Thursday, July 19, 2018

HASTAG MAGER


Ketiga seniman yang akan mempresentasikan karya mereka ini rata-rata kelahiran ’90-an. Arif Hanung TS lahir tahun 1990, Cahaya Novan lahir tahun 1987 dan Erza Q-Pop lahir di tahun 1989. Maka rata-rata mereka masih berumur kurang lebih 30 tahun. Mereka yang lahir di tahun 90’an dikategorikan sebagai kaum millenials. Millennials atau kadang juga disebut dengan generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X, yaitu orang yang lahir pada kisaran tahun 1980- 2000an. Maka millenials adalah generasi muda yang berumur 17- 37 pada tahun ini. Millennials sendiri dianggap spesial karena generasi ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, apalagi dalam hal yang berkaitan dengan teknologi. Sehingga generasi ini sangat mahir dalam teknologi (sumber: https://rumahmillennials.com/siapa-itu-generasi-millenials/). Karakteristik millenial berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonomi. Namun, generasi ini umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital (https://id.wikipedia.org/wiki/Milenial).
Ketiga seniman yang akan berpameran ini juga sangat dekat dengan dunia teknologi, televisi berwarna dan juga gadget. Pada pameran mereka sebelumnya (pameran bersama) tahun 2016, di Bentara Budaya Yogyakarta, mereka mengusung tema HASTAG KZL. Pameran bersama mereka di tahun 2018 ini tidak lepas dari perjalanan berkarya di HASTAG KZL tersebut. Pada pameran sebelumnya, HASTAG KZL, mereka berupaya menampilkan karya dan ambience sesuai tajuk yang mereka usung. KZL diartikan sebagai perasaan kesal, bete, murung akan kondisi tertentu. Pameran kali ini mereka klaim sebagai rangkaian kekaryaan pameran sebelumnya. Penikmat karya diajak untuk merefleksikan kembali dan membaca benang merah karya dari pameran HASTAG KZL ke HASTAG MAGER ini.

Meskipun konsep karya bicara tentang hal kekinian dan dikerjakan oleh mereka yang lahir di era milenials; namun karyanya tidak melulu tampak digitalized atau futuristik. Seperti disampaikan di paragraf awal bahwa karakteristik millenial berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonomi. Demikian pula mereka. Karakter sosial dan berkebudayaan kaum millenials kental terasa pada karya masing-masing mereka bertiga. Disamping menggunakan tajuk yang sangat familiar dengan istilah kaum mereka, karya-karya mereka juga berdasarkan keahlian, profesi, hobi yang melatarbelakangi mereka. Pada pameran kali ini dibagi 3 ruang, ruang pertama akan kita temui karya-karya personal mereka sesuai konteks tema Mager. Ruang kedua, karya masing-masing seniman sebagai referensi tambahan proses berkarya. Dan ruang terakhir (bawah), adalah karya kolaborasi mereka bertiga dan mengundang Noris Subagyo untuk merespon karya tersebut. Noris lebih dikenal sebagai pekerja seni otodidak, kelahiran Ambarawa.





KARYA
Karya Arif TS Hanung sangat terinspirasi dari pekerjaan yang pernah ia tekuni, yaitu matte painting (teknik layering) di dunia perfilman. Latar belakang Hanung lahir dan tumbuh di daerah agraris dengan landscape pegunungan dan masih sangat kental kekerabatannya. Dua hal ini membuatnya sangat menonjol menampilkan studi landscape pada karya-karyanya. Sementara dunia digital, pengalaman memakai aplikasi untuk move ke aplikasi selanjutnya (misalnya dari FB ke IG), kadang sulit untuk memakai aplikasi baru, tapi kenyatannya setelah install merasakan kenyamanan. Kenyamanan ini yang membuat mager (malas bergerak), terkesan harus melompat pagar, padahal “pagarnya” justru dibikin dari pikiran sendiri.  Kolaborasi latar belakang inilah menghasilkan karya yang berjudul “Among the Comforts and Challenges”. Pagar kawat berduri dipilih sebagai simbol mager, pagar ini terkesan ambigu, antara diam didalam pagar tapi masih ada celah untuk keluar pagar.

Statement Hanung tentang gadget:
Fungsi lain smartphone bagi saya adalah hiburan selain televisi. “Hiburan” disini bagi saya adalah koneksi internet. Terkadang jika saya dalam keadaan sedang tidak banyak aktivitas, saya sering membukanya dan browsing. Jika memang tidak ada sesuatu yang saya cari, saya sekedar buka sosmed dan hanya melihat-lihat gambar maupun video yang ada disitu. Ya tak lebih sebagai pengantar tidur. Sering saya kebablasan tanpa sadar sudah berjam-jam mantengin smart phone dan merasa kelelahan sendiri.

Sementara karya Cahaya Novan sangat terkesan kontemporer menampilkan karya instalasi yang menggunakan media die cast dan kawat berduri. Die cast yang dipakai adalah mobil impiannya. Die cast disini menyimbolkan dirinya sendiri. Novan mengekspresikan pengalaman dirinya sendiri, ketika belakangan sering menggunakan aplikasi whatsapp; membuat story atau status, cek berapa orang yang like atau berapa yang melihat demikian seterusnya hingga berjam-jam. Dirasakan kemudian, whatsapp seperti candu. Kawat yang membentang terlilit menggambarkan bagaimana candu begitu ingin membelenggu. Lihat bagaimana perbandingan die cast dengan bentangan juga lilitan kawat, sungguh tak berimbang dan seakan menggurita.

Statement Novan tentang gadget:
Bagi saya adalah media berkomunikasi, promosi berbisnis, dan untuk hiburan.

Lain halnya dengan Erza Q-Pop, masih konsisten menggunakan media kayu dengan gaya pop nya. Kesadaran diri tentang mager (malas bergerak) muncul ketika status hubungan berubah. Kaktus, sukulen sedang menjadi hobi yang sedang dekat dengannya saat ini, tanaman seperti kayu tanpa daun. Dalam karya ini, kaktus mewakili diri seniman akan kesadaran membuang waktu saat mager. Erza bisa berlama-lama menikmati hobi barunya ini.

Ketika banyak perubahan diri dan status hubungan terjadi, kesadaran seniman muncul. Erza juga mengalami kerenggangan dengan dunia nyata, seperti halnya simbol-simbol angka adalah kode dimana setiap perubahan lock di gelombang sinyal gadget terjadi. Erza coba mengkritisi fenomena Mujahid Keyboard yang juga menjadi tajuk karyanya. Mujahid Keyboard dikenakan bagi seseorang yang sering mengirim pesan berupa nasehat kebaikan, quote atau kalimat-kalimat penyemangat yang mereka copy paste dari beberapa sumber. Teks-teks tersebut mereka kirim kepada seseorang yang baru saja hijrah mendalami keyakinan tertentu, dikirim secara simultan terus menerus, terkesan menggurui atau bahkan menghakimi. Hal tersebut membuat kadang membuat ketidaknyamanan orang yang menerima pesan.

Erza juga menambahkan dua jam dengan putaran yang berbeda pada karyanya. Jam pertama, putaran normal dan jam satunya putaran lebih cepat. Dua jam ini menyimbolkan refleksi atas waktu. Ketika seseorang terhipnotis dan autis menggunakan sosial media, tak peduli dengan waktu. Tak terasa telah habis berjam-jam hanya memandang layar smartphone.

Statement Erza tentang gadget:
Untuk smartphone saya lebih pada sosial media. Untuk berkomunikasi, berkenalan, sampai hanya untuk melihat aktifitas semua orang, untuk narsis, share statement, melihat trend fashion masa kini atau  istilah istilah baru. Dan dari fungsinya saya mendapatkan hiburan tersendiri dan terkadang membuat baper (emosional) sendiri. Dengan smartphone saya banyak mendapat banyak hal baru dalam dunia kekinian. Saya dengan smartphone sudah menjadi kebutuhan yang selalu lengket ditangan dan menggoyangkan jempol tangan. Hampir 24 jam smartphone ini selalu lengket ditangan dan mata sering tak lepas memandangnya untuk beraktifitas di dunia maya atau sekedar stalking.
Melihat dari presentasi ketiga seniman dengan karya mereka ini, sepakat bahwa mager mereka maknai sebagai candu dan keinginan untuk bisa keluar dari kelekatan tersebut.

KARYA KOLABORASI
Pada bagian terakhir rangkaian pameran ini adalah karya kolaborasi, yang berada di ruang bawah Kiniko Art Space. Karya kolaborasi ini menjadi rangkaian penutup dari karya di Pameran HASTAG MAGER ini. Karya kolaborasi berangkat dari karya personal yang sudah dijelaskan di paragraph di atas. Karya kolaborasi ini lebih kearah harapan. Mereka berharap supaya lebih efektif soal penggunaan waktu dan sosial media. Harapan-harapan tersebut disimbolkan dengan karakter origami. Sementara warna-warna yang muncul adalah simbolisasi warna aplikasi, seperti biru untuk facebook, hijau untuk whatsapp atau line dan seterusnya.
Sementara keyboard sebagai simbol power atas gagasan yang ingin dituangkan.

Karya kolaborasi ini sifatnya working on progress, selama pameran berlangsung, seniman mengerjakan bagian ini. Dengan harapan, setiap pengunjung pameran yang datang bisa berinteraksi langsung dengan seniman, sharing, bertanya, mengungkapkan impresi mereka dan lebih intim. Pengunjung bisa mengikuti proses karya kolaborasi ini dari awal hingga akhir yang akan diposting di sosial media. Di akhir pameran, karya kolaborasi ini akan sepenuhnya utuh selesai. Sifat working on progress ini juga menjadi salah satu bagian promosi supaya penikmat seni mengikuti proses dari hari ke hari, menyaksikan pamerannya dan menunggu hasil jadi karya ini ketika selesai.

No comments: