Facebook
mengantarkan perkenalan saya dengan Dedy Shofianto. Seorang seniman muda,
spesialis kriya kayu. Foto profil Dedy waktu itu adalah karya dia. Foto itu
membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang Dedy. Karya dalam foto itu berupa
bentuk binatang serangga yang terbuat dari potongan-potongan kayu yang dirakit.
Saat lihat di foto tersebut, saya pikir karyanya statis, hanya seperti patung
kayu yang diam. Tapi ternyata tidak! Karya serangga kayu rakitan itu bisa
bergerak. Sayapnya naik turun, terlihat pula gear yang juga terbuat dari kayu
bergerak memutar. Digerakkan dengan dinamo kecil, karya seperti ciptaan Dedy
ini disebut dengan kayu kinetik.
Karya Dedy "Seeking Indentity" yang digerakkan dengan teknik manual. |
Dedy
memang bukan seniman pertama kali yang berkarya dengan media ini. Sebelumnya
ada seniman lebih senior ketimbang dia, Rudi Hendrianto yang juga berkarya
dengan kayu kinetik. Selisih hampir 1 dekade dengan Rudi, Dedy memang baru saja
menyelesaikan TA (tugas akhir) dari jurusan seni kriya, Institut Seni Indonesia
(ISI), Yogyakarta (2015). Dedy mengaku belajar banyak dari Rudi Hendriatno dan
juga senior lainnya yang berkarya dengan media kayu, seperti Abdi Setiawan. Menurut
penuturannya, ia baru mulai membuat karya kayu kinetik sejak 2 tahun terakhir.
Sebelumnya dia membuat karya ukir-ukiran. Dan ia masih sangat antusias menekuni
karya berteknologi ini hingga beberapa tahun ke depan.
Saat
ini Dedy sedang mengeksplorasi binatang kumbang tanduk (oryctes rhinoceros) sebagai obyek karyanya. Dikutip dari lembar
intisari halaman TA-nya, Dedy mengatakan kumbang tanduk sebagai inspirasi
penciptaan karya seni kinetik kriya kayu karena memiliki beberapa kelebihan,
yaitu keindahan kumbang tanduk dan seni kinetik. Disamping itu, menurut
penuturannya Dedy kecil sering bermain adu tarung kumbang tanduk bersama
teman-temannya. Ini pula yang mendasari minatnya memilih jenis serangga berukuran
rata-rata 10-15 cm ini sebagai materi utama karyanya.
"Evolution" | kayu jati, jati Belanda/pinus, elektrik motor | 120 x 100 x 114 cm | 2015 |
Untuk
memperjelas anatomi kumbang jenis ini, Dedy membeli kumbang yang diawetkan dari
seorang penjual koleksi binatang serangga di kawasan Kotagede. Harga kumbang
yang diawetkan itu sekitar Rp 100ribu. Semakin besar kumbangnya, semakin mahal.
Atau darimana kumbang itu berasal, misalnya kumbang import, maka biayanya juga
semakin mahal. Si penjual sempat heran, karena Dedy baru pertama kalinya anak ISI yang datang ke tempatnya untuk membeli koleksi serangga. Karena biasanya, mahasiswa-mahasiswa jurusan ilmu science seperti biologi dari UNY atau perguruan tinggi lainnya yang sering request berbagai serangga untuk kepentingan studi.
Dedy kemudian ‘membongkar’ kumbang yang sudah diawetkan itu untuk dipelajari anatomi tubuhnya. Sehingga ia sangat paham struktur bentuk tubuh kumbang tanduk. Dengan demikian, ia bisa sangat percaya diri medeformasi sedemikian rupa karya-karya kumbangnya berdasar anatomi yang sudah ia pelajari sebelumnya. Bisa saja ia mengubah sayap, tanduk depan atau kaki kumbang di karyanya lebih terkesan ekstrim hingga lebih mirip monster atau binatang hybrid. Sehingga si kumbang memiliki rumah di badannya atau bahkan lebih mirip kalajengking.
Dedy kemudian ‘membongkar’ kumbang yang sudah diawetkan itu untuk dipelajari anatomi tubuhnya. Sehingga ia sangat paham struktur bentuk tubuh kumbang tanduk. Dengan demikian, ia bisa sangat percaya diri medeformasi sedemikian rupa karya-karya kumbangnya berdasar anatomi yang sudah ia pelajari sebelumnya. Bisa saja ia mengubah sayap, tanduk depan atau kaki kumbang di karyanya lebih terkesan ekstrim hingga lebih mirip monster atau binatang hybrid. Sehingga si kumbang memiliki rumah di badannya atau bahkan lebih mirip kalajengking.
Dedy
juga memperhatikan porsi ukuran karyanya. Karya Dedy rata-rata berukuran 100 x
100 x 100 cm. Maka ia harus memperbesar ukuran asli kumbang tanduk koleksinya. Kumbang
asli yang berukuran panjang 10 cm misalnya, akan ia buat 10 kali lipat lebih
besar; maka ia mengukur skala yang tepat untuk memperbesarnya.
Menariknya
karya Dedy adalah dia menggunakan potongan-potongan kayu jati, jati
belanda/pinus bekas yang ia ambil dari pembuat furniture. Bahan kayu jati ini
dipilih dengan pertimbangan kualitas karakter kayu jati yang memiliki serat bagus.
Biasanya ia beli sekarung, isinya macam-macam ukuran potongan kayu. Semakin
besar ukuran potongan kayu itu, semakin mahal juga ongkos penggantinya. Di
samping itu, Dedy memilih untuk tidak memakai zat kimia untuk membuat kayu
lebih mengkilat. Tapi dia memakai teknik sangkling, yakni menggosok kayu dengan
kayu hingga mendapatkan warna mengkilat dan kesan alami pada kayu tersebut. Apakah
awet? Iya kata Dedy. Kayu dijamin tidak akan dimakan rayap. Meskipun tidak
dilapis zat kimia, kayu tetap awet dengan teknik sangkling karena kayu yang
dipakai adalah kayu jati. Karena ia menggunakan teknik sangkling ini, ia harus
dua kali kerja. Pertama ia rakit dulu potongan-potongan kayu hingga membentuk
karya, kemudian ia bongkar untuk dilakukan teknik sangkling, setelah itu baru
dirakit kembali. Keistimewaan lainnya adalah Deny termasuk seniman yang bisa dihitung
dengan jari, yakni seniman yang menggunakan karya kinetik (menggabungkan sains,
teknologi dan seni) dan menggunakan hampir 100% media kayu pada karyanya.
Detail |
Dedy
Shofianto lahir di Sungai Bulian, Jambi 15 Desember 1991. Namun demikian sejak
kecil ia sudah sering bolak balik Jambi Yogya. Sekolah dasar hingga SMP ia
sekolah di Yogya. SMP hingga SMA kembali ke Jambi. Dan akhirnya kembali lagi ke
Yogya untuk kuliah di ISI. Berbagai prestasi pernah ia raih antara lain juara
pertama lomba prototype kriya FKY ke 25 & 26 (2013 & 2014), karya
terbaik pameran Dies Natalis ISI Yogyakarta ke 28 & 29 (2012 & 2013). Dedy tercatat aktif mengikuti berbagai pameran bersama sejak 2010.
Foto-foto diambil dari facebook Dedy Shofianto https://www.facebook.com/shofiantodedy?fref=ts
Foto-foto diambil dari facebook Dedy Shofianto https://www.facebook.com/shofiantodedy?fref=ts
Koran Sindo, Kamis 10 September 2015, hal 9-10. |
Tribun Jogja | Minggu 20 September 2015 | Halaman 18. |
No comments:
Post a Comment