Menjadi seniman
itu tidak mudah. Tidak mudah dalam hal membiayai hidup dia. Apalagi bila dia
sudah memiliki keluarga. Uang hasil penjualan karya belum tentu bisa didapat
kapan dan berapa jumlahnya. Mikirin itu saja bisa jadi bikin pusing kepala.
Apalagi harus terus berpikir kreatif, harus produksi karya yang biayanya tentu
tidak sedikit. Sementara seorang seniman juga mesti dituntut untuk selalu ada
karya yang baru sebagai bentuk eksistensi dia di dunia seni rupa.
Nah dari semua
kekompleksitasan masalah tersebut diatas, ada seorang seniman Ekwan Marianto
(lahir 18 Desember 1977) asal Tuban, yang mengesampingkan itu semua. Kok bisa?
Iya, dia sudah bertekad untuk berkarya dengan bahagia. Kalau tidak bahagia, dia
mengaku tidak bisa berkarya. Jika tidak merasa bahagia, karya apapun yang dia
buat serasa selalu ada salahnya atau tidak pas di hati. Untuk mencapai pada
tahap ini, tentu tidak mudah ya. Harus benar benar ikhlas dan menerima dengan
rasa syukur apa yang sudah didapatkan. Ketika seseorang sudah sampai pada titik
ini, itu tidak mudah, saya yakin dia sudah bisa memaknai hidup yang
sesungguhnya. Hasil kebahagiaan itu, Ekwan tampilkan dalam sebuah pameran
tunggal seni rupa bertajuk “The Journey of Happiness” di Taman Budaya
Yogyakarta, mulai tanggal 21 Desember 2019 hingga 4 Januari 2020. Ini merupakan
pameran tunggalnya yang ke-5 selama karirnya sebagai seniman.
Ekwan
menampilkan lebih dari 40 karya, dengan media beragam. Dari kanvas, kayu,
perunggu, resin. Karyanya pun memiliki ukuran dan dimensi yang besar. Lihat
karya-karya yang ditampilkan oleh Ekwan Marianto, tema-tema karyanya adalah keseharian
yang sederhana. Tentang ikan, burung, kerbau, sapi, anjing dan
manusia-manusianya.
Latar Belakang
Ekwan mulai
mempelajari seni di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR). Disana ia belajar
dasar-dasar menggambar, melukis, mengukir kayu, membatik, membuat cetakan,
membuat ilustrasi dan sebagainya. Tak butuh waktu lama baginya untuk memutuskan
bahwa ia akan menekuni lukis. Pada akhirnya ia menguasai beragam teknik dan
gaya lukis.
Waktu itu ia
tinggal di sebuah rumah kos di Yogyakarta, jauh dari kota asalnya yaitu Tuban,
Jawa Timur. Lingkungan di sekitar rumah kosnya dipadati para seniman muda yang
penuh gairah. Sebagian besar mereka menempuh pendidikan tinggi di Institut Seni
Indonesia (ISI) Yogya. Walaupun ia tidak menempuh pendidikan tinggi seperti
para tetangganya, pengaruh lingkungan tempat tinggalnya itu begitu besar dalam
jalan hidupnya, termasuk diantaranya adalah pertemuan dengan seorang perempuan
yang kelak akan ia nikahi. Kemantapannya menjadi seniman dan caranya memandang
hidup secara umumpun juga tak lepas dari pengaruh lingkungan tersebut.
Saat ini dia
memiliki ruang seni yang dikelolanya dengan kesungguhan hati dan didedikasikan
untuk siapa saja yang membutuhkannya, ia beri nama Kembang Jati Art House.
Kekuatan Kesederhanaan
Diantara
berbagai artefak peradaban kuno, kartun tahun 1980an, aliran abstrak
ekspresionis, emoticon (simbol-simbol
emosi pada gawai) kontemporer dan wayang kulit Jawa, kita bertemu dengan karya
seni Ekwan.
Tawa kita
terpancing ketika melihat kelucuan dalam karyanya. Rasa penasaran kita akan
dunia yang diciptakan oleh sang senimian pun tergelitik, namun pada saat yang
sama kita juga terharu dan terinspirasi untuk membuka diri pada sebuah hal
mendasar yang membuat kita jadi manusia sesungguhnya. Kita mendapat kesempatan
berharga untuk mengingat kembali hal-hal yang membahagiakan.
Kesederhanaan
karya Ekwan tak hanya menyamarkan kepekaan sang seniman yang luar biasa namun
juga keahlian yang dilatih selama bertahun-tahun serta, yang paling penting,
beragam lapis interpretasi terhadap karya-karyanya.
Karya seni Ekwan
menjadi sebuah peringatan merisaukan bahwa keberhasilan manusia yang paling
hebat sebenarnya selalu berakar dalam imajinasi dan kerbesamaan, bukan pada
sesuatu yang acap kita pikirikan seperti sistem penilaian yang rumit dan
kompetitif, kemampuan konsumsi, dan kesempurnaan layaknya produk buatan mesin.
Lukisan Ekwan yang tampaknya kekanakan justru menyimpan rahasia kegembiraan yang
selalu dicari-cari oleh manusia layaknya sebuah pencapaian.
Sumber inspirasi
Ekwan yang lain adalah desa kampung halamannya, film-film kartun yang pernah
ditontonnya waktu kecil, perayaan-perayaan di desa, lukisan karya pelukis
Indonesia maupun mancanegara, ingatan-ingatan serta imajinasinya, wayang kulit,
ukiran tradisional, graffiti yang tersebar di dinding-dinding kota Yogya,
pesawat terbang di udara dan banyak lagi. Beberapa sumber inspirasinya adalah
sesuatu yang berada di alam sadarnya, dan ada pula yang berasal dari alam bawah
sadar. Yang pasti, Ekwan kini membuka pintu bagi apapun untuk menjadi
inspirasi, selama ia masih tetap setia menggerakkan tangan sesuai keinginan
hati dan selama ia masih merasa nyaman untuk berkarya. Hasilnya adalah karya-karya
sugestif yang utuh.
“Berkesenian
bagi saya itu tidak ada kata berhenti karena itu sumber kebahagiaan saya. Saya
suka menyaksikan citra yang muncul dari permainan-permainan ekspresif
saya. Saya sering terkejut melihat
sebuah bentuk muncul, dan mewujud. Seandainya saya berhenti dan berpikir,
mungkin hal itu tampak konyol. Saya tak mungkin akan berani melukis tangan
seperti itu, atau kumis yang menggelantung di tepian muka…atau apapun yang
serupa, jika saya kebanyakan berpikir. Tapi kalau mengerjakan hal seperti ini
menyenangkan, melukis dan memainkan warna sesuka hati, buat apa dipikirkan?
Hahaha…
Nasirun
Saya bersyukur melihat para seniman muda yang berdedikasi terhadap karyanya. Pada dasarnya, saya senang melihat Ekwan mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi media lain selain cat dan kanvas. Saya yakin ini sangat penting untuk perkembangan keseniannya. Lebih-lebih kalau kita membicarakan budaya lokal di sini. Tidak pernah ada batasan kaku di antara berbagai media kesenian--semuanya merupakan satu kesatuan, bagian dari wadah yang luas yang membawa warisan budaya. Ini termasuk asas-asas kebersamaan, kebahagiaan, dan keterhubungan dengan beragam hal. Kebahagiaan itu pada dasarnya datang dari hal-hal sederhana yang semakin langka ditemukan di zaman modern ini.
Saya bersyukur melihat para seniman muda yang berdedikasi terhadap karyanya. Pada dasarnya, saya senang melihat Ekwan mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi media lain selain cat dan kanvas. Saya yakin ini sangat penting untuk perkembangan keseniannya. Lebih-lebih kalau kita membicarakan budaya lokal di sini. Tidak pernah ada batasan kaku di antara berbagai media kesenian--semuanya merupakan satu kesatuan, bagian dari wadah yang luas yang membawa warisan budaya. Ini termasuk asas-asas kebersamaan, kebahagiaan, dan keterhubungan dengan beragam hal. Kebahagiaan itu pada dasarnya datang dari hal-hal sederhana yang semakin langka ditemukan di zaman modern ini.
Edi Sunaryo
Ada hal yang mengharukan
ketika berhadapan dengan sosok Ekwan, yaitu kesederhanaan dalam menyikapi
hidup. Dia ingin berbagi rasa bersama dengan teman-temannya yang baru miniti
karier sebagai perupa. Jiwa sosial yang dia miliki diwujudkan dalam konsep
ruang pajang, ruang alternatif yaitu bangunan rumah Jawa sebagai wadah
memamerkan karya seni rupa secara gratis diberi nama Kembang Jati. Latar
belakang konsep ruang pajang ini adalah berdasar pengalaman pribadi ketika
betapa susahnya mendapatkan kesempatan untuk memamerkan karya-karya seninya di
galeri yang ada di Yogyakarta. Ekwan sadar diri dan merasa bahwa setiap
penolakan secara halus oleh galeri alasannya karena karya seninya belum layak
pameran.
dr. Oei Hong Djien
Karya patung Ekwan juga bercorak naif, namun dibandingkan dengan lukisannya lebih mempunyai keunikan. Dimana letak keunggulan patung Ekwan? Dari segi visual, patungnya mudah diapresiasi karena indah, menyenangkan dan mempunyai daya pajang lebih. Yang terakhir ini disebabkan ukurannya yang mini sehingga mudah dicarikan tempat untuk dipajang. Temanya menarik dan jenaka. Bentuknya juga mempunyai daya tarik dikarenakan deformasi bentuk yang lucu, aneh tapi enak dipandang. Hal ini mengingatkan saya pada deformasi Widayat. Warnanyapun segar, indah dan harmonis. Warna ini kalah mengesankan kalau ia memakai bahan perunggu.
Jean Couteau
Wong Cilik pada Ekwan. Lihatlah lukisan Ekwan! Apakah wong ciliknya -- kaum miskin tertindas, para pengangguran, dan mereka yang dieksploitasi -- tampak teralienasikan dalam lukisan-lukisannya? Sama sekali tidak. Mereka justru sebaliknya tampak gembira.
Wong Cilik pada Ekwan. Lihatlah lukisan Ekwan! Apakah wong ciliknya -- kaum miskin tertindas, para pengangguran, dan mereka yang dieksploitasi -- tampak teralienasikan dalam lukisan-lukisannya? Sama sekali tidak. Mereka justru sebaliknya tampak gembira.
Apa yang kita lihat? Orang-orang yang ketawa-ketiwi,
jejingkrakan, bergairah, dan penuh canda ria. Seolah-olah hidup mereka
merupakan suatu kesinambungan terus-menerus dari peristiwa-peristiwa yang
membahagiakan. Dan ini bukan hanya apa yang kita lihat, melainkan juga apa yang
mau dikatakan oleh Ekwan. “Saya melukis kebahagiaan”, katanya, “sebagaimana
kebahagiaan yang datang kepada saya. Karakter-karakter saya mendapatkan
inspirasi dari apa yang saya lihat di pasar-pasar malam, pada jathilan, dan
pada semua acara favorit kehidupan desa Jawa”.