Baca juga http://nunukambarwati.blogspot.co.id/2015/03/tanah-yang-dianyam.html
Hari Minggu lalu agak terburu-buru karena tak banyak waktu, mengunjungi studio Asep Maulana Hakim atau dikenal Asep Goler, Asep Jablay, Asep Lebay atau Asep Pijit di desa Kaliputih, kampung Karang di kawasan Yogya selatan. Untuk nama-nama sebutan itu, masing-masing memiliki sejarah sendiri-sendiri dan tentunya bikin geli. Asep Goler (bahasa Sunda: suka tidur), muncul karena ia sering kedapatan tidur saat orang beraktifitas kerja. Asep Jablay (jarang dibelai), karena waktu itu tinggal berjauhan dengan istrinya, pulang 2 minggu sekali. Asep Lebay (lelaki bayangan), karena tingkat mobilitasnya cukup tinggi sebagai pemijat, ia bisa diundang ke berbagai kota hanya untuk memijat. Hari ini ia bisa di Jakarta, eh lusanya ia sudah ada di Palembang atau ke Bali. Asep memang lebih dikenal sebagai tukang pijat sejak 15 tahun belakangan ini, maka Asep Pijit adalah sebutan yang lebih bertahan lama hingga sekarang. "Gitu mbak, ha ha ha", ceritanya sambil tertawa terkekeh.
Namun demikian, lelaki kelahiran Garut, 4 Juni 1983 ini sebenarnya seorang sarjana seni, lulusan Insitut Seni Indonesia/ISI (2007-2012), jurusan kriya keramik. Hmm, jadi Asep ini seorang seniman atau tukang pijat? Keduanya ia lakoni. Dan keduanya saling mendukung. Demikian penjelasannya: sebagai seorang seniman kriya keramik mengolah sebongkah tanah liat menjadi bentuk atau figur memerlukan ketrampilan menekan, memijat, menggosok, melenturkan tanah dan seterusnya. Hal ini juga berlaku sama ketika ia memijat kliennya. Jari-jari dan telapak tangan seorang Asep sudah peka kapan tanah liat siap diolah, tanah liat yang mulai kehilangan kelembaban, tanah liat ini bisa retak, hingga tanah liat mana yang harus segera masuk tungku pembakaran.
Karya-karya keramik Asep Maulana Hakim identik dengan anyaman. Pertama-tama ia membuat bilah-bilah dari tanah liat dengan panjang yang diinginkan, mulai ukuran 1 sentimeter hingga 2 meter. Bahkan ia pernah membuat obyek berukuran 1 milimeter saja! Saat itu ia membuat ketupat dari janur berukuran 1 milimeter. Ia bisa khusyuk bekerja 8 jam/hari di studionya, menghasilkan 400-500 bilah pilinan dari tanah liat (rata-rata panjang 50 cm). Setelah terkumpul, satu demi satu dan ia anyam membentuk bakul atau caping dan seterusnya. Bisa bayangkan bagaimana mengayam tanah liat yang lembek? Membentuk obyek dengan anyaman dan tidak patah ditengah pengerjaan? Bagaimana menyusun anyaman tersebut dari bawah ke atas dan tidak meleyot? Resiko-resiko itu sudah khatam dipelajari Asep, hingga ia bertekun dan sering membuat penikmat seni terbelalak heran dengan hasil karyanya.
Semua ia kerjakan detail dan penuh. Ia tak mau setengah-setengah. Misalnya, ia buat bapak dengan kopiah, maka ia pun membuat detail rambut bapak di balik kopiah tersebut, meski kemudian akan tertutup kopiah. Atau seekor induk ayam yang sedang mengerami telur, maka ia pun membuat bulu penuh di sekujur ayam meski nanti akan tertutupi bakul. 'Nggak puas!', tegasnya. Menurut dia, secara estetis akan sempurna bagus bila karya keramik yang bisa dinikmati meruang, 3 dimensi utuh dari atas hingga ke bawah, bisa dilihat dari sudut manapun.
Pilinan yang dibuat Asep untuk membentuk anyaman. |
Namun demikian identitas Asep dengan anyaman tetap ditampilkan. Intip saja, kalung si kucing, bakul tempat induk ayam bertelur dan bakul mainan si anak kucing, ia anyam hingga mirip hampir 100% dengan aslinya. Bahkan Asep berhasil mendeskripsikan sangat realis kepada kita, penikmat seni, bagaimana sebuah bakul anyaman yang telah reyot ditindih induk ayam yang mengerami 5 telur di dalamnya. Takjub kita dibuatnya! Kenaturalan karyanya tak ingin ia tambahkan dengan teknik finishing yang neko-neko. Ia tak mau menambahkan cat warna warni pada karyanya. Ia ingin karyanya yang ‘berbicara’ sendiri bahwa ketekunan dan detail adalah yang membawa karya ini memiliki ruh kepada penikmatnya.
Asep menggunakan tanah liat asal Pacitan dan Sukabumi untuk bahan dasarnya. Tanah asal kedua wilayah ini memang diakui memiliki standar mutu stoneware yang diakui kualitasnya di dunia keramik. Bersama seorang temannya, baru saja ia berhasil membuat tungku pembakaran sendiri untuk karya-karyanya. Untuk itu dia bisa berhemat separuh biaya bila ia beli tungku yang sudah jadi. Ia sudah tak perlu lagi menitip pembakaran di kawasan Kasongan Rp 700rb/tungku/pembakaran. Dan dengan demikian ia semakin bersemangat berkarya untuk mengejar obsesi menggelar pameran tunggal selanjutnya.
No comments:
Post a Comment