Makalah disampaikan dalam diskusi pendukung
Pameran seni visual Post-Kaligrafi ’Kalam & Peradaban’
Tema: ’Lokalitas & Seni Kaligrafi di Indonesia’
Jogja Gallery, Yogyakarta, Minggu, 8 Juli 2007 / pukul 09.00 – 11.00 WIB
Bismillahhirrahmanirrahim
Makalah ini teramat sempit untuk memberikan gambaran sejarah kaligrafi Arab dengan
lika-liku perjalanan yang sangat panjang. Tetapi, yang patut dicatat bahwa sebelum Islam, huruf Arab yang berasal dari Hieroghlip. Kemudian dari era ke era menemukan bentuk yang dikenal sebagai khath kufi, bentuknya masih sangat sederhana, dan sulit dibaca oleh orang yang bukan Arab karena belum ada titik, dan belum memakai harakat seperti yang berkembang kemudian.
Kedatangan Muhammad Rasulullah SAW dengan kitab suci al-Quran telah membawa perubahan bagi penyempurnaan huruf Arab. Meskipun Muhammad seorang Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis), tetapi ia sangat menekankan betapa pentingnya kamum Muslimin untuk belajar membaca dan menulis. Musuh yang ditangkap dan menjadi tawanan perang, kemudian dibebaskan setelah berhasil mengajar anak-anak muslim membaca dan menulis. Hal ini dimaksudkan agar ummatnya dapat dengan mudah menulis dan mempelajari al-Quran.
Dari zaman pemerintahan Khulafaurrasyidin, kemudian zaman Bani Umayyah, sampai zaman keemasan kebudayaan Islam pada pemerintahan Daulat Abbasiyah, khath (kaligrafi) Islam semakin memenuhi syarat untuk menuliskan firman-firman Allah, bukan karena bentuknya yang semakin sempurna, tetapi lebih dari itu nilai keindahannya yang semakin tinggi. Keindahan irama bahasa yang penuh pesona pada al-Quran agaknya diusahakan tercermin pada kehalusan rasa para khathath (penulis huruf Arab) sehingga muncul bentuk-bentuk huruf Nasakhi yang jelaa dan manis, Tsulusi yang anggun, Riq`ah yang ekspresif, Diwani yang terbelit, Farisi yang berirama seolah-olah hendak roboh ke kanan, dan bentuk-bentuk yang lain.
Disamping untuk menulis ayat-ayat al-Quran, surat-surat administrasi pemerintahan, kitab-kitab agama dan kitab-kitab ilmu pengetahuan, hurup Arab juga dijadikan hiaan untuk memperindah mesjid. Sampai sekarang, dua mesjid yang paling bersejarah dalam Islam, yaitu Mesjidil Haram di kota Mekah dan Mesjid Nabawi yang terletak di jantung kota Madinah, kalau kita masuk ke dalamnya akan tampak adanya kaligrafi dengan nilai artistik yang tinggi yang isinya mengagungkan nama Allah
Setelah Islam masuk ke Indonesia, dengan sendirinya al-Quran juga menjadi bacaan utama kaum muslimin. Putera-puteri di kawasan Nusantara juga belajar baca al-Quran serat khat Arab. Kitab-kitab agama, cerita-cerita kepahlawanan serta hikayat dan dongeng juga ditulis dalam hurup Arab. Khat kitab-kitab berbahasa Melayu di Jawa disebut hurup Arab Melayu. Sedangkan di kalangan orang Melayu, Malaysia dan Brunei hurup Arab itu disebut huruf Jawi. Pengiran Dr. Haji Muhammad bin Pengiran Haji Abd. Rahman menyatakan dalam Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) 2003, “Kesemua institusi dan dokumen (di Brunei Darussalam, Pen) menggunakan bahasa Melayu dan tulisan Jawi.” Yang dimaksud tulisan Jawi di sini adalah hurup Arab.
Sebelum hurup Latin masuk ke Indonesia menjelang abad ke 20, di Jawa, di samping hurup jawa, Huruf Arab digunakan untuk menuliskan karya-karya sastra. Tembang-tembang seperti “Serat Ambiya”, “Kisah Mi`raj”, “Riwayat Nabi Yusuf”ditulis dengan hurup Arab. Dan pada perkembangannya, khath Arab di Indonesia itu menemukan bentuk-bentuk yang khas. Dari naskah-naskah tua, baik tersimpan di beberapa museum, dan yang masih berada di tengah masyarakat ada bentuk-bentuk tertentu dan variasi Nasakhi-nya sangat kuat.
Selain itu, hurup Arab digunakan sebagai hiasan mesjid, hiasan batu nisan, dan sebagainya. Sebagai hiasan rumah muncullah kaligrafi lukisan kaca Cirebonan.
Lukisan kaca yang sebagian besar menampilkan kaligrafi kalimat-kalimat suci itu lalu berkembang di berbagai daerah bersama dengan gambar buraq, Mesjid al-Haram, Mesjid Nabawi, dan lain-lain. Kegiatan itu disambut oleh apresiasi masyarakat yang cukup terhadap seni Islam. Disayangkan, karena kualitas yang yang digunakan untuk lukisan kaca tidak tahan ratusan tahun, sekarang banyak lukisan kaca yang tinggal kacanya saja, lukisan sudah rusak dimakan zaman.
Menjelang abad kelima belas hijriyah, kegiatan berkaligrafi tidak hanya dilakukan oleh para khathath saja, tetapi juga oleh para pelukis. Pelukis kaligrafi tidak lagi menulis pada papirus, kertas dan dinding masjid, justru di atas kanvas dengan media cat minyak, akrilik atau media batik. Dari sinilah bermula lukisan kaligrafi.
Seorang seniman (dalam hal ini pelukis) adalah pengembara imajinasi dan pengembara ruhani yang tidak mengenal rasa lelah. Sebagai makhluk yang kreatif akan berupaya menampilkan bentuk-bentuk seni baru yang sebelumnya tak pernah ada di bumi ini. Karena itu, ia akan berusaha memacu daya khayal dan daya kreatifnya untuk menemukan sebuah puncak yang lain, tempat ia mengungkapkan esensi dirinya.
Dalam lukisan kaligrafi Islam, seorang Pelukis menemukan kebebasannya menuangkan imajinasinya melalui nuansa-nuansa warna yang kaya-raya, bahkan ditemukan pula bentuk-bentuk hurup Arab model baru yang berbeda dengan kaidah-kaidah penulisan yang telah baku sehingga tidak mustahil bila sesekali terdengar suara sumbang bahwa munculnya bentuk-bentuk hurup Arab model baru adalah penyimpangan, dan kejanggalan.
Pintu ijtihad kreativitas memang tidak pernah ditutup. Setiap pembaharuan dari hasil daya kreatif pada hakekatnya meninggalkan sesuatu yang sudah mapan, sedangkan matahari berputar dan zaman berjalan selalu menampilkan sesuatu yang baru.
Lukisan kaligrafi yang menggunakan media cat minyak di atas kanvas. Di samping itu Amri Yahya mencoba bereksperimen dengan media batik. Muncullah nama-nama seperti Ahmad Sadali, AD. Pirous, Amri Yahya, Amang Rahman, Syaiful Adnan, kemudia disusul oleh Abay D. Subarna, Yetmon Amier, Hatta Hambali, Hendra Buana, Sattar, Chusnul Hadi, dan lain-lain.
Menurut Soedarso Sp, seni lukis kaligrafi muncul setelah ada seni lukis abstrak, tidak ada gunung, pohon, dan langit, yang ada hanya garis, warna, tekstur, dan lain-lain. Di atas itu kaligrafi dilukiskan, yang tentu saja isinya disesuaikan dengan latar-belakang yang berupa lukisan abstrak itu untuk menjadi sebuah sajian komposisi yang padu. Disinilah imajinasi diberi ruang seluas-luasnya untuk menemukan nilai yang sangat berharga.
Dalam seni lukis kaligrafi, para pelukis berupaya menuangkan pengalaman spiritualnya dalam bentuk yang estetik seutuh mungkin. Ahmad Sadali tidak hanya menuliskan ayat-ayat al-Quran, lebih dari itu ia memadukan ayat itu dengan pengalaman spiritualnya dalam tekstur dan warna hasil renungan yang mendalam, seakan-akan warna dan tekstur itu abstraksi estetik dan batin sang Pelukis.
Amri Yahya menorehkan kaligrafinya di atas komposisi warna yang kadang ceria, tetapi pada saat yang lain dengan warna yang kelam biru kehijauan yang melukiskan kedalaman pengalaman ruhaninya.
Tidak kalah pentingnya upaya pelukis menemukan bentuk khath yang spesifik miliknya. AD. Pirous misalnya, selain ia menggunakan khath yang seperti dikembangkan dan khath Maghribi, ia juga berangkat dari khath yang bernuansa lokal, Aceh. Tetapi yang khas penemuan Pirous ialah bentuk hurupnya yang ekspresif yang sangat jelas sekali sosok kepribadiannya. Sayang sekali, dalam lukisan-lukisan Pirous yang saya amati, bentuk hurup ini tidak banyak digunakan.
Orang yang sangat percaya kepada bentuk khath-nya yang pribadi adalah Syaiful Adnan. Ia diciptakan bentuk hurup sendiri yang hampir tidak ada kaitannya dengan kaligrafi baku sehingga muncul khath gaya Syaiful. Ia membentuk ujung hurup-hurupnya runcing seperti duri dipadu jalinan dan kelindan antar-aksara engan sangat terampil dan teliti. Saking percayanya terhadap penampilan hurupnya yang mempribadi, ia merasa tidak perlu memainkan banyak warna. Lukisan-lukisan Syaiful rata-rata hampir monokrom.
Demikian pula Yetmon Amier yang hurup-hurupnya dikemas kubistik. Sumber khath-nya ditengarai dari khath Kufi, tetapi sudah dikembangkan sangat jauh dan digubah khusus untuk seni lukis sehingga bila diperhatikan jelas sekali sosok Yetmon-nya.
Hatta Hambali mengemas kaligrafinya dalam bentuk hurup yang terdiri dari pita panjang. Pita yang berupa hurup itu dilukis semi realis sehingga menjadi suatu yang otentik.
Tidak kalah otentiknya ialah Amang Rahman yang membuat hurup begitu unik. Ada permainan bayangan dan cahaya, serta titik yang dilukis menjadi lubang atau bolongan yang sangat dalam. Hal itu ditunjang dengan suasana biru yang menampilkan kesan mistis dan puitis.
Pada saat yang akan datang, bentuk-bentuk khath yang menjadi milik pribadi para pelukisnya perlu semakin digalakkan. Dan, untuk menemukan kepribadian dalam khath itu perlu perjuangan dan pencarian kreatif yang tidak kunjung lelah. Rasa taqarrub kepada Allah bisa menjadi spirit karena menorehkan kaligrafi tak lain sebagai tanda-tanda cinta kepada Allah dan ayat-ayat-Nya.
Tetapi, yang penting untuk dijadikan bahan renungan, apakah lahirnya karya seni dalam bentuknya yang baru itu berangkat dari getar kepekaan estetik atau tidak? Bila tidak lahir dari getar tali-temali rasa yang paling dalam, maka hasilnya tidak akan menyentuh. Tetapi, bila benar-benar lahir dari getaran estetik dan kemudian dicelup dengan sibghah (celupan) Allah, maka jadinya akan menjadi lukisan kaligrafi yang punya daya pesona tinggi yang tiada bosan-bosannya mata memandang. Penyair Iqbal berucap dalam salah satu penggalah sajaknya :
Dari manakah irama seruling mendapat kemerduan?
Dari getaran hati sang peniup, bukan dari potongan bambu
(Darb-l Khalim)
Pada hakekatnya, lukisan kaligrafi adalah ungkapan rasa religius seorang pelukis ke atas kanvas dengan bentuk hurup dan permainan warna yang mencerminkan kepribadian dan kedalaman jiwa pelukisnya. Penghayatan yang sepenuhnya terhadap hurup-hurup yang hendak digoreskan, penguasaan terhadap bidang dan warna benar-benar memancar dari suatu konsep penciptaan yang utuh.
Lukisan kaligrafi yang bermutu akan mampu membawa penikmatnya pada kesadaran transedental bahwa diatas dikehidupan ini, ada yang sangat dekat dan akrab dengan diri, yang rahmat-Nya selalu mengalir tiada henti, yaitu Allah.