Lifetime Achievement Award 2017
Yayasan Biennale
Yogyakarta – Biennale Jogja
Terkait
penyelenggaraan Jogja Biennale, Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) memberikan
penghargaan kepada seniman yang memiliki dedikasi, komitmen, kontribusi,
prestasi, dan reputasi unggul dalam profesinya.
Kriteria penerima penghargaan ini dapat dikerucutkan menjadi sesosok
yang memiliki kontribusi dan pengaruh besar pada dunia seni rupa di Yogyakarta,
di Indonesia, dan di level internasional, utamanya pada aspek kreativitas,
pemikiran, dan kontribusi pada kehidupan seni/seni rupa. Sesosok tersebut juga
telah aktif di dunia seni/ seni rupa selama lebih dari 25 tahun.
Penghargaan ini
disebut Lifetime Achievement Award
(LAA), diberikan pertama kali pada tahun 2005 bersamaan dengan penyelenggaraan
Jogja Biennale VIII. Penerimanya G.
Sidharta Soegijo dan Sukasman.
Berturut-turut kemudian pada 2007, penyelenggaraan Biennale Jogja IX,
penerimanya Profesor Sedarso Sp., M.A.,
dan Edhi Soenarso. Pada 2009,
penyelenggaraan Biennale Jogja X, penerimanya Kartika Affandi dan Soenarto
Pr. Pada 2011, penyelenggaraan Biennale Jogja XI, penerimanya Djokopekik. Pada 2013, penyelenggaraan
Biennale Jogja XII, penerimanya Moelyono.
Pada 2015, penyelenggaraan Biennale Jogja XIII, penerimanya Jim Supangkat.
Pada tahun 2017,
bersamaan dengan penyelenggaraan Biennale Jogja XIV “Equator”, Lifetime Achievement Award dianugerahkan
kepada dua orang yang kami anggap memiliki dan memenuhi kriteria seperti sudah
disebutkan tadi. Kedua orang ini kami pertemukan dalam satu panggung
penghargaan dengan pencapaian berbeda. Yang pertama, Wiyadi (Drs), menjelang 70 tahun, seorang guru seni rupa yang
mengajar di SSRI/SMSR Yogyakarta, kini SMK, dan sudah pensiun, Wiyadi dalam
segala cuaca, terus menekuni melukis dengan tema Wayang Beber, pada kanvas dan
kaca, dalam berbagai ukuran. Wiyadi pernah menerima penghargaan sebagai Pakar
Seni Tradisional Wayang Beber dari Universitas Negeri Yogyakarta (1994), dan
penghargaan dari Sinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (1992,
1993). Wiyadi menularkan ketekunan melukis ini pada murid-muridnya, dan sejak
Pak Wiyadi – demikian ia biasa disapa – pensiun, maka sekolah itu (SMSR/SMK)
tak memiliki guru yang memiliki kemampuan seperti dirinya. Karya-karya Wiyadi
menyodorkan daya pikat yang demikian kuat, karena ketekunannya pada seni
tradisional.
Yang kedua, Sunaryo (Drs), juga menjelang 70 tahun,
perupa yang berkarya seni lukis dan seni patung, mengajar (dan sudah pensiun)
di FSRD ITB Bandung. Sunaryo menjelajahi medium, teknik, dan presentasi,
ulang-alik antara dwimatra dan trimatra. Berbagai penghargaan diterima dari
berbagai institusi dalam dan luar negeri. Penghargaan terbaru sebelum LAA 2017
adalah Penghargaan dari Akademi Jakarta yang diterimakan pada pertengahan
November 2017 yang baru lalu. Tak hanya berkarya seni, Sunaryo juga
menginisiasi membangun ruang publik untuk pameran, diskusi, dan pertunjukan
seni yang disebut Selasar Seni Sunaryo, dan Wot Watu, keduanya di wilayah Dago
Pakar, Bandung. Perupa muda, pemikir, dan pengkaji seni rupa dapat melakukan
gladi kreativitas dan pemikirannya pada ruang publik seni tersebut.
Dapat dikatakan
kedua orang ini, Wiyadi dan Sunaryo,
sampai pada pencapaian berupa ‘menginspirasi generasi muda’ dalam aspek
pencapaian kreativitas, pemikiran, dan keberpihakannya pada perkembangan
penciptaan dan pemikiran seni/seni rupa.
(Yayasan Binnale Yogya)
Suwarno
Wisetrotomo (Ketua), Butet
Kartaredjasa, Eko Prawoto, Oei Hong Djien, Anggi Minarni, Dyan Anggraeni, Mella
Jaarsma, Ong Harry Wahyu, Kuss Indarto, Nindityo Adi Purnomo (Anggota)
No comments:
Post a Comment