Tiba-tiba saya ingin menulis, mendokumentasikan lukisan-lukisan/karya koleksi saya sendiri. Keburu dihapus ingatan, jadilah saya mulai menulis latar belakang saya mendapatkan karya-karya ini :-)
Lukisan ini
merupakan lukisan pertama yang saya peroleh, dimana kemudian tanpa disadari
koleksi lukisan/karya saya bertambah satu demi satu hingga sekarang. Lukisan
cat air di atas kertas, karya Nindityo Adipurnomo, judul ‘Studi Pola Lantai Srimpi’, 31,5 x 25 cm,
tahun 1990; diberikan langsung oleh Mas Ndit saat saya masih bekerja sebagai
staf di Cemeti Art House antara tahun 1999 – 2001. Sayang, saya tidak mencatat
atau ingat pasti kapan itu diberikan. Seperti
termakna pada judul karyanya, karya ini seperti sebuah seri project tentang
studi pola lantai tari Srimpi, sebuah tari tradisional asal Yogya.
Saat itu,
Mas Ndit sedang menata ulang karya-karyanya yang akan dia masukkan dalam
arsip/dokumentasi. Saya dan Mbak Titin Setyaningsih (partner kerja saya waktu
itu), membantu Mas Ndit untuk membereskan. Seperti biasa, Mas Ndit akan panjang
lebar menceritakan bagaimana proses kreatif dan proses berkarya dia. Saya
mendengarkan saja sambil manggut-manggut. Karir kerja seni saya diawali dari
Cemeti Art House di tahun 1999. Begitu
lulus kuliah D3 jurusan Public Relations, Komunikasi UGM, saya langsung bekerja
di Cemeti Art House. Dunia seni rupa masih awam bagi saya waktu itu. Karena
sebelumnya, saya banyak bergerak di seni pertunjukkan (musik dan teater).
Sambil
berbincang soal karya dan membereskan arsip, tiba-tiba Mas Ndit menawarkan pada
saya untuk memiliki salah satu dari karya-karya yang sedang digelar diatas
lantai tersebut. Saya disuruh milih sendiri, wow senangnya, tidak terduga,
sungguh! Mbak Titin juga disuruh pilih salah satu. Ketika sudah jatuh pada
pilihan kami masing-masing, Mas Ndit dan Mbak Titin mengomentari pilihan karya
yang saya tunjuk, mereka bertanya kenapa memilih itu? Terus terang saya lupa
percakapan selanjutnya. Tapi yang jelas, bahkan sampai sekarang, saya suka
sekali karya ini. Sempat berjamur karena masalah penyimpanan karya, kemudian
saya bersihkan dan pajang kembali. Saya simpan sebagai kenangan berharga,
bagaimana saya mengenal dunia seni rupa pada mulanya, mengenal Nindityo dan art
scene di Yogya, mengenal seni kontemporer dan seterusnya dan hiruk pikuknya.
Karya ini juga yang kemudian memicu saya untuk melanjutkan mengoleksi
karya-karya yang lainnya.
Karya
berikutnya, masih karya Nindityo Adipurnomo. Kali ini saya mendapatkan karya
kanvas, oil on canvas tepatnya. Judul karya ‘Potret Lelaki Jawa’, ukuran 30 x
40 cm, tahun 2000. Waktu itu Mas Nindit mengerjakan seri tentang potret lelaki
Jawa, seingat saya ada karya fotografi, 3 dimensi dan lukisan. Waktu saya
mendapatkan karya ini, saya juga diminta oleh Mas Nindit untuk memilih mana
yang ingin saya koleksi. Lalu saya memilih karya ini. Tetapi waktu itu, Mas
Nindit bilang, untuk menunggu sementara waktu sampai karya tersebut selesai di
framing. Framingnya memang beda dari biasanya. Framingnya dari kayu, dengan tebal menjorok ke
depan 7,5 cm. Agak sedikit lama menunggu proses framing selesai. Yang
membuatnya lebih istimewa buat saya dari karya ini, ketika Mas Ndit menuliskan
di bagian belakang ‘Buat Nunuk Ndit 2001’.
Aduh sayang
sekali, saya tidak mencatat judul dari karya ini. Karya cat air di atas kertas
ini merupakan karya Iwan Effendi, ukuran 17 x 30 cm, tahun 2005. Cerita dibalik
saya mendapatkan karya ini lucu sekali. Waktu itu, saya sudah berpindah
pekerjaan, dari Cemeti Art House, pindah ke Yayasan Seni Cemeti/Cemeti Art
Foundation, yang sekarang berganti nama menjadi IVAA (Indonesian Visual Art
Archive). Posisi saya waktu itu sebagai Koordinator Bidang Dokumentasi dan
Arsip. Salah satu tugas saya adalah mendokumentasikan event seni rupa,
perkembangan karya seniman dll. Nah, waktu itu ada Pameran Seni Rupa di
Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) di Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Saya
melihat pameran sekaligus liputan dan dokumentasi. Dari sekian banyak karya,
karya Iwan Effendi yang ini sangat menarik perhatian saya. Lewat karya ini,
imajinasi saya bisa berkeliaran sedemikian rupa dan mendorong saya untuk bisa
memiliki karya ini. Lalu saya kontak Iwan Effendi, saya menyampaikan keinginan
untuk bisa memiliki karya tersebut. Iwan berkata, ‘Tunggu sampai pameran
selesai mbak. Nanti kalau tidak laku terjual, boleh buat Mbak Nunuk’.
Asiiiikkk, saya kemudian berniat dalam hati, agar karya itu tidak laku terjual
hahahaha. Setelah ditunggu hingga pameran selesai dan saya cek, ternyata karya
tersebut tidak terjual. Saya kembali menghubungi Iwan untuk menagih janji. Lalu
Iwan sampaikan kalau saya boleh memiliki karya tersebut dengan mengganti biaya
framenya saja seharga Rp 50ribu. Senaaannnngggg sekali rasanya :-)
Karya ini
juga sangat istimewa. Saya dapatkan ketika saya bertugas ke Bali, tahun 2006.
Waktu itu, saya sebagai bagian dokumentasi berangkat ke Bali bersama Mikke
Susanto dan KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno. Kami bertiga ke Bali dalam rangka
melobi seniman-seniman senior untuk bisa ikut pameran di grand launching Jogja
Gallery, sekaligus mendokumentasikan mereka satu per satu. Posisi saya waktu
itu masih bekerja sebagai Koordinator Dokumentasi dan Arsip Yayasan Seni Cemeti
(sekarang berganti nama Indonesia Visual Art Archive/IVAA). Keberangkatan saya
ke Bali difasilitasi oleh Jogja Gallery, sebagai galeri baru yang akan muncul
di Yogya waktu itu.
Sampailah
kami ke rumah Bapak Nyoman Gunarsa. Kami disambut hangat dan dipandu melihat
ruang-ruang koleksi karya-karya beliau, perjalanan beliau selama berkarya.
Hingga akhirnya, Pak Nyoman Gunarsa memberikan buku biografinya untuk
disumbangkan kepada Yayasan Seni Cemeti. Nah, salah satu keahlian Bapak Nyoman
Gunarsa adalah sketsa wajahnya yang cepat. Sedikit karena rayuan Mikke Susanto,
akhirnya Pak Nyoman Gunarsa menorehkan gambar diatas kertas dan kami
mendapatkan sketsa wajah kami masing-masing. Termasuk saya J. Meski pun di awal saya sedikit
ragu-ragu, akhirnya saya mau juga deh di gambar. Sketsa wajah saya ini digambar
di bagian halaman muka buku biografi Nyoman Gunarsa tersebut dan ditambahkan
teks ‘Untuk Yayasan Cemeti di Yogyakarta, Semoga Sukses dan Langgeng’. Bukunya
masih bisa diakses di perpustakaan IVAA Yogya.
Sementara
karya sketsa wajah saya yang satu ini, digambar oleh seniman senior Totok BS. Bapak
Totok BS memang lebih dikenal di daerah Bandung atau Jakarta. Beliau sangat
terkenal melukis wajah cepat. Gambar wajah saya ini pun dia kerjakan dengan
pensil tidak lebih dari 5 menit, 3 menit mungkin. Saat itu, tanggal 5 Juli
2008, saya menjadi salah satu panitia yang mengorganisir acara resepsi
pernikahan putra kedua dr. Oei Hong Djien di Magelang, Jawa Tengah. Acara
resepsi pernikahan putra dr . Oei Hong Djien ini menyediakan hal yang beragam
dan sangat menarik, ada aksi ramalan, potong rambut, dansa, aksi graffiti,
roller skate dll. Salah satu bentuk acara resepsi itu adalah menyediakan
seniman untuk melukis wajah para tamu. Diundanglah Bapak Totok BS. Meja Pak
Totok bersebelahan dengan meja saya. Waktu itu, saya diharuskan stand by di
meja panitia sebagai meja informasi. Sambil menunggu acara dimulai kami
berbincang-bincang. Pak Totok bilang, nanti kamu akan saya gambar kalau acara
sudah mau selesai. Asyiiikkkk. Acara berjalan ramai sekali, sampai-sampai meja
Pak Totok juga antri banyak tamu yang ingin di sket wajahnya. Pak Totok sampai
kewahalan dan terlihat sedikit capek. Sampai akhirnya tiba giliran saya. Saya
tidak berani menagih janji Pak Totok
untuk melukis wajah saya, karena saya lihat Pak Totok sudah kecapekan. Tapi
ternyata dia menepati janjinya. Digambarnya saya dengan sangat cepat dan bagus.
Saya senang sekali dan ditulisnya nama saya didalam gambar tersebut ‘Tuk
Nunuk’.
Senangnya dapat koleksi satu lagi khusus sketsa wajahku. Kali ini dibuat oleh Angga Yuniar Santoso, seorang seniman muda. Menekuni bisnis sketsa wajah dengan brand product Mimpinglukis. Bertemu Angga saat ia menjadi pengisi acara pembukaan pameran di Tirana. Kemudian berlanjut hingga mengisi event reguler KAMIS SERU di Tirana juga. Ide-ide kreatifnya dalam mengembangkan bisnis oke juga. Produk sketsa wajah atau karikatur ia kembangkan dan sesuaikan dengan kebutuhan klien. Saya diberinya gratis lukisan ini, ukuran 20 x 30 cm, media cat air di atas kertas. Begitu selesai mengerjakan karikatur, kertas kemudian ia cutting sedemikian rupa menjadi makin menarik. Saya sendiri mengirim 4 foto diri ke Angga, disamping karena saya grogi kalau dilukis langsung di depan seniman, buat Angga juga lebih nyaman, dia bisa mengerjakan sesuai zona nyamannya. Angga tidak lupa mencantumkan logo N yang menjadi ciri khas pencitraan saya, sebagai liontin kalung dan disisi kanan bawah. Biasanya ia bisa mengerjakan sketsa wajah dalam waktu sekitar 5-30 menit, tapi waktu saya pesan, antrinya banyak. Sehingga sekitar 2 hari sejak saya pesan, lukisannya sudah selesai dan diantar ke butik.Terima kasih Angga :)
Karya
ini merupakan bagian dari pameran ‘September Ceria’ | Jogja Gallery,
Yogyakarta 8 September – 19 Oktober 2009; sebagai peringatan tahun ke-3
berdirinya galeri tersebut. Waktu itu saya dan Noris (suami) masih
bekerja di Jogja Gallery. Ada banyak perupa yang terlibat dalam pameran
tersebut, 38 perupa dari 70 perupa yang diundang. Salah satunya adalah
Studio Grafis Minggiran. Menariknya adalah,
mereka memilih untuk melakukan interaksi langsung dengan audiensnya
dalam pameran ini. Mereka menyediakan karya cukilan hardboard
aslinya/master. Lalu pengunjung pameran bisa memilih karya mana yang
ingin mereka miliki. Teman-teman Studio Grafis Minggiran membantu dengan
proses printmakingnya. Tentu saja dengan biaya yang cukup terjangkau,
pengunjung pameran bisa langsung merasakan pengalaman membuat karya seni
grafis dan mendapatkan karya itu sendiri. Sehingga akan tertulis nama
seniman sebagai pembuat karya dan nama kita sebagai pencetaknya, menarik
sekali!
Theresia Agustina Sitompul atau Tere, merupakan satu-satunya anggota perempuan dalam Komunitas Grafis Minggiran. Tere membuat karya berjudul ‘Sembunyi’, hardboardcut on paper, 20 x 30 cm, cetakan ke 3, 2009. Noris (suami saya) memilih karya tersebut karena memang suka dan satu karya lagi milik Nawangseto berjudul ‘Siapa Menuntun Siapa’, hardboardcut on paper, 20 x 30 cm, cetakan ke 3, 2009. Karya Nawangseto sangat lekat dengan pengalaman sehari-hari saya dan suami, karena waktu itu kami masih memiliki anjing Rotweiler bernama Dora.
Theresia Agustina Sitompul atau Tere, merupakan satu-satunya anggota perempuan dalam Komunitas Grafis Minggiran. Tere membuat karya berjudul ‘Sembunyi’, hardboardcut on paper, 20 x 30 cm, cetakan ke 3, 2009. Noris (suami saya) memilih karya tersebut karena memang suka dan satu karya lagi milik Nawangseto berjudul ‘Siapa Menuntun Siapa’, hardboardcut on paper, 20 x 30 cm, cetakan ke 3, 2009. Karya Nawangseto sangat lekat dengan pengalaman sehari-hari saya dan suami, karena waktu itu kami masih memiliki anjing Rotweiler bernama Dora.
Dedy Sufriadi
Ada dua judul karya, semuanya UNTITLE
masing-masing ukuran 50 x 50 cm tahun 2010
media mixed media on canvas
Ada dua judul karya, semuanya UNTITLE
masing-masing ukuran 50 x 50 cm tahun 2010
media mixed media on canvas
Nah, kalau yang ini, rada pake maksa dikit dapatnya lukisan. Sudah kenal Mas Dedy sejak saya masih bekerja di Jogja Gallery sekitar tahun 2006. Sebenarnya Noris (suami saya) yang nge-fans banget sama Mas Dedy dan pengen banget dapat karyanya. Noris selalu pedekate ke Mas Dedy supaya dapat karya. Akhirnya di tahun 2011, ketika kami bertiga (saya, Noris dan Abel) ke rumah Mas Dedy karena sedang mengerjakan suatu art project; iseng-iseng Noris minta karya. Eeehhh, dikasih sama Mas Dedy, disuruh milih pula. Ada sederetan karya yang ukurannya sama 50 x 50 cm. Saya dan suami senang sekali, inilah rejekinya Abel (anak kami) hahaha. Dapat dua karya lagi, karena saya dan suami pengennya dapat sendiri-sendiri. Maafkan kami ya Mas Dedy...sedikit maksain dapat karyamu. Sekarang, karya ini dipajang di ruang tamu rumah kami.
Ronald Apriyan
'Baca, Makan dan Pulang'
oil on canvas, 140 x 200 cm, 2008
'Baca, Makan dan Pulang'
oil on canvas, 140 x 200 cm, 2008
Untuk sekarang, karya Ronald Apriyan ini merupakan karya dengan ukuran terbesar di rumah mungil saya saat ini. Karya ini pernah dipamerkan dalam pameran 'Yasin: The Untranslatable', Jogja Gallery, 16 September - 12 Oktober 2008 dikuratori oleh Farah Wardani. Saat itu saya masih pada posisi Manager Program Jogja Gallery. Tapi saya tidak dapat berkesempatan melihat pameran ini karena saya sedang mengikuti residensi di Darwin, Australia.
Saya sendiri tidak menyangka akan mendapatkan hibah lukisan ini dari sang seniman. Ceritanya, ketika saya sudah mengundurkan diri dari Jogja Gallery dan ternyata karya ini belum dikembalikan ke seniman dan bahkan tidak diambil oleh seniman. Saya mengingatkan Ronald untuk segera mengambilnya, karena memang sudah lama sekali karya itu ngendon di gudang penyimpanan galeri. Entah karena males bawa pulang, atau memang sudah rejeki saya dapat karya ini, Ronald bilang, 'karya yang di Jogja Gallery itu, buat koleksi mbak Nunuk aja deh' :) Wuaaah langsung sumringah... Waktu itu memang tidak ngebayangin ukurannya sebesar 2 meter. Begitu sampai di rumah, langsung penuh lah dinding rumah dengan karya ini. Kemudian makin menghangatkan sudut ruang di rumah saya. Thanks Ronald :)
ANJASMORO
Anjasmoro arimami
Mas mirah kula'o warto
Dasihmu tan wurung layon
Aneng kutho Probolinggo
Prang tanding lan urubismo
Kario mukti wong ayu
Pun kakang pamit palasmo
Buat Nunuk Ambarwati
Sujiwo Tejo, Mei 2008
- Tentang pamitnya Damarwulan ke Ratu Kencono Wungu (Ratu Majapahit) waktu mau perang dengan Menakjinggo
***
Hmmm apa yang saya menyebutnya untuk koleksi ini? Cuplikan lirik tembang Jawa ini, yang ternyata baru saja saya ketahui bahwa ini tembang Asmorodono. Saya dapatkan dari Mas Sujiwo Tejo ketika beliau mengadakan pameran tunggal di Jogja Gallery, 'Semar Nggambar Semar' 10-16 Mei 2008. Mas Jiwo saya panggil beliau, memberikan tulisan tangan ini ketika kemudian pameran dan segala urusan di Jogja Gallery hampir berakhir. Selesai menulis, beliau lalu mengajari saya bagaimana caranya nembang Jowo...meski pun asli kelahiran Yogya, susah mengingat jalinan nada-nada bagaimana harus nembangnya. Beliau ngajarin saya berkali-kali waktu itu. Sepeninggal beliau setelah selesai semua urusan, kadang Mas Jiwo tiba-tiba nelpon saya dan langsung nembang gitu aja; saya dibikin tersenyum olehnya, seolah-olah agar ingat satu sama lain. Perkenalan saya dengan Mas Jiwo saat itu jadi pengalaman yang unik, seunik karakter beliau sebagai seorang dalang, artis, budayawan dan juga pelukis (belakangan ini dibuktikan dengan rangkaian pamerannya kurun waktu 2008 tersebut).
Anjasmoro arimami
Mas mirah kula'o warto
Dasihmu tan wurung layon
Aneng kutho Probolinggo
Prang tanding lan urubismo
Kario mukti wong ayu
Pun kakang pamit palasmo
Buat Nunuk Ambarwati
Sujiwo Tejo, Mei 2008
- Tentang pamitnya Damarwulan ke Ratu Kencono Wungu (Ratu Majapahit) waktu mau perang dengan Menakjinggo
***
Hmmm apa yang saya menyebutnya untuk koleksi ini? Cuplikan lirik tembang Jawa ini, yang ternyata baru saja saya ketahui bahwa ini tembang Asmorodono. Saya dapatkan dari Mas Sujiwo Tejo ketika beliau mengadakan pameran tunggal di Jogja Gallery, 'Semar Nggambar Semar' 10-16 Mei 2008. Mas Jiwo saya panggil beliau, memberikan tulisan tangan ini ketika kemudian pameran dan segala urusan di Jogja Gallery hampir berakhir. Selesai menulis, beliau lalu mengajari saya bagaimana caranya nembang Jowo...meski pun asli kelahiran Yogya, susah mengingat jalinan nada-nada bagaimana harus nembangnya. Beliau ngajarin saya berkali-kali waktu itu. Sepeninggal beliau setelah selesai semua urusan, kadang Mas Jiwo tiba-tiba nelpon saya dan langsung nembang gitu aja; saya dibikin tersenyum olehnya, seolah-olah agar ingat satu sama lain. Perkenalan saya dengan Mas Jiwo saat itu jadi pengalaman yang unik, seunik karakter beliau sebagai seorang dalang, artis, budayawan dan juga pelukis (belakangan ini dibuktikan dengan rangkaian pamerannya kurun waktu 2008 tersebut).
Kyai Haji Muhammad Fuad Riyadi
Tarekat Kemenangan | acrylic on paper | 40 x 50 cm | 2010
Tarekat Kemenangan | acrylic on paper | 40 x 50 cm | 2010
Lukisan ini terasa sangat istimewa untuk saya pribadi. Istimewa karena saya mendapatkannya dari seorang Kyai. Sejak kecil hingga akhirnya memutuskan menikah, saya adalah seorang Nasrani, tak ada kenalan seorang Kyai. Istimewa karena lukisan ini sekaligus sebuah doa untuk saya dan keluarga kecil saya. Istimewa karena karya ini memang dibuat khusus untuk saya.
Lukisan KH M Fuad Riyadi dikenal oleh orang-orang terdekatnya, mengandung doa/rajah atau apapun itu yang dipercaya memberikan hal positif bagi kolektor/pemiliknya. Misal, Anda sedang sakit dan Anda ingin sembuh, dengan memajang lukisan KH M Fuad Riyadi, maka sembuh. Atau Anda ingin sukses dalam berkarir, dengan membeli dan memajang lukisan karya KH M Fuad Riyadi, maka karir Anda melambung tinggi. Demikian seterusnya. Saya pun ingin mengoleksi, tapi saya tak punya nyali untuk meminta, karena baru saja kenal dan apalagi beliau seorang Kyai. Tapi Noris, suami saya, di akhir perjumpaan pertama kali di Pondok Pesantren tersebut, mengutarakan keinginan kami untuk meminta lukisan dari sang Kyai, mohon doa agar usaha/bisnis kami sukses. Kyai hanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Wah ndak mimpi deh bakal dapat…
Tak berselang lama dari pertemuan tersebut, 6 Desember 2010, saya mendapatkan SMS dari orang terdekat Kyai untuk mengambil lukisan yang diperuntukkan buat saya. Wooowwwww! Sumringah, girang luar biasa, semangat langsung pingin ambil, penasaran lukisannya seperti apa. Akhirnya dapatlah saya sebuah lukisan istimewa ini berjudul ‘Tarekat Kemenangan’, dilukis dengan acrylic diatas kertas, 40 x 50 cm, 2010. Kata Kyai, itu cocok dengan saya dan yang penting itu doa untuk kesuksesan dunia dan akhirat. Amin amin amin….Lukisan ini juga ikut dipamerkan dalam pameran tunggal lukisan Kyai yang kemudian saya organisir berjudul ‘Locospiritual: The Journey of Spiritual World’ di Jogja Gallery, 22-29 Juli 2011. Matursembahnuwun sanget Kyai Haji Fuad Riyadi .
Menurutnya, karya ini tentang dunia paralelnya Mc Escher (seniman grafis perspektif). Alfin merespon atas gejala perspektif yang telah Escher ciptakan. Karakter paling depan yang seolah keluar dari batas media gambar sengaja Alfin munculkan sebagai pengacau bentuk yang telah menjadi sejarah. Bahwasanya pada masa saat ini tidak ada lagi batasan kaku yang mengharuskan seniman (grafis) harus terus intens dengan pedoman konvensional yang telah dibakukan. Bersama karya ini, masih ada 2 karya senada yang Alfin ciptakan. Saya kebetulan bisa mendapatkan (membeli dengan cara mencicil hehehe) dan sangat menyukai karya ini. Bagi Alfin, ketiga karya tersebut merupakan bentuk pelampiasan kejenuhannya di dunia akademis yang dituntut harus selalu baku akan pakem-pakem seni grafis. Beruntung saya mendapatkan cetakan pertama dari sepuluh yang Alfin buat. Melalui kegigihan, semangat dan kerja kerasnya, Alfin Agnuba akan menjadi seorang seniman hebat. Amin.
Roby Dwi Antono | pencil on paper | 22 x 27 cm | 2012
Wooowww! Amazing...Surprising bingiitss ketika Roby Dwi Antono memberikan karya ini untuk ku koleksi. Betul-betul hepi grin emotikon Karena memang suka sekali dengan karya dia. Menurutnya karya ini bercerita tentang kekecewaan seseorang ketika mengetahui orang yang istimewa baginya ternyata masih memiliki "rumah" yang berharga baginya. Whatever it is...thank you so much, sudah menjadi bagian dari koleksi di rumah mungil kami.
Puisi KH D. Zawawi Imron | Lagu Selatan buat Nunuk A | Buku Kelenjar Laut
Pertemuan dengan KH D Zawawi Imron saat saya bekerja di Jogja Gallery. Kebetulan beliau ikut berpartisipasi dalam sebuah pameran bersama. Beberapa hari menemani beliau untuk jumpa pers, talkshow di radio, pembukaan pameran, dan kegiatan lainnya. Saya sendiri belum bertanya langsung, alasan beliau sampai bisa menulis puisi ini untuk saya. Semoga segera ada jawabannya. Yang jelas saya sangat tersanjung :)
Dan berikut persepsi Mikke Susanto atas tafsir puisi ini: kalau dalam interpretasiku, puisi ini ingin memberikan kita rasa awas "semakin tak jelas sedang mandi atau menari", juga anggapan yang seakan-akan berlebihan "seolah selatan tak ada selatan lagi", juga ungkap nasihat seorang bijak "pelangi langit dan pelangi hati sama pentingnya, asalkan kita memandangnya sebagai rezeki... kesimpulannya puisi ini sedang mengkhayalkan dirimu di sebuah alam yang punya banyak kemungkinan, bisa jadi sebuah berkah bisa jadi kemungkinan lain.... GITU nuk? Mungkiiiiin hahahaha....
Hahahaha tengkyu :)
Pertemuan dengan KH D Zawawi Imron saat saya bekerja di Jogja Gallery. Kebetulan beliau ikut berpartisipasi dalam sebuah pameran bersama. Beberapa hari menemani beliau untuk jumpa pers, talkshow di radio, pembukaan pameran, dan kegiatan lainnya. Saya sendiri belum bertanya langsung, alasan beliau sampai bisa menulis puisi ini untuk saya. Semoga segera ada jawabannya. Yang jelas saya sangat tersanjung :)
Dan berikut persepsi Mikke Susanto atas tafsir puisi ini: kalau dalam interpretasiku, puisi ini ingin memberikan kita rasa awas "semakin tak jelas sedang mandi atau menari", juga anggapan yang seakan-akan berlebihan "seolah selatan tak ada selatan lagi", juga ungkap nasihat seorang bijak "pelangi langit dan pelangi hati sama pentingnya, asalkan kita memandangnya sebagai rezeki... kesimpulannya puisi ini sedang mengkhayalkan dirimu di sebuah alam yang punya banyak kemungkinan, bisa jadi sebuah berkah bisa jadi kemungkinan lain.... GITU nuk? Mungkiiiiin hahahaha....
Hahahaha tengkyu :)
Aliem Bakhtiar | etching | 4/... | 2014
Dengan sedikit 'merampok', karya ini berhasil saya koleksi hahahaha. Maapken yo Lim...abisnya lucu sih smile emotikon Waktu itu Aliem sedang aktif ngerjain teknik seni grafis di event Jogja Miniprint Biennale 2014 di Museum Bank Indonesia. Sampai entah sudah cetakan ke berapa karya ini hehehe. Pokoke seneng, karyanya sudah menjadi bagian dari koleksi di rumah mungilku...makassiiihhh.
No comments:
Post a Comment