Kurang lebih 3 tahun belakangan ini, bisnis utama saya menggeluti dunia fashion, penjualan pakaian dengan brand internasional. Tentu ini merupakan hal baru, dimana bisnis sebelumnya berkutat di dunia seni rupa. Sebuah tulisan lama di majalah tak berbayar (gratis) AIKON edisi 119, Desember 2000, di halaman 3 rubrik Gaya; cukup memberikan referensi tentang bagaimana lika liku sebuah pakaian merk internasional bisa berada di sebuah factory outlet atau butik. Juga bagaimana membedakan produk asli atau palsu, tulisan berikut ini mungkin bisa memberikan pengantar singkatnya. Perihal pengetahuan tentang brand, merk, juga sistem perdagangannya. Karena waktu itu, AIKON masih berupa hard copy, maka tulisan ini saya ketik ulang. Karena tulisan ini sedikit banyak masih relevan praktek-prakteknya hingga sekarang. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan.
____________________________________________________
Factory Outlet
Celah Baru Pelanggaran Hak Merk
Belakangan ini masyarakat dilanda demam belanja pakaian branded atau dikenal dengan nama factory outlet. Tempat penjualan factory outlet yang pada awal muncul di beberapa tempat di Bandung, kini menjamur pula di Ibukota. Suatu pemandangan yang biasa apabila seorang ibu rumah tangga yang berkantong pas-pasan mengenakan pakaian bermerk yang dulu hanya dikenakan para selebritis atau eksekutif. Menjamurnya factory outlet memang telah menghancurkan ekslusivisme dalam dunia fesyen yang notabene mempertajam kesenjangan social. Namun disisi lain, factory outlet menyisakan pertanyaan seputar hokum merk dagang dan penjiplakan.
Celah Baru Pelanggaran Hak Merk
Belakangan ini masyarakat dilanda demam belanja pakaian branded atau dikenal dengan nama factory outlet. Tempat penjualan factory outlet yang pada awal muncul di beberapa tempat di Bandung, kini menjamur pula di Ibukota. Suatu pemandangan yang biasa apabila seorang ibu rumah tangga yang berkantong pas-pasan mengenakan pakaian bermerk yang dulu hanya dikenakan para selebritis atau eksekutif. Menjamurnya factory outlet memang telah menghancurkan ekslusivisme dalam dunia fesyen yang notabene mempertajam kesenjangan social. Namun disisi lain, factory outlet menyisakan pertanyaan seputar hokum merk dagang dan penjiplakan.
Mungkin muncul pertanyaan di benak kita, benarkah
pakaian-pakaian bermerk itu merupakan pakaian orisinil yang disebutkan sebagai
sisa ekspor? Atau sampai dimana pakaian dapat disebut apkiran atau reject yang kemudian dijual oleh pabrik?
Pertanyaan ini penting mengingat begitu banyak pakaian yang dijual oleh factory outlet mengklaim sebagai pakaian
sisa ekspor atau reject, namun yang
dipasarkan justru pakaian dengan merk palsu alias jiplakan.
“Kalau bicara produk, pengertian reject tiap-tiap pabrik itu sendiri berbeda,” kata Reza karyawan di
Sucofino, Bandung, yang tidak ingin disebutkan nama aslinya. Menurut Reza,
standar pabrik untuk pasar Asia, Eropa, maupun Amerika itu memiliki standar
sendiri-sendiri. Nah, yang sering disebutkan sebagai sisa ekspor itu, kata
Reza, adalah pakaian yang dianggap tidak layak oleh quality control (QC)-nya. Pakaian yang tidak memenuhi standar ini
dianggap reject tanpa dibetulkan lagi
karena akan menghabiskan waktu. Kelompok inilah yang dimasukkan ke dalam daftar
pakaian sisa. “Biasanya diperjualbelikan untuk karyawan sendiri,” kata Reza.
Sementara menurut Erwin Parengkuan, Manager Marketing Kelab
Duasatu mengatakan, “Pakaiann sisa ekspor itu merupakan barang ekstra. Pabrik yang
diberi brand dari Amerika misalnya,
memesan pakaian dari Bandung untuk 1000 potong. Tapi pabrik malah mencetaknya
1500 potong yang sisanya kelak dijual untuk dalam negeri”. (Ini disebut over production, tambahan dari saya).
Keterangan Reza dan Erwin ada benarnya. Namun tetap tidak
dapat disangkal ada pabrik-pabrik tertentu yang bermain dengan logo-logo dan
merk palsu serta menjiplak merk-merk terkenal yang kemudian dimanipulasi
sebagai barang aslinya. Merk Esprit misalnya, begitu banyak berada di pasar factory outlet dan tampak sebagai barang
aslinya. Namun bagi mereka yang biasa berbelanja dengan jeli, akan ketahuan
bahwa merk tersebut palsu. Herannya lagi, banyak merk-merk terkenal yang dijual
mencantumkan made in Amerika di
pakaiannya, padahal kalau benar itu keluaran Indonesia seharusnya ditulis made in Indonesia.
Photo by bluebellbabes.blogspot.com |
Selain terbukanya peluang terhadap merk palsu, keberadaan factory outlet juga memberikan dampak
persaingan yang tidak sehat di antara pemegang merk. Kasus semacam ini bukan
tidak sering terjadi. Seperti diceritakan Erwin Parengkuan, yang memasarkan
produk-produk pakaian terkenal semacam Donna Karan, Giorgio Armani, Max Mara
dan lain-lain.
“Pernah suatu kali principal kami datang dan melihat banyak
sekali Jeans Armani yang dipalsukan. Akhirnya kami mencari bagaimana
menyelesaikan masalah ini. Namun kami tidak berhasil karena orang-orang yang
sudah memiliki lisensi tersebut sudah mendaftarkan ke Hak Cipta di Indonesia,”
papar Erwin yang juga penyiar radio swasta di Jakarta.
Menyinggung soal persaingan, Erwin malah merasa tidak merasa
disaingin oleh banyaknya factory outlet.
“Kita merasa tidak tersaingi. Soalnya, pelanggan kami berbeda dengan pelanggan factory outlet. Pelanggan kami mencari
pakaian made in Amerika atau Italia.
Sedangkan di factory outlet
kebanyakan made in Indonesia,” kata
Erwin. “Selain itu outlet kami kan berbeda, baik dari segi pelayanannya,
kenyamanan hingga purnajual”.
Kembali soal merk-merk palsu, pelanggaran semacam ini hampir
dianggap kasus biasa di Indonesia. Bukankah Indonesia dan beberapa negara lain
seperti Israel, Malaysia, Cina dan lain-lain, masih menjadi negara yang paling
diawasi dalam soal pelanggaran Hak Cipta?
Meskipun tidak sedikit factory
outlet yang benar-benar menjual sisa ekspor di masyarakat, belakangan
muncul pula di pabrik-pabrik yang menjual merk produk palsu dengan memakai
merk-merk terkenal.
“Kami menghentikan investasi ke sebuah perusahaan garmen di
Bandung karena kami tahu pakaian yang ia buat merupakan merk illegal,” kata
Wati yang bekerja di sebuah perusahaan investor. Dari penyelidikannya, Dian
mengaku bahwa pabrik yang membuat merk pakaian tanpa ijin itu sengaja membuat
pakaian dari bahan persis merk aslinya. Tapi kalau dilihat, ada beberapa bagian
yang tidak dapat ditiru dari merk aslinya. “Jangan ditanya soal pembuat logo
atau merk palsu, Bandung adalah tempatnya,” tandas Dian.
Sulit memang membedakan mana pakaian asli mana yang palsu.
Namun untuk mengantisipasi hal tersebut, tidak jarang factory outlet yang benar-benar menjaga merk perusahaannya
menggunting logo (maksudnya label) maupun merknya agar pembeli tidak complain.
Dan menurut Reza, selintas tidak ada bedanya. “Kalau diteliiti akan ketahuan,
ada jahitan yang tidak rapi.”
Kalau sikap factory
outlet menggunting atau menandai logo dan merknya mungkin adalah sikap yang
benar, sebaiknya pelanggaran secara terang-terangan terhadap merk tertentu yang
diklaim sebagai sisa ekspor perlu segera ditindak. Kalau tidak, selain akan
menimbulkan sikap apatis investor masuk ke Indonesia, juga akan memunculkan
kondisi usaha tidak sehat. Dan lebih parah lagi, hukum tidak akan tegak. “Kepastian
hukum akan mandul,” tandas Robaga, konsultan hukum dari R.G.S dan Mitra yang
pernah menangani kasus pemalsuan merk-merk ini. (jn).
Sumber:
Kompas, Rabu, 8 November 2000.; Buku Panduan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Pertanyaan & Jawaban), Jakarta: Departemen Kehakiman RI Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (JICA), 1999.
Kompas, Rabu, 8 November 2000.; Buku Panduan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Pertanyaan & Jawaban), Jakarta: Departemen Kehakiman RI Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (JICA), 1999.
1 comment:
terimah kasih banyak atas infonya
Post a Comment