Monday, February 17, 2025

Dari Battle Lahir Bebi

ZABUSA si UDARA
Erza Budi Faisal dilahirkan di Bantul, 12 Oktober 1989. Masa awal karir berkeseniannya, Erza lebih dikenal sebagai Erza Q-Pop. Q sendiri yang berarti Queen. Pada curriculum vitae-nya, Erza tercatat mengawali pameran perdananya di tahun 2009. Sehingga terhitung 1 dekade (2009-2019), Erza menyandang label Q-Pop (Queen of Pop) - seniman pop yang sering menggunakan ikon Queen (atau tepatnya seluk beluk wanita).

Hingga kemudian, sekitar akhir 2019, Erza memutuskan memperkenalkan diri sebagai Zabusa, setelah 20 tahun karirnya di dunia seni rupa. Zabuza sendiri diambil dari akronim nama Erza Budi Faisal. Zabusa sebagai penanda usainya masa pencarian jati diri, pencarian karakter atau kembali setelah evolusi spiritual untuk keyakinan yang dia anut. Selanjutnya dalam tulisan ini, saya menyebut Erza sebagai Zabusa.

Zabusa yang berelemen udara (berzodiak Libra) ini benar benar tidak bisa ditebak kemana arah karyanya. Seperti udara, dia ekspresif, fresh, dinamis, tidak bisa diatur atau tak mau kaku pada aturan dan ingin mengikuti perkembangan. Sehingga ia juga seorang yang banyak bereksplorasi dalam karyanya. Karena berelemen udara, maka Zabusa pun rentan akan kemana angin membawa dia. Untuk itu, tak heran mengapa ia memberi tajuk “The Battle of Fear” pada pameran tunggal ketiganya kali ini. Zabusa masih merasakan sebuah battle, karena dia akan terus bergerak. Bahkan motto dia adalah “dunia bukan tempat istirahat”. Iya karena dia akan terus bergerak seperti elemen bawaannya. Ketika mengenalnya, seakan akan kita dibawa berloncatan, bukan sosok yang kalem dalam pikiran dan jiwanya, meski tampak luarnya demikian. Hal ini akan senada dengan tampilan karya Zabusa, tampaknya saja sederhana, tapi tidak demikian dengan proses pengerjaannya.

Perkara “meloncat”, soal studi pun ia bahkan melakukan manuver, sempat mengenyam kuliah di jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), tidak selesai. Pindah kampus dan akhirnya lulus sarjana dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), itupun jurusan teknik elektro. Maka, minim latar belakang studi formal seni visual yang ia miliki. Namun demikian, sejak kanak kanak, Zabusa sudah mencetak berbagai prestasi lomba menggambar atau melukis. Jajaran piala di lemarinya masih tersimpan baik sebagai penanda prestasi, antusias dan gairahnya di dunia seni ini. Bahkan pernah meraih penghargaan sebagai lima besar pelukis terbaik di Tokyo, Jepang.

BEBI
Meski terkesan berlompatan, karya-karya Zabusa tetap berada pada jalur pop figuratif sebagai benang merahnya. Aliran pop ini menurut saya cocok dengannya, dimana memberikan energi pembebasan kreatif hampir tanpa batas. Berjumpa karya-karya Zabusa, saya bisa memahami bagaimana jiwa bebasnya ingin berkreasi saat kemana atmosfer membawa dia. Dia bisa bermain dengan pecahan kayu. Dia juga mengkombinasikan teknik robotik dalam karyanya, dimana teknik robotik ini ia dapatkan dari studinya di jurusan elektro. Dia juga menggunakan teknik-teknik melukis yang baru dan entah apa lagi ke depan. Intinya, dia tidak mau biasa saja.

Nyata-nyata ia sampaikan bahwa seniman yang menginspirasi adalah Takasi Murakami dan KAWS, keduanya adalah seniman beraliran pop. KAWS adalah Brian Donnelly, yang dikenal secara profesional sebagai dengan julukan KAWS. Ia seorang seniman dan desainer asal Amerika. Karyanya mencakup penggunaan berulang dari karakter dan motif figuratif, beberapa berasal dari awal karirnya pada 1990-an. Awalnya dilukis dalam 2D ​​dan kemudian diwujudkan dalam 3D (sumber: Wikipedia).

Takasi Murakami adalah seniman kontemporer Jepang. Dia bekerja di media seni rupa (seperti lukisan dan patung) serta komersial (seperti fashion, merchandise, dan animasi) dan dikenal karena mengaburkan batas antara seni tinggi dan rendah. Takashi juga menggunakan karakteristik estetika bersamaan dengan tradisi seni Jepang dan budaya masyarakat Jepang pascaperang (sumber: Wikipedia).

Pop Art memandang budaya komersil sebagai materi mentah, sebuah sumber ide yang tak pernah habis atas hal-hal yang bersifat subyek piktoral. Mereka banyak melukiskan ikon-ikon yang kerap muncul di masyarakat, seperti komik, kehidupan metropolis, iklan dan lain-lain yang dilimpahkan di kanvas atau grafis (sumber: Diksi Rupa, halaman 314). Demikian juga dengan Zabusa yang mengambil ikon-ikon populer seperti ikon-ikon dalam online games atau tokoh kartun Disney, kartun Jepang dan semacamnya. Dengan fasih, dia adaptasi tokoh kartun Mickey Mouse dan Batman. Atau empat karakter Pokemon, yang ia buat berseri. Ada kawanan Donald Duck terkekeh, tak ketinggalan sosok heroes seperti Avangers. Namun demikian, tokoh-tokoh ternama tersebut tak mentah dituangkan dalam karya, Zabusa mengadaptasinya kedalam karakter orisinal ciptaan dia sendiri, yakni BEBI.

Pada pameran tunggal ke 3 nya ini (pameran tunggal pertama tahun 2012, selanjutnya di tahun 2016), -saya memahami ketika dia mengambil judul “The Battle of Fear”. Ini adalah sekaligus sebagai deklarasi ala Zabusa memunculkan karakter BEBI-nya, yang ia temukan sejak akhir 2019. BEBI adalah nama figur karakter yang diciptakan Zabusa, menjadi Bebies karena jamak (banyak). Bebies ini muncul setelah masa pencarian Zabusa selama satu setengah tahun proses evolusi spiritualnya tersebut. Bebies ini bisa munculpun karena atmosfer yang sedang melingkupi Zabusa, dimana dia dikelilingi anak-anak balita dan peran dia sebagai ayah dalam keluarga barunya. Dalam artist statement-nya, Bebies adalah karakter bayi yang menggemaskan secara fitrahnya. Tingkah pola anak cukup termemori kuat melalui karya dia yang banyak memakai media dua dimensi.

Kita bisa menemui dan berkenalan dengan BEBI pada lukisan yang bertajuk “What do you think about who I am”. Ia digambarkan dengan gestur yang percaya diri, berbalut outfit formal namun smart. Sosok ini digambarkan tegas berada center bidang kanvas; dan di sebelah kiri lukisan, jelas terbaca siapa dirinya, ZA-BU-SA. Pada Bebies, di bagian kepala, Zabusa sengaja menghilangkan indra kehidupan seperti mata, hidung , mulut, telinga. Dan menggantinya dengan tanda plus (tambah) di bagian wajah karakter tersebut.

Lalu bagaimana melihat ekspresi si karakter ini bila hanya ada tanda minimalis di wajahnya? Anda tetap masih bisa merasakan ekspresinya melalui gestur yang digambarkan. Polah sedang marah, centil menggemaskan, atau sok cool dan sebagainya, layaknya tingkah bayi atau anak-anak yang lucu dan polos. Figur-figur adaptasi ini tetap bisa berbicara meski tak lengkap indra kehidupannya.

BLOCK dan GARIS
Zabusa melukis dengan teknik menumpuk warna agar terjadi gradasi berupa block warna, ada yang memang sengaja digores dengan kuas dan ada yang dikerjakan secara berlapis. Lapisan lapisan warna ini sesuai dengan keinginan dia hingga mencapai standar yang Zabusa inginkan. Sehingga tak heran, satu block warna dalam sebuah karya bisa mencapai 13 kali lapis. Tiga belas kali lapis itu maksimal yang pernah ia kerjakan, minimalnya 5 kali lapis. Sehingga tak heran, bobot karyanya bisa lebih berat dibanding karya seni visual diatas kanvas pada jamaknya, karena dia melapis cat berulang.

Pada karya-karya Zabusa kali ini, kekuatan block warna dan garis menjadi konsentrasinya. Garis atau outline pun menjadi perhatian detail yang tak mau dia abaikan. Warna yang ingin dia dapatkan harus sesuai dengan yang di bayangan, meski harus melalui tahapan lapisan yang banyak. Seperti saya sampaikan diatas tadi, dia tidak mau karyanya biasa saja. Ia mementingkan kualitas, meskipun pop art diasumsikan karya yang terkesan gampang atau cepat. Namun tidak demikian pandangan Zabusa, ia ingin penikmat seni bisa memahami proses dibalik block-block warna dan garis itu.

BATTLE of FEAR
Tema-tema lukisan Zabusa masih seputaran proses kehidupan manusia di dunia, kalaupun ada topik politik, bukan prioritas, malah ia jadikan satir. Dari karya-karyanya, Zabusa mengajak untuk tidak melulu menanggapi validasi eksternal, contohnya tiga karya yang berjudul “Don’t judge the book by its cover”, “What do you think about who I am” dan “I wish I could be hero”.

Tema bahwa hidup ini sederhana menjadi pemikiran utama Zabusa, terwakili pada 14 karya dia yang dipamerkan saat ini. Kesederhanaan ini diwakili dengan menampilkan block-block warna yang luas namun sarat dan intens dalam eksekusi finishing-nya. Selanjutnya, kita tinggal menjalankan dengan panduan (kitab suci) sesuai porsi (takdir). Banyak hal yang menghambat itu hanya ujian hidup, cara penyelesaiannya adalah dengan sabar, jelasnya.

Tajuk pameran “The Battle of Fear” atau Melawan Rasa Takut, sangat menggambarkan sosok Zabusa yang berada penuh dalam pertimbangan, seperti tersimbolkan dalam zodiak kelahiran dia, Libra. Libra dicitrakan dengan sebuah timbangan (The Justice). “Battle” = gejolak diri, ini masih berlangsung dalam dirinya, dimana ada dua sisi berlawanan. Ada rasa ingin menyelesaikan (justice), di sisi lain ada rasa ingin menunda (penuh pertimbangan). “Fear” = rasa takut, adalah ketakutan tentang apa atau rintangan yang akan dihadapi kedepan yang masih misteri.

Proses pengerjaan 14 karya untuk pameran tunggalnya kali ini, merupakan proses menjawab “The Battle of Fear” atas diri Zabusa sendiri. Dari pembacaan saya sebagai penulis, pameran tunggal ketiga Zabusa ini penting mencatat tiga poin utama, yakni:
* Pertaruhan idealisme diri dia sendiri dengan peta seni rupa global.
* Resolusi proses gejolak diri dia (battle).
* Deklarasi dirinya saat ini (Bebi dan Zabusa).

Apakah sudah terjawab, apakah sudah selesai, apakah ada kesimpulan? Saya sebagai penulis pun tidak akan bisa menjamin Zabusa mendapatkan kesimpulan final. Karena ia akan terus berproses sesuai panggilan hatinya. Bahkan di detik detik terakhir pun, Zabusa si udara bisa membuat spontanitas yang mengejutkan. Di setiap pameran, Zabusa akan selalu menampilkan sesuatu yang baru, sebagai parameter proses evolusi jiwa dia. Giliran Anda untuk menyaksikan pameran ini, mendapatkan pengalaman visual juga pengalaman rasa. Dan bagikan “battle” versi Anda setelah mencerna karya-karya yang dipresentasikan.

Yogyakarta, Mei 2022.