side settings. During the workshop we hope to share thoughts and knowledge with you about the following issues:
- Examples of models of artistic mobility in Asia
- Asian Artists in Residency definitions and the diversity of AIR programs offered
- Understanding of the state of support of Asian AIR's
- Understand present realities and critical role of Asian AIR's
- Understand the challenges that Asian AIR's face
On the third day, we hope to provide you with site visits to different models of artist in residencies in Taiwan that are connected to a regional network promoting artists in residence programs: the Taiwan Artist Village Association (TAVA). Visits are planned to AIR's in both rural and urban environments, such as Taichung Stock 20 AIR, in renovated railway warehouses, and the residency at the nature park of Hua Tau Yao with its famous traditional dragon Kiln.
Among those invited for the workshop session are organizations like yours, which actively promote creativity and support cultural exchange projects that involve artistic mobility within the Asian continent. Moreover, we invited representatives of various artists groups, public and private founders, local, regional and global NGOs/networks so they can get a grasp of what the Asian situation is like and how they could be of support. The outcome of the workshop session should be an overview of Asian support and communication systems. This will be the system to keep the participants connected, in a network that foresees the needs of Asian organizations.
July 20 and 21 Conference: Artists in Residence Worldwide - Hubs of artistic exchange
The workshop session will be followed by a two day open conference which will focus on the promotion of artist in residence programs worldwide. The conference will include a forum with representatives from Asian funding organizations and a presentation of the board of Res Artis, a world wide network promoting artistic mobility and AIR programs. The aim of the conference is to show those involved in planning, funding and legislation activities the importance of AIR programs, and how we could use their support for future development.
Why Come Together? Mapping
To Better Understand Asian AIRs:
As vehicles of artistic mobility in Asia
Define the diversity
State of support
Present realities and challenges
Critical roles in
the artist’s development
engagement with public
as opportunities for cultural exchange
16 countries, 40 + participants
Participants
Represent different functions within ecology:
Artists
Curators
Researchers
Educators/Teachers
Directors/Founders of AIRs & Alternative Spaces
Public & Private Funding Bodies Representatives
World-Wide & Regional Networks Representatives

Diverse Organisations
Represent different characteristics:
Small, independent –> Government sponsor
Artist collective –> University department
Newly formed –> 20 years old
Geographic axis:
North-South: Mongolia –> Australia
East-West: India –> Japan

Diverse Organisations (cont.)
Reused spaces – Purpose built – Artist home/studio – Temporal
Visual, Literature, New Media, Performance, Mixed Medium, Curation, Administration
Cultural preservation –> Post-Modern
Social change agents –> Biennale sponsors
Why Come Together?
Find Solutions & Become Stronger Through Collective Action & Resource Sharing
Planning Meeting
Day 1:
Tsung-Yeh Arts & Cultural Center
Engaging Artists & Communities
Multi-Directional Exchange
Artist in Society
Ethnical Responsibility
Key Issues - Environment
Disparity within Asia, e.g., economic, language, location
Uni-directional exchanges/flow
Standards set by reference points outside Asia
Europe, USA, Major Institutions
biennales, “airport curators”
definitions of modernity, tradition

Key Issues - Individual & Organizational
Ethnical behavior & Professional standards
Engaging artists with local communities
AIR programme design that facilitates “true” understanding of host culture
Sustainability & Continuity
Waning & “fickle” government support
Transferring leadership
Measurement and Outcome m ethodologies not wholly appropriate to AIR & AM
Planning Meeting
Day 2
Tainan University
Art Gallery
Day 3: Taipei Artist Village
Intra-Asia Network of AIR & Artist MobilityMission
To facilitate the artistic mobility of cultural workers through the development, promotion and empowerment of AIRs in Asia.
Network Uniqueness
Initiated by Asia
Intra-Asia: Network within the Asian region
most exchange is with those outside Asia
AIRs: In the arts world, AIRs have an important – but under-represented – role
Embracing inclusivity – brings together multiple countries, functions, sectors, characteristics, disciplines, etc.
Core Values
Membership is committed to:
Enhance the equality between Asian countries
Promote and understand cultural diversity
Cultural exchange
Professionalism
Flexibility
Inclusivity
Sharing

Benefits of Network
Validation & Credibility
Knowing your Neighbor
Decrease isolation
“Power Block”
Standards for Ethnical Behavior & Professionalism
Knowledge exchange
Resource sharing (costs savings)

Focal Programme Areas
Artist Outreach
Professional Development
Field Knowledge
Advocacy

Artist Outreach
Increase efficiency in outreach, info dissemination about AIRs and AM vehicles.
Reaching a broader range of artists and from more countries
Confidential recommendations for artists and for AIRs
Professional Development
Skills-building
Professionalism & Ethnical Behavior
Capacity building for organisations
Str: Administrative infrastructure tools, e.g., “toolbox” with special modules
Str: “Block-booking” of trainers, speakers
Field Knowledge
“Action Research” not purely academic research – active application
Advocacy
Information & Education
Public Understanding
Social & Policy Change
Evaluation
investigation of other methodologies
development of AIR-specific criteria
standards of professionalism
Network Development
Shared values & issues
Address through collective action & exchange
Potential Solutions
short-term and long-term
existing resources and resources to develop human, expertise, financial
Structure to support activity
leadership & representation
member commitment
communications
decision-making
resource development
Structure
Network
Autonomous vs. Sub-network
Physical vs. Virtual network
Rotating headquarters
Business structure
Communications
E-group
Workshops / Conference
Links on website
Newsletter – Print or Email
Next Steps
Planning Committee established
Reps from Australia, Cambodia, China, Hong Kong, India, Japan, Mongolia, Philippines, Taiwan
Meeting documentation to Network members to share with others
Website development
Communications for Network Members
Sharing information about Members & Network
Next Steps
Planning
Refinement of Mission, Vision, Core Values
Further development of each focal programme area
Scenarios for initial structures (infrastructure)
Relationship to existing networks
Resources identification
Other leaders and potential members
Taiwan, 17-21 July 2005

Tuesday, October 10, 2006

Announcement of Resignation




Yogyakarta, October 11th, 2006
Dear All of Partners, Colleagues and Friends
It is with both regret and anticipation that I submit this announcement of my resignation, Nunuk Ambarwati, from Cemeti Art Foundation (CAF), Yogyakarta, Indonesia, as my last position, Head of Archive and Media Relations, effective on Sunday, October 15th, 2006. It has been genuine pleasure working for Cemeti Art Foundation during this past four years (I was join there since February 4th, 2002). I cannot say enough wonderful things about CAF, about all the people I’ve encountered in my years of service with the foundation, and especially about all of you, partners, colleagues and friends. The work has been challenging and productive and I have thoroughly enjoyed working with CAF’s broad members and fine staffs of professional. My employment with CAF has been an opportunity to both learn and to contribute. I will miss my association there. For future ongoing projects, cooperation, collaboration with CAF, please do not hesitate contact my replacement Miss Pitra Ayu. She will effectively working at CAF on Wednesday, November 1st, 2006.

I have accepted as Program Manager with Jogja Gallery [JG], a new visual art gallery in Yogyakarta, Indonesia, which launched September 19th, 2006, as an opportunity to further my career goals and achieve growth within a supervisory roles.

Thank you for allowing me to serve all of you and for providing me with any opportunity. I appreciate having had the opportunity to work with all of CAF’s partners, colleague and friends. It’s my hope that we will stay in touch as I begin this new chapter in my life. Please feel free to contact me at any time should you have any questions regarding my past work. I wish all of you and your organization continued success in all your endeavors.

For my future contacts, please find me at:

Personal contacts
Nunuk Ambarwati
[mob] +62 81 827 7073
[e] qnansha@gmail.com
[e] qnansha@hotmail.com
[ym] qnansha@yahoo.com
[fs] www.friendster.com/qnansha
[blog] http://q-nansha.blogspot.com
[skype] nunukambarwati
Or
Office
Jogja Gallery [JG]
[add] Jalan Pekapalan No 7
Alun-alun Utara, Yogyakarta, Indonesia
[ph] +62 274 419999,
[fax] +62 274 412023
[e-1] jogjagallery@yahoo.co.id
[e-2] info@jogja-gallery.com
[http] www.jogja-gallery.com
[skype] jogjagallery


My best regards,
Nunuk Ambarwati

Monday, October 09, 2006

Apotik Komik Disbands (?)


Library Room, Jogja Gallery, Saturday, October 7, 2006
By Nunuk Ambarwati

On the Subject of Apotik Komik
In the series of grand launching Jogja Gallery (JG) and visual arts exhibition “ICON: Retrospective” −curators: Mikke Susanto and M. Dwi Marianto− from September 19 until November 19, 2006, JG launched a book entitled Mural Sama-sama/Together published by Kelompok Apotik Komik and Clarion Alley Mural Project (CAMP), San Fransisco, declaring a public statement on the disbandment of the group. In my opinion, the formation of its membership fluctuates, easy comes easy goes so that it is quite hard to identify who the members are. However, JG managed to present some individuals who used to be the members of ex-Apotik Komik represented by Arie Dyanto, Samuel Indratma, Arya Pandjalu, Nano Warsono but without the presence of Ade Tanesia and Mie Cornedeus as scheduled in the publication previously released. The four people began the program by presenting skillfully their art works and mural activities both in Yogyakarta and San Fransisco. It was significant to present Apotik Komik as one of the icons in visual arts mapping in Yogyakarta particularly and Indonesia generally considering that this group was the pioneer in socializing and re-interpreting broadly on what and how the real public art was. The techniques applied by them were murals, graffiti, stencils, texts, and the sorts. The medium aspects and capacity to penetrate public spaces in Yogyakarta were the key points to count on.


What is next after Disbandment?
The phenomenon of murals in Yogyakarta has been initiated since 2000. The strategic point signaling the mural movement by Apotik Komik was the murals along the fly-over wall in Lempuyangan in 2002. It is interesting to notice that the local government, in this context is the mayor (at that time was H. Herry Zudianto), strongly supported the movement. The direct impact is that it becomes “a snow ball” keeping on rolling and becoming bigger. Numbers of mural movements have been spread in each wall corner in Yogyakarta until today. With a variety of techniques, symbols, and messages, many youth communities turn out to be in existence. Their murals can be found and learned as history records on the development of mural arts in Yogyakarta.

By the time of the rolling “snow ball” in such hot spirit among the bombers −the call refers to the artists of graffiti and murals−, Apotik Komik faced up to a crisis on the complexity of different visions among its members. The group beginning its activities to socialize wide-ranging awareness on the importance of public spaces through visual arts works in 1997 had to declare its disbandment in 2005. According to Arie Dyanto, the friction among them had become complicated in 2004. Yet, as a matter of fact, the disbandment of this group was in the discourse stage of the state in the following year. Many parties were made intricate on this situation. Although on that evening discussion they did not mention the reason of disbandment explicitly, the official statement to public declared on the disbandment was very important as a manifestation of their social responsibility to public as well as their position in Indonesian visual arts mapping relating to many art projects in the future possibly to be taken and developed by them.

The disbandment of Apotik Komik is no longer a mystery especially in the circle of visual arts practitioners. In fact, it is such a common thing to happen on the rise and sink of any group or community. Numbers of communities rise easily even though they consist of former people just like Apotik Komik. For them, each ex-members as Samuel Indratma and Arie Dyanto will continue working on the issues of public spaces and mural arts without Apotik Komik so that the emerging topics of the discussion on that evening was how the mural movements in the coming days in Yogyakarta might be.

Visual Trash versus Regulation
After the disbandment of Apotik Komik, it was evenly discussed the government officials’ shifts (the mayor, for instance) that would bring consequences on the policy changes and support types provided. So, what should the artists or public do toward the existing murals while the images remain identical torturing our visual point of views for years? An input offered on the discussion showed the importance of making a regulation equivalent to Peraturan Daerah (Perda)/Local Offical Rules ruling a number of visual objects in public spaces in Yogyakarta taken as visual trashes. A huge number of graffiti on the walls and huge sponsor messages afflicting the city landscape had made a city as Yogyakarta more and more crowded. It could not be denied that they were one of the tempting income sources to the local government of Yogyakarta but they could be managed in such elegant and contiguous ways indeed. Take an example, there was a negotiation possibility between artists and businessmen to work for their sponsor messages such as billboards, banners, and so on by presenting more artistic shapes and taking the beauty of all city sides entirely. Samuel gave a solution on that problem by renewing visual images of murals with new movements and messages. It was Samuel’s optimism by taking in businessmen who were ready to work in line with these matters. “Just wait for the realization in the coming year”, Samuel promised.

One Book Three Year
Mural Sama-sama/Together is worthy to be collected just as a memoir book, a remembrance on the presence of a group namely Apotik Komik in Yogyakarta. The book was printed for 1000 copies and sold Rp 70,000,00 per copy dedicated to be such pension fund (as they joked) for each ex-member to continue presenting various art projects in public spaces in the future. By buying the book, it means that you have contributed in the efforts of awareness-raising on public spaces through their personal projects in the future. As explained by Arie Dyanto, it took three years to process the book from collecting documentation on writings and photos, designing, and printing. The 158-paged book equipped with full color images on the works and creations achieved by Apotik Komik had been launched on that evening. Some writings on the book are dominated with the topics of collaborative works between Apotik Komik and CAMP as written by Megan Wilson (Curator and Co-director of CAMP) in Two Communities and Beyond which is strengthened by the writing of Ade Tanesia (Manager of Apotik Komik) in The True Cultural Exchange. The book becomes a critical stepping point to portray us that a community may be retired but its mission should be disseminated in different ways though.
A Glance on Jogja Gallery
Jogja Gallery was established in September 19, 2006 and opened officially by Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X. JG is located in the zero kilometer or Northern Square area as the heritage landmark in the city center of Yogyakarta. It rests in Soboharsono ex-theater building (built in 1929) functioning from the Dutch colonization. JG, a visual arts gallery with international quality and technology was established by PT Jogja Tamtama Budaya in association with Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat as the land and building owner. To some extents, it brings a vital role as a meeting point between art workers and large society attempting to facilitate the prospective resources of Yogyakarta as cultural, historical and potential city to develop as well as one of international tourism destinations. The public services designed are periodic exhibitions, non-exhibition programs (education programs for children and adults, public, and students), exhibition and non-exhibition collaborations, friends of Jogja Gallery, library, art award forum, art shops and consignments, and Banaran Café and restaurant as well. Welcome and enjoy the exhibition at Jogja Gallery entitled “YOUNG ARROWS: Indonesia’s 40 Most Outstanding Artists” held from December 2, 2006 until January 2, 2007!
*
Gallery opens on Tuesdays - Sundays from 9 a.m. until 9 p.m.
Administration is on Mondays - Saturdays from 8 a.m. until 4 p.m.
Banaran Café and Restaurant opens daily from 9 a.m. until 12 p.m.
Jogja Gallery [JG]
* Contact person: Nunuk Ambarwati [Manajer Program Jogja Gallery]
Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara, Yogyakarta
Telepon +62 274 419999, 274 7161188
Fax +62 274 412023
Email [1] jogjagallery@yahoo.co.id
[2] info@jogja-gallery.com
www.jogja-gallery.com

Tuesday, October 03, 2006

Menimbang Ulang sebuah Program

Program 'Aku Oke!' di dusun Tegal Kebon Agung, Imogiri
Kerjasama YSC & Papermoon

Sebuah Evaluasi untuk Crash Program Bencana Gempa
di Yayasan Seni Cemeti
Oleh Nunuk Ambarwati

Bencana gempa bumi berskala 5,9 skala Richter, 27 Mei 2006 yang lalu memang menjadi milik bersama di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Melihat dampak yang terjadi yang meluluhlantakkan sebagian besar rumah penduduk, banyaknya korban yang berjatuhan dan sekaligus sebagai individu yang juga mengalaminya saat itu; keinginan untuk berbuat lebih dan membantu para korban menjadi skala prioritas pada masa tiga bulan pertama paska bencana. Status sosial, jabatan, definisi instansi mau pun pengkotakan profesi sepertinya sudah sekian tipis batasnya. Pada fokusnya, semua orang ingin membantu, semua orang melakukan penggalangan dana bahkan hingga menciptakan program-program guna pemulihan secepatnya kondisi sosial, ekonomi, psikologis paska bencana tersebut. Situasi demikian kemudian menjadi sebuah hal yang secara inheren, spontan, simultan dan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk dilakukan.


Menanggapi bencana gempa yang dialami Yogyakarta dan sekitarnya tersebut, tak kurang-kurang aliran donor berbentuk nominal uang mau pun logistik terus datang dengan derasnya. Dihadapkan pada hal situasi demikian, berbagai lembaga, baik LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) mau pun non LSM dihadapkan pada sikap tanggap darurat, bagaimana mendistribusikan semua bantuan para donor tersebut hingga ke tangan yang tepat. Bagaimana menyikapi situasi paska bencana, bantuan apa yang cocok bagi para korban hingga masalah laporan pertanggungjawaban kemana saja larinya uang sumbangan tersebut dan untuk apa saja. Bagi lembaga semacam Yayasan Seni Cemeti (YSC) yang telah bergerak di bidang seni visual selama kurang lebih 11 tahun (berdiri tahun 1995), sebuah lembaga dengan reputasi kerja sedemikian solid dan dikenal hingga ke skala internasional, YSC pada akhirnya juga banyak mendapat kepercayaan berbagai kalangan untuk menitipkan donasi mereka guna didistribusikan.

Hal semacam itu, baik terlibat langsung mau pun tidak langsung pada usaha pemulihan paska bencana, merupakan satu pengalaman tersendiri bagi YSC. Dimana selama 11 tahun tersebut, YSC selalu terkondisi dengan adanya funding tetap, dengan besarnya dana dari funding tersebut yang juga teratur, program-program yang telah dirancang matang sesuai misi dan visi YSC sendiri. Sebuah lembaga yang mencoba membawa misinya untuk melakukan pemberdayaan infrastruktur seni visual melalui kegiatan utamanya yakni dokumentasi dan riset, serta kegiatan pendukungnya antara lain penerbitan buku, pameran seni visual, workshop, diskusi dan pendidikan alternatif.

Meskipun batasan pemberdayaan infrastruktur seni visual itu sendiri kemudian bisa dijabarkan sedemikian luas, tetapi jelas di sini bahwa YSC bukanlah lembaga yang memang difokuskan untuk melakukan program menghadapi bencana mau pun pemulihan paska bencana. Toh YSC juga kemudian tetap peduli pada situasi bencana tersebut, dimana YSC, baik lembaga mau pun para staf yang bekerja disana, juga merupakan bagian dari Yogyakarta. Maka selain program penyaluran logistik secara langsung kepada para korban, YSC bekerja sama dengan komunitas Papermoon, mengemas sebuah program bertajuk ‘Aku Oke!’, sebuah program pemulihan paska bencana yang difokuskan untuk anak-anak di dua dusun binaan, yakni di dusun Tegal Kebon Agung, Imogiri dan di dusun Wirokerten, Sampangan, Bantul. Program ini telah berlangsung sejak 2 minggu setelah gempa, sekitar awal Juni dan direncanakan akan berakhir awal November 2006. Tujuan dari program ini mengajak anak-anak korban bencana gempa untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan atas bencana yang telah terjadi dengan mengajak mereka melakukan berbagai aktifitas bermain dan belajar.

Semula ‘Aku Oke!’ dihadirkan, memang direncanakan menjadi program yang ‘ringan’, bukan sebuah program dengan durasi yang panjang, intens dan berkesinambungan, bukan pula program yang mempunyai muatan untuk mencapai target tertentu bagi anak-anak mau pun YSC sendiri, bahkan indikator keberhasilannya pun belum sempat terpikirkan. Yang terlintas di benak kami waktu itu adalah sebuah kunjungan singkat (berkemah di lokasi gempa selama 3 hari), bersifat menghibur dengan berbagai kegiatan bermain dan belajar (menyanyi, menggambar, berjalan-jalan, pentas boneka dan sebagainya). Alasan pemilihan kedua dusun tersebut di atas pun, bukan berdasarkan riset yang terlalu berat, terlebih karena unsur kedekatan, dimana YSC dan komunitas Papermoon bisa mengenali peta penduduk, tingkat kerusakan dan kebutuhan 2 dusun terlebih dahulu tersebut melalui staf YSC yang kebetulan menjadi penduduk di 2 dusun tersebut.

Pada perkembangannya, ketika donasi masih terus mengalir, ketika YSC masih merasa harus turut arus masa pemulihan paska bencana tersebut dan bertanggungjawab untuk menyalurkan donasi tersebut; program ‘Aku Oke!’ menjadi sebuah program yang bukan ‘ringan’ lagi. Program ‘Aku Oke!’ kemudian’dibedah’, diseriusi dan dibuat lebih terstruktur. Program yang muncul secara spontan, berdurasi singkat dan akhirnya menjadi bagian dari program lembaga sejalan dengan program utama seperti itu yang kemudian kami sebut dengan crash program.

Yang kemudian menarik untuk dibahas selanjutnya adalah bagaimana kemudian lembaga semacam YSC yang notabene bukan lembaga yang memfokuskan kegiatannya pada masalah bencana juga harus bergerak pada wilayah ini? Bagaimana sebuah crash program seperti ‘Aku Oke!’ harus diciptakan dan dikemas guna mendistribusikan donasi dengan lebih elegan. Pada titik mana, lembaga tersebut harus tegas dan kembali kepada misi kegiatan utamanya semula? Berkaitan dengan hal tersebut, bagaimana pula efek teknis, psikologis dan kebutuhan lembaga itu sendiri dengan adanya sebuah crash program?

Ketika potensi konflik, baik itu internal maupun eksternal, akhirnya muncul pada tataran wacana mau pun teknis di lapangan. Konflik eksternal yang sempat terbaca antara lain tarik-menarik kepentingan antar lembaga, yaitu terhadap lembaga yang lebih dulu dan memang bergerak di bidang pemulihan paska bencana mau pun pada bidang pendidikan untuk anak-anak, sehingga lembaga seperti YSC dianggap sebagai ‘pemain baru’ di bidang tersebut, dianggap ‘belum layak’ untuk menangani masalah-masalah seperti itu.

Kaitannya pula terhadap komunitas/lembaga/individu yang diajak kerja sama, dalam hal ini sebagai misal, YSC dengan komunitas Papermoon; tarik-menarik kepentingan dalam kaitannya dengan prestise sebuah lembaga melalui programnya. Siapa yang lebih diuntungkan melalui program ini, siapa yang lebih meningkat prestisenya, atau siapa yang lebih dilihat nantinya. Hal tersebut juga satu hal yang menarik bagi kami di YSC untuk diperhatikan.

Apalagi ketika dana yang digunakan untuk membiayai sebuah program merupakan hasil dari penggalangan dana dari berbagai pihak yang mungkin satu diantaranya juga ingin menonjolkan kepentingan lembaganya sendiri. Atau dihadapkan pada situasi yang sebaliknya, ketika donor tidak menekankan syarat khusus sehingga lembaga bisa dengan leluasa menciptakan program sehingga tidak dibebani dengan target.

Pun ketika YSC kemudian merasa tidak berkompeten atas program semacam itu, sehingga harus lebih banyak menimba pengalaman dan terus mengoreksi kekurangan, kepada lembaga mau pun individu yang lebih ahli di bidang tersebut.

Demikian halnya dengan konflik internal yang terjadi di tubuh lembaga itu sendiri, seperti mengenai kesiapan sumber daya manusianya, daya tahan tiap individu yang terlibat di dalamnya ketika durasi program tersebut diperpanjang, ketika kemudian program utama lembaga itu sendiri menjadi ‘sedikit’ terbengkalai ketika intensitas waktu, tenaga dan pikiran terfokus para stafnya pada sebuah crash program. Hal-hal tersebut juga menjadi bahan pemikiran yang patut diperhatikan dan dipertimbangkan.

Berbagai kegelisahan yang muncul seperti tersebut pada beberapa paragraf terakhir menjadi sebentuk pelajaran tersendiri bagi YSC. Perlu kejelian manajemen lembaga tersebut untuk ‘memanfaatkan’ bagian mana sebuah crash program tersebut mendukung program utama yang tetap harus menjadi fokus dan dijalankan oleh sebuah lembaga. Juga diperlukan kebijakan yang tepat kapan dan apakah memang diperlukan sebuah crash program dan sebatas mana sebuah lembaga bisa mengorganisir program tersebut sesuai kapabilitasnya. Ketika respon-respon positif dan berbagai follow up menarik terus bermunculan menanggapi sebuah crash program, sehingga timbul godan untuk lebih memerhatikan crash program daripada program utama yang telah disepakati dari awal. Pada hal mana lembaga mengambil bagian untuk turut berpartisipasi dalam keadaan seperti penanggulangan mau pun pemulihan paska bencana tersebut dan seterusnya. Program seperti ‘Aku Oke!’ menjadi hal baru dan menarik bagi sarana belajar, evaluasi, introspeksi terus-menerus sebuah lembaga seperti YSC.

Atas nama YSC, kami dedikasikan ucapan terima kasih tak terhingga kepada para donor, rekan, sahabat, kolega baik di dalam mau pun luar negeri, yang telah menyumbangkan dana, materi mau pun berbagi pengetahuan, pengalaman dan semangatnya selama bekerja bersama menangani paska bencana gempa di Yogyakarta dan sekitarnya.