Hingga pada suatu hari, seorang teman merekomendasikan sebuah tempat penitipan anak, Happy Castle namanya, di daerah Jogokaryan, dekat dengan tempat kerja dan rumah Eyang Abel. Saya mendatangi tempat tersebut. Usia Abel waktu itu sudah hampir 3 tahun. Waktu itu, saat baru survei, Abel sangat menikmati bermain, malah sempat saya tinggal selama 2 jam dan dia masih baik-baik saja, bahkan tidak ingin pulang. Hati kecil saya juga berkata bahwa tempat penitipan ini sangat memperhatikan kebutuhan anak. Nah, mulai ada pencerahan. Saya lega dan senang. Hari pertama di penitipan hampir tidak ada tangisan. Kata pengasuhnya, Abel cuma nangis ingat Mama sebentar setelah itu baik-baik saja. Hari berikutnya dan seterusnya Abel menikmati hari-hari bermain di penitipan tersebut. Saya pun sebagai orang tua, menikmati waktu sekitar 7-8 jam per hari untuk menyelesaikan pekerjaan dan urusan sehari-hari.
Waktu berjalan, sebentar lagi Abel akan masuk TK, saya sudah mulai cari-cari sekolah. Berawal dari Happy Castle tersebut, mulai mengenal ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Recourse Center) dikenal dengan Rumah Cita (RC). Waktu itu juga mendapat rekomendasi dari banyak teman bahwa sekolah di Rumah Cita itu bagus. Tentu saja, saya mendatangi sekolah untuk survei dan mendaftar karena saya ingin Abel mendapat pendidikan yang bagus (sekali lagi baca: sesuai kebutuhan). Kebetulan lokasi Rumah Cita juga tidak jauh dari tempat kerja saya dan juga dari rumah. Rumah Cita memiliki visi anak usia dini mendapatkan dunianya yang menghargai nilai-nilai inklusifitas, terutama hak-hak anak, keadilan gender, ramah lingkungan hidup, dan kearifan lokal sehingga tumbuh dan berkembang optimal. Dari situ pula, kemudian saya tahu apa itu inklusi. Jadi saya sebagai orang tua, mengenal inklusi karena kebutuhan. Kebutuhan anak yang membuat saya mencari penitipan dan sekolah yang semisi dengan hal itu. Kebutuhan orang tua juga, karena pola pengasuhan saya jelas berbeda dengan pola orang tua saya dulu, meskipun ada hal-hal yang masih bisa dipakai dan relevan hingga saat ini. Dan saya belajar tentang itu. Saya merasa cocok dengan pola pengasuhan dan visi Inklusi ini. Tentu saja saya terus belajar sebagai orang tua.
Oh iya, disini saya dan Abel juga belajar bergaul dan memperlakukan teman-teman ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Bahwa kita tidak harus menjauhinya, kita bisa berteman dengannya, menaruh empati dan memberi hak yang sama. Pendidikan itu yang tidak saya dapat waktu saya kecil. Beruntung Abel sekarang mengetahuinya.
Oh iya, disini saya dan Abel juga belajar bergaul dan memperlakukan teman-teman ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Bahwa kita tidak harus menjauhinya, kita bisa berteman dengannya, menaruh empati dan memberi hak yang sama. Pendidikan itu yang tidak saya dapat waktu saya kecil. Beruntung Abel sekarang mengetahuinya.
Abel menikmati hari-hari sekolah di Rumah Cita. Orang tua sangat dilibatkan dalam pendidikan anak. Berbeda dengan jaman dulu, seakan-akan tidak ada komunikasi antara orang tua dengan sekolah. Seakan-akan kewajiban orang tua hanya membayar sekolah dan tugas sekolah yang harus mencerdaskan anak. Di Rumah Cita, orang tua tidak bisa apatis, mereka diajak untuk partisipasi, diberikan edukasi tentang bagaimana mengasuh anak sesuai kebutuhan dan hak-haknya. Orang tua disini tidak hanya ibu, tapi juga bapak. Jaman sekarang, bapak juga memiliki peran yang setara dalam pendidikan anak. Saya sangat tidak setuju bila bapak itu hanya bekerja cari uang dan tidak mau tahu urusan sekolah anak, karena jaman sekarang kedua orang tua bekerja. Peran seorang bapak juga penting mengetahui perkembangan pendidikan anak. Yang dulu tabu dibicarakan antara orang tua dengan anak, misalnya soal pendidikan seks usia dini, sekarang justru sebaliknya. Jangan sampai anak mencari tahu sendiri dan mendapat informasi yang keliru. Kita sebagai orang tua harus bisa mendiskusikannya, memberi informasi yang benar kepada anak.
Demikianlah bagaimana orang tua harus berperan, karena tanpa sinergi orang tua dan sekolah, maka pembentukan karakter anak tidak akan maksimal. Sementara itu, tidak menafikan, masih banyak orang tua yang merupakan 'produk' didikan jaman dulu. Atau orang tua yang belum memahami sepenuhnya inklusi dalam praktek kehidupan sehari-hari, ego sebagai orang tua masih tinggi. Sehingga selama masa sekolah Abel di Happy Castle maupun di Rumah Cita, kadang ada gesekan-gesekan kecil antar orang tua tentu saja ada. Karena perbedaan generasi (gap generation), orang tua masih membawa pola asuh lama, pola pendidikan jaman dulu: dimana orang tua, guru dan sekolah sebagai pusat, sebagai anak harus menurut, mereka tidak boleh dibantah, tidak ada diskusi, cenderung mendikte dan seterusnya. Maka dari itu, kadang-kadang muncul celetukan "Yang harus sekolah kayaknya orang tuanya deh. Anaknya sudah bisa belajar, tapi ternyata orang tuanya belum". Semoga saya tidak diomongin begitu (hehehe). Yah kadang-kadang begitu, namanya juga manusia, tidak semuanya bisa sama seperti keinginan kita.
Demikian sedikit catatan saya tentang pengalaman berkenalan dengan inklusi. Saat ini, Abel sudah menjelang Sekolah Dasar. Dan sampai saat ini masih belajar bersama Abel tentang itu dalam praktek kehidupan sehari-hari. Semoga kehidupan bermasyarakat menjadi semakin baik, anak hidup bahagia dan terpenuhi hak-haknya. Terima kasih kepada Mbak Yoza Veronika dan timnya di Happy Castle, terima kasih untuk semua edukator, staff dan manajemen ECCD-RC.
No comments:
Post a Comment