Sebuah Evaluasi untuk 1 Tahun Berdirinya Jogja Gallery [JG]
Oleh Nunuk Ambarwati*
Tulisan ini disampaikan sebagai bentuk evaluasi kinerja Jogja Gallery yang telah berjalan setahun [September 2006 – September 2007]. Penulis yang juga merupakan staf internal Jogja Gallery berupaya senetral mungkin dalam menyampaikan hasil tulisannya. Terima kasih atas dukungan semua pihak terhadap Jogja Gallery selama ini. Semoga bermanfaat.
Sudah lebih dari setahun lalu, tepatnya awal Agustus 2006, ketika penulis akhirnya berani menerima ‘tantangan’ untuk ikut membangun sebuah galeri baru, Jogja Gallery di sebuah kota budaya, Yogyakarta. 19 September 2007 ini, genap setahun Jogja Gallery berdiri dan terbilang aktif. Hingga akhirnya penulis menerima tawaran untuk menerima tanggung jawab sebagai program manager pada waktu itu, memakan waktu dan pikiran. Banyak pertimbangan berkecamuk ketika masih menyangsikan kemampuan diri sendiri, dimana hampir senada dengan banjirnya kritik, respon sebelah mata menyambut berdirinya Jogja Gallery kala itu. Mulai dari untuk apa sebuah galeri baru berdiri di tengah kondisi stagnannya seni visual Indonesia dari pengaruh pasar atas gencarnya karya-karya perupa China kala itu.
Juga perihal tanda tanya publik mengenai siapa saja ‘oknum’ di balik berdirinya galeri tersebut, akankah menjadi jaminan sebuah galeri bisa diandalkan dan dibanggakan, apalagi menggunakan nama kota sebagai brand-nya. Jogja Gallery murni dibangun dari dukungan investor. Seperti sudah diketahui, dimana rata-rata pendiri galeri di Indonesia adalah orang asing, tetapi tidak dengan Jogja Gallery. Para pendiri Jogja Gallery yang kesemuanya berasal dari Yogyakarta tersebut adalah KGPH Hadiwinoto, Sugiharto Soeleman, KRMT Indro ‘Kimpling’ Suseno, Bambang Soekmonohadi dan Soekeno. Sorotan tajam publik Yogyakarta khususnya tertuju kepada Direktur Eksekutif, KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno, yang lebih dulu dikenal sebagai akitifis event organizer piawai di kota ini. Mau jadi apa Jogja Gallery, siapa saja yang bakal pameran di sana, jenis pameran apa saja yang bakal dipresentasikan? Mau sampai kapan galeri bisa hidup? Hingga masalah profit yang bakal diraup galeri ditengah lesunya pasar? Tak kalah seru juga semacam beban yang harus ditanggung, ketika merangkul Mikke Susanto dan M.Dwi Marianto sebagai tim kurator awal yang membidani program-program pameran di Jogja Gallery. Hingga menempatkan penulis sebagai program manager. Meski kemudian, M. Dwi Marianto megundurkan ditengah-tengah berjalannya proses [tepatnya awal Februari 2007].
Berdirinya Jogja Gallery waktu itu sepertinya belum bisa mengakomodasi kebutuhan dan kecenderungan tren seni visual yang berkembang. Sehingga memunculkan kritikan-kritikan pedas dari publik atas berdirinya galeri baru ini. Bentuk kesangsian bahkan kekhawatiran di masa depan atas mubazirnya membangun sesuatu yang tidak ditangani oleh orang yang tepat di bidangnya. Demikian asumsi penulis.
Sumber daya manusia
Hal-hal tersebut tak dipungkiri mempengaruhi psikologis kerja para staf Jogja Gallery sehari-hari. Memilih sumber daya manusia atau para staf untuk diposisikan pada masing-masing yang kompeten bidangnya. Untuk bersama sebagai tim yang solid, membangun sebuah galeri baru ditengah banyak sorotan, bangunan megah yang berposisi strategis di titik nol kilometer, fasilitas ruang pamer lebih dari galeri lainnya di wilayah Yogyakarta. Bagaimana bisa mendatangkan publik ke ruang pamer dengan tiket masuk. Dimana hal tersebut belum menjadi kebiasaan publik ketika mengunjungi ruang pamer. Memberikan persepsi positif untuk setiap kali even pameran yang diselenggarakan dengan target-target keberhasilan yang selalu dipertaruhkan.Tantangan-tantangan tersebut bukan hal mudah bagi kami para staf ketika menerima Jogja Gallery sudah sedemikian adanya. Apalagi bagi para staf yang belum mengetahui bagaimana hiruk pikuknya di belakang layar ketika memutuskan mendirikan Jogja Gallery. Mengapa brand color warna hijau yang dipilih. Mengapa desain arsitektur konvensional ala Keraton Yogya yang digunakan, dan seterusnya.
Berbagai konflik internal turut mewarnai tumbuh dan berkembangnya Jogja Gallery. Seleksi alam terus berlaku, staf datang dan pergi, ada yang bertahan dan sebaliknya, menyesuaikan dengan tingginya kriteria sumber daya manusia yang dibutuhkan. Staf atau sumber daya manusia ini menjadi satu hal sangat penting yang penulis sadari untuk menjadi perhatian. Membentuk tim yang solid dan tetap bekerja dengan bisa membedakan batas profesional dengan personal. Dewan direksi mau pun manajemen terus memotivasi tim untuk bekerja sebaik dan semaksimalnya, juga mendelegasikan kerja seefektif mungkin. Hingga siap meng-counter berbagai persepsi negatif yang mungkin timbul atau berkembang dari eks staf atas ketidakpuasan atau ketidakcocokan dalam bekerja. Dimana di Jogja Gallery, manajemen sangat menyadari bahwa tidak melulu memiliki latar belakang seni rupa menjadi jaminan seorang staf bisa bekerja, demikian sebaliknya. Kemauan dan saling belajar dari kesalahan dan pengalaman lebih diutamakan untuk selalu dicatat dalam ‘buku teori’ sebagai pelajaran di masa mendatang.
Untuk itu, hanya waktu dan proses yang bisa membuktikan hasil kerja keseluruhan. Saling memotivasi, memberi dukungan di sela tingginya frekuensi kerja menyiapkan pameran dan mengubah kritikan tersebut menjadi dorongan positif. Baru satu tahun eksis, sangat belum cukup menjadi ukuran keberhasilan. Masih harus menyiapkan nafas panjang, pikiran positif dan tenaga yang selalu segar untuk menyiapkan even-even berikutnya.
Manajemen yang berbenah
Terus-menerus menciptakan inovasi merupakan salah satu bagian dari bentuk survive yang dilakukan Jogja Gallery. Untuk sekadar bisa hidup, merupakan misi awal yang tak terlalu muluk di tengah kompetisi pasar seni rupa Indonesia. Pasar yang penulis nilai sebenarnya tidak cukup sehat baik di Indonesia mau pun global. Pembenahan pada level manajerial terus dilakukan berdasarkan berbagai ‘benturan’ yang ditemui langsung di lapangan. Pujian mau pun komplain diubah menjadi siasat dan strategi yang tak henti dibenahi untuk terus bisa bertahan. Maka manajemen Jogja Gallery sepakat untuk memaknainya sebagai manajemen yang terus berbenah. Suatu kebijakan atau ketentuan bahkan bisa terus diupdate per minggu guna mendapatkan kinerja yang lebih baik.
Seiring meningkatnya aktifitas dan keberhasilan tiap penyelenggaraan pameran di Jogja Gallery, sorotan publik pun semakin kuat. Sorotan tersebut dirasakan menyeluruh, tidak melulu pada tema, muatan mau pun karya dalam tiap kali pameran yang diselenggarakan, juga kepada manajemen internal hingga tiap person yang terlibat di dalamnya. Hal tersebut jelas menyemangati manajemen Jogja Gallery untuk terus meningkatkan kualitas tiap even yang digelarnya dengan dibarengi niatan positif untuk turut memajukan infrastruktur seni rupa Indonesia. Dalam hal ini penulis lebih fokus pada sistem manajemen dan pasar yang berkembang dengan luar biasa mengejutkan dan kadang sangat sulit diprediksi. Di saat lukisan memasuki dunia bisnis yang sebenar-benarnya, maka mungkin kita harus menanggalkan ‘pesan’ dari lukisan tersebut. Siapa yang bermodal besar dia yang menguasai pasar. Modal bahkan bisa membentuk selera. Kita pun terseret berlaku dalam pasar yang sesungguhnya tersebut. Perilaku para pelaku pasar ini kadang membuat penulis gerah. Bahkan ketika perupa ikut terjun di dalam pasar itu sendiri. ‘Permainan-permainan’ dilancarkan para pelaku pasar. Jogja Gallery menyadari hal tersebut dan sebagai salah satu pelaku pasar kita harus jeli dan tidak terjebak dalam ‘permainan’ tersebut. Berani menentukan sikap dan berlaku tegas dengan ketentuan yang disepakati dalam manajemen, menjadi modal untuk menentukan arah misi dan visi galeri di tahun-tahun mendatang.
Itu baru salah satu sisi ekternal yang mempengaruhi pembenahan manajerial. Sisi internal yang menjadi pekerjaan rumah manajemen Jogja Gallery adalah para pelaku modal atau investor galeri ini sendiri. Penulis berupaya untuk masing-masing person di dalamnya menjalankan fungsi sesuai porsinya. Dimana tidak semua person di Jogja Gallery memiliki cukup banyak bekal untuk siap bertarung di dunia seni rupa. Bahkan bekerja di dunia kreatif seperti di galeri seni rupa seperti Jogja Gallery, harus bisa berkompromi dengan segala hal. Ketika harus mahfum untuk menekan idealisme tanpa mengurangi kualitas even yang bakal digelar dan sebagainya.
Catatan presentasi**
Dari September 2006 ke September 2007, tercatat telah menggelar 16 even pameran seni visual. Pada awal berdirinya Jogja Gallery, memang diniatkan dalam setahun pertama untuk menggelar pameran kelompok dengan media beragam, tidak melulu seni lukis. Hal tersebut diupayakan untuk mengakomodasi berbagai varian [media, aliran mau pun generasi perupa] yang ada di Indonesia terutama di Yogyakarta. Diharapkan dari misi tersebut di atas, Jogja Gallery mampu menempatkan posisinya terlebih dulu sebagai ruang pamer baru di Yogyakarta yang membuka dirinya bagi siapa pun. Kalau pun ada satu pameran tunggal yang pernah berlangsung ketika usia Jogja Gallery masih seumur jagung, yaitu pameran karya Hanafi (13 Januari – 2 Februari 2007), hal tersebut berdasarkan proposal masuk, dan pada akhirnya disetujui kurator dan manajemen Jogja Gallery. Maka definisi pameran tunggal di sini adalah pameran tunggal yang didanai, diorganisir dan dipromosikan sepenuhnya oleh pihak Jogja Gallery.
Menurut penulis, ada sedikit salah perhitungan dari pihak investor ketika membangun fisik Jogja Gallery. Dana yang disetorkan oleh para investor terlanjur membengkak untuk menyempurnakan bangunan fisik galeri tersebut. Sehingga tidak atau belum terpikirkan untuk menyalurkan dana operasional guna operasional sehari-hari atau penyelenggaraan pameran tiap bulannya. Hal tersebut berimbas kepada dana tiap penyelenggaraan even di Jogja Gallery. Tim manajemen terkesan terengah-engah untuk terus-menerus mencari sponsor untuk tiap penyelenggaraan pameran, demikian halnya ‘tuntutan’ untuk memberikan masukan dari hasil penjualan karya. Hal tersebut memang sah ditujukan kepada manajemen Jogja Gallery, dimana memang galeri ini murni swasta, sebuah perseroan terbatas tepatnya.
Beberapa target keberhasilan sebuah even pameran selalu dipasang. Paling tidak untuk saat ini bagi Jogja Gallery target-target yang harus selalu diingat dan terus-menerus diharapkan peningkatannya dari pameran ke pameran adalah: a. jumlah pengunjung [pengunjung harian dan apresiasi untuk pelajar], b. target pemasukan [sponsor dan penjualan karya], c. media coverage.
Jogja Gallery selalu mengedepankan beberapa unsur dalam setiap even pameran yang digelar, yakni unsur idealisme, edukasi, apresiasi, entertainmen dan komersial. Meski untuk tiap kali pameran akan selalu berbeda prosentase tiap unsurnya. Sebagai contoh dalam pameran ‘Eksisten’ (27 Februari – 25 Maret 2007) unsur komersialnya akan memiliki prosentase lebih tinggi dibanding dengan pameran ‘Transposisi : Lukisan-lukisan Kolektor Jateng –DIY’ (22 Mei – 26 Juni 2007) yang lebih tinggi prosentasi edukasi dan apresiasinya. Kelima unsur tersebut dikolaborasikan sedemikian rupa guna lebih memantapkan positioning Jogja Gallery di dunia seni rupa Indonesia.
Dalam tiap kali menyelenggarakan evennya, Jogja Gallery memperhatikan proses regenerasi perupa dengan membuka peluang kompetisi atau undangan terbuka untuk berkarya. Yakni pada pameran ’40 Perupa Muda Terdepan Indonesia: Young Arrows’ (2 Desember – 5 Januari 2007), ‘The Thousand Mysteries of Borobudur’ (20 April – 9 Mei 2007) dan ‘200 Tahun Raden Saleh: Ilusi-ilusi Nasionalisme’ (18 Agustus – 9 September 2007). Selain bertujuan menjaring perupa muda baru dan berbakat, peluang kompetisi tersebut juga merupakan bentuk promosi Jogja Gallery menempatkan positioning-nya di jagat infrastruktur seni rupa Indonesia. Di samping itu pula mengukur demand salah satu stakeholder Jogja Gallery yaitu perupa atas keberadaan galeri itu sendiri. Seberapa besar Jogja Gallery dibutuhkan keberadaannya? Atau seberapa besar minat perupa atas kurasi yang ditawarkan? Dari ketiga peluang yang Jogja Gallery tawarkan tersebut rata-rata 100-an proposal masuk untuk diseleksi. Dan hingga kini, para perupa terus menunggu hadirnya kompetisi baru yang dibuka, mengingat telah cukup lama Indonesia vakum dari kompetisi seni rupa bergengsi.
Meski demikian, pameran seni lukis mendominasi dari sekian pameran yang telah dilaksanakan di Jogja Gallery. Hal tersebut terjadi karena diperkuat dengan latar belakang sebagai berikut:
- Potensi profit pasar seni visual Indonesia yang memang masih dominan terhadap seni 2 dimensi, terutama seni lukis.
- Demikian halnya, respon tinggi untuk mempresentasikan karya-karya datang dari perupa-perupa 2 dimensi/seni lukis.
- Tuntutan [secara tidak langsung] internal Jogja Gallery untuk menampilkan karya-karya yang mengakomodasi selera mereka, paling tidak dalam waktu setahun tersebut.
- Hal teknis cukup menjadi pertimbangan penyelenggaraan pameran non 2 dimensi, misal ketersediaan alat dan infrastruktur pendukung, juga biaya yang lebih besar dibanding menyelenggarakan pameran 2 dimensi.
Dari ke 16 even tersebut, 5 diantaranya merupakan hasil kerja sama dengan pihak lain. Yaitu:
- Pameran seni lukis ‘Pallinjang: Salt Water’, kerja sama dengan Wollongong University, Australia (19 September – 20 November 2006).
- Pameran seni visual tunggal ‘Id: Hanafi’ karya Hanafi, kerja sama dengan O House Gallery, Jakarta (13 Januari – 2 Februari 2007).
- Pameran seni lukis ‘Bonding the Brotherhood between Tunisia and Indonesia’, bekerja sama dengan Kedutaan Tunisia di Jakarta (10 – 20 Februari 2007).
- Pameran seni visual ‘The Thousand Mysteries of Borobudur’, bekerja sama dengan UNESCO Office, Jakarta dan beberapa mitra lainnya (20 April – 9 Mei 2007).
- Pameran seni lukis ‘Bersemangat Meraih Cita-cita’, bekerja sama dengan Global Art, Yogyakarta (10 – 12 Agustus 2007).
Definisi kerja sama di sini adalah even tersebut diroganisir oleh Jogja Gallery dan mitra [dengan porsi masing-masing lembaga berbeda tiap kali penyelenggaraan], dalam hal pendanaan, mengorganisir pameran, penyediaan material pameran, publikasi, promosi, penjualan karya dan sebagainya.
Respon Publik
Dari berbagai presentasi pameran tersebut, sambutan publik luar biasa menarik dan positif bisa penulis kumpulkan. Sambutan tersebut dikumpulkan dari media coverage, buku kritik saran setiap pameran yang diselenggarakan mau pun masukan lisan kepada Jogja Gallery. Pada intinya, para perupa membutuhkan ruang pamer untuk menggelar dan mempromosikan karya-karya mereka. Demikian pula sebaliknya, galeri membutuhkan karya-karya berkualitas dari para perupa. Berbagai bentuk tawaran kerja sama untuk bisa mempresentasikan karya terus berdatangan ke Jogja Gallery. Kesempatan untuk bisa berpameran di Jogja Gallery ini didorong oleh beberapa faktor antara lain karena representasi sebuah ruang pamer yang baru, fasilitas yang cukup memadai, tempat yang strategis dan prestisius, manajemen yang tertata apik. Dari berbagai sumber, penulis bisa menyimpulkan positioning Jogja Gallery di mata publik untuk saat ini adalah sebuah ruang pamer dengan fasilitas dan aktifitas pameran berskala nasional bahkan internasional dengan segmen publik kelas menengah ke atas yang menampilkan karya-karya berkualitas. Selamat ulang tahun yang pertama Jogja Gallery, sukses selalu sukses!
Catatan kaki:
* Penulis masih tercatat sebagai Program Manager Jogja Gallery dan terlibat sejak awal digelarnya pameran perdana ‘ICON: Retrospective’ di sana.
** Baca pula tulisan ‘Summary Pameran Jogja Gallery’ untuk lebih detailnya.
*** Buku referensi:
1. ‘How to Get Ahead in Business’, Richard Branson, Virgin Books, London, 1993.
2. ‘Managing Museums and Galleries’, Michael A. Fopp, Routledge, New York, 1997
3. ‘Art Marketing 101: A Handbook for the Fine Artist’, Constante Smith, Artnetwork, USA, 2002
4. Berbagai sumber.