Kasih Harus Sampai
Oleh: Yuswantoro Adi
“The colors of a rainbow.... so pretty in the sky
Are there on the faces.... of people...going by
I see friends shaking hands.... saying..how do you do
They're really sayin... (I ....love....you).
I hear babies cry.....I watch them grow
(you know their gonna learn A whole lot more than I'll never
know)
And I think to myself ....what a wonderful world
Yes I think to myself .....what a wonderful world”
Cuplikan lagu ‘What
A Wonderful World’ barangkali cukup tepat menggambarkan lukisan buah karya
Kasih Hartono. Meski yang ia lukisankan serta-merta bukanlah cantiknya pelangi
atau pemandangan alam nan indah. Namun sesungguhnya ia telah sedang mengamalkan
pemandangannya terhadap dunia (baca: masalah keseharian dan aneka persoalan
sosial, kemasyarakatan dan hal sejenis yang ia saksikan dan alami) dengan
memakai asumsi bahwa apapun di muka bumi ini adalah “wonderful”.
Wonderful
punya arti harfiah sangat bagus. Maka tak heran hampir seluruh lukisan yang
tersaji di pameran ini tampil dengan visual indah atau sengaja alias dibuat
dengan mementingkan soal keindahan. Sebenarnya agak paradoksal, sebab ia
menggambarkan seuatu yang bersifat sosialistik, namun ia memilih
menyampaikannya dengan pendekatan estetik-artistik belaka. Jadi, jangan terlalu
berharap Anda akan menemukan “persoalan, masalah, keluhan, kritik, protes
apalagi dendam” di dalam kanvasnya.
Lihatlah “Peaceful” sebuah lukisan
yang menceritakan betapa buruknya sistem transportasi kita. Penumpang
berdesakan hingga sebagian –atau malah separuhnya— tidak tertampung di mobil
angkutan itu, sehingga nampak bergelayutan di belakangnya. Uniknya semua
terlihat gembira dan tersenyum. Perhatikan pula judulnya!
Saksikanlah secara seksama; “Menggapai
Bintang” sebuah keluarga sederhana, divisualkan secara sederhana; bapak, ibu
dan anak menaiki sepeda tua berjalan perlahan-lahan. Sang bapak nyaris atau
bahkan sudah tertidur, ibu nampak kelelahan. Sementara anak sama sekali tidak
kelihatan letih, justru begitu bahagia sekaligus bangga meski cuma mendapatkan
pencapaian sederhana, yakni berhasil menunjuk bintang. Setidaknya ada dua
catatan sederhana untuk lukisan ini. Pertama bintangnya tidak diperlihatkan
jelas atau hanya berpendar samar saja. Kedua, seragam polisi yang dikenakan
anak amat sangat jelas sekali.
“Menuju Alun Alun” sekilas seperti
potret dua orang perempuan muda, salah seorang di antaranya membawa tas plastik
berisi ikan hias hidup, yang satunya mendorong gerobak (wadah jualan pukis)
sambil menggendong anak kecil menenteng kencrung atau gitar mainan. Mereka
telah sampai di sudut beteng keraton. Artinya sebentar lagi akan sampai ke
alun-alun. Hingga di sini mungkin kita tidak menemukan apapun lagi kecuali
potret itu. Coba lihatlah lebih teliti atau kalau ingin lebih tegas, tanyakan
langsung pada pelukisnya. Anda akan memperoleh narasi yang mengharukan.
Dua lukisan serupa; “Take Me Home”
dan “Homeland” tentunya bermaksud berbicara tentang kerinduan seorang Kasih
Hartono terhadap masa lalu atau (semoga tidak terlalu kurang ajar) masa depan
hidupnya. Yang menarik dari kedua karya ini adalah mereka (lukisan
tersebut)terasa puitik sekali. Oleh karenanya, jika tulisan yang saya buat
sebagai pengantar, namun bukan catatan kuratorial ini; terasa romantis, melodramatik
dan mendayu-dayu Melayu. Salahkan pengaruh semacam itu yang ditimbulkan oleh
dua lukisan di atas!
Nah, rasa serta influences itulah yang kemungkinan besar dapat gampang ditangkap
oleh mata dan mata hati kita manakala memelototi karya-karya lukisan Kasih
Hartono pada pameran kali ini. Sebuah pameran dengan tema utama dimaksudkan
sebagai sosialisme namun taste romantismelah yang kita nikmati kemudian.
Adakah berarti Kasih gagal? Justru
tidak!
Kasih, sesuai namanya sudah berusaha
jujur dalam menggores kuas pada setiap kanvasnya dalam balutan semangat kasih,
cinta, sayang, love and peace. Maka, baginya setiap hal dan kejadian di dunia
ini selalu terlihat indah di matanya. Meminjam lirik sebuah lagu populer “Kasih
tidak punya hati untuk menyakiti hati siapa dan apapun”. Bahkan dalam
pengamatan saya, ia cenderung memilih sikap berhati-hati.
Barangkali ia agak naif
melihat persoalan dunia. Karena, sejujurnya wonderful world hanya ada dalam
lagu dan fantasi, imaginasi serta idealisme saja. Dunia senyatanya bukan
seperti itu. Akan tetapi kenapa tidak kita membiarkan, mempersilakan, artinya
memberi ruang atau kesempatan buat Kasih menikmati dunia sebagaimana yang ia
yakininya? Toh kita juga diperbolehkan untuk menikmati bersamanya. Bukankah
dengan demikian kita menjadi beruntung mendapatkan pencerahan (enlightenment) sekaligus pengayaan (enrichment) dalam memandang dunia dengan
prespektif baru dan berbeda.
Dan memang
begitulah tugas utama seorang seniman; memberi warna pada dunia. Dan pewarnaan
yang ia lakukan itulah sebaik-baiknya yang kelak akan mampu memperbaiki
sesuatu. Ya, tugas seniman itu bukan sekadar pencapaian artistik belaka, apalagi
cuma motif ekonomi saja, melainkan
hendaknya punya nilai moralitas dan bersifat terpuji lagi mulia. Orang
sering overestimate terhadap hal-ihwal berkesenian ini. Seolah seniman mampu
atau lebih celakanya, seorang seniman itu sendirian, merasa bisa memberikan
solusi terbaik dan kemudian mengubah dunia. Hahahaha. . . tidak se-bombastis
itu kawan. . .
Yang penting,
menurut saya, adalah bagaimana ide, gagasan, fantasi, imaginasi, pikiran dan
pemikiran serta apapunlah namanya itu, dari seorang seniman sebagi kreator,
pencipta dapat tersampaikan dengan sempurna kepada masyarakatnya. Kemudian
pesan yang telah sampai tadi sanggup mendorong, menambah motivasi, memberi
inpirasi pada siapapun untuk melakukan hal terbaik lainnya. Kegiatan berupa
pameran bisa jadi salah satu caranya. Tingkat keberhasilannya tentu berbanding
lurus dengan kualitas, kerja keras dan atau ikhtiar pengelolaan hal lain
pendukungnya. Tapi bukan kapasitas saya dan tulisan ini untuk membahas
persoalaan itu secara mendalam.
Alinea terakhir,
dan semoga pantas menjadi yang paling terpenting. Kasih Hartono telah
mengatakan sesuatu yang tentu saja penting menggunakan bahasa visual pilihannya
melalui medium berupa karya senirupa. Satu tugas telah ia selesaikan dengan
baik. Tugas berikutnya merupakan tugas bersama/berjamaah agar ia (Kasih
Hartono, lukisan dan pamerannya) tidak hanya berhenti sebagai sebuah acara berkesenirupaan
saja dan sudah!!!
Yogyakarta,
17 Desember 2012
No comments:
Post a Comment