Membuat event yang bagus itu tidak mudah, sama
sekali tidak mudah. Yang saya bicarakan disini adalah event seni rupa. Penuh
kerja keras, content, quality atau wacananya harus kuat, juga harus memakai
rasa & hati, jangan hanya sensasi, supaya eventnya lebih memorable,
dibicarakan hingga kurun waktu yang lama. Tulisan saya ini belum sepenuhnya
selesai, tulisannya akan berkembang, jadi silakan ikuti selalu perkembangannya.
Perhelatan akbar sebuah event bisa diukur antara
lain dari: skala cakupan (regional, nasional, internasional), besarnya anggaran
yang digunakan, banyaknya peserta yang dilibatkan atau siapa person yang
dilibatkan (misalnya pesertanya cuma 1 tapi dia seorang bintang ternama atau
banyak peserta tapi yang dihitung adalah kuantitasnya). Tulisan saya kali ini
mencoba menganalisis manajemen sebuah event seni rupa yang diikuti oleh banyak
seniman. Banyak disini ukurannya adalah mulai dari 100 orang. Saya mengambil 4
contoh event sebagai sample-nya. Dimana kebetulan saya terlibat didalamnya pada
posisi yang berbeda-beda. Setelah Anda
baca nanti, mungkin akan lebih banyak persoalan manajemen teknis dan
koordinasi. Tapi begitulah pengalaman mengajarkan saya di lapangan, yang
mungkin sangat berbeda dengan teori.
Ke 4 event tersebut adalah:
Biennale Jogja VIII 2005 ‘Di Sini &
Kini’ (2005)
Wedding putra pertama dr.Oei Hong Djien: ‘Wedding, Art, Tobacco’ (2006) *
Exposign: 25th Insitut Seni Indonesia (2009)
Nandur Srawung 1 (2014)*
* menyusul
Biennale
Jogja VIII 2005 ‘Di Sini & Kini’
Nama
eventnya Biennale, maka ini adalah event dua tahunan. Dikelola oleh Taman
Budaya Yogyakarta (TBY). Posisi saya waktu itu adalah Divisi Pameran. Event ini
banyak dinaungi nama-nama besar sebagai penasehat, pelindung, kurator dan
penyelenggara itu sendiri. Disamping itu, Biennale Jogja VIII 2005 ini juga
pertama kali diikuti perupa dari beberapa kota di Indonesia dan juga diikuti
perupa 6 negara yaitu Belanda, Canada, Malaysia, Liechtenstein, Jepang dan
Australia. Biennale Jogja VIII 2005 ini tercatat sebagai biennale dengan
penyelenggaraan di luar TBY untuk pertama kali. Bahkan, biennale saat itu
memakai ruang-ruang non mainstream untuk pameran, 17 titik lokasi dijadikan
ruang pameran yang dibagi menjadi 8 kawasan, itu pun masih ditambah moving
space (karya yang dipamerkan di luar ruangan, bersifat performance art). Total
karya yang dihadirkan adalah 110 judul karya.
Sebagai koordinator Divisi Pameran saya harus mengelola 110 karya (indoor dan outdoor) yang
terbagi di 17 titik lokasi yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. 17 titik
lokasi tersebut adalah Taman Budaya Yogyakarta (55 karya), Gedung Societet
Militer (2 karya), Benteng Vredeburg (4 karya), Pasca Sarjana ISI (5 karya),
Galeri Biasa (2 karya), Karta Pustaka Bintaran (7 karya), Gereja Santo Yusuf
Bintaran (3 karya), Museum Sasmita Loka, Jendral Sudirman (1 karya), SMU N 3 (1
karya), Jogja Studi Center/JSC Kotabaru (1 karya), Gabah Resto Sagan (2 karya),
KOA Boutique Café Sagan (4 karya), SMKN 2 (5 karya), PD Tarumartani (6 karya),
Kandhang Menjangan (1 karya), Omah Dhuwur Kotagede (6 karya), Masjid Besar
Kotagede (1 karya), Nitiprayan (4 karya), Padepokan Bagong Kussudiarjo (4
karya), moving space (3 karya public art).
Dari 17 titik tersebut yang sudah terbiasa
sebagai ruang pamer hanya Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dan memang yang paling
banyak memajang karya, selain itu ada Galeri Biasa dan Pasca Sarjana ISI
Yogyakarta. Kesulitan mengelola pameran dan karya dalam event ini, terutama
saya pribadi, adalah:
1. Baru pertama kalinya event Biennale berada di luar pakem penyelenggaraan,
yakni di luar Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Sehingga diperlukan sosialisasi
kepada venue-venue di luar TBY sebagai ruang pamer dan etika non tertulis
bagaimana menikmati karya seni, antara lain: tidak boleh menyentuh karya, cara
mendokumentasikan karya, menjaga karya tetap aman sepanjang pameran, karya
tidak bergeser atau rusak displaynya sepanjang pameran berlangsung dan
sebagainya.
2. Banyaknya karya yang harus dikelola dan
menyebar (massif) di 17 titik. Meskipun tiap titik ada koordinator
masing-masing, tapi tetap sistem kontrol yang ketat belum bisa dijalankan saat
event ini berlangsung kala itu. Sistem kontrol yang saya maksud misalnya
menempatkan kamera-kamera CCTV dimana ada karya yang dipajang di venue tertentu
tersebut. Kamera CCTV tidak harus disediakan oleh penyelenggara, tapi bisa
nebeng dari pemilik venue. Saya sebagai koordinator tidak memiliki banyak waktu
untuk cek satu per satu karya setiap harinya sepanjang pameran berlangsung. Waktu
itu cara terefisien adalah absen by phone atau SMS satu per satu koordinator
yang stand by disana. Bila ada masalah baru meluncur ke lokasi untuk solve the
problem.
Fungsi koordinator per venue ini juga sebagai
guide, sehingga koordinator dibekali product knowledge tentang karya yang ada
di venue mereka masing-masing. Koordinator harus bisa menjelaskan tentang event
Biennale itu sendiri dan karya yang dipajang. Karena waktu itu katalog dicetak
pasca event, sehingga hanya caption karya yang menjelaskan tentang karya
tersebut.
3. Mengakomodir kepentingan, kebutuhan
masing-masing seniman dengan karyanya. Kebutuhan ruang, kebutuhan material
tambahan, kebutuhan untuk terekspos dan mudah diakses publik. Karena setiap
seniman dan setiap karya ingin diekspos semaksimal mungkin. Kecenderungan yang
terjadi, seniman senior memiliki daftar panjang kriteria yang harus
difasilitasi oleh penyelenggara demi supaya karyanya tampil maksimal dari
sekian banyaknya karya yang dipamerkan. Tidak mudah lho mengelola ego dan
kepentingan 100 orang.
4. Meskipun jabatan saya di atas kertas sebagai
Divisi Pameran, toh kemudian tetap saja merangkap kerja ini itu, misalnya
sebagai editor katalog, membantu marketing (penjualan karya) juga publikasi
(terutama kepada rekan-rekan jurnalis). Karena memang, banyak informasi karya
ada pada divisi yang saya kelola.
5. Sumber daya manusia (SDM) penyelenggara utama
Biennale Jogja, dalam hal ini Taman Budaya Yogyakarta (TBY) tidak maksimal
mensupport event ini. Memang event ini sudah dikelola pihak kedua (EO) termasuk
ada saya didalamnya, tetapi staf-staf TBY sendiri tidak membantu penuh, cenderung
cuek, diserahkan sepenuhnya sama tim EO, padahal namanya tercantum dalam
kepanitiaan, sehingga kadang koordinasi jadi tidak maksimal.
6. Nah ini yang kadang dilupakan atau sengaja tak
dihiraukan. After party atau selepas pameran berlangsung. Usai pameran,
karya-karya yang menyebar itu harus segera diturunkan, dipacking rapi dan
dikembalikan kepada senimannya dalam keadaan utuh, baik seperti sedia kala. Pada
event ini, tidak terkoordinasi dengan baik. Semua SDM hampir semuanya telah
menghilang entah kemana. Sehingga saat harus packing dan mengembalikan karya,
saya seolah-olah bekerja sendirian. Ini menjadi pelajaran penting bagi
penyelenggara event seperti saya.
Exposigns:
25th Institut Seni Indonesia
Exposigns digadang-gadang sebagai pameran seni
rupa terbesar sepanjang tahun 2009. Bagaimana tidak? Melibatkan banyak seniman
(kurang lebih 600 seniman) dari seluruh Indonesia, menggunakan ruang yang
sangat luas di Jogja Expo Center (JEC) seluas lebih kurang 9000m persegi, digawangi
oleh 5 kurator ternama dan dengan anggaran dana yang tak sedikit pula tentunya.
JEC sendiri bukan merupakan ruang pamer mainstream, ia adalah sebuah gedung
yang disewakan per hall nya guna event apapun: pameran, konser music, event
olahraga, upacara wisuda hingga resepsi pernikahan.
Bedanya event Exposigns dengan Biennale Jogja
VIII 2005 adalah, Exposigns mengambil satu lokasi yang luas, sementara Biennale
Jogja VIII 2005 ada 17 titik (venue).
Exposigns merupakan kerjasama Jogja Gallery dan
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dalam rangka 25 tahun ISI Yogyakarta.
Waktu itu ide awal digagas oleh Jogja Gallery dan ‘dilemparkan’ ke ISI
Yogyakarta. Ambisi penyelenggara waktu itu memang lebih terfokus pada persoalan
quantity atau banyaknya jumlah seniman yang terlibat dalam event ini. Posisi
saya di event ini sebagai wakil penyelenggara, dalam hal ini saya mewakili
Direktur Utama Jogja Gallery untuk kepentingan apapun dalam event ini. Durasi
pameran 25 November – 30 November 2009 (5 hari saja).
Berikut ini beberapa catatan yang menjadi
pembelajaran saya pribadi untuk event ini:
1.
Venue.
Venue
yang dipakai, yakni JEC yang bukan ruang pamer sempat menjadi perdebatan dan
konflik; misalnya bagaimana cara pajang karya 2 dimensi karena wacananya akan
dipajang di panel-panel seperti pameran event biasanya, juga bagaimana dengan
lighting per karya. Penyelenggara harus ekstra kerja keras supaya bisa menyulap
JEC menjadi ruang pamer karya seni (fine art) yang ideal. JEC juga tidak
menyediakan ruangan transit karya, sehingga kami penyelenggara tidak memiliki
gudang penyimpanan. Ruang transit karya ada di Galeri ISI, Sewon, kami
mengggunakan 2 lantai di sana. Waktu itu kami harus bolak-balik ISI Sewon ke
JEC Janti untuk antar jemput karya dengan pick up. JEC juga hanya memberikan
waktu 1 hari untuk display dan 1 hari untuk bongkar karya. Bayangkan, bagaimana
kami harus mengejar waktu dengan karya sebanyak 600-an karya tersebut dan
rata-rata berukuran besar, tidak hanya 2 dimensi saja tapi juga karya 3 dimensi.
Waktu itu kami membagi koordinasi menjadi 3 bagian, disesuaikan dengan 3 hall
JEC. Hall A, hall B dan hall C. Misalnya seniman siapa saja yang ada di hall A,
hall B dan hall C. Itu pun masih ditambah karya-karya outdoor dan di teras JEC.
2. Durasi
pameran yang cuma 5 hari cukup membuat kami penyelenggara
terengah-engah. Sementara masa display dan bongkar karya masing-masing cuma 1
hari, belum selesai capeknya, sudah harus bongkar dan dikasih waktu cuma 1 hari
harus clear up semua. Dalam kondisi ini, kami penyelenggara harus menyiapkan
SDM yang cukup. SDM waktu itu kami ambil random, ada yang mahasiswa dan memang
yang sedang mencari pekerjaan. Kami juga mengambil SDM yang kira-kira sudah
memiliki pengalaman di bidang display karya, supaya kami tidak banyak memberi
pengarahan karena mepetnya waktu dan banyaknya hal yang harus dikerjakan. Ada
juga SDM yang memang dia seorang tukang, pekerjaan sehari-harinya adalah tukang
bangunan.
3. Sumber
Daya Manusia (SDM). Karena banyaknya karya yang harus
ditangani, waktu itu kami merekrut banyak volunteer dan banyak yang berminat
melamar. Tetapi memang dari sekian banyak SDM, tidak semua qualified. Di
pertengahan jalan saat kami bekerja, tiba-tiba ada yang jatuh sakit, atau
tiba-tiba mengundurkan diri karena tidak kuat dengan beban pekerjaan atau entah
apa alasannya. Karena memang di event ini betul-betul tenaga, waktu dan pikiran
tersita karena waktu yang mendesak. Waktu yang mendesak karena mepetnya waktu
untuk display, waktu untuk bongkar karya dan selama pameran berlangsung.
Nah, seharusnya ada manajemen
tersendiri mengenai SDM ini, supaya tidak terjadi doble job desk mengingat
waktu. Yang terjadi adalah ada beberapa SDM yang merangkap semuanya, ya display
karya, ya jaga pameran, ya bongkar karya, benar-benar menyita tenaga. Karena
waktu display dan bongkar karya itu kami habiskan hampir 24 jam tanpa tidur.
Bila SDM tidak dikelola dengan baik, misalnya dibagi shift kerja, maka
sebenarnya tidak maksimal kerjanya dan malah mengulur waktu.
4. Service.
Pelayanan penyelenggara kepada seniman peserta
pameran terutama. Ke-600-an seniman peserta ini hampir semua pengen dipenuhi
maunya apa: pengen lightingnya begini, pengen dipasang disana, pengen dilayani
cepat, dan seterusnya dan sebagainya. Hal ini juga harus diperhatikan
penyelenggara, karena meja pengaduan (customer service) tidak disediakan khusus
dalam event ini. Mungkin sebaiknya ada meja khusus untuk menampung
keluhan-keluhan dan harus ada sistem koordinasi yang baik, keluhan A seharusnya
di follow up ke divisi apa dan seterusnya. Pekerjaan bagian service ini masih
harus mengelola kebutuhan pengunjung (tamu) yang menikmati pameran, jurnalis
juga sponsor.
5. Pasca
produksi. Sama seperti kasus yang terjadi di Biennale Jogja
VIII 2005. Pasca produksi harus diperhatikan oleh penyelenggara event. Karena
biasanya di pasca produksi ini semangat sudah mengendur, cenderung malas dan
ingin segera selesai. Padahal pasca produksi memerlukan konsentrasi dan
intensitas yang sama seperti saat menyiapkan event.
Pada kasus Exposigns, yang
menjadi pembelajaran saya adalah, karya-karya yang selesai dibongkar dan harus
dipindahkan di ruang transit di Sewon ada yang mengalami kerusakan saat proses
bongkar karya. Kerusakan juga beberapa terjadi saat pengembalian karya ke
studio/rumah seniman. Misalnya penyelenggara harus mengganti karya kanvas yang
sobek atau patung yang pecah. Nah, ini harap diperhatikan! Kerusakan itu
terjadi karena: pembongkaran karya yang tidak sesuai prosedur, proses
penyimpanan karya yang tidak ideal, proses pengembalian karya (transportasi). Dalam
hal ini kerugian yang ditimbulkan atas kerusakan karya pada masa pasca produksi
tentu saja mengurangi profit/income penyelenggara, karena penyelenggara harus
menukar/mengganti biaya produksi atau nilai karya yang rusak tersebut. Dan itu
tidak sedikit lho. Profit yang didapatkan dari penyelenggara misalnya dari
sponsor, penjualan tiket, penjualan karya dll harus dikurangi biaya mengganti
karya yang rusak, sementara karya itu karya yang rusak ada yang bisa diperbaiki
dan ada yang sama sekali tidak bisa diperbaiki lagi.
Bersambung...