Pameran tunggal lukisan cat air karya Pius Sigit KuncoroVia Via Cafe Traveller, Yogyakarta | 6-25 Juni 2011
JAWA ALA PIUS SIGIT
Berawal dari pesanan untuk mengisi ilustrasi pada sebuah buku, Pius Sigit Kuncoro [kelahiran Jember, 17 April 1974] akhirnya kembali menekuni teknik cat air di atas kertas. Bagi seorang Pius Sigit, lulusan Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta ini, bukan hal baru berkarya dengan cat air. Mengaku sudah lama meninggalkan media ini, namun, sekitar 2 tahun belakangan, dia kembali bekerja dengan media tersebut. Kita paham bahwa melukis dengan cat air memiliki tingkat kesulitan tersendiri, sekali gores tidak boleh salah. Beberapa pendapat pun sepakat bahwa Pius Sigit lebih maksimal karyanya dengan cat air ini. Keahliannya melukis dengan cat air betul-betul bisa diandalkan. Mengapa saat ini sedang bereksplorasi dengan cat air pun, lebih karena merespon situasi studio yang dipakainya kini. Studio tempatnya bekerja saat ini di daerah Dongkelan, Bantul, lebih akomodatif ketika Pius Sigit bekerja dengan media cat air.
Pada kesempatan pameran tunggalnya yang ke 3 kali ini, Pius Sigit membawa kita kepada tema-tema Jawa modern yang mistis melalui karya-karya yang dihadirkannya. Tema pamerannya pun tak jauh dari figur-figur yang ditampilkan dalam karyanya, yakni JAWA ADOH PAPAN. Dipilihnya tema ini karena tergelitik oleh karakter kekinian orang Jawa, yang tidak luput dari pengaruh perkembangan teknologi dan modernitas, sehingga tinggal spirit Jawa-nya saja yang masih bisa kita rasakan. Pius Sigit, penulis mengenalnya memang sesosok orang yang menyukai dan memahami dunia Jawa. Dimana ia juga pernah ‘berguru’ bahkan menjadi ‘anak kesayangan’ dari almarhum Sigit Sukasman, seorang seniman wayang di Yogyakarta . Disamping itu, Pius Sigit juga pernah bergabung dalam kelompok GEBER ModusOperandi [1999-2001], yang menampilkan karya-karya performance instalasi futuristik di kala itu. Maka tak heran buat penulis, dengan latar belakang hidupnya tersebut, Pius Sigit menampilkan tema Jawa dan modernitas pada karya-karyanya.
Pada serinya terdahulu, karya-karyanya kelihatan sangat terinsipirasi oleh seniman Norman Rockwell, seorang pelukis dan illustrator asal Amerika di era abad ke-20. Pius Sigit pun mengakui bahwa dia berkiblat dari karya-karya Rockwell. Bisa kita lihat dari karakter atau figur-figur yang dia gambar hingga pemilihan warna yang cenderung ke warna pastel. Meski terlihat kentara pengaruh Rockwell, Pius Sigit tetap memasukkan unsur Jawa ke dalam karyanya. Sehingga pada seri karya terdahulunya, kita seperti berada dalam sebuah narasi yang berlatar Eropa dan Jawa. Sedikit aneh, tetapi sangat menggelitik.
Saat presentasi seri karya terdahulunya, kami [Mixed Art Management | MAM] dibuatnya terkesima karena kemampuannya mengolah cat air dan tema pada karya yang ia hadirkan. Hal itu pula yang membuat kami terbersit niat untuk menghadirkan karya-karya dalam sebuah pameran agar bisa direspon publik lebih luas di Via Via Café, 6 hingga 25 Juni 2011.
Kini, Pius Sigit menampilkan seri karya terbarunya. Seri karya terbarunya ini pun hadir tidak dengan sendirinya. Pius Sigit mengaku sempat stagnan dengan seri karya terdahulunya. Tentu hal yang sulit ketika seorang seniman harus kembali memunculkan mood berkarya. Seiring perjalanan waktu, akhirnya ia menemukan seri tema karya terbarunya ini. Pada seri karya terbarunya ini, Pius Sigit menggunakan peribahasa-peribahasa Jawa untuk judul, tema mau pun figur untuk karyanya lengkap dengan huruf Jawa kuno. Misal, Anak Polah Bapa Kepradah, dimana kurang lebih artinya jika si anak bertingkah laku nakal atau menyimpang, orang tua terkena getahnya juga dan ikut bertanggung jawab juga repot. Peribahasa-peribahasa Jawa tersebut oleh Pius Sigit dijabarkan artinya ke dalam karya-karya yang ditampilkannya. Sedikit banyak kita menjadi mengerti perihal arti dari peribahasa Jawa yang tersebut lewat sebuah gambar yang menggelitik. Unik sekali. Selamat menikmati….
PIUS SIGIT’S STYLE OF JAVANESE CONCEPTION
Due to an order of creating illustrations for a book, Pius Sigit Kuncoro [Born: Jember, 17 April 1974] finally works again with watercolor on paper. For Pius, who was an alumnus of Visual Communication Design Department of the Indonesian Institute of Arts – Yogyakarta, it is not a new thing. He used to work a lot with these media. About two years recently he has worked again with watercolor and paper. We realize that painting with watercolor has its own degree of difficulty. Once a stroke is put, it cannot be mistaken. Some critics agree that Pius Sigit can work more optimal with watercolor. His capacity in painting with watercolor is not questionable. The reason why he does explorations with watercolor is that he tries to make response to the situations of the studio where he works at present. It is situated in Dongkelan, Bantul. It is more accommodating for him to work with watercolor.
In his third solo exhibition, Pius Sigit takes us to themes concerning the mystical modern Java through his works. The exhibition’s theme, “Jawa Adoh Papan”, is also not far from the figures appearing in his paintings. This theme is raised because he is tickled by the contemporary Javanese people, who cannot escape from the influences of technological progress and modernity. However, the Javanese spirit still remains. The writer knows him indeed as a person who is interested in Javanese culture. He somewhat understands much about it. This certainly is not apart from his time when he became a student, and event the “favorite son” of the late Sigit Sukasman, an artist of Javanese wayang tradition, living in Yogyakarta. In addition, Pius Sigit also joined a group called GEBER ModusOperandi (1999-2001), which created works of futuristic performing installations. Therefore, it is not so surprising for the writer that he brings themes of Javanese culture and modernity in his works.
In his previous series of works, it is obvious that he is inspired so much by Norman Rockwell, a painter and illustrator from United Stated. Pius Sigit admits that he does look up to Rockwell’s works. The influences can be found in the characters or figures becoming the subjects of his paintings and the tendency of using pastel colors. Although Rockwell’s characteristics are quite noticeable, he always puts into his works Javanese elements. Therefore, observing his old works, as if we entered into a narration with European and Javanese backgrounds. It is a bit weird but very witty.
When through his previous series of works, his ability of cultivating watercolor and themes have made us (Mixed Art Management | MAM) amazed. Hence, we intend to present his works to wider public in an exhibition at Via Via Café from 6 to 25 June 2011.
Now Pius Sigit is presenting his new series of works. He admitted that after the era of his previous works, he happened to go through stagnancy. It is certainly difficult for an artist to resume his mood to create the same artworks again. However, he finally has found this theme for his new works. Now he uses Javanese proverbs for the titles and themes. He also makes appear the Javanese figures and Javanese old letters. For example, he entitles one of his works with the proverb “Anak Polah Bapa Kepradah”. It means more or less that if a child behaves badly, the parents also take the responsibility. He describes the meanings of the proverbs with his paintings. To some extent we becomes more aware of the meanings of the Javanese proverbs through his amusing paintings. They are really unique.
Enjoy the show.
Yogyakarta, May 2011
Nunuk Ambarwati
Mixed Art Management | MAM
No comments:
Post a Comment