Visual Art Show - "AGRARIS KOBOI!"
Jogja Gallery, Yogyakarta, 10 – 20 Februari 2007
Di dasawarsa terakhir, Yogyakarta dipenuhi oleh berbagai kejutan visual. Wajah kota menjadi ‘glamour’. Jalan-jalan penuh warna, entah oleh mural atau spanduk, neon box dsb. Tembok-tembok toko tak lagi kosong. Pejalan kaki menjadi ‘tamu’ atas perangai para penggagas visual. Bahkan ruang privat anak-anak muda saat ini tak lagi melompong berisi kasur, almari dan tape recorder. Kini, semua penuh dengan gambar. Gejala ini bisa jadi sebuah euforia atau mungkin juga demam visual. Berangkat dari salah satu gejala yang memanas semacam ini, kurator hendak mengajukan sebuah “manifes bersama” untuk meneguhkan semangat atas kejutan visual tersebut dan menjadi ‘visi baru’ dalam seni rupa yang berkembang di Indonesia.
Manifes ini dimulai dengan mengekspos karya-karya yang memiliki kecenderungan ‘menggambar’ dalam arti teknis. Serta unsur utama dalam karya-karya ini adalah lukisan-lukisan yang mengetengahkan keseharian dan/atau hobby anak muda yang sedang mencari tren sekarang. Pendek kata, karya-karya mengusung gejala dan budaya populer, yang bersifat liar, dimanis, imajinatif.
Jogja Gallery, Yogyakarta, 10 – 20 Februari 2007
Di dasawarsa terakhir, Yogyakarta dipenuhi oleh berbagai kejutan visual. Wajah kota menjadi ‘glamour’. Jalan-jalan penuh warna, entah oleh mural atau spanduk, neon box dsb. Tembok-tembok toko tak lagi kosong. Pejalan kaki menjadi ‘tamu’ atas perangai para penggagas visual. Bahkan ruang privat anak-anak muda saat ini tak lagi melompong berisi kasur, almari dan tape recorder. Kini, semua penuh dengan gambar. Gejala ini bisa jadi sebuah euforia atau mungkin juga demam visual. Berangkat dari salah satu gejala yang memanas semacam ini, kurator hendak mengajukan sebuah “manifes bersama” untuk meneguhkan semangat atas kejutan visual tersebut dan menjadi ‘visi baru’ dalam seni rupa yang berkembang di Indonesia.
Manifes ini dimulai dengan mengekspos karya-karya yang memiliki kecenderungan ‘menggambar’ dalam arti teknis. Serta unsur utama dalam karya-karya ini adalah lukisan-lukisan yang mengetengahkan keseharian dan/atau hobby anak muda yang sedang mencari tren sekarang. Pendek kata, karya-karya mengusung gejala dan budaya populer, yang bersifat liar, dimanis, imajinatif.
Selain itu, pameran ini hendak mengetengahkan fenomena seni rupa kontemporer di Yogyakarta tersebut yang konon masih dianggap sebagai bagian dari kultur besar (sub-kultur). Pameran ini hendak memberi ketegasan untuk menandai mereka dalam satu gaya/fenomena yang terjadi di sela berbagai kecenderungan gaya yang berkembang di Yogyakarta. Karena sementara ini banyak sekali anggapan bahwa karya-karya mereka masih dianggap ‘bukan lukisan’ atau ‘bukan karya seni’ (lebih parah lagi itu ada yang menyebutnya ‘polusi visual’), dan dianggap sekadar permainan visual yang menjamur di beberapa tempat (ruang publik maupun ruang privat mereka).
Dalam hal ini Jogja Gallery hendak memperjelas posisi mereka. Mereka adalah juga bagian dari perkembangan seni visual di Yogyakarta pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Mereka bukan lagi sebagai sub-gaya dari aliran besar bernama Pop art atau sub-kultur dari aliran Pop Culture yang berkembang. Mereka terlihat sangat serius, dalam upaya menggeluti konsep seninya. Keseriusan itu terlihat ketika mengelaborasikan kehidupan seharian dengan pola berpikir tentang kajian sejarah, politik dan kebudayaan secara umum, yang notabene telah menjadi bagian dari napas hidup mereka.
Lokalitas yang membedakanDalam hal ini, terdapat hal yang membedakan antara perupa peserta pameran ini dengan mereka dengan yang ada di Bandung, Jakarta dan Bali. Jika kesamaan adalah ekspos kebudayaan populer lewat munculnya elemen-elemen kebudayaan misalnya televisi, majalah, telepon seluler dan sebagainya, maka mereka, peserta pameran ini, mendapatkan inspirasi dari aktivitas kebudayaan yang muncul di kota Yogyakarta. Tepatnya adalah kehidupan yang terjadi di seputaran masyarakat seni rupanya.
Mereka berkembang bersama dengan seniman-seniman ‘aliran’ lain. Mereka bergumul dengan perhitungan-perhitungan visual. Mereka juga masih menekankan unsur-unsur artistik, kemampuan teknik, dan memadukan desain & komposisi yang energik. Sehingga kebersamaan mereka dengan seniman-seniman lain tersebut memberi warna terhadap karya-karya yang dihasilkan. Dimensi pemikiran yang melatari ragam karya mau tak mau juga diinspirasi oleh beberapa hal, diantaranya ilmu sejarah (rata-rata mereka kuliah di ISI Yogyakarta), hubungan pertemanan antar perupa (terutama dengan perupa-perupa senior: imajiner maupun diskusi langsung) dan budaya lokal Jogja yang melingkupi mereka. Tak pelak banyak muncul berbagai elemen visual yang memandai itu semua.
Sekarang yang menjadi perhatian kita (penonton) sanggupkah mereka yang secara pemikiran banyak dipengaruhi dimensi dan sejarah hidup yang “ke-Barat-barat-an”, menangkap gejala lokalitas (ke-Yogya-annya yang konon masih dianggap masih dalam kehidupan agraris itu) dalam karya seni?
Seniman peserta: Agus Yulianto – Arie Dyanto – Eko Dydik ‘Codit’ Sukowati – Decky ‘Leos’ Firmansyah – Uji ‘Hahan’ Handoko – ‘Iyok’ Prayogo – Krisna Widyathama – Iwan ‘Pandir’ Effendi – Nano Warsono – Riono Tanggul a.k.a Tatang – Wedhar Riyadi
Mikke SusantoKurator
No comments:
Post a Comment