https://nunukambarwati.blogspot.com/2019/10/cerita-horor-dunia-lain.html
https://nunukambarwati.blogspot.com/2019/10/cerita-horor-hantu-yang-bikin-kesel.html
https://nunukambarwati.blogspot.com/2020/04/cerita-horor-hantu-bawaan-toko-barkas.html
ZABUSA
si UDARA
Erza Budi Faisal dilahirkan di Bantul, 12 Oktober
1989. Masa awal karir berkeseniannya, Erza lebih dikenal sebagai Erza Q-Pop. Q
sendiri yang berarti Queen. Pada curriculum vitae-nya, Erza tercatat
mengawali pameran perdananya di tahun 2009. Sehingga terhitung 1 dekade
(2009-2019), Erza menyandang label Q-Pop
(Queen of Pop) - seniman pop yang sering menggunakan ikon Queen (atau tepatnya seluk beluk
wanita).
Hingga kemudian, sekitar akhir 2019, Erza
memutuskan memperkenalkan diri sebagai Zabusa, setelah 20 tahun karirnya di
dunia seni rupa. Zabuza sendiri diambil dari akronim nama Erza Budi Faisal.
Zabusa sebagai penanda usainya masa pencarian jati diri, pencarian karakter
atau kembali setelah evolusi spiritual untuk keyakinan yang dia anut. Selanjutnya
dalam tulisan ini, saya menyebut Erza sebagai Zabusa.
Zabusa yang berelemen udara (berzodiak
Libra) ini benar benar tidak bisa ditebak kemana arah karyanya. Seperti udara,
dia ekspresif, fresh, dinamis, tidak bisa
diatur atau tak mau kaku pada aturan dan ingin mengikuti perkembangan. Sehingga
ia juga seorang yang banyak bereksplorasi dalam karyanya. Karena berelemen
udara, maka Zabusa pun rentan akan kemana angin membawa dia. Untuk itu, tak
heran mengapa ia memberi tajuk “The Battle of Fear” pada pameran tunggal
ketiganya kali ini. Zabusa masih merasakan sebuah battle, karena dia akan terus bergerak. Bahkan motto dia adalah “dunia bukan tempat istirahat”. Iya karena dia
akan terus bergerak seperti elemen bawaannya. Ketika mengenalnya, seakan akan
kita dibawa berloncatan, bukan sosok yang kalem dalam pikiran dan jiwanya,
meski tampak luarnya demikian. Hal ini akan senada dengan tampilan karya
Zabusa, tampaknya saja sederhana, tapi tidak demikian dengan proses
pengerjaannya.
Perkara “meloncat”, soal studi pun ia bahkan
melakukan manuver, sempat mengenyam kuliah di jurusan Seni Rupa, Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY), tidak selesai. Pindah kampus dan akhirnya lulus
sarjana dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), itupun jurusan teknik
elektro. Maka, minim latar belakang studi formal seni visual yang ia miliki. Namun
demikian, sejak kanak kanak, Zabusa sudah mencetak berbagai prestasi lomba
menggambar atau melukis. Jajaran piala di lemarinya masih tersimpan baik
sebagai penanda prestasi, antusias dan gairahnya di dunia seni ini. Bahkan
pernah meraih penghargaan sebagai lima besar pelukis terbaik di Tokyo, Jepang.
BEBI
Meski terkesan berlompatan, karya-karya Zabusa
tetap berada pada jalur pop figuratif sebagai benang merahnya. Aliran pop ini
menurut saya cocok dengannya, dimana memberikan energi pembebasan kreatif
hampir tanpa batas. Berjumpa karya-karya Zabusa, saya bisa memahami bagaimana
jiwa bebasnya ingin berkreasi saat kemana atmosfer membawa dia. Dia bisa
bermain dengan pecahan kayu. Dia juga mengkombinasikan teknik robotik dalam
karyanya, dimana teknik robotik ini ia dapatkan dari studinya di jurusan
elektro. Dia juga menggunakan teknik-teknik melukis yang baru dan entah apa
lagi ke depan. Intinya, dia tidak mau biasa saja.
Nyata-nyata ia sampaikan bahwa seniman yang
menginspirasi adalah Takasi Murakami dan KAWS, keduanya adalah seniman
beraliran pop. KAWS adalah Brian
Donnelly, yang dikenal secara profesional sebagai dengan julukan KAWS. Ia
seorang seniman dan desainer asal Amerika. Karyanya mencakup penggunaan
berulang dari karakter dan motif figuratif, beberapa berasal dari awal karirnya
pada 1990-an. Awalnya dilukis dalam 2D dan kemudian diwujudkan dalam 3D
(sumber: Wikipedia).
Takasi Murakami adalah seniman kontemporer Jepang. Dia
bekerja di media seni rupa (seperti lukisan dan patung) serta komersial
(seperti fashion, merchandise, dan
animasi) dan dikenal karena mengaburkan batas antara seni tinggi dan rendah.
Takashi juga menggunakan karakteristik estetika bersamaan dengan tradisi seni
Jepang dan budaya masyarakat Jepang pascaperang (sumber: Wikipedia).
Pop Art memandang budaya komersil sebagai
materi mentah, sebuah sumber ide yang tak pernah habis atas hal-hal yang
bersifat subyek piktoral. Mereka banyak melukiskan ikon-ikon yang kerap muncul
di masyarakat, seperti komik, kehidupan metropolis, iklan dan lain-lain yang
dilimpahkan di kanvas atau grafis (sumber: Diksi Rupa, halaman 314). Demikian
juga dengan Zabusa yang mengambil ikon-ikon populer seperti ikon-ikon dalam online games atau tokoh kartun Disney,
kartun Jepang dan semacamnya. Dengan fasih, dia adaptasi tokoh kartun Mickey
Mouse dan Batman. Atau empat karakter Pokemon, yang ia buat berseri. Ada
kawanan Donald Duck terkekeh, tak ketinggalan sosok heroes seperti Avangers. Namun demikian, tokoh-tokoh ternama
tersebut tak mentah dituangkan dalam karya, Zabusa mengadaptasinya kedalam
karakter orisinal ciptaan dia sendiri, yakni BEBI.
Pada pameran tunggal ke 3 nya ini (pameran
tunggal pertama tahun 2012, selanjutnya di tahun 2016), -saya memahami ketika
dia mengambil judul “The Battle of Fear”. Ini adalah sekaligus sebagai
deklarasi ala Zabusa memunculkan karakter BEBI-nya, yang ia temukan sejak akhir
2019. BEBI adalah nama figur karakter yang diciptakan Zabusa, menjadi Bebies
karena jamak (banyak). Bebies ini muncul setelah masa pencarian Zabusa selama
satu setengah tahun proses evolusi spiritualnya tersebut. Bebies ini bisa munculpun
karena atmosfer yang sedang melingkupi Zabusa, dimana dia dikelilingi anak-anak
balita dan peran dia sebagai ayah dalam keluarga barunya. Dalam artist statement-nya, Bebies adalah
karakter bayi yang menggemaskan secara fitrahnya. Tingkah pola anak cukup
termemori kuat melalui karya dia yang banyak memakai media dua dimensi.
Kita bisa menemui dan berkenalan dengan
BEBI pada lukisan yang bertajuk “What do you think about who I am”. Ia
digambarkan dengan gestur yang percaya diri, berbalut outfit formal namun smart.
Sosok ini digambarkan tegas berada center
bidang kanvas; dan di sebelah kiri lukisan, jelas terbaca siapa dirinya,
ZA-BU-SA. Pada Bebies, di bagian kepala, Zabusa sengaja menghilangkan indra
kehidupan seperti mata, hidung , mulut, telinga. Dan menggantinya dengan tanda
plus (tambah) di bagian wajah karakter tersebut.
Lalu bagaimana melihat ekspresi si karakter
ini bila hanya ada tanda minimalis di wajahnya? Anda tetap masih bisa merasakan
ekspresinya melalui gestur yang digambarkan. Polah sedang marah, centil
menggemaskan, atau sok cool dan
sebagainya, layaknya tingkah bayi atau anak-anak yang lucu dan polos.
Figur-figur adaptasi ini tetap bisa berbicara meski tak lengkap indra
kehidupannya.
BLOCK
dan GARIS
Zabusa melukis dengan teknik menumpuk warna agar
terjadi gradasi berupa block warna,
ada yang memang sengaja digores dengan kuas dan ada yang dikerjakan secara
berlapis. Lapisan lapisan warna ini sesuai dengan keinginan dia hingga mencapai
standar yang Zabusa inginkan. Sehingga tak heran, satu block warna dalam sebuah karya bisa mencapai 13 kali lapis. Tiga
belas kali lapis itu maksimal yang pernah ia kerjakan, minimalnya 5 kali lapis.
Sehingga tak heran, bobot karyanya bisa lebih berat dibanding karya seni visual
diatas kanvas pada jamaknya, karena dia melapis cat berulang.
Pada karya-karya Zabusa kali ini, kekuatan block warna dan garis menjadi
konsentrasinya. Garis atau outline
pun menjadi perhatian detail yang tak mau dia abaikan. Warna yang ingin dia
dapatkan harus sesuai dengan yang di bayangan, meski harus melalui tahapan
lapisan yang banyak. Seperti saya sampaikan diatas tadi, dia tidak mau karyanya
biasa saja. Ia mementingkan kualitas, meskipun pop art diasumsikan karya yang terkesan gampang atau cepat. Namun tidak
demikian pandangan Zabusa, ia ingin penikmat seni bisa memahami proses dibalik block-block warna dan garis itu.
BATTLE
of FEAR
Tema-tema lukisan Zabusa masih seputaran proses kehidupan manusia di dunia,
kalaupun ada topik politik, bukan prioritas, malah ia jadikan satir. Dari
karya-karyanya, Zabusa mengajak untuk tidak melulu menanggapi validasi
eksternal, contohnya tiga karya yang berjudul “Don’t judge the book by its cover”,
“What do you think about who I am” dan “I wish I could be hero”.
Tema bahwa hidup ini sederhana menjadi
pemikiran utama Zabusa, terwakili pada 14 karya dia yang dipamerkan saat ini.
Kesederhanaan ini diwakili dengan menampilkan block-block warna yang luas namun sarat dan intens dalam eksekusi finishing-nya. Selanjutnya, kita tinggal
menjalankan dengan panduan (kitab suci) sesuai porsi (takdir). Banyak hal yang
menghambat itu hanya ujian hidup, cara penyelesaiannya adalah dengan sabar,
jelasnya.
Tajuk pameran “The Battle of Fear” atau
Melawan Rasa Takut, sangat menggambarkan sosok Zabusa yang berada penuh dalam
pertimbangan, seperti tersimbolkan dalam zodiak kelahiran dia, Libra. Libra
dicitrakan dengan sebuah timbangan (The Justice). “Battle” = gejolak diri, ini
masih berlangsung dalam dirinya, dimana ada dua sisi berlawanan. Ada rasa ingin
menyelesaikan (justice), di sisi lain
ada rasa ingin menunda (penuh pertimbangan). “Fear” = rasa takut, adalah
ketakutan tentang apa atau rintangan yang akan dihadapi kedepan yang masih
misteri.
Proses pengerjaan 14 karya untuk pameran tunggalnya kali ini, merupakan proses
menjawab “The Battle of Fear” atas diri Zabusa sendiri. Dari pembacaan saya
sebagai penulis, pameran tunggal ketiga Zabusa ini penting mencatat tiga poin
utama, yakni:
* Pertaruhan idealisme diri dia sendiri dengan peta seni rupa global.
* Resolusi proses gejolak diri dia (battle).
* Deklarasi dirinya saat ini (Bebi dan Zabusa).
Apakah sudah terjawab, apakah sudah selesai, apakah ada kesimpulan? Saya
sebagai penulis pun tidak akan bisa menjamin Zabusa mendapatkan kesimpulan
final. Karena ia akan terus berproses sesuai panggilan hatinya. Bahkan di detik
detik terakhir pun, Zabusa si udara bisa membuat spontanitas yang mengejutkan. Di
setiap pameran, Zabusa akan selalu menampilkan sesuatu yang baru, sebagai
parameter proses evolusi jiwa dia. Giliran Anda untuk menyaksikan pameran ini, mendapatkan
pengalaman visual juga pengalaman rasa. Dan bagikan “battle” versi Anda setelah mencerna karya-karya yang
dipresentasikan.
Yogyakarta, Mei 2022.
![]() |
Pic by Pinterest |
oleh
Nunuk Ambarwati
Suatu
hari, saya sebagai tarot reader, pernah mendapatkan pertanyaan dari seorang Teman
Bicara (klien) – “Maaf mbak mau bertanya, Mbak Nunuk membaca tarot dengan sixth
sense atau baca saja?”. Sebenarnya saya agak kaget mendapat pertanyaan tersebut.
Kemudian saya menjawab bahwa saya menggunakan intuisi dalam membaca tarot.
Sixth Sense atau indra keenam itu apa? Dan apa bedanya dengan
intuisi? Atau apakah sama?
Berikut arti indra keenam menurut Wikipedia - Indra keenam (bahasa Inggris: sixth sense) merupakan kemampuan paranormal yang berkaitan
dengan penerimaan informasi yang tidak diperoleh melalui indra fisik yang
dikenali, tetapi dirasakan dengan pikiran. Indra keenam berperan sebagai indra
untuk menangkap informasi tentang dunia sekitar yang tidak bisa diperoleh
dengan indra biasa. Adapun dalam istilah teknis parapsikologi, indra keenam dikenal dengan istilah extra sensory perception atau disingkat ESP.
Sementara
intuisi menurut Wikipedia adalah Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Kata intuisi berasal dari kata kerja Latin "intueri" yang diterjemahkan sebagai
"mempertimbangkan" atau dari bahasa Inggris, "intuit" yakni "untuk merenungkan".
Sehingga
menurut saya, perbedaannya indra keenam dengan intuisi adalah letak kewaspadaan
dalam menerima informasi (informasi yang dari mana saja ya, informasi yang
didengar, dilihat atau dirasakan). Dengan intuisi, seseorang akan lebih waspada,
mawas dan bijak mengambil kesimpulan atas informasi yang dia terima. Sementara indra
keenam, fungsinya menangkap informasi dulu, menangkap yang tidak bisa ditangkap
oleh indra lainnya.
Dalam pembacaan
tarot sejak 2018 hingga sekarang, saya menggunakan dasar ilmu tarot yang saya
pelajari dan intuisi. Intuisi ini pun saya peroleh karena “jam terbang”, yaitu
dengan mengasahnya. Misal, dengan seringnya membaca kartu, membaca tanda tanda,
atau mengolahnya dengan puasa atau dengan cara lainnya yang masih sangat logis
kok dilakukan. Jadi, saya membaca kartu tarot, tidak dengan klenik, jin, atau hal
magis lainnya yang kadang bisa diluar nalar. Karena bagi saya, tarot itu justru
membawa kita ke kenyataan hidup. Meskipun pertanyaan-pertanyaan yang datang,
terkadang di luar akal sehat, namun saya memberi jawabannya sangat logis.
Contoh
pertanyaan dari Teman Bicara (klien), ”Apakah saya diguna-guna?”
Kemudian saya tebar kartu tarot berdasarkan pertanyaan tersebut, dan ternyata
jawabannya, iya. Namun saya baca kembali, misalnya, kenapa dia bisa
diguna-guna, kenapa tubuh dia bisa dengan mudah menyerap efek negative dari
guna-guna tersebut dan seterusnya. Misalnya, dia ini ternyata pernah menyakiti
perasaan seseorang sehingga orang yang disakiti tersebut membalas dengan cara
mengirim guna guna. Atau dia selalu mikir yang menjurus ke klenik dan dunia
setan, jadi malah menjadi semacam afirmasi ke dirinya bahwa dia dekat dengan
dunia ini. Jadi ada peran diri sendiri juga, kenapa dia bisa mengalami hal
tersebut. Hal hal ini akan saya sampaikan ke penanya. Sehingga pikiran dia tidak
terus menerus berada dalam wilayah ambang antara sadar dan tak sadar. Karena
saya yakin ketika mengembalikan pikiran kita ke logika dan kenyataan, maka
hidup akan lebih mudah dijalani.
Contoh
pertanyaan kedua, “Mengapa saya mudah anxiety (khawatir berlebihan atau
khawatir tak beralasan)?” Jawaban yang diberikan dari membaca kartu, ternyata
dia ada mental health (kesehatan mental) yang perlu diperhatikan dan
butuh penanganan ahli yang lebih professional, misal psikolog. Atau karena pola
hidup dia yang tidak sehat, misal jam istirahatnya sangat kurang, suka
begadang, overthinking, atau beban pekerjaannya tinggi. Ini juga bisa menyebabkan
anxiety.
“Tarot itu
membawa kita pada kenyataan kehidupan. Jawaban di kartu tarot kadang tidak
sesuai dengan keinginan kita, namun itulah jawaban yang sebenarnya”.
Sehingga
saya tetap memberikan jawaban yang masuk akal (logis) ke penanya. Karena
menurut saya, ketika kita justru menenggelamkan penanya ke jawaban yang tidak
logis, penanya justru malah tidak menemukan jawaban yang pasti, karena akan semakin
tenggelam dan tenggelam dalam dunia suramnya. Terkadang, bagi sebagian orang,
tenggelam ke dunia suram dan antah berantah ini justru mereka suka, karena nampak
misterius, lebay atau dramatik, ngga suka kalua hidup itu biasa, lurus atau apa
adanya.
Jadi
menurut saya, membaca tarot itu justru membawa kita belajar menerima kenyataan
kehidupan. Dimana sebagian orang masih denial (menyangkal, meragukan, tidak mau
menerima kenyataan), namun ketika kita bisa belajar menerimanya, itu justru
akan lebih mempermudah kita menjalani hidup. Healing comes from acceptance.
Tulisan pengantar pameran tunggal "Pembadutan Merah Jambu"
oleh Tina Wahyuningsih
di Miracle Prints, Yogyakarta | 18 Februari - 4 Maret 2022
PROFIL
KARYA
Mari memasuki ruang
pamer, kita akan disuguhi nuansa monokrom (= gradasi tone dalam satu warna),
yaitu warna merah jambu dan putih di ruangan Miracle Prints. Totalitas nuansa merah
jambu ini tak hanya didapatkan dari detail karya tapi juga ruang pamer (akan
dicat dengan nuansa yang senada). Ia sudah menyiapkan empat karya dua dimensi,
masing masing berukuran 110 x 110 cm (ada dua karya) dan ukuran 50 x 50 cm (dua
karya).
Kemudian
masih ada juga karya berupa boneka yang ditempel di kanvas ukuran 50 x 100 cm,
berjumlah dua karya. Tina menggunakan media dari blacu, dakron, cat akrilik,
kain tile dan beberapa ornamen. Dan sebuah karya instalasi yang disetting
diatas karpet, yang merupakan karya kontemplasi. Kita bisa merasakan ada
kelembutan sekaligus kekuatan dari setiap karya yang Tina hasilkan.
Studio kerja
Tina adalah di rumah, dimana dia habiskan bersama keluarga besarnya. Maka
persinggungan perkara domestik sangat kental bagi proses berkarya Tina.
Beberapa keterbatasan mempengaruhi
proses kreatif seniman menghasilkan karya, termasuk soal ruangan. Penanda baru di pameran tunggalnya saat ini
adalah ia menampilkan karya dua dimensi yang cukup besar kali ini, dimana ia
biasa memproduksi karya dengan dimensi yang tentengable
atau mudah dibawa.
Tengok salah
satu karya lukisnya berjudul “Ngekor” (50 x 50 cm), digambarkan setengah kepala
seorang perempuan yang mendominasi separuh bidang kanvas. Dan tampak di
belakang, banyak sekali figur badut-badut seolah-olah ingin mengikuti perempuan
itu. Tina ingin menyampaikan tentang masyarakat yang cenderung suka ngekor
(mengikuti) dengan berbagai tujuan. Ada yang tujuannya meniru, mengawasi
(kepo), ingin menyamakan dirinya dengan idolanya dan seterusnya. Badut badut
itu rata rata digambarkan serupa, tak nampak beda. Dan posisinya di belakang,
ya karena mereka mengekor saja, ekor letaknya di belakang. Mau jadi siapakah
kita, si perempuan yang ada di depan, atau rombongan badut yang di belakang?
Salah satu
karya berdimensi besar, berukuran 110 x 110 cm, berjudul “Having Fun #1”.
Menggambarkan seorang yang sudah dewasa naik kuda mainan. Setidaknya ada dua
parodi yang ingin disampaikan Tina dalam satu frame ini. Pertama persoalan
gender, Tina berhasil menggambarkan sosok yang kabur identitas gendernya.
Tampaknya seperti seorang wanita, tapi dia berkumis. “Itulah parodi!”, ungkap
Tina, tampak seperti wanita atau laki laki. Kedua, persoalan usia, yang
digambarkan bermain disitu adalah seorang dewasa, bukan anak-anak. Parodi,
orang dewasa yang masih kekanak-kanakan atau hati-hati “bermain” permainan
orang dewasa. Bahwa dalam setiap orang pasti ada jiwa kanak-kanak. Hasrat ingin
bermain akan tetap ada entah bentuk permainannya seperti apa.
Bagi seorang
Tina yang lihai di perkara domestik wanita (menjahit, memasak, menata / dekor,
merangkai bunga dll), membuat boneka atau soft
toys merupakan kesukaan tersendiri, bahkan dulu dia sempat punya brand “Jahitangan”.
Sesuai passion-nya, Tina masih
menghadirkan karya berbahan boneka yang ditempel di kanvas bertajuk “Being
Happy Clown” #1 dan #2. Bercerita tentang dedikasi. Bagaimana seseorang
menjalankan profesinya dengan maksimal, idealisme dan sukacita. Kurang lebih
menggambarkan dirinya sendiri yang menjalani totalitas dalam berkesenian dengan
bahagia selama ini.
BADUT & MERAH JAMBU
Pameran tunggal kali
ini mengangkat judul “Pembadutan Merah Jambu”. Hmm... terkesan agak politis ya.
Sementara, jika kita kembali menelisik judul pameran tunggal sebelum-sebelumnya,
Tina mengalir ringan saja dan menampilkan imajinasi bahkan hiburan. Tampaknya,
pemberian judul ini juga penanda seiring kematangan proses berkarya ibu satu
anak ini, disamping matang secara usia. Lalu apa yang ingin disampaikan dari “Pembadutan
Merah Jambu”?
Kedua, warna merah jambu itu sendiri.
Warna merah jambu sering disebut warna pink. “Pembadutan Merah Jambu”, karena
Tina sengaja menampilkan warna monokrom, pink dan putih sebagai nuansa
utamanya. Menurut saya sebagai penulis, ini juga adalah proses kematangan Tina
dalam berkarya. Dalam beberapa kesempatan, Tina mungkin sudah katam menampilkan
warna warna cerah, terang dan menarik sesuai kesukaan dunia sirkus dan karnaval
tadi. Maka kesempatan kali ini, dia gemas, dia ingin menantang diri sendiri
untuk mengolah rasa dalam satu nuansa monokrom, pink dan putih saja. Toh dia
tetap berproses menemukan warna pink yang dia inginkan, tidak melulu menerima
warna cat pabrikan dalam koleksi cat akriliknya. Secara psikologis, warna pink
diasosiasikan sebagai sesuatu yang menyenangkan, kreatif, feminim,
kekanak-kanakan, menyegarkan, eforia dan menenangkan. Dimana ini sangat
menggambarkan karakter personal seorang Tina Wahyuningsih jika Anda sudah
mengenalnya.
Merah jambu
tak melulu berarti rindu.
Merah jambu bisa ambigu.
Selamat atas pameran tunggalnya yang ketiga untuk seorang Ibu, seniman, pekerja seni, sahabat kesayangan – Tina Wahyuningsih.
Dan ternyata saya selalu menulis pengantar untuk pameran tunggal dia, terima kasih buat kesempatannya ini ya Tina. Berikut link tulisan saya untuk pameran Tina Wahyuningsih
Pameran tunggal pertama, 2011
http://nunukambarwati.blogspot.com/2012/06/mimpi-dunia-empuk-dream-of-pillowy.html
Pameran tunggal kedua, 2013
http://nunukambarwati.blogspot.com/2013/04/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
Beruntung mempunyai seorang teman, Mas Eko, biasa saya panggil dia. Masih muda dan sudah beristri, namun belum dikaruniai anak. Dia seorang peyandang disbilitas yaitu tuna netra sejak lahir. Meski demikian, dia seorang yang cukup aktif beraktifitas. Dari dia saya banyak belajar - Mas Eko yang saya kenal tidak pernah mengeluh atau sedih dengan keadaannya. Kehidupan mereka sederhana, mereka berdua juga berprofesi sebagai tukang pijat seperti jamaknya peyandang disabilitas tuna netra.
Pernah suatu ketika, ditanya iseng, “Pak Eko kalau mimpi gimana? Mimpinya apa atau gimana sih kalau mimpi tuh?”. Ditanya bagaimana gambaran dia ketika bermimpi. Ternyata jawaban dia mengejutkan saya. Gambaran mimpi dia adalah sama seperti yang dia jalani sehari-hari, di dalam mimpi dia tidak melihat (alias gelap), hanya suara suara, bau atau sense dari indra lainnya. Oh... saya tertegun mendengar jawabannya tak bisa berkata apa apa.
Kemudian saat ditanya, jika suatu hari Mas Eko dikasih kesempatan bisa melihat sekali saja seumur hidup, tapi kemudian tertutup kembali indra penglihatannya – apa yang ingin Mas Eko lihat? Tahu jawaban dia? Bukan ingin melihat istrinya, atau ingin melihat dirinya sendiri. Tetapi dia ingin melihat laut. Oh laut, kenapa, tanya saya selanjutnya? Ternyata karena dia sering mendengar teman-teman bercerita bahwa pemandangan paling indah adalah laut.
Salah satu hal menarik yang paling saya ingat dari dirinya adalah ketika dia membuat karya dari tanah liat (keramik). Ketika itu dia berdampingan hidup bersebelahan dengan seniman yang bekerja dari tanah liat. Jadi di sela waktu senggangnya, dia ikutan nongkrong di studio si seniman. Karena sering nongkrong dan ngobrol, seringlah dia disemangati untuk bikin karya dari tanah liat, "Ayo Mas Eko cobain bikin bikin apa gitu!". Sampai akhirnya dia berminat membuat karya dari tanah liat sendiri. Dan ternyata dia membuat binatang Gajah di karya keramik perdananya tersebut. Tidak besarlah karyanya, ukuran tinggi 13 cm x lebar 14 cm. Dia membuatnya dengan teknik pinch dan pilin.
Lalu bagaimana dia bisa menggambarkan bentuk Gajah padahal dia tidak bisa melihat? Menurut ceritanya, ia pernah naik Gajah 15 tahun lalu. Berdasar memori itu, ia bisa mengingat bentuk binatang besar itu dari indra rabanya. Bagaimana kakinya yang besar, telinga yang hampir menyentuh kaki. Sementara untuk telinga Gajah, ia mendapat gambaran saat ia makan kudapan tradisional kuping gajah. Dan untuk taringnya ia mendapat info dari teman bahwa si Gajah memiliki taring diantara belalainya.
Karya dan cerita di balik karya ini sangat unik juga menyentuh hati. Saya request untuk saya koleksi, Mas Eko mengiyakan hanya dengan syarat menukarnya dengan 2 bungkus rokok kegemarannya. Sudah itu saja, dia sudah bahagia. Beberapa bantuan-bantuan kecil seperti membelikan kebutuhan dia di warung, itu sudah sangat membantunya.
Demikian sekelumit cerita kehidupan kali ini, belajar dari seorang teman yang sederhana dan dengan segala keterbatasannya. Pemikiran dia, cara dia beraktifitas, cara dia bersosialisasi membuat saya kadang terkejut tapi juga penuh senyuman. Bersama Mas Eko, nampaknya hidup itu tetap bahagia meski dunia dia gelap, bisa bercanda meski hidup dia tidak mudah. Tetap bersyukur dan terus bersyukur dengan apa yang sudah Tuhan berikan di kehidupan kita.