Yogyakarta, Saturday, 27th May 2006, 05.55 hrs
I was dragged out of the house by my younger brothers and my father. Screaming with panic, confused and tense, we managed to save ourselves from the terrifying tremors of the quake that measured 5.9 on the richter scale that shook Yogjakarta and it's surrounding areas, on Saturday morning, the 27 May 2006.
Electricity and all ports of communications shut down within seconds of the quake, and left us almost completely isolated from information on what was happening. Only one local radio station remained active and willingly became a port exchanging information for almost all of Yogjakarta. Every two hours after the quake, we still felt tremors, although nothing compared to the first. Even as I write this, the tremors still occur and can be felt very strongly in certain areas of Yogjakarta.
What happened as a result? While we were lucky that there were only cracks here and there in my house, my neighbors' homes, to both our left and right, were totally destroyed. But I only really realized how disastrous the impact of the terrifying quake was after I'd gone around the city of Yogja hours later. In less than a minute, the earthquake on Saturday morning had destroyed thousands of buildings and public facilities like schools, government offices, old cultural and heritage buildings, like temples and of course many residential homes. Many people were injured by debris falling from collapsing houses, and there have been more than 5000 casualties. The sight of streets and mosques filled with bodies, hospitals crowded with casualties, from mostly broken bones and bruises, and people who don't know what they will do because they have lost their homes, is overwhelming. The weekend quake was really like an 'attack at dawn', which shocked all of us who live in Yogjakarta, and has left behind a deep trauma. Most choose to sleep outside and to stay awake in case a bigger tremor happens. Even the patients at the hospitals prefer to stay in the outdoor compounds of the hospitals rather than to be moved to the wards.
When all attention was directed to the heightened activity of Mount Merapi in the north of Yogja, the unexpected disaster came from the south, a tectonic earthquake, the aftermath of the collision of two Indo-Australian and Eurasian plates.
Gempa di Yogyakarta dan Badai di Tainan
Yogyakarta, Sabtu, 05.55 WIB
Belum habis sisa kantuk semalam, saya dipaksa bangun dan diseret adik laki-laki dan ayah untuk segera keluar rumah. Sambil berteriak-teriak karena panik, bingung dan tegang akhirnya kami berhasil menyelamatkan diri dari dahsyatnya goncangan gempa berskala 5,9 Richter, Sabtu pagi, 27 Mei 2006 di Yogyakarta dan sekitarnya. Di luar, semua orang sudah keluar rumah menunggu goncangan gempa mereda. Aliran listrik langsung padam, sarana dan prasarana komunikasi sesaat terputus, kami terisolasi informasi. Waktu itu hanya ada satu radio lokal yang aktif menginformasikan terus perkembangan yang terjadi. Radio lokal tersebut mampu menjadi sarana bertukar informasi hampir di seluruh pelosok Yogyakarta.
Sekitar setengah jam sesudah gempa, kami masih dikagetkan atas isu tsunami yang menghantarkan ratusan orang berkendara motor, dari selatan berduyun-duyun menuju utara, ke daerah yang dianggap lebih aman. Beruntung hal itu hanya isu belaka, sehingga situasi dapat segera diatasi. Belum cukup sampai di situ, setiap 2 jam kami masih harus menghadapi gempa susulan walau pun skalanya tak sebesar gempa pertama. Bahkan hingga tulisan ini saya buat, gempa berskala di bawah 3 skala Richter masih terus terjadi dan kadang dirasakan sangat kuat di beberapa wilayah tertentu di Yogyakarta.
Apa yang terjadi? Rumah saya memang hanya retak di sana-sini, rumah tetangga kiri dan kanan saya ternyata roboh. Tetapi saya baru betul-betul menyadari dampak kedahsyatan gempa, setelah sempat berkeliling kota Yogya beberapa jam sesudah gempa. Tidak sampai semenit, gempa Sabtu pagi itu telah meluluh lantakkan puluhan ribu bangunan fasilitas publik seperti sekolah-sekolah dan gedung pemerintah, bangunan warisan budaya seperti candi-candi dan peninggalan masa lalu, tidak terkecuali pula dengan rumah-rumah penduduk. Melukai puluhan orang karena tertimpa reruntuhan rumah mereka bahkan membuat lebih dari 5000 jiwa melayang menjadi korbannya. Pemandangan memilukan menghiasi masjid-masjid mau pun pinggir jalan saat dijajar beberapa jenazah, rumah sakit-rumah sakit disesaki para korban yang sebagian besar patah tulang dan luka memar, mau pun penduduk yang tidak tahu harus bagaimana karena kehilangan tempat tinggal mereka.
Gempa di akhir pekan itu memang seperti ‘serangan fajar’ yang sangat mengejutkan bagi kami semua yang tinggal di Yogyakarta dan menyisakan trauma yang mendalam. Sebagian besar lebih memilih tidur di luar rumah dan berjaga-jaga kalau-kalau ada gempa susulan yang lebih besar. Bahkan pasien-pasien yang ada di rumah sakit pun lebih memilih ditempatkan di pelataran luar rumah sakit daripada harus pindah di bangsal ruang dalam.
Selama tinggal di Yogyakarta, kami memang tidak asing dengan gempa kadang terjadi. Tetapi gempa Sabtu lalu disamping skalanya sangat besar dan berpotensi merusak, semua pihak merasa kecolongan untuk kali ini. Di kala semua perhatian tertuju atas meningkatnya aktifitas Gunung Merapi di Yogya bagian utara, bencana malah datang dari selatan yaitu gempa tektonik, akibat bertumbukannya dua lempeng (patahan) Indo-Australia dengan Eurasia.
Aliran empati
Sebagian besar wilayah di Yogyakarta masih lumpuh hari pertama dan kedua pasca gempa, kesulitan evakuasi karena banyaknya korban, matinya aliran listrik, juga matinya perekonomian. Setelah menjadi headline di beberapa media massa cetak mau pun elektronik karena Gunung Merapi, kali ini Yogyakarta kembali menjadi headline atas kejadian gempa tersebut. Sama terhenyaknya dengan banyak sahabat baik dari luar Yogyakarta mau pun dari luar negeri, beberapa pesan singkat (SMS) mau pun email segera mengalir menanyakan kondisi kami, seperti “are you ok?” atau “bagaimana Yogya?”, “thinking of you” dan seterusnya. Semua tergerak memberikan bantuan dalam berbagai bentuk membanjiri kota Yogyakarta tiada henti. Posko-posko segera didirikan di hampir semua titik bencana dipenuhi logistik, tenda, pangan, obat-obatan, tim medis, relawan dan sebagainya. Pengalaman di Aceh dengan tsunaminya, lebih dari setahun silam, membuat pemerintah Indonesia sendiri cukup sigap menghadapi bencana kali ini. Berbagai strategi penanggulangan bencana mau pun pasca bencana segera dilakukan sebaik-baiknya, walau pun tetap dirasakan kedodoran di sana-sini.
Dua situasi berbeda
Belum berapa lama saya kira, ketegangan dan kepanikan yang berbeda dalam menghadapi bencana masih ingat betul di benak saya. Hal tersebut menjadi satu hal yang menarik dan memperkaya pengalaman kehidupan saya. Dalam suatu kunjungan saya di kota Tainan, Taiwan tahun lalu, 3 hari diantaranya saya harus berhadapan dengan badai besar yang sebelumnya tidak saya jumpai selama saya tinggal di Indonesia. Badai angin disertai hujan yang mampu membuat beberapa pohon tumbang, beberapa bangunan rusak, dan mampu menyeret orang besertanya, membuat saya sempat panik apalagi jauh dari rumah dan orang-orang yang saya cintai. Namun kepanikan itu mampu diredakan dengan sikap tenang semua penduduk Taiwan kala itu, karena pihak berwenang sudah mensosialisasikan akan datangnya badai dan semua hal yang berkenaan atas hal itu. Sehingga ketika tiba hari H, semua sudah bersiap diri sehingga tidak jatuh banyak korban mau pun kerugian material yang besar. Seandainya hal tersebut juga berlangsung Sabtu pagi yang lalu, tentu teman saya tidak akan kehilangan orang tercintanya karena meninggal tertimpa reruntuhan bangunan, walau pun tetap banyak bangunan akan roboh karenanya.
Yogyakarta, 06-06-2006
Nunuk Ambarwati
Published:
http://www.aaa.org.hk/newsletter.html#news313
No comments:
Post a Comment