* Fakta Sejarah LEVI STRAUSS - http://nunukambarwati.blogspot.co.id/2015/09/fakta-sejarah-levi-strauss.html
Jeans
memang menawarkan kenyamanan fisik maupun rasa percaya diri untuk konsumennya.
Kainnya tahan lama, relatif murah, enak dipakai, hangat di musim penghujan dan
tetap sejuk di musim panas – tidak mudah longgar dan tidak mudah terlihat
kotor. Lebih dari itu, jeans memiliki warna yang sangat netral sehingga bisa
dipadu dengan segala warna. Bahkan konsumen anak muda sering menggosok jeansnya
sampai kusam/belel dengan alasan mode.
Pesona
jeans begitu dahsyat, karena selain efektif sebagai pakaian, jeans bisa
dipermak, dihias, disobek-sobek. Memang, jeans menawarkan gaya dimana setiap
orang bisa tampil beda seperti apa yang diinginkannya: bisa terlihat feminine,
maskulin, bersahaja, riang, demokratis, egaliter. Seorang desainer muda Paris,
John Galliano mengatakan bahwa satu-satunya garmen terpenting di setiap masa
adalah jeans.
Jika
ditilik lebih dalam lagi, jeans merupakan ekspansi budaya “leluhurnya”, yaitu
Amerika yang identik dengan citra demokrasi, menghargai hak asasi manusia dan
perbedaan – berwawasan ke depan. Dan jeans memang dapat ditemui dimana saja –
dari pelosok pedesaan – pertambangan emas Afrika Selatan – pegunungan Andes,
Peru – hutan-hutan Kongo – sampai di catwalk Milan atau New York. Jika jeans
telah dipakai oleh manusia seantero bumi bukankah ini sebuah bentuk usaha
menyeragamkan manusia? Dan bukankah ini bertolak belakang dengan citra jeans
yang demokratis dan menghargai perbedaan manusia.
Citra
atau image bisa saja membius konsumen, tetapi praktek perluasan penjualan
produk punya logika sendiri yang mensahkan pelanggaran hak asasi manusia dan
lingkungan alam. David Ransom, seorang penulis mengatakan bahwa “sifat dari
suatu benda bukan semata-mata citra yang ditawarkan, melainkan fakta yang ada
di baliknya”. Ada baiknya untuk menyimak kembali bahan baku dan pembuatan
jeans.
Jeans
berbahan dasar katun yang diperoleh dari hamparan perkebunan katun yang
menutupi hampir 5% permukaan bumi. Dibanding tanaman lain, pohon kapas
memerlukan pestisida lebih banyak yang berarti kadar racunnya lebih tinggi.
Untuk menjadi kain, kapas harus diolah dengan berbagai macam campuran zat
kimia. Zat beracun dalam jumlah besar dihasilkan oleh industri tekstil untuk
proses pencelupan telah menyebabkan polusi udara, tanah dan air yang sangat
parah. Sebagian kota New Mexico dilaporkan telah hancur akibat ekstraksi batu
apung yang digunakan untuk “stone wash”.
Industri
jeans juga banyak melibatkan pekerja wanita muda yang dibayar sangat rendah,
terutama di negara Guatemala, Bangladesh, atau di daerah perdagangan kain kaum
imigran di kota Los Angeles, New York, Toronto, Sydney, London bahkan merambah
ke Cina pada waktu itu. Harry Wu, seorang aktivis hak asasi manusia Amerika
mengatakan bahwa “apa yang berkembang di Cina adalah iklim bisnis, tapi
kenyataannya pelanggaran hak asasi manusia semakin parah, pekerja paksa masih
dipakai, tak ada organisasi buruh independen, dan siapapun yang mencoba
mengorganisasi buruh akan dijebloskan ke kamp-re edukasi”.
Tentunya
ada produk jeans yang peduli terhadap hak asasi manusia salah satunya Levi
Strauss & Co. Perusahaan Levi’s pernah membatalkan kontrak produksinya di
Birma dan Cina karena ada pelanggaran hak asasi manusia. Juga saat perusahaan
ini mengetahui kontraktornya di Bangladesh memperkerjakan anak-anak, perusahaan
ini menawarkan pendidikan pada mereka. Disamping itu ada produk jeans ramah
lingkungan, yang terbuat dari rami buatan Rumania, seperti misalnya produk
jeans Hemp Union. Inspirasi pemakaian bahan ini berasal dari asal muasal jeans
yang awalnya terbuat dari rami dan serat-serat yang tidak membutuhkan
pestisida. Namun penggunaan rami untuk jeans kerap dihadang oleh kampanye anti
narkotika, karena rami adalah bahan dasar marijuana. Untuk mengantisipasi hal
ini, Hemp Union menulis di setiap produknya: ‘Jika Anda merokok kain ini, Anda
hanya merasa pusing. SAVE THE PLANET’.
Membeli
produk dengan kesadaran keadilan sosial dan cinta lingkungan nampaknya belum
menggejala pada konsumen Indonesia yang mungkin disebabkan kurangnya
pengetahuan tentang proses pembuatan produk. Tetapi gerakan budaya macam ini
mutlak diperlukan agar kesejahteraan sosial manusia dan lingkungan alam bisa
terselamatkan.
Sumber:
Ransom, David. “Jeans: the big stich-up Fooled by false labels, David Ransom
sets off in pursuit of the politically correct pair”. New Internationalist,
Issue 302, June 1998.
Artikel
ini dimuat di Majalah [aikon!] edisi 96, November 1998, halaman 6.
No comments:
Post a Comment