Sunday, October 21, 2018

Seni Abstrak Indonesia

SENI ABSTRAK INDONESIA
Hyatt Regency Yogyakarta, Oktober 2018

Abstrak dalam seni rupa berarti ciptaan-ciptaan yang terdiri dari susunan garis, bentuk dan warna yang sama sekali terbebas dari ilusi atas bentuk-bentuk di alam. Tetapi secara lebih umum, adalah seni dimana bentuk-bentuk alam itu bukan sebagai objek ataupun tema yang harus dibawakan, melainkan sebagai motif saja. Seni abstrak juga disebut sebagai seni nonrepresentasional. (Diksi Rupa, halaman 3).




Pameran Seni Abstrak Indonesia kali ini menghadirkan 4 perupa muda dengan latar belakang sosial, pendidikan dan budaya yang berbeda. Latar belakang tersebut akan menjadi bagian dari karakter abstrak mereka masing-masing. Arif Hanung T dengan tema landscape yang syahdu, sementara karya-karya Dedy Sufriadi menghadirkan karya abstrak ekspresionisme yang sangat kuat goresan catnya, nikmati pula karya Seppa Darsono dan Dwi Hariyanta yang lebih berani dengan komposisi warna, menampilkan figur dengan tema naif yang dekat dengan keseharian.

Arif Hanung T, "Homesick", 2016

Arif Hanung TS (Yogyakarta, 1990)
Pendidikan Sarjana Seni Rupa, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
Tahun 2008-2009 pertama kali Hanung menggunakan media kanvas dan cat akrilik. Hanung memiliki background fotografi, aktif juga seni pertunjukan, penikmat dan pernah bekerja di dunia film.
Karya-karyanya sangat terinspirasi dari pekerjaan yang pernah ia tekuni, yaitu matte painting (teknik layering) di dunia perfilman. Teknik-teknik fotografi tentang landscape sering ia pakai dalam teknik berkarya. Latar belakang Hanung lahir dan tumbuh di Majenang, kawasan agraris kaya landscape pegunungan dan masih sangat kental kekerabatannya. Dua hal ini membuatnya sangat menonjol menampilkan studi landscape pada karya-karyanya. Hanung lebih menyukai tema-tema alam dan dia lebih sering mengeksplorasi tema tersebut. Tak ada tendensi ingin menyuarakan sesuatu melalui karya-karya yang ia tampilkan saat ini. Murni bermain-main dengan bentuk lewat memori yang ia tuangkan dalam kanvas. Maka penikmat seni boleh memaknai karya Hanung dengan persepsi mereka sendiri. Penikmat seni diharapkan bisa mendapatkan ‘pesan rasa’ melalui goresan kuasnya, demikianlah bagaimana menikmati karya abstrak.

Dedy Sufriadi, "Ancient Figure, Mask and Neo Profile", 2016

Dedy Sufriadi (Palembang, 1976)
Pendidikan S2 Insitut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta (2013)
“Membaca perjalanan seni lukis abstrak saya, tidak bisa dilepaskan periode lukis sebelumnya. Karena periode inilah yang membuka ketertarikan dan pemahaman seni lukis abstrak yang sekarang dikerjakan”. (Kutipan pernyataan seniman dari Buku Soulscape: the Treasure of Spiritual Art, halaman 149).
Berasal dari Palembang di Sumatra Selatan, Dedy Sufriadi adalah anak kedua dari enam bersaudara dan mulai melukis dengan serius pada usia 15 tahun, saat masih di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR). Dari sana, ia melanjutkan belajar di Institut Seni Indonesia (ISI), mengambil jurusan seni lukis. Pada tahun 2013, ia mendapatkan gelar Master dari institusi yang sama.
Dedy serius mengkonsumsi buku sejak ia memulai pendidikan tinggi pada tahun 1995. Karena kesukaannya membaca, maka tak mengejutkan bahwa teks telah menjadi elemen yang sangat penting dalam karyanya. Dedy juga mencatat sifat teks yang ada di mana-mana, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi, mengutip fakta yang sering diabaikan bahwa kita diproses menjadi teks, dalam berbagai bentuk dan medium penyajiannya, di hampir setiap momen.
Di awal karirnya, dimana Dedy mendeskripsikan periode Eksistensialismenya (1998-2004), teks digunakan dalam lukisannya dengan cara yang dapat digambarkan sebagai pendamping untuk apa yang disajikan di kanvas.  Teks itu lebih berbeda, dan seseorang dapat secara visual melacak dan mengatakan secara lisan apa yang disajikan dengan mudah, mungkin telah dikaburkan.
Karya seni Dedy pada dasarnya membuat penikmat seni tidak hanya menghargai apa yang mereka lihat secara visual, tetapi tidak mengendalikan pemahaman kontekstual. Atribut ini dicapai dari penempatan teks secara multi layering dan acak, menciptakan kombinasi lintasan visual yang tak terhitung jumlahnya yang dapat dilihat oleh penikmat seni. Berbeda dengan buku, di mana teks disajikan dalam pengaturan penulis, karya seni Dedy memungkinkan pemirsa untuk secara bersamaan "membaca" dan menjadi penulis apa yang "dibaca".


Dwi Hariyanta (Bantul, 1976)
Pendidikan Sarjana Seni, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta (2004)
Dwi Hariyanta, memulai berkarya sejak tahun 2003. Baginya, seni abstrak adalah media  kebebasan berkarya. Karyanya menghadirkan tema-tema sederhana, perihal kehidupan sehari-hari. Secara umum, karyanya banyak menyuarakan kegelisahan dirinya. Sebelumnya Dwi Hariyanta berkarya dengan aliran realis, sekitar tahun 2017 baru kemudian dia beralih ke seni abstrak. Picasso dan Andy Warhol adalah salah satu seniman yang menginspirasi karyanya.

Seppa Darsono, "Dulu Ikannya Melimpah", 2018

Seppa Darsono (Bantul, 1986)
Pendidikan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), Yogyakarta (2006)
Seppa Darsono banyak menempa pengalaman dari pergaulan dirinya dengan berbagai kalangan, baik seniman maupun non seniman. Ia pernah membantu temannya sebagai jurnalis, menjadi artisan seniman patung dan sekarang membuat produksi video berdasarkan pesanan. Sebelumnya, Seppa Darsono berkutat dengan karya beraliran naif. Tahun 2015 baru ia beralih ke abstrak hingga kini.  Masih tampak kecenderungan naif dan abstrak yang menyatu apik dalam sapuan kuas di kanvasnya. Temanya pun tak jauh dari aktifitas yang ditemuinya. Karya berjudul “Penjual Ikan dari Pangandaran” terinspirasi dari Menteri Kelautan, Susi Pudjiastuti, setelah ia mengikuti liputan temannya sebagai jurnalis di Pangandaran. Cy Twombly, seorang seniman abstrak ekspresionisme asal Amerika menginspirasinya dalam berkarya selama ini. Menurutnya, perkembangan seni abstrak Indonesia saat ini sangat bagus dengan warna-warna kuat yang banyak ditampilkan para seniman abstrak Indonesia.




No comments: