Tuesday, September 08, 2009
September Ceria
PENGANTAR PAMERAN
‘SEPTEMBER CERIA’
Pameran seni visual yang mengedepankan karya patung, instalasi dan toys
Dalam rangka memperingati tahun ke-3 eksisnya Jogja Gallery
Jogja Gallery, Yogyakarta | 8 September – 18 Oktober 2009
Sekilas tentang Jogja Gallery
Di bulan September, tepatnya tanggal 19, Jogja Gallery [JG] telah memasuki usia 3 tahun. Usia yang terbilang muda. Meski demikian, sebagai sebuah representasi ruang pamer dan promosi seniman-seniman Indonesia, kami telah menyelenggarakan 48 event pameran seni sejak kami berdiri. Tentunya bukan perkara yang mudah, di saat menggagas hingga tetap eksisnya galeri ini dengan berbagai pasang surutnya masalah internal dan eksternal yang menyertainya. Mengingat awal galeri ini diresmikan banjir kritik hingga respon sebelah mata menyambut berdirinya Jogja Gallery kala itu. Mulai dari untuk apa sebuah galeri baru berdiri di tengah kondisi stagnannya seni visual Indonesia dari pengaruh pasar atas gencarnya karya-karya seniman China kala itu. Juga perihal tanda tanya publik mengenai siapa saja ‘oknum’ di balik berdirinya Jogja Gallery, akankah menjadi jaminan sebuah galeri bisa diandalkan dan dibanggakan, apalagi menggunakan nama kota sebagai brand-nya. Jogja Gallery merupakan Galeri swasta murni yang dibangun atas dukungan para investor. Seperti sudah jamak kita diketahui, dimana rata-rata pendiri galeri di Indonesia adalah orang asing, tetapi tidak dengan Jogja Gallery. Para pendiri Jogja Gallery yang kesemuanya berasal dari Yogyakarta tersebut adalah KGPH Hadiwinoto, Sugiharto Soeleman, Bambang Sukmonohadi, Soekeno dan KRMT Indro ‘Kimpling’ Suseno. Mereka hadir ditengah-tengah masyarakat Jogyakarta tentunya dengan kepedulian tinggi terhadap seni, khususnya seni rupa. Terwujudnya Jogja Gallery ini selain dari kepedulian mereka juga dukungan dari berbagai pihak yang secara langsung mau pun tidak langsung ikut andil dan support di berbagai event yang diprogramkan hingga saat ini.
Manajemen yang berbenah
Terus-menerus menciptakan inovasi merupakan salah satu bagian dari bentuk survive yang dilakukan Jogja Gallery. Untuk sekadar bisa hidup, merupakan misi awal yang tak terlalu muluk di tengah kompetisi pasar seni rupa Indonesia. Pasar yang penulis nilai sebenarnya tidak cukup sehat baik di Indonesia mau pun global. Pembenahan pada level manajerial terus dilakukan berdasarkan berbagai ‘benturan’ yang ditemui langsung di lapangan. Pujian mau pun komplain diubah menjadi siasat dan strategi yang tak henti dibenahi untuk terus bisa bertahan. Maka manajemen Jogja Gallery sepakat untuk memaknainya sebagai manajemen yang terus berbenah. Suatu kebijakan atau ketentuan bahkan bisa terus diupdate per minggu guna mendapatkan kinerja yang lebih baik.
Seiring meningkatnya aktivitas dan keberhasilan tiap penyelenggaraan pameran di Jogja Gallery, sorotan publik pun semakin kuat. Sorotan tersebut dirasakan menyeluruh, tidak melulu pada tema, muatan mau pun karya dalam tiap kali pameran yang diselenggarakan, juga kepada manajemen internal hingga tiap person yang terlibat di dalamnya. Hal tersebut jelas menyemangati manajemen Jogja Gallery untuk terus meningkatkan kualitas tiap event yang digelarnya dengan dibarengi niatan positif untuk turut memajukan infrastruktur seni rupa Indonesia. Dalam hal ini penulis lebih fokus pada sistem manajemen dan pasar yang berkembang dengan luar biasa mengejutkan dan kadang sangat sulit diprediksi. Di saat lukisan memasuki dunia bisnis yang sebenar-benarnya, maka mungkin kita harus menanggalkan ‘pesan’ dari lukisan tersebut. Siapa yang bermodal besar dia yang menguasai pasar. Modal bahkan bisa membentuk selera. Kita pun terseret berlaku dalam pasar yang sesungguhnya tersebut. Perilaku para pelaku pasar ini kadang membuat penulis gerah. Bahkan ketika seniman ikut terjun di dalam pasar itu sendiri. ‘Permainan-permainan’ dilancarkan para pelaku pasar. Jogja Gallery menyadari hal tersebut dan sebagai salah satu pelaku pasar kita harus jeli dan tidak terjebak dalam ‘permainan’ tersebut. Berani menentukan sikap dan berlaku tegas dengan ketentuan yang disepakati dalam manajemen, menjadi modal untuk menentukan arah misi dan visi galeri di tahun-tahun mendatang.
Hingga selama kurun waktu 2 tahun [sejak 2006-2008], Jogja Gallery bekerja sama dengan kurator tetap [in-house curator]; tercatat pernah bekerja sama dengan kami adalah M. Dwi Marianto [meski kurang lebih 2 bulan setelah Jogja Gallery berdiri, beliau mengundurkan diri] dan Mikke Susanto. Bersama beliau, Jogja Gallery tumbuh, berkembang dan mencatatkan diri dalam konstelasi peta seni rupa Indonesia. Berbagai event penting menjadi tanda sejarah Jogjakarta, seperti: Pada pameran perdana dan launching galeri, dipamerkan karya seniman “perekam sejarah” seni rupa Jogja mulai tahun 1970-2000 an yaitu ICON: Retrospective. Kompetisi Seni Visual The Thousand Mysteries of Borobudur dan Shadows of Prambanan kerjasama dengan UNESCO dan PT. Taman Wisata Candi Borobudur-Prambanan dan Ratu Boko. Di mana pada event ini banyak melibatkan para pelajar dan guru untuk mengikuti berbagai macam kegiatan untuk menambah wawasan dan ilmu bagi mereka, serta menambah nilai apresiasi yang tinggi khusunya dengan sekolah. Yang penting dan selalu dilakukan dalam setiap pameran yang digelar oleh Jogja Gallery adalah selalu menawarkan nilai visual kreatif dan inovatif. Untuk itu, dalam kesempatan yang berbahagia ini, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas kerja sama yang saling melengkapi, membangun dan membagi ilmu yang tak terbayarkan oleh apa pun selama bekerja dengan beliau berdua, terutama dengan Mikke Susanto.
Dalam perjalanannya, sejak awal 2009, Jogja Gallery kemudian menerapkan konsep yang lebih terbuka perihal kurasi dan kuratorial. Jogja Gallery mengundang dan membuka peluang kepada konseptor, kurator, galeri dan seniman tanah air untuk bekerja sama memajukan seni rupa kita. Sebagai sebuah penanda atas keberlangsungan cita-cita kami sebagai sebuah ikon budaya, sekaligus sebagai sebuah dedikasi kami, atas segala dukungan, kerja sama, perhatian dan kritik membangun dari rekan, kolega, sahabat dan mitra kerja kami yang turut membentuk dan membangun Jogja Gallery hingga saat ini, sebuah pameran yang berbeda kami hadirkan. Jogja Gallery dengan bangga mempersembahkan presentasi seni dengan kurasi dari tim pameran internal Jogja Gallery sendiri, yakni pameran patung, instalasi dan toys ‘September Ceria’ yang digelar sejak 8 September hingga 18 Oktober 2009.
Pameran 3 dimensi
‘September Ceria’, adalah sebuah pameran yang secara khusus mengetengahkan karya-karya 3 dimensi, berupa patung, instalasi dan toys. Tercatat di Jogja Gallery, pameran seni visual khusus karya 3 dimensi baru kami selenggarakan satu kali, yakni pameran bertajuk ‘Domestic Art Object | D.A.O [kurator: Mikke Susanto], tepatnya Februari 2007 yang lalu. Di luar itu, karya-karya 3 dimensi berbaur bersama dominasi karya 2 dimensi di setiap event pameran di Jogja Gallery. Kenapa September, jelas, karena pameran sebagai kaitan atas bulan berdirinya Jogja Gallery, disamping pameran ini juga diselenggarakan di bulan yang sama. Unsur ‘nakal’, ‘bermain-main’, bersenang-senang, dan happy ingin kami bawa dalam atmosfer pameran ini, untuk itulah kami tambahkan kata ceria pada tajuk pameran. Berharap, para seniman yang kami undang, terangsang untuk menciptakan karya-karya 3 dimensi yang menarik dan seinteraktif mungkin. Jogja Gallery tidak memberikan batasan terhadap ide karya atau pun tema. Karya-karya yang hadir diharapkan dapat memberikan rangsangan untuk terus menggulirkan ide-ide segar, belum pernah di buat karena adanya keterbatasan ruang pamer; namun tentunya tetap berkualitas dalam proses pengerjaan.
Lebih penting dari itu adalah, gagasan pameran ini juga tercetus dari masukan dari beberapa rekan seniman, ketika mereka melihat ruang pamer Jogja Gallery. Sebuah ruang yang megah dan lapang, serasa mengundang untuk direspon, juga untuk ditaklukkan. Ketika kami gulirkan gagasan ini kepada para seniman undangan, mereka dengan antusias merespon setiap sudut di ruang pamer kami mulai dari lantai, tangga hingga langit-langit. Pameran ini sekaligus memberikan ruang untuk karya-karya 3 dimensi untuk lebih bebas dan dominan tampil di ruang pamer Jogja Gallery. Besar harapan kami karya – karya yang di hasilkan dapat memberikan warna dan nuansa yang lain dari pameran-pameran kami sebelumnya. Karya-karya hadir dengan beda, segar, dan memberikan tantangan dalam ‘kecerdasannya’, ‘kenakalannya’, dan ‘sensitivitasnya’ dapat menemukan ‘bahasa dan bentuk’ yang menggugah dan memberikan pencerahan bagi banyak orang terutama untuk karya-karya 3 dimensi.
Dari ke-39 seniman yang terlibat dalam pameran ini, sebagian besar merespon dengan cerdas melalui karya-karya mereka atas inovasi dan persepsi masing-masing mengenai tajuk ‘September Ceria’. Ada yang bersifat protagonis mau pun antagonis atas bulan September itu sendiri. Meski pun demikian, karya-karya dalam pameran ini ingin kami kategorikan dalam 3 bagian media berkarya. Pertama, yakni karya-karya patung, seperti yang ditampilkan oleh Adi Gunawan, Ali Umar, Arlan Kamil, Candra Eko Winarno, Caroline Rika Winata, Dwita Anja Asmara, Eko Dydik ‘Codit’ Sukowati, Endang Lestari, Erica Hestu Wahyuni, Fransgupita, Grace Tjondronimpuno, Hariadi Nugroho, Hedi Hariyanto, Hendra 'He He' Harsono, Ismanto, I Wayan Upadana, Khusna Hardiyanto, Komroden Haro, M.Rain Rosidi, Rennie 'Emonk' Agustine, Saroni, Timbul Raharjo, Wahyu Santosa, Win Dwi Laksono. Kemudian karya instalasi, sebagai misal adalah karya Afdhal, Agustina Tri Wahyuningsih dan Edo Pillu, Eddi Prabandono, Hestu
(Setu Legi), I Made W. Valasara, I Made Widya Diputra, I Putu Aan Juniartha, Iwan Effendi, Lenny Ratnasari, Trie ‘Iien’ dan Gandhi Eka.
Dan yang terakhir adalah kategori toys, dimana dalam definisi yang kami dapatkan dari Wikipedia; mainan [toy] merupakan suatu obyek untuk dimainkan [play]. Bermain [play] sendiri dapat diartikan sebagai interaksi dengan orang, hewan, atau barang [mainan] dalam konteks pembelajaran [learning] atau rekreasi. Kategori terakhir ini, dalam karya yang dihadirkan kali ini belum cukup banyak direspon oleh seniman kita, terkecuali karya Cahyo Basuki Yopi, Samuel Indratma dan Studio Grafis Minggiran, yang bisa berinteraksi langsung dengan pengunjung dan penikmat pameran.
Tetapi apabila kita amati kembali, sebagian besar seniman ini telah mengadopsi definisi kata toys itu sendiri dan menerapkannya untuk mencipta karya, sehingga kita bisa melihat aura ‘bermain’ dalam masing-masing karya yang terpajang di sini. Seperti jelas terlihat dari karya Eddi Prabandono, ‘After Party’ yang terinspirasi hobinya mengayuh sepeda kemana-mana. Sepeda yang bisa diatur ketinggian sadel juga kemudinya hingga ke langit-langit ruang pamer, atau bisa mau diatur semau kita. Sungguh menarik! Demikian halnya dengan karya I Made Wiguna Valasara, yang mengaplikasikan detail motif pada karya lukisnya di t-shirt yang diproduksi terbatas. Ketika gagasan aplikasi ini diusulkan kepada kami, belum terbayangkan sedemikian uniknya. Setelah menikmati bahkan ‘meraba’nya, karya ini sangat terkesan ‘Valasara banget’!
Atau lihat karya Afdhal yang tampil mengesankan ‘Wake Up’, mengaku karya ini merupakan karya ke empat dari karya tiga dimensi yang pernah dikerjakannya sepanjang karier berkeseniannya. Afdhal memang sedang ‘bermain-main’ di ranah 3 dimensi untuk lebih bisa mengaplikasikan gagasannya secara lebih mantap. Karya ini mengingatkan kita tentang spirit bahwa manusia harus mempunyai peran penting dan mempunyai keyakinan hidup yang kuat, harus selalu bangkit … bangkit … dan terus bangkit. I Nyoman Agus Wijaya dengan pernyataannya ‘banyak hal yang bisa membuat senang, tergantung kita bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang menyenangkan dan janganlah pernah melakukan sesuatu dengan terpaksa’; mampu menghadirkan karya ‘Masih Seneng Bermain’ dengan jenaka, meski menggunakan media plat besi yang terkesan ‘berat’. Tak kalah menariknya dengan karya I Made Widya Diputra atau lebih dikenal dengan panggilan Lampung. Karya ‘Bukan yang Terakhir’’, menggambarkan sebuah antrian ruang tunggu. Menunggu apa pun itu, entah… yang jelas menunggu sebuah harapan bukanlah suatu jalan mati dan terakhir. Akan selalu ada harapan dan harapan berikutnya. Maka karya ini sungguh menghenyakkan dan pantas menempatkan Lampung sebagai jajaran seniman yang berdedikasi, mampu memberikan ‘roh’ kuat pada setiap karya yang dihasilkannya.
Pemilihan seniman-seniman yang diundang kali ini, memang tidak saja ditujukan bagi seniman dengan latar belakang minat utama seni patung, seniman senior mau pun promising artist. Terlebih bagi seniman-seniman yang mencatatkan dedikasi mereka atas karya-karya 3 dimensi dalam berbagai misi, kecintaan dan imajinasi mereka. Tak salah memberi ruang dan kesempatan mereka untuk mengajak kita ikut ‘bermain’ dan berkelana dalam persepsi yang bebas. Meski sebagian besar dari sekitar 70 calon seniman yang kami undang tak sempat terlibat dalam pameran kali ini karena alasan padatnya jadual, toh ke-39 seniman yang konfirmasi saat ini bisa memberikan gambaran global perkembangan seni 3 dimensi di Indonesia. Maka kita bisa melihat bagaimana kecenderungan dan pengaruh globalisasi atas batas karya konvensional dan non konvensional, modern mau pun post-modern dalam pameran ini.
Sebagai misal seniman patung yang terbilang senior seperti Timbul Raharjo, Win Dwi Laksono dan Komroden Haro. Karya-karya yang mereka tampilkan meski terkesan karya konvensional tetapi eksistensi dan gagasannya selalu mampu menunjukkan kekiniannya.
Selanjutnya, pameran ini dihasratkan sebagai media retrospektif kami sendiri sebagai representasi ruang pamer selama 3 tahun telah berjalan dan terlebih sebagai rangsangan bagi para seniman yang diundang untuk merespon ruang pamer kami. Ini adalah tantangan baru buat mereka, selain ruang, juga media baru yang harus diolah untuk menjanjikan karya kreatif mereka yang memang layak dan patut diacungi jempol. Bagi para penikmat seni, pameran ini diharapkan bisa memberikan referensi visual, opsi koleksi dan oase di tengah dominasinya karya 2 dimensi. Penuh harap dan optimis ke depan, Jogja Gallery tetap dapat memberikan kontribusi dan warna baru dalam perkembangan seni rupa khususnya karya-karya 3 dimensi melalui pameran ini dan seterusnya. Pameran ini tidak akan berhasil tanpa ada dukungan para seniman yang terlibat di dalamnya, untuk itu kami ucapkan terima kasih tak terhingga atas kerja keras dan kerjasamanya.
Ketika diandaikan sebagai anak-anak yang sedang bertumbuh, Jogja Gallery di usia belia saat ini, menyadari bahwa mainan [toy] dan bermain [play] merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran mengenai dunia dan tumbuh dewasa. Seperti seorang anak yang menggunakan mainan untuk menemukan identitas, membantu tubuh menjadi kuat, mempelajari sebab dan akibat, mengembangkan hubungan, dan mempraktekkan kemampuan mereka. Mainan lebih dari sekadar bersenang-senang, karena mainan dapat digunakan untuk mempengaruhi aspek kehidupan [sumber: www.plazaanak.com]. Teruslah ‘bermain’ untuk menjadi dewasa!
Yogyakarta, Mei - September 2009
Konseptor:
Nunuk Ambarwati
Mewakili tim pameran Jogja Gallery
Subscribe to:
Posts (Atom)