Membaca
karya Imam Santoso (kelahiran Juni 1986), sebenarnya membaca karakter dan
kepribadian dia. Karakter seorang Imam Santoso adalah seorang yang adaptif,
artinya orang yang mudah menyesuaikan diri dengan kondisi dimana dia berada
atau tinggal saat itu. Dan dengan demikian pun, Imam juga seorang yang mudah
terinspirasi ketika ada gagasan yang menghampirinya melalui obrolan bersama
teman atau dari dia melihat sesuatu.
Lulusan
ISI Yogyakarta ini sangat menikmati dunianya sebagai seorang seniman. Semasa kecil
ada 15 penghargaan disabetnya dalam dunia gambar-menggambar. Latar belakang
keluarganya tidak ada yang membentuknya menjadi seorang seniman, hingga suatu
saat guru SMPnya mempengaruhinya untuk masuk kuliah seni. Dan jadilah sosok
Imam Santoso yang seperti sekarang.
Tema
berkaryanya sederhana, diambil dari kehidupan dia sehari-hari dan apa yang
sedang dia rasakan. Tema-tema yang diambil bersumber dari kehidupan dia
sehari-hari dan tema sosial, psikologi atau bahkan politik. Apa yang
digambarnya merupakan tema-tema yang nyata, kejadian sesungguhnya yang pernah
terjadi. Judul-judul karya yang dipilih Imam pun sangat lugas dan jelas. Imam
tidak kesulitan menentukan tema untuk karyanya. Baginya gagasan itu selalu
berloncatan dalam kepalanya, tapi saying, dia bukan tipe orang yang
dokumentatif atau tidak membuat arsip atas gagasan-gagasan tersebut. Sehingga
seringkali tema itu berlalu begitu saja sebelum sempat dia tuangkan dalam
sebuah karya. Tema yang sedang ia geluti saat itu bisa dieksplorasinya selama
kurang lebih satu tahun.
Selama
masa studinya Institut Seni Indonesia (ISI), Yogya, Imam mengaku banyak
terforsir ke studi bentuk kemudian baru mencari narasi. Studi bentuk seperti
pengembangan karakter atau pencarian karakter personal. Imam menyadari bahwa ia kurang bisa menguasai
bentuk-bentuk realistik, tidak cukup menguasai soal pewarnaan, tapi Imam kuat untuk studi garis. Karya
seniornya, Eko Nugroho, mencari inspirasinya pada masa itu. Karya Eko Nugroho
memang sederhana namun sarat makna.
Di
tahun 2009, bersama seorang rekan seniman, Imam mengeksplorasi tema ‘My
Favorite Sin’. Karya-karya mereka kemudian dipamerkan dengan judul yang sama di
Tembi Contemporary Gallery (17 November – 5 Desember 2009). Latar belakang tema
ini adalah bagaimana seseorang muda mencari jati diri.
Tahun
2010-2011, Imam mengambil tema televisi. Kenapa ambil tema televisi? Media itu
yang sangat dekat dengannya, karena sehari-hari berkomunikasi dengan televisi.
Televisi sebagai teman, sebagai bentuk interaksi, monolog pada diri sendiri. Di
tahun yang sama, Imam banyak membuat studi tentang bayangan, menurutnya
bayangan itu romantik. Dan Imam mendeformasi bayangan dalam karya-karyanya
menjadi figure yang panjang-panjang.
Bila
kita amati karya-karya Imam, terutama mulai tahun 2010, obyek manusia yang
dilukisnya tidak memperlihatkan wajah di situ. Baginya, penggambaran wajah
tidaklah penting dan tidak harus digambarkan sebagai seorang laki-laki atau
perempuan, tetapi dari asesori, pakaian yang dipakai atau ikon-ikon yang menyertainya.
Sehingga penikmat karya seni tetap bisa mendefinisikan jenis kelamin figur yang
terdapat dalam obyek itu.
2011,
ketika kemudian teknis dan karakter karya sudah ia temukan. Imam kemudian lebih
mengeksplorasi judul karya. Imam membuat judul karya yang lugas dan tegas. Ia
ingin agar orang bebas menginterpreasi karyanya. Dari judul tersebut, ia ingin
mendapatkan feedback dari publik.
Di
tahun 2012, Imam berkesempatan mengikuti sebuah program residensi di Yogyakarta
selama 3 bulan. Selama menjalankan program residensi tersebut, Imam berhasil
menyelesaikan lebih dari 5 karya yang kemudian dipamerkan di bulan Juli 2012
yang lalu.
Lukisan-lukisan
Imam Santoso merupakan refleksi konsisten dirinya sendiri, ia berkomunikasi
melalui mereka. Imam memasukkan simbol dari kehidupan sehari-harinya dan
mengulangi mereka dalam berbagai lukisan. Dia adalah simbol dari kontradiksi
dan ekspresif tentang hal itu. Dia melukis Sekaten (pesta rakyat tahunan) namun
tanpa kerumunan dan kebisingan. Ia melukis tradisi Keraton bertanya-tanya
apakah remaja hari ini akan tertarik untuk melestarikan budaya ikonik kota,
atau lebih dikonsumsi oleh urbanisasi dan budaya pop. Karya-karyanya yang
hidup, adaptif, nyata namun imajinatif.