SENI
ABSTRAK INDONESIA
Hyatt Regency Yogyakarta, Oktober 2018
Hyatt Regency Yogyakarta, Oktober 2018
Abstrak dalam seni rupa berarti ciptaan-ciptaan yang terdiri
dari susunan garis, bentuk dan warna yang sama sekali terbebas dari ilusi atas
bentuk-bentuk di alam. Tetapi secara lebih umum, adalah seni dimana
bentuk-bentuk alam itu bukan sebagai objek ataupun tema yang harus dibawakan,
melainkan sebagai motif saja. Seni abstrak juga disebut sebagai seni
nonrepresentasional. (Diksi Rupa, halaman 3).
Pameran Seni Abstrak Indonesia kali ini menghadirkan 4
perupa muda dengan latar belakang sosial, pendidikan dan budaya yang berbeda.
Latar belakang tersebut akan menjadi bagian dari karakter abstrak mereka
masing-masing. Arif Hanung T dengan tema landscape
yang syahdu, sementara karya-karya Dedy Sufriadi menghadirkan karya abstrak
ekspresionisme yang sangat kuat goresan catnya, nikmati pula karya Seppa
Darsono dan Dwi Hariyanta yang lebih berani dengan komposisi warna, menampilkan
figur dengan tema naif yang dekat dengan keseharian.
Arif Hanung T, "Homesick", 2016 |
Arif Hanung TS (Yogyakarta, 1990)
Pendidikan Sarjana Seni Rupa, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
Tahun 2008-2009 pertama kali Hanung menggunakan media kanvas dan cat akrilik. Hanung memiliki background fotografi, aktif juga seni pertunjukan, penikmat dan pernah bekerja di dunia film. Karya-karyanya sangat terinspirasi dari pekerjaan yang pernah ia tekuni, yaitu matte painting (teknik layering) di dunia perfilman. Teknik-teknik fotografi tentang landscape sering ia pakai dalam teknik berkarya. Latar belakang Hanung lahir dan tumbuh di Majenang, kawasan agraris kaya landscape pegunungan dan masih sangat kental kekerabatannya. Dua hal ini membuatnya sangat menonjol menampilkan studi landscape pada karya-karyanya. Hanung lebih menyukai tema-tema alam dan dia lebih sering mengeksplorasi tema tersebut. Tak ada tendensi ingin menyuarakan sesuatu melalui karya-karya yang ia tampilkan saat ini. Murni bermain-main dengan bentuk lewat memori yang ia tuangkan dalam kanvas. Maka penikmat seni boleh memaknai karya Hanung dengan persepsi mereka sendiri. Penikmat seni diharapkan bisa mendapatkan ‘pesan rasa’ melalui goresan kuasnya, demikianlah bagaimana menikmati karya abstrak.
Dedy Sufriadi, "Ancient Figure, Mask and Neo Profile", 2016 |
Dedy Sufriadi (Palembang, 1976)
Pendidikan S2 Insitut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta (2013)
“Membaca perjalanan seni lukis abstrak saya, tidak bisa dilepaskan periode lukis sebelumnya. Karena periode inilah yang membuka ketertarikan dan pemahaman seni lukis abstrak yang sekarang dikerjakan”. (Kutipan pernyataan seniman dari Buku Soulscape: the Treasure of Spiritual Art, halaman 149).
Berasal dari
Palembang di Sumatra Selatan, Dedy Sufriadi adalah anak kedua dari enam
bersaudara dan mulai melukis dengan serius pada usia 15 tahun, saat masih di
Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR). Dari sana, ia melanjutkan belajar di
Institut Seni Indonesia (ISI), mengambil jurusan seni lukis. Pada tahun 2013,
ia mendapatkan gelar Master dari institusi yang sama.
Dedy serius
mengkonsumsi buku sejak ia memulai pendidikan tinggi pada tahun 1995. Karena
kesukaannya membaca, maka tak mengejutkan bahwa teks telah menjadi elemen yang
sangat penting dalam karyanya. Dedy juga mencatat sifat teks yang ada di
mana-mana, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi, mengutip fakta yang
sering diabaikan bahwa kita diproses menjadi teks, dalam berbagai bentuk dan
medium penyajiannya, di hampir setiap momen.
Di awal karirnya,
dimana Dedy mendeskripsikan periode Eksistensialismenya (1998-2004), teks
digunakan dalam lukisannya dengan cara yang dapat digambarkan sebagai
pendamping untuk apa yang disajikan di kanvas.
Teks itu lebih berbeda, dan seseorang dapat secara visual melacak dan
mengatakan secara lisan apa yang disajikan dengan mudah, mungkin telah
dikaburkan.
Karya seni
Dedy pada dasarnya membuat penikmat seni tidak hanya menghargai apa yang mereka
lihat secara visual, tetapi tidak mengendalikan pemahaman kontekstual. Atribut
ini dicapai dari penempatan teks secara multi
layering dan acak, menciptakan kombinasi lintasan visual yang tak terhitung
jumlahnya yang dapat dilihat oleh penikmat seni. Berbeda dengan buku, di mana
teks disajikan dalam pengaturan penulis, karya seni Dedy memungkinkan pemirsa
untuk secara bersamaan "membaca" dan menjadi penulis apa yang
"dibaca".
Dwi Hariyanta
(Bantul, 1976)
Pendidikan Sarjana Seni, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta (2004)
Pendidikan Sarjana Seni, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta (2004)
Dwi
Hariyanta, memulai berkarya sejak tahun 2003. Baginya, seni abstrak adalah
media kebebasan berkarya. Karyanya
menghadirkan tema-tema sederhana, perihal kehidupan sehari-hari. Secara umum,
karyanya banyak menyuarakan kegelisahan dirinya. Sebelumnya Dwi Hariyanta
berkarya dengan aliran realis, sekitar tahun 2017 baru kemudian dia beralih ke
seni abstrak. Picasso dan Andy Warhol adalah salah satu seniman yang
menginspirasi karyanya.
Seppa Darsono, "Dulu Ikannya Melimpah", 2018 |
Seppa Darsono (Bantul, 1986)
Pendidikan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), Yogyakarta (2006)
Seppa Darsono banyak menempa pengalaman dari pergaulan
dirinya dengan berbagai kalangan, baik seniman maupun non seniman. Ia pernah
membantu temannya sebagai jurnalis, menjadi artisan seniman patung dan sekarang
membuat produksi video berdasarkan pesanan. Sebelumnya, Seppa Darsono berkutat
dengan karya beraliran naif. Tahun 2015 baru ia beralih ke abstrak hingga
kini. Masih tampak kecenderungan naif
dan abstrak yang menyatu apik dalam sapuan kuas di kanvasnya. Temanya pun tak
jauh dari aktifitas yang ditemuinya. Karya berjudul “Penjual Ikan dari
Pangandaran” terinspirasi dari Menteri Kelautan, Susi Pudjiastuti, setelah ia
mengikuti liputan temannya sebagai jurnalis di Pangandaran. Cy Twombly, seorang
seniman abstrak ekspresionisme asal Amerika menginspirasinya dalam berkarya
selama ini. Menurutnya, perkembangan seni abstrak Indonesia saat ini sangat
bagus dengan warna-warna kuat yang banyak ditampilkan para seniman abstrak
Indonesia.
No comments:
Post a Comment