Tulisan pengantar untuk Jogja International Mini Prints Festival (JIMPF) 2013
Entah sebuah kebetulan atau bukan, pengalaman magang di
sebuah galeri komersial di Darwin, Australia (2008) menjadi perbandingan yang
menarik tentang dunia seni grafis antara Indonesia-Darwin. Saat itu, saya
berkesempatan magang selama kurang lebih 1 bulan di Galeri Nomad (Nomad Art
Gallery, www.nomadart.com.au)
Darwin, NT, Australia. Galeri ini boleh dibilang sangat sederhana, baik dari
fasilitas yang ia miliki sebagai sebuah ruang pamer, karena luasnya tak
seberapa, itu pun bergabung antara display pameran dengan display karya
konsinyasi. Bila sedang ada pameran disana, hanya muat sekitar 10 karya
berukuran kecil sekitar 30 x 40 cm saja. Pembukaan pamerannya pun sangat intim,
personal dan hangat karena memang ruangan yang tersedia tidak besar. Dengan
display yang simple, penuh karya-karya konsinyasi menarik tapi tetap ditata
elegan style si pemilik.
Dari sisi manajemen pun sangat efektif, karena hanya ada
3 orang yang bekerja disana. Galeri ini dikelola oleh sepasang suami istri yang
sangat berdedikasi terhadap dunia seni rupa disana dan memperkerjakan 1 orang
asisten bagian administrasi. Mulai dari membersihkan galeri, menemui art lover, mengurus surat-surat, display
hingga packing. Selebihnya, bila mereka membutuhkan tenaga tambahan, mereka
menambahkan sebagai outsourcing.
Posisi galeri ini sangat strategis karena berada di pusat bisnis di Vickers
Street, Parap Village, Northen Territory, Australia. Meski pun galeri ini
terbilang kecil di wilayah tersebut (karena ada beberapa galeri besar yang
berdampingan dengan Galeri Nomad); tetapi mereka juga mengerjakan banyak
project berskala besar dan lintas negara dalam program-program mereka setiap
tahunnya. Biasanya, project-project besar ini mereka selenggarakan di luar
galeri.
Nah, kemudian yang menarik adalah hampir setiap hari
selalu ada karya seni grafis yang laku terjual di galeri tersebut. Peminat atau
pembelinya kebanyakan justru bukan kolektor tetap mereka, tetapi wisatawan yang
datang, mampir melihat-lihat dan kemudian menyukainya. Pilih ini atau itu, packing dan dibawa pulang. Saya sempat
terheran-heran, betapa mudahnya menjual karya seni grafis di negara bagian ini.
Sementara bila kita melihat pasar seni grafis Indonesia justru berkebalikan,
sepi peminat, malah kadang diacuhkan karena nilai karyanya tak sama dengan
karya seni rupa bermediakan acrylic atau oil. Hingga membuat teman-teman
seniman seni grafis harus putar otak dan strategi agar karya seni grafis mereka
bisa setara apresiasinya dengan karya seni rupa; kemudian muncul monoprint atau karya printmaking
kombinasi handcoloring dan
seturutnya. Terbersit keinginan kala itu, saya ingin sekali membawa karya
teman-teman grafis Indonesia untuk bisa presentasi atau cukup konsinyasi saja
di galeri tersebut. Saya yakin, pasti lebih bagus, pasti lebih disukai dan
pasti cepat terjual. Ini dari sisi penjualan atau pemasaran karya.
Mari kita melihat sudut pandang lain, mengapa karya-karya
seni grafis menjadi lebih mudah terjual disana. Saat ketika magang tersebut,
Galeri Nomad sedang memamerkan karya seni grafis karya suku Aborigin. Pada saat
yang berdekatan, Galeri Nomad juga mengelola pameran kontemporer karya tekstil
dan seni grafis dari suku Amarasi, Nusa Tenggara Timor yang berjudul ‘Ta Teut Amarasi Awakening’. Merupakan program
kerjasama antara Northen Territory dengan Indonesia Timur, kerjasama antara
Asialink di Universitas Melbourne bersama dengan Yayasan Kelola di Jakarta.
Galeri Nomad concern dengan karya-karya bermuatan tradisi kental, salah satunya
adalah karya-karya seni grafis dari suku Aborigin dan suku Amarasi, Nusa
Tenggara Timor yang kebetulan menjadi obyek penulisan ini. Mereka sangat
menghargai seni tradisi, karena mereka sudah kehilangan akar sejarah asli.
Mereka terus mencari sejarah asli milik Australia. Mereka seperti haus akan
sejarah nenek moyang beserta adat istiadat, produk-produk kebudayaan dan
tradisi yang menyertainya. Sehingga perlakuan mereka terhadap karya-karya
tradisi seakan sangat sakral dan mendapat penghargaan yang tinggi. Demikianlah
ketika sebuah bangsa mulai kehilangan ruh tradisi, mereka kemudian terus
mencari dan menghargainya hingga sedemikian rupa. Bagi suku-suku seperti
Aborigin dan Amarasi, mereka menggunakan teknik-teknik seni grafis untuk
melegendakan motif-motif kesukuan mereka menjadi sebuah warisan berharga untuk
anak keturunannya.
Maka ketika Syahrizal Pahlevi menyatakan kepada saya
suatu hari, membicarakan niatan dia bahwa Jogja International Mini Prints
Festival atau Biennale menjadi sebuah ‘budaya’, tanpa berpikir panjang langsung
saya iyakan dan saya sangat mendukungnya. Niatan untuk membentuk kebudayaan
atas apresiasi atau penghargaan terhadap karya-karya seni grafis yang berukuran
kecil. Dan terlebih niatan untuk mengembangkan karya seni grafis itu sendiri
hingga skala internasional. Niatan dan mimpi besar namun dengan presentasi
karya-karya yang mini, saya amini tak akan menyurutkan semangat seorang
Syahrizal Pahlevi yang militan. Dengan kolaborasi dari berbagai komunitas seni
grafis yang jamak teknik dan banyak di Yogyakarta, helatan ini merupakan sebuah
gerakan kebudayaan yang patut didukung banyak pihak dan lintas budaya.
Membentuk sebuah kebudayaan memang tidak mudah dan tidak cepat. Semoga niatan
ini menjadi sebuah kenyataan, sama seperti apa yang saya rasakan saat melewatkan
hari-hari magang di Darwin kala itu. (Nunuk
Ambarwati/Tirana Art Management)
Whether by coincidence or not, an internship experience at
a commercial gallery in Australia
in 2008 provides an interesting comparison between the world of graphic art in Indonesia and Australia . At that time I had the
opportunity to intern for a month at the Nomad
Art Gallery ,
Darwin ,
NT , Australia
(www.nomadart.com.au). The
gallery was very basic; display space was limited and was shared between
temporary exhibits and work on consignment. For exhibitions the space could
only accommodate approximately 10 small pieces measuring about 30x 40 cm.
Exhibit openings were intimate, personal, and warm because the space was small.
The displays were simple, full of interesting consigned works, and elegantly
arranged by the owner.
From the human resource and management point of view it was
very effective because the gallery employed only three people. Managed by a
husband a wife team who were dedicated to both the local and national art
world, they employed just a single admin assistant. The three did everything
from cleaning the building, meeting visitors, handling correspondence,
arranging displays and packing work for shipment. If the owners needed
additional personnel, it was out-sourced. The gallery was strategically located
on Vickers St
in the center of the business district in the village
of Parap in Darwin . Although in comparison to other
larger galleries nearby Nomad could be described as small, in the course of
their annual program of activities they undertook many large national scale
projects, usually carried out at other venues outside the gallery.
It is interesting that almost every day a work of graphic
art was sold at the gallery. Most of the buyers were not regular customers or
collectors but tourists who came in and liked what they saw. They chose something, had it packed, and took
it home with them there and then. I was amazed; how easy it was to sell graphic
art in the Northern Territory !
However, if we look at the market for graphic art in Indonesia the situation is
reversed. Few people are interested; in fact, graphic art is sometimes ignored
because it does not have the same value as work in acrylic or oil and graphic
artists need think hard to come up with strategies and innovations so that
their work achieves the same level of appreciation as work in other media; for
example, the development of monoprints or prints combining hand coloring and
the like. From the point of view of sales or marketing I felt an urge to bring
the work of Indonesian graphic artists for exhibition or just consignment to
Nomad because I was sure it would be better appreciated and more quickly sold.
Let’s look at this from another angle: why does graphic art
sell more easily in Australia ,
in a small gallery in the Northern Territory ,
than in Indonesia ?
At the time I was doing the internship Nomad Gallery was doing a show of
graphic art of Australian Aboriginals. At almost the same time Nomad was also
doing an exhibit of contemporary textiles and graphic art of the Amarasi people
of East Nusa Tenggara titled “Ta Teut Amarasi Awakening” The exhibit was part
of a cooperative program between the governments of the Northern Territory and
East Nusa Tenggara and Asialink at the University of Melbourne and Yayasan
Kelola (Kelola Foundation), Jakarta. Nomad has a strong focus on work with
traditional themes including graphic works from the Amarasi and Aboriginal
artists. Nomad is conscious of traditional art because Australians Aboriginals
have already lost the roots of their original history and are searching for an
authentic Australian history. It is as if they are thirsty for the history of
their ancestors and their material culture and traditions. Thus traditional
work is highly appreciated and treated as sacral. When a people sense the loss
of the spirit of tradition they may then begin to try to recover it and
appreciate it more. People such as Aboriginals and the Amarasi use graphic art
techniques to immortalise their tribal motifs and create a valuable legacy for
their descendants.
Some time ago when Syahrizal Pahlevi was discussing his
hopes that the Jogja International Mini Prints Festival /Biennale would become
an ongoing tradition I didn’t hesitate to offer my support to help shape a
culture of appreciation for small-scale graphic work and to promote mini prints
themselves on an international scale. Even though the works are small the hopes
and dreams are big and I am certain the challenges will not erode the
determination of the ‘militant’ printmaker Syahrizal Pahlevi. Together with a
number of graphic arts communities in Yogyakarta ,
each employing different techniques and approaches, the festival is a movement
across conventional cultural boundaries and deserves the support of everyone.
Developing a cultural tradition is not quick or easy. Let us hope this dream
becomes a reality, like what I experienced during my days as an intern in Darwin.