oleh Nunuk Ambarwati
Yaksa Agus, lulusan ISI tahun 1996 ini, menggelar pameran tunggalnya
yang ke empat. Di tahun ini, Yaksa bahkan menggelar pameran tunggal 2 kali
berturut-turut; yakni bulan Juli 2013 di Tirana Artspace dengan tema ‘ART JOKE’
yang menggelitik dan menyusul di bulan Agustus 2013 nanti di Tembi Gallert
dengan tema ‘MAAF’. Menariknya pameran ‘ART JOKE’ kali ini, Yaksa menampilkan
karya-karya parodi/plesetan dari karya yang identik dengan karya seniman
terkenal. Misalnya judul karya ‘Tukang Sulap yang Susah Dibunuh’ adalah identik
dengan karya Heri Dono, yang kemudian diparodikan oleh Yaksa dengan judul ‘Heri
Dono yang Susah Dibunuh’. Ada juga ikon karya seorang yang hampir seluruh
tubuhnya diselimuti kerudung dengan aneka rupa barang yang identik dengan karya
Mella Jaarsma. Atau ikon tengkorak dengan tulang rahang seperti tokoh wayang
Cakil, yang identik dengan karya Agus Suwage hingga Damien Hirst. Atau karya
‘Man from Bantul’ yang digambarkan dengan seseorang mengenakan kostum Batman,
yang diparodikannya dengan judul ‘Betmen Magelang’ yang sarat sindiran. Pada
karya aslinya ‘Man from Bantul’, jari telunjuk orang tersebut mengacung ke
depan. Tetapi pada karya ‘Betmen Magelang’, jari tangan terbuka semua dan
terkesan menahan atau memberi kode stop/berhenti, yang diartikan oleh komentar
Yaksa dengan, ‘kurator Magelang ndak mau beli karya lagi’.
Dan ada banyak seniman berikut karyanya yang ia parodikan yakni: Mella
Jaarsma, Ugo Untoro, Djoko Pekik, Nasirun, I Nyoman Masriadi, EddiE Hara, Heri
Dono, Putu Sutawijaya, Jumaldi Alfi, Agus Suwage, Damien Hirst, Entang Wiharso,
Nindityo Adipurnomo, Agung Kurniawan, hingga Sudjojono, Affandi dan Hendra
Gunawan. Mulai dari seniman senior yang sudah almarhum dan seniman termuda
adalah I Nyoman Masriadi. Yaksa ‘bermain’ dengan karya parodi ini bukannya
baru-baru saja, ia telah mengolahnya sejak tahun 2003. Bahkan ia mengaku, karya
yang memparodikan seorang karya seniman ini laku terjual oleh kolektor di
sebuah pameran di galeri cukup bergengsi di Yogyakarta. Waktu ditanya kenapa
dia memparodikan karya-karya tersebut? Yaksa mengaku karya-karya para seniman
tersebut menggelitik pemikirannya, ‘menganggu’ proses berkeseniannya. Semisal
ketika semasa kuliah di ISI, karya etsa Tisna Sanjaya selalu menjadi acuan
dosen untuk mengajar. Demikian juga karya Heri Dono juga menjadi acuan paling
sering semasa menempuh studi di SMSR. Namun demikian, Yaksa tak pernah
memberitahu seniman yang ia parodikan karyanya. Nah baru pameran yang kali ini
‘ART JOKE’ ia telah memberitahukan kepada tiap seniman yang ia olah kembali
karya-karya mereka, kecuali yang telah almarhum tentunya.
Tengok karya tema ‘Perjuangan dan Doa’, disana digambarkan 3 maestro
seni rupa Indonesia yang telah almarhum, Sudjojono, Affandi dan Hendra Gunawan,
mengenakan kostum seperti raja dangdut Rhoma Irama. Ketiga tokoh tersebut yang
selalu memperjuangkan seni rupa Indonesia; Sudjojono dengan wacananya, Affandi
dengan propagandanya dan Hendra Gunawan yang dikenal dengan wacana seni sebagai
komoditi. Ketiganya dikemas dalam sebuah karya seri ‘Perjuangan dan Doa’ yang
dikenal sebagai judul lagu dangdut Rhoma Irama. Karya Yaksa cukup membuat kita
berkerut dahi, menelaah dan akhirnya bisa membuat kita tertawa lebar. Bagi
publik awam seni rupa mungkin karya-karya Yaksa yang terpajang di ruang pamer
Tirana Artspace ini kurang dipahami secara konsepnya, karena kita harus kembali
membaca sejarah seni rupa Indonesia dan karya-karya yang identik menjadi ikon
seorang seniman tertentu. Dari sana kita baru bisa mengerti, karya siapa yang
Yaksa parodikan.
Kenapa ‘Art Joke’? Ya memang karya plesetan, parodi. Namun demikian,
Yaksa tak menampik dia membaca momen seni rupa yang sedang hingar bingar di
luar sana, seperti event berkala ‘Art Jog’ maupun peringatan 100 tahun nya
maestro Sudjojono. Karya-karya yang ditampilkan semuanya menggunakan media
acrylic on canvas, berukuran 30 x 30 cm dan paling besar ukuran 62 x 53cm,
terdiri dari 21 judul karya. Meski pun mengambil ikon-ikon karya seniman lain,
namun karakter Yaksa tetap muncul dalam setiap karyanya, yakni pada gambar
anatomi tubuh , gestur tokoh yang karikatur dan teknik bloking pewarnaan latar
belakang karya yang kita ketahui sebagai karakter Yaksa.
Art Joke:
Keintiman yang Mengancam!
oleh: L.
Surajiya
“I started a
joke…” aku harus memulai tulisan ini dengan lagunya Bee Gees. Bagaimana tidak ‘a joke’ kalau Yaksa yang sudah dikenal karya-karyanya,
yang menulis di banyak katalog pameran, Indonesia
Art News, Bulletin Makna, dan berbagai media lainnya, tiba-tiba memintaku untuk
menulis untuk pameran tunggalnya kali ini. Atau dia hanya ingin membuat ‘a
joke’ denganku?
Seperti biasa, akupun memulai
dengan sebuah pertanyaan yang sudah lazim dan sedikit klise:
“Tema pamerannya apa?”
“Tema pamerannya apa?”
“Art Jog,” jawaban itu yang
terdengar di telingaku, ‘Ini lelucon,’ batinku.
“Apa…. Art Jog?” aku mencoba
meyakinkan apa yang kudengar.
“Bukan, Art Joke!… Joke bukan
Jog.” Dia menekankan.
Ah kata itu mirip sekali bunyinya di telingaku, jika tidak mempunyai sedikit kepekaan terhadap intonasi, tentu sulit untuk membedakannya antara ‘Art Jog’ dan ‘Art Joke’. Apakah ini sebuah kecerdasan mengemas ide? Sudah tak aneh l
Ah kata itu mirip sekali bunyinya di telingaku, jika tidak mempunyai sedikit kepekaan terhadap intonasi, tentu sulit untuk membedakannya antara ‘Art Jog’ dan ‘Art Joke’. Apakah ini sebuah kecerdasan mengemas ide? Sudah tak aneh l
agi, Yaksa bukan orang asing dalam mengolah serta bermain kata dan rupa di ranah ini.
“Ah jangan-jangan kau mau bersaing dengan Art
Jog dengan Art Joke-mu?” aku langsung menimpali. Aku sendiri mendengar banyak
isu bahwa beberapa seniman akan membuat pameran besar-besaran untuk menandingi
Art Jog, ya minimal bareng, dalam waktu yang sama , hmmm….
Hari itu juga aku langsung bertandang ke rumah Yaksa, aku ingin melihat karya-karyanya segera. Dari tajuknya yang tampak keras dan mengancam itu membuatku penasaran, kenapa dia seberani ini? Adakah dia sangat intim (baca; dekat) dengan para senimannya yang sangat populer itu? Setahuku tidak! Mungkin saja karya-karya para seniman-seniman yang dimain-mainkan dan dilukis kembali cukup dekat dan mengganggu Yaksa selama ini. Tak mampu kujawab sendiri, dalam hatiku bahwa idenya gila dan luar biasa (beraninya).
Setelah kuamati
karyanya memang sangat luar biasa, tidak asal-asalan dan digarap dengan serius,
terarah, antara judul dan karya-karyanya bertemu. Rasanya benar-benar sudah
dipersiapkan secara matang pameran Art
Joke di Tirana House ini.
“Karyanya bagus-bagus, luar biasa,”
kataku sambil duduk di teras depan rumahnya.
“Judulnya apa saja?” tanyaku.
“Menghajar Tisna Sanjaya, Kiai Narsis, Konde kok di Muka, Ustadzah
Mella, Ternyata takut pada Celeng, Betmen Magelang, Napoleon From Kasian, News
from Ngoto, Jlebret Art Namun Suka Berdoa, dan lain-lain,” jawabnya sambil
menunjukkan karya-karyanya yang berukuran 30 x 30 cm.
“Sebenarnya karya-karya seri art joke ini adalah pembacaan ulang pada
karya-karya para seniman top, yang kebetulan menggelitik bagiku, misalkan Menghajar Tisna Sanjaya, itu balasanku
ketika ia pernah membuat karya Menghajar
Piccaso, Kyai Narsis jelas dari
karya Nasirun, Heri Dono Yang Susah Di
Bunuh itu dari karya Heri Dono yang berjudul Tukang
Sulap yang Susah Dibunuh dan lain sebagainya”, jelasnya panjang lebar.
“Ok… ok…, tapi sepertinya itu kamu melukis
kembali karya Sudjojono juga?
Apa karena tahun ini tepat 100
tahun Sudjojono? tanyaku.
“Ya..,mungkin begitu… dan karya Maka Lahirlah Angkatan 66 aku lukis
kembali jadi Maka Lahirlah Angkatan
Playgroup, dan yang ini karya Seeppp
Di Segala Cuaca yang aku buat jadi Hello
Mas Jon,” jelasnya .
Aku menelan
ludah, keringatku tiba-tiba keluar dan lagu Bee Gees itu berakhir, “… that the
joke was on me..!”
Aku
mengakhiri tulisan ini, dengan satu yang menganggu pikiranku… Joke… Joke… Joke
adalah senjatanya!!!
Rembulan Mungil, 05 Juni 2013
BIODATA
Nama : Yaksa Agus
Tempat /tgl lahir : Bantul, Yogyakarta, August 23
Education : 1991
Fine Art High School (SMSR) Yogyakarta
1996 Indonesian Institute of Art (ISI) Yogyakarta
Solo Exhibitions
2000 :
SENI
UNTUK KEMANUSIAAN, Bentara Budaya Yogyakarta
2002 :
PRIMA
DONNA, Gelaran Budaya, Yogyakarta
2011 : SUPER SEMAR, Grand Opening Sangkring Art Project
Yogyakarta
2013 : ART JOKE , Tirana House ,
Yogyakarta
: MAAF, TeMBI Rumah
Budaya , Yogyakarta.
Selected Group Exhibitions
1991-2010 :
Aktif berpameran di dalam mau pun luar negeri .
2011 : SPEAK
OF !! Jogja National Museum, Yogyakarta
: LEARNING DEFFERENCES, Elgin art
showcase, Elgint, USA
: BEAUTY IS……, SPA310 gallery, Richmond,
USA
:
MINIATURE MASTERPIECE, Galeri Aswara Kuala Lumpur, Malaysia.
: REUNION
: Detik 96, Taman Budaya Yogyakarta
: JATIM
BIENNALE # 4 -2011, Go ART SPACE,
Surabaya
2012 : JOGJA ISTIMEWA : 100 tahun
Sultan HB IX , Jogja National Museum,
Yogyakarta
: KEMBAR MAYANG, H.WIDAYAT Art Museum, Magelang.
: AGITASI GARUDA, Jogja Gallery
Yogyakarta.
: TROPYCAL UNIFORM, AJBS Gallery, Surabaya.
: DENTING +, TeMBI Rumah Budaya, Yogyakarta .
: THANKS TO ALL , Asiatrend Gallery, Singapura
2013 : KESURUPAN KUDA LUMPING, Bentara Budaya Yogyakarta.
: SAY WITH ART, Taman Budaya Yogyakarta
: UNTOLDology, Limanjawi Art House, Borobudur , Magelang.
: SUKAPARISUKA, Bentara Budaya Yogyakarta.
: META AMUK , Indonesian National Art Gallery, Jakarta, 2013.
: SAPTA PELANGI, Jogja Gallery, Yogyakarta .
Penghargaan & residensi
2004 : Residensi seniman di
Kuala Lumpur dan Yogyakarta (Projek Mager 2005)
2005 : Winner AIAA awards
2005, Byron Bay, Australia
: 999 Mithology
and Legends on visua
2007 : Residensi seniman di
Rimbun Dahan, Kuang, Malaysia
2009 – sekarang : Kurator eksperimental dan penulis di beberapa
pameran seni rupa
No comments:
Post a Comment