CITRA KEHIDUPAN PADA LUKISAN KACA
Ada yang berbeda pada bidang-bidang lukisan
karya Rina Kurniyati. Ia menggunakan kaca sebagai bidang
gambar. Kita mengenal dan menyebut karya semacam ini sebagai seni
lukis kaca.
Seni lukis kaca adalah lukisan menggunakan
kaca sebagai bidang gambar. Cara melukisnya menggunakan prinsip ‘terbalik’.
Dimulai dari membuat pola, kemudian mewarnai bagian belakang kaca. Menggunakan cat dengan kadar minyak
sesedikit mungkin. Tentu saja lukisan
dengan media kaca akan memberi sensasi visual yang menarik dan
menawarkan cara melihat yang berbeda dibandingkan ketika kita melihat karya
dengan medium lain seperti kanvas. Kaca mempunyai tingkat kekinclongan yang
tinggi.
Beberapa catatan menyebutkan seni lukis kaca dibawa ke
Indonesia bersamaan dengan kedatangan bangsa asing di bumi nusantara, di
antaranya para pedagang Arab, India, Cina, Portugis dan Belanda. Berkembang
ketika jaman penjajahan Belanda. Lukis kaca banyak
dibuat oleh masyarakat umum karena bahannya yang terbilang murah. Lukis kaca
biasanya menghadirkan kisah-kisah dalam pewayangan atau cerita-cerita rakyat
yang sudah populer. Saat ini sentra-sentra lukisan kaca masih banyak ditemui di daerah Cirebon, Bali,
Jawa Tengah, Yogyakarta.
Lalu, siapakah Rina Kurniyati? Rina Kurniyati lahir pada tanggal 23 Maret 1975
dari pasangan Bapak Daliman dan ibu RA Sulastri. Ia lahir di Kopeng sebuah
daerah perbatasan antara Magelang dan Salatiga, yang berhawa dingin karena
terletak tepat di lereng Gunung Merbabu. Anak kedua dari tiga bersaudara.
Pada usia dua tahun, setelah ibunya yang berprofesi
sebagai seorang bidan meninggal, Rina diasuh dan tinggal bersama budhe nya di
Jalan Pramuka, Yogyakarta. Masa kecilnya dihabiskan di Yogyakarta. Hal yang
terekam jelas diingatannya adalah ketika bepergian bersama pakdhe dan budhenya
menaiki vespa! Ia berdiri di depan berpegangan pada stang vespa. Karenanya ia
bisa dengan leluasa melihat pemandangan.
Rina Kurniyati tidak pernah secara khusus mengenyam
pendidikan formal seni rupa. Ia lulus dari SD Kotagede 3 kemudian melanjutkan
ke SMP Plered dan SMA N 8 Yogyakarta. Keinginan keluarganya agar ia menjadi
pegawai negeri membawanya ke Bandung untuk bersekolah di Sekolah Tinggi
Kesejahteraan Sosial (STKS). Di kota inilah ia bertemu dengan laki-laki yang
kelak menjadi suaminya, Mikke Susanto. Akhirnya ia menikah dan dikaruniai
dua orang anak laki-laki, Abad dan Bintang.
Setelah menjadi istri dan ibu, waktunya diberikan
sepenuhnya untuk mengurusi keluarga kecilnya. Sampai pada suatu ketika anaknya
mulai beranjak remaja dan sibuk dengan sekolahnya, ia mempunyai lebih banyak
waktu untuk dirinya sendiri. Membaca adalah hobinya. Di rumahnya akan dapat
dilihat deretan buku mengisi rak-rak kayu. Sejak SMP, ia sudah mengakrabi karya-karya
sastra seperti Bhagavad Gita, karya-karya angkatan Balai Pustaka,
Pujangga Baru, seperti Marah Rusli,Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana hingga Chairil Anwar, berbagai
majalah seperti Tempo, Time,
Intisari, dan lain-lain. Selain membaca, Rina mulai tertarik untuk melukis.
Maka, sejak tahun 1999 ia mulai melukis. Dan ia menemukan kesenangan ketika
melukis di atas kaca!
Bagi seorang Rina Kurniyati lukis kaca
menjadi daya tarik tersendiri. Selain karena bahan-bahan yang digunakan relatif
murah dan mudah didapatkan, pada lukis kaca ia juga menemukan keasyikan karena
dibutuhkan ketelatenan yang luar biasa. Dimulai sejak membuat pola gambar,
kemudian menuangkan cat dan harus memperhatikan bahwa keunikan lukis kaca ada
pada cara menggambarnya yang terbalik.
Awalnya, ia banyak melukis wajah teman-temannya. Ia
sering mendapat pesanan lukis wajah. Berikutnya ia tidak puas dan ingin mencoba
menjelajahi kemungkinan artistik lain. Sampailah ia pada keinginan untuk
berpameran tunggal yang ia rangkum dalam judul ‘Cinta Aksara’ diambil dari
petikan puisi karya Remy Sylado.
Pada pameran perdananya yang akan diselenggarakan di
Tirana House mulai tanggal 28 Juli-28 Agustus, kita tidak hanya melihat gambar
tetapi juga diajak mencermati teks-teks tulisan yang tertera pada bidang
gambar. Gambar dan tulisan itu saling melengkapi dan memberi penguatan satu
dengan yang lain.
Bisa jadi, tanpa tulisan karya-karya Rina Kurniyati
bak jejeran alam benda berupa potongan bagian-bagian dari kendaraan saja. Akan tetapi,
ketika gambar itu hadir bersamaan dengan tulisan mempunyai makna yang berbeda.
Tulisan yang hadir secara bersamaan juga bukan sembarang tulisan, tetapi
kutipan-kutipan puisi karya sastrawan yang namanya sudah sering kita dengar
seperti Joko Pinurbo, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Darmono, Remy Sylado,Goenawan Muhamad, Sitok Srengenge, dan lain-lain.
Sepintas, tentu sulit mencari kaitan antara kutipan
puisi dengan gambar yang dihadirkan oleh Rina Kurniyati. Kita perlu menyelami
lebih dalam kehidupan senimannya. Tidak hanya menampilkan daya tarik visual dan
kekaguman pada penguasaan teknis lukis kaca, namun akan membawa kita untuk
mengenal lebih jauh kehidupan seorang Rina Kurniyati. Karena
sesungguhnya objek yang dilukis oleh Rina Kurniyati adalah hal-hal yang dekat
dengan kehidupannya sehari-hari.
Dari kelimabelas karya yang dipamerkan di Tirana House
dapat dibagi menjadi empat tema besar, antara lain tentang kehidupan keluarga,
kenangan masa lalu, relijiusitas dan harapan yang menegaskan posisi Rina
Kurniyati dalam relasi sosial dalam masyarakat.
Tema keluarga dapat dilihat pada karya yang berjudul
“Mainan Bintang”. Mobil yang dilukis Rina adalah mobil kesukaan Bintang putra
keduanya, diikuti dengan kutipan puisi karya Joko Pinurbo (2013): “Masa kecil seperti penjaga malam yang setia”.
Kemudian pada karya yang lain berjudul “Sebab Cinta adalah Kau”, Rina memilih
motor Harley Davidson yang mengesankan kegagahan, kemaskulinan, dan
petualangan. Ia mengambil bagian depan dari motor Harley Davidson. Seakan ingin
menegaskan bahwa bayangan cinta yang total telah mewujud pada diri Mikke
Susanto, cinta yang mampu menjadi pengemudi, menentukan arah dan jalan dalam
petualangan kehidupan. Maka ia memilih kutipan puisi karya Joko Pinurbo “Sebab cinta adalah kau yang tak mampu
kusebut, kecuali dengan denyut”. Aha! Menarik bukan?
Kita juga dapat menemui lukisan dengan objek vespa.
Ada sekitar tiga buah vespa. Dua di antaranya adalah vespa jama berjudul “Masa
Lalu” dan “Teman Masa Kecil” yang disertai kutipan puisi karya Joko Pinurbo
(2010) “Di rumah itu mereka tinggal
berdua/ Bertiga dengan waktu/ Berempat dengan buku/ Berlima dengan televisi/
Bersendiri dengan puisi”. Maka bisa ditebak, Rina sedang menghadirkan kenangannya
akan masa kanak-kanak yang dekat dengan vespa sebagai kendaraan yang
mengantarkan ia ke mana pun pergi.
Pada vespa merah jenis Lambretta yang berjudul “Cinta
Aksara”, Rina menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah warna. Vespa merah itu sungguh
serasi dipadu dengan latar belakang hijau segar dan garis putih untuk mengikat
dua warna yang sesungguhnya saling berlawanan. Di sudut bawah tertera kutipan
puisi karya Remy Silado “Kita mesti
mendirikan keberanian di hati, menolak pemaksaan cinta dari aksara-aksara”.
Rina, yang mencintai sastra dan sederet buku lainnya menunjukkan keberaniannya
untuk tampil sebagai persona mandiri, lepas dari bayang-bayang nama suaminya
yang sudah berkibar di kancah seni rupa. Pameran tunggalnya kali ini adalah langkah
awal eksistensinya sebagai seorang perupa.
Pada karya yang lain tentu kita juga diajak untuk
berteka-teki. Kutipan puisi dalam karya Rina mempunyai bobot sendiri dan
memberi konteks yang menggiring kita untuk merasuk lebih dalam untuk memaknai
karyanya. Sesungguhnya karya-karya tersebut telah mencitrakan kehidupan Rina
Kurniyati. Secara teknis, terlihat ketekunan dan ketelatenan Rina untuk
memainkan gradasi warna untuk memperoleh efek gelap-terang dan kesan kedalaman pada objek gambar. Tentu itu bukan hal yang mudah karena
prinsip lukis kaca yang harus menggambar secara terbalik.
Pameran kali ini menegaskan bahwa lukis kaca di tangan
Rina Kurniyati hadir dengan gaya baru. Tidak lagi identik dengan objek-objek
tradisi seperti wayang atau cerita rakyat tetapi juga mampu hadir sebagai media
yang mengedepankan pencarian dan ekspresi personal seorang Rina Kurniyati.
Penulis:
Zuliati
Alumni PPS Pengkajian Seni Rupa ISI Yogyakarta
RINA KURNIYATI
Lahir di Yogyakarta 23 Maret 1975, belajar melukis
secara mandiri sejak tahun 2000. Beberapa kali mengikuti pameran,
diantaranya Festival Budaya Tionghoa (2011) di Yogyakarta, Pameran "16
Perupa Bermain" di Galeri Rudi Corens, Yogyakarta; Pameran dalam
rangka Borobudur International Festival-BIF "Dharma" di Magelang dan
Pameran Seni Rupa "Gagal Ekspresi-Nararupa/Narapidana"
di Wirogunart Gallery, Yogyakarta (2013).
Selama ini mengembangkan seni lukis kaca kontemporer yang berbasis tema mobil, potret figur dan poster lama. Teknik yang dikerjakan adalah teknik blok warna dan melakukan improvisasi alat dalam penggarapan karya, untuk mencapai dimensi objek realistik yang dicapai. Munculnya teks dalam lukisan kaca adalah bagian dari konsep, karena pada dasarnya Rina menyukai karya sastra; sehingga menerapkan teks pada lukisannya sebagai bentuk catatan hidup dan kesan yang diperoleh dari kebiasaan membaca sastra atau menangkap nilai-nilai kehidupan yang diwakili oleh rupa dan teks.