Materi teks untuk profil seniman halaman Art & Culture Tribun Jogja
BERAWAL DARI SENI GRAFIS
Theresia Agustina
Sitompul ( 5 Agustus 1981), seorang dengan marga Batak yang dilahirkan di
Pasuruan, Jawa Timur kemudian tinggal dan berkarya di Yogyakarta. Baru-baru
ini, namanya menjadi buah bibir di kalangan seni rupa Indonesia, karena Tere,
demikian panggilannya; berhasil menjadi terbaik III, Triennal Grafis Indonesia
IV tahun 2012 yang diumumkan awal Oktober ini. Istimewanya adalah, Tere
mencatatkan sejarah sebagai perupa grafis perempuan pertama yang memenangkan
kompetisi 3 tahunan yang diselenggarakan oleh Bentara Budaya Jakarta tersebut. Membawa
karya yang berjudul Book Prints and Memory berhasil memikat
perhatian 12 juri dan mengeliminasi total 405 karya yang masuk di ajang itu.
Pada
Triennal Grafis Indonesia IV ini konvensi (norma aturan) di dunia seni grafis
ditegakkan. Konvensi
seni grafis yang dimaksud adalah seni grafis yang masih bisa dikenali seperti
teknik cukilan kayu, litografi, cetak dalam, dan cetak saring atau serigrafi/sablon. Seni Grafis (printmaking) adalah sebuah
seni yang reproduktif. Dalam hal ini setiap karya grafis hendaknya dicetak
lebih dari satu. Cetakan-cetakan tersebut adalah edisi yang memang harus ada
untuk membedakan karya grafis dengan karya dwimatra lainnya: lukisan, yang
barang tentu hanya dibuat satu. Sebagai sebuah karya cetak, setiap pencitraan,
dalam hal ini berkaitan dengan setiap warna dalam karya seni grafis, dibuat
dari matriks yang berbeda. Matriks adalah pelat cetakan, darimana pencitraan
dalam karya grafis berasal. Banyaknya warna menunjukkan banyaknya matriks yang
digunakan. Kualitas cetak ditentukan oleh ketepatan (presisi) dan keidentikan
(kesamaan) satu edisi dengan edisi yang lainnya. Di Indonesia, beberapa tahun
yang lalu, edisi dan matriks sempat diabaikan. Dalam usahanya untuk bersaing
dengan seni lukis, sebagian besar penggrafis di Indonesia meninggalkan disiplin
cetak—dan membuat karya mereka (semakin) tidak berbeda dengan lukisan. Edisi
ditinggalkan sebagai laku dari pengeksklusifan karya. Karya hanya dibuat satu untuk
menaikkan harga. Ukuran dibuat relatif besar. Dengan ukuran yang besar , teknik
pewarnaan seringnya tidak dicetak, melainkan dilukis (handcoloring).
Untuk mengikuti kompetisi Triennale Grafis ini, karya Tere juga kembali
pada konvensi seni grafis
yang disebut intaglio (cetak
dalam) dan relief print (cetak tinggi). Dengan
kombinasi dua media tersebut dan sebuah konsep sederhana Tere menggambarkan
kenangannya semasa kecil, seperti tinggal di kaki Gunung Welirang, di sekeliling
rumah terdapat pohon cemara. Menggambarkan memorinya sewaktu kecil saat ia bangun
pagi yang ia cari pertama kali adalah ayam-ayam di halaman belakang, pengalaman
hidupnya dengan seorang adik yang difable, 3 saudara perempuan dan melewati
bunga matahari yang berada di rumah tetangga saat berangkat sekolah mulai taman
kanak-kanak hingga SD. Dalam detail karya itu ada narasi atau quote yang
menjelaskan karya grafis itu sendiri meski tidak secara harafiah. Bentuk karya
yang ia buat saat itu dikemasnya dalam bentuk buku, karena baginya ada relasi
kuat antara buku dengan teknik cetak-mencetak dan buku adalah benda yang biasa
kita temui sehari-hari. Jadilah sebuah buku kenangan pribadi seorang Tere. Ia memang selalu tidak jauh
dari keadaan sekitar dari mendengar, melihat dan merasakan ketika ia
memunculkan tema dalam karyanya. Meski ia mengaku seniman Kiki Smith (lahir di
Jerman, 1954), seorang perupa perempuan Amerika cukup berpengaruh terhadap
proses karyanya.
Tere menjatuhkan
pilihan basis seni grafis sebagai media dalam karyanya sejak awal studinya di
Institut Seni Indonesia /ISI (1999-2007) dan dilanjutkan ke studi pasca sarjana
ISI (2009-2011) tetap dengan pilihan yang sama yakni seni grafis. Tere mengaku
tidak bisa berpindah ke lain hati, ia ingin terus konsisten di media ini. Karena
saat mengerjakan karya grafis, banyak kejutan saat melalui proses berkarya. Proses pengerjaan karya grafis yang manual,semisal
dalam pengerjaan teknik cetak dalam (intaglio) bagaimana penggunaannya dengan
mesin pres, teknik penintaan, goresan, pengasaman dan kelembaban kertas; justru hal-hal tersebut yang membuat Tere sangat
menikmati media ini. Tiap kali berkarya selalu ada tantangan dan kejutan;
terkadang ada beberapa efek yang tidak sengaja muncul karena hubungan dari
proses yang sudah berjalan tadi, entah karena tekanan mesin pres, proses
pengasaman atau penintaan, dan kemudian proses mencetak akhirnya mengangkat
kertas dari atas plat. Banyak teknik yang bisa dipelajari dan dengan perlakuan
yang berbeda membangkitkan gagasan-gagasan atas karya-karya Tere.
Keseriusannya pada
dunia seni grafis pun ia wujudkan dengan membangun sebuah kelompok dengan nama
Studio Grafis Minggiran (berdiri 1 September 2001) bersama rekan-rekan
kuliahnya, antara lain Alexander Nawangseto, , Danang Hadi P, Ruly Putra
Adi, Deni Rahman, Luqi dan Bintang (formasi baru). Studio Grafis
Minggiran adalah sebuah studio (bengkel kerja) terbuka yang memfokuskan diri
dalam pengembangan teknik seni cetak grafis (printmaking). Gagasan
membangun komunitas non profit ini didasarkan karena perkembangan seni grafis
Indonesia sejak tahun 1940 begitu lambat dan dalam kondisi yang
kekurangan. Selain itu, kebanyakan studio grafis berada dalam kampus atau milik
pribadi. Kesulitan bagi para pegrafis apalagi bagi mahasiswa seni grafis untuk
bereksperimen dan berkarya di luar waktu kuliah semakin terbatas. Saat ini, Studio
Grafis Minggiran terus berkembang, masih aktif dan menjalankan beberapa program
edukasi maupun apresiasi seni grafis dalam bentuk pameran atau workshop di
berbagai tempat dengan peserta yang bervariasi baik dari kalangan seniman,
mahasiswa, pelajar, maupun masyarakat umum.
Sebagai seorang
yang eksploratif, Tere tidak berhenti pada media di atas kertas saja.
Pengembangan gagasan banyak muncul di benaknya. Ia pun melakukan eksplorasi
media hingga karya 3 dimensi seperti patung atau instalasi dari bahan resin dan
aluminium. Meski pun eksplorasi karyanya kemudian tersaji dalam bentuk 3
dimensi, Tere tetap memasukkan unsur-unsur teknik seni grafis didalamnya. Eksplorasi
media ini telah ia jalani semasa kuliah, namun akhirnya berhasil ia wujudkan di
tahun 2008, ketika karya 3 dimensi pertamanya dipamerkan di sebuah pameran
bersama galeri seni rupa di Yogyakarta. Hingga saat ini, Tere semakin berani
dan percaya diri menampilkan karya-karya fenomenal dan terkadang gigantik atau
berukuran besar, seperti bisa kita lihat pada pameran tunggalnya di tahun ini
bertema Prints from The Book of Genesis,
Seeds of Peace yang dipamerkan di Bandung.
Karya-karya hebatnya tersebut semua berawal dari seni grafis.
Nunuk Ambarwati
Dimuat di koran Tribun Jogja, rubrik Art & Culture, halaman 12, Minggu, 21 Oktober 2012
Dimuat di koran Tribun Jogja, rubrik Art & Culture, halaman 12, Minggu, 21 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment