Thursday, December 13, 2007
Wednesday, October 31, 2007
Following the City Through Sketches
Sketches and Photography Exhibition ‘MATA-MATA JOGJA’
Jogja Gallery, Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta
3 – 18 November 2007
Exhibition Participants: Denny ‘Snod’ Susanto / Deskhairi / M. Alfairuzha Hasby / M. Fadhlil Abdi / Masriel / Muji Harjo / WM. Hendrix
Tuesday, October 16, 2007
Dari Pameran ke Pameran
Sebuah Evaluasi untuk 1 Tahun Berdirinya Jogja Gallery [JG]
Hal-hal tersebut tak dipungkiri mempengaruhi psikologis kerja para staf Jogja Gallery sehari-hari. Memilih sumber daya manusia atau para staf untuk diposisikan pada masing-masing yang kompeten bidangnya. Untuk bersama sebagai tim yang solid, membangun sebuah galeri baru ditengah banyak sorotan, bangunan megah yang berposisi strategis di titik nol kilometer, fasilitas ruang pamer lebih dari galeri lainnya di wilayah Yogyakarta. Bagaimana bisa mendatangkan publik ke ruang pamer dengan tiket masuk. Dimana hal tersebut belum menjadi kebiasaan publik ketika mengunjungi ruang pamer. Memberikan persepsi positif untuk setiap kali even pameran yang diselenggarakan dengan target-target keberhasilan yang selalu dipertaruhkan.Tantangan-tantangan tersebut bukan hal mudah bagi kami para staf ketika menerima Jogja Gallery sudah sedemikian adanya. Apalagi bagi para staf yang belum mengetahui bagaimana hiruk pikuknya di belakang layar ketika memutuskan mendirikan Jogja Gallery. Mengapa brand color warna hijau yang dipilih. Mengapa desain arsitektur konvensional ala Keraton Yogya yang digunakan, dan seterusnya.
Terus-menerus menciptakan inovasi merupakan salah satu bagian dari bentuk survive yang dilakukan Jogja Gallery. Untuk sekadar bisa hidup, merupakan misi awal yang tak terlalu muluk di tengah kompetisi pasar seni rupa Indonesia. Pasar yang penulis nilai sebenarnya tidak cukup sehat baik di Indonesia mau pun global. Pembenahan pada level manajerial terus dilakukan berdasarkan berbagai ‘benturan’ yang ditemui langsung di lapangan. Pujian mau pun komplain diubah menjadi siasat dan strategi yang tak henti dibenahi untuk terus bisa bertahan. Maka manajemen Jogja Gallery sepakat untuk memaknainya sebagai manajemen yang terus berbenah. Suatu kebijakan atau ketentuan bahkan bisa terus diupdate per minggu guna mendapatkan kinerja yang lebih baik.
Dari September 2006 ke September 2007, tercatat telah menggelar 16 even pameran seni visual. Pada awal berdirinya Jogja Gallery, memang diniatkan dalam setahun pertama untuk menggelar pameran kelompok dengan media beragam, tidak melulu seni lukis. Hal tersebut diupayakan untuk mengakomodasi berbagai varian [media, aliran mau pun generasi perupa] yang ada di Indonesia terutama di Yogyakarta. Diharapkan dari misi tersebut di atas, Jogja Gallery mampu menempatkan posisinya terlebih dulu sebagai ruang pamer baru di Yogyakarta yang membuka dirinya bagi siapa pun. Kalau pun ada satu pameran tunggal yang pernah berlangsung ketika usia Jogja Gallery masih seumur jagung, yaitu pameran karya Hanafi (13 Januari – 2 Februari 2007), hal tersebut berdasarkan proposal masuk, dan pada akhirnya disetujui kurator dan manajemen Jogja Gallery. Maka definisi pameran tunggal di sini adalah pameran tunggal yang didanai, diorganisir dan dipromosikan sepenuhnya oleh pihak Jogja Gallery.
- Potensi profit pasar seni visual Indonesia yang memang masih dominan terhadap seni 2 dimensi, terutama seni lukis.
- Demikian halnya, respon tinggi untuk mempresentasikan karya-karya datang dari perupa-perupa 2 dimensi/seni lukis.
- Tuntutan [secara tidak langsung] internal Jogja Gallery untuk menampilkan karya-karya yang mengakomodasi selera mereka, paling tidak dalam waktu setahun tersebut.
- Hal teknis cukup menjadi pertimbangan penyelenggaraan pameran non 2 dimensi, misal ketersediaan alat dan infrastruktur pendukung, juga biaya yang lebih besar dibanding menyelenggarakan pameran 2 dimensi.
- Pameran seni lukis ‘Pallinjang: Salt Water’, kerja sama dengan Wollongong University, Australia (19 September – 20 November 2006).
- Pameran seni visual tunggal ‘Id: Hanafi’ karya Hanafi, kerja sama dengan O House Gallery, Jakarta (13 Januari – 2 Februari 2007).
- Pameran seni lukis ‘Bonding the Brotherhood between Tunisia and Indonesia’, bekerja sama dengan Kedutaan Tunisia di Jakarta (10 – 20 Februari 2007).
- Pameran seni visual ‘The Thousand Mysteries of Borobudur’, bekerja sama dengan UNESCO Office, Jakarta dan beberapa mitra lainnya (20 April – 9 Mei 2007).
- Pameran seni lukis ‘Bersemangat Meraih Cita-cita’, bekerja sama dengan Global Art, Yogyakarta (10 – 12 Agustus 2007).
* Penulis masih tercatat sebagai Program Manager Jogja Gallery dan terlibat sejak awal digelarnya pameran perdana ‘ICON: Retrospective’ di sana.
** Baca pula tulisan ‘Summary Pameran Jogja Gallery’ untuk lebih detailnya.
*** Buku referensi:
1. ‘How to Get Ahead in Business’, Richard Branson, Virgin Books, London, 1993.
2. ‘Managing Museums and Galleries’, Michael A. Fopp, Routledge, New York, 1997
3. ‘Art Marketing 101: A Handbook for the Fine Artist’, Constante Smith, Artnetwork, USA, 2002
4. Berbagai sumber.
Saturday, October 06, 2007
Thursday, October 04, 2007
SETELAH 20 MEI*
SETELAH 20 MEI*
Jogja Gallery, Yogyakarta, 20 Mei - 8 Juni 2008
Dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA, pada 20 Mei 1908 di Jakarta secara resmi terbentuk perhimpunan nasional Indonesia, Budi Utomo. Secara mendasar perhimpunan itu bertujuan untuk mencapai keharmonisan bangsa dengan memajukan sektor pendidikan, pertanian, peternakan, perdagangan, teknologi dan kebudayaan; serta bertujuan meningkatkan citra bangsa menjadi lebih terhormat dengan cara mempersatukan bangsa dengan mencapai kemerdekaan. Sepenuh-penuhnya.
- Manuel Kaisiepo, ”Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo, Dari ”Kebangkitan Jawa” ke ”Kebangkitan Nasional”, dalam JB. Kristanto (ed.), Seribu Tahun Nusantara, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2000.
- Akira Nagazumi, The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of the Boedi Oetomo, 1908-1918, Tokyo Institute of Developing Ecomonic, 1972. / [Versi Bahasa Indonesia] Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908 – 1918, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1989
- Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985.
- Takashi Shiraishi, ”Impian Mereka Masih Bersama Kita”, dalam JB. Kristanto (ed.), Seribu Tahun Nusantara, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2000.
- Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jakarta: Gramedia, 1999.
- Kompetisi bersifat terbuka, berskala nasional, tanpa batasan usia.
- Peserta perorangan atau kelompok.
- Jenis dan media berkarya bebas.
- Karya harus asli, didasarkan pada ide yang orisinal, tidak sedang diikutkan dalam kompetisi yang lain dan bersedia untuk dijual.
- Ukuran untuk karya 2 dimensi tidak melebihi 300 x 300 cm.
- Ukuran untuk karya 3 dimensi 100 x 100 x 300 cm.
- Sedangkan seni instalasi/ multimedia menyesuaikan.
- Selain artistik, tema karya berdasarkan sejarah yang relevan atau berbasis pada kesadaran kreatif dalam berbangsa, serta menciptakan situasi yang membuka peluang bagi kemajuan bangsa di segala aspek (lebih khusus lihat paragraf akhir dalam pengantar pengumuman ini).
- Wajib menyertakan foto karya yang diikutkan seleksi tahap pertama, dengan ukuran 10 R-glosy, dikirim bersama dengan konsep karya, biodata & foto perupa serta informasi detail karya, diketik rapi.
- Khusus untuk karya 3 dimensi, harap memberikan foto detail karya.
- Khusus untuk karya multimedia, harap menyertakan berkas karya pendukung, misal CD interaktif dan sebagainya.
- Panitia tidak menerima kiriman foto karya dan sebagainya melalui surat elektronik (email).
- Seleksi tahap pertama, 20 Maret 2008, dengan materi seleksi foto karya; sehingga sangat diharapkan foto karya diterima oleh panitia paling lambat tanggal 15 Maret 2008, pukul 21.00 WIB [bukan cap pos].
- Seleksi tahap kedua, 10 April 2008 Ã peserta mengirim karya secara langsung dengan ke Jogja Gallery.
- Setiap karya yang masuk dalam pameran adalah yang berhasil melalui 2 tahap penjurian. Karya-karya yang tidak lolos seleksi tahap kedua bisa diambil kembali oleh peserta.
- Sekitar 50 karya terpilih akan dipamerkan dalam pameran seni visual 100 tahun Kebangkitan Nasional ‘Setelah 20 Mei’, di Jogja Gallery, 20 Mei – 8 Juni 2007.
- Dewan juri akan menetapkan 5 besar karya terbaik dan akan mendapatkan penghargaan berupa uang masing-masing Rp. 3.000.000,- dan sertifikat.
- Pengumuman pemenang pada tanggal 1 Mei 2008 akan diumumkan baik secara personal maupun melalui situs kami.
- Keputusan dewan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
- Hal-hal lain yang belum jelas dapat ditanyakan ke Jogja Gallery.
- Prof. Soedarso Sp. MA. (Sejarawan Seni & anggota dewan penasehat Jogja Gallery)
- dr. Oei Hong Djien (Kolektor & anggota dewan penasehat Jogja Gallery)
- Mikke Susanto, S.Sn. (Staf Pengajar FSR ISI Yogyakarta & Kurator Jogja Gallery)
Panitia Kompetisi Seni Visual ’100 th Kebangkitan Nasional’
Nunuk Ambarwati [+62 81 827 7073]
R. Daru Artono [+62 856 4389 8779]
Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta 55000
Telepon +62 274 419999, 412021
Telepon/Fax +62 274 412023
Telepon/SMS +62 274 7161188, +62 888 696 7227
Email : jogjagallery@yahoo.co.id
info@jogja-gallery.com
www.jogja-gallery.com
Wednesday, September 19, 2007
Summary Pameran Jogja Gallery
TENTANG JOGJA GALLERY [JG]
Daerah Istimewa Yogyakarta [DIY] merupakan kota budaya, bersejarah dan potensial untuk dikembangkan menjadi salah satu pusat tujuan pariwisata internasional. Sebagai kota yang memiliki kekayaan seni dan seniman-seniman bertaraf dunia, Yogyakarta memerlukan gebrakan baru dalam memfasilitasi potensi tersebut, dan hal yang belum dimiliki adalah sebuah galeri seni dengan kualitas dan tekonolgi bertaraf internasional. Untuk itu Jogja Galleru hadir di tengah-tengah pesatnya perkembangan seni visual Indonesia
Jogja Gallery [JG], sebagai ‘Gerbang Budaya Bangsa’ berdiri di Yogyakarta, 19 September 2006. Diresmikan penggunaannya oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta [DIY], Sri Sultan Hamengku Buwono X. Bertempat di 0 (nol) kilometer atau Alun-alun Utara, berada di kawasan heritage, pusat kota Yogyakarta, menempati bekas gedung bioskop Soboharsono (berdiri 1929) yang telah berfungsi sejak jaman penjajahan Belanda. Jogja Gallery sebagai galeri seni visual yang didirikan oleh PT Jogja Tamtama Budaya, bekerja sama dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (selaku pemilik tanah dan bangunan) membawa peran penting yaitu sebagai media pertemuan antara pekerja seni dengan masyarakat luas. Program pelayanan publik yang telah dirancang antara lain pameran berkala, kerja sama non pameran, friends of Jogja Gallery, perpustakaan, art award forum, lelang karya seni, art shop, kafe dan restoran.
STRUKTUR ORGANISASI JOGJA GALLERY
Dewan Pengawas : KGPH Hadiwinoto, Bambang Soekmonohadi
Dewan Penasehat : Dr. Oei Hong Djien, Prof. Soedarso SP, M.A.
Direktur Utama : Sugiharto Soeleman
Direktur Pengembangan : Soekeno
Direktur Eksekutif : KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno
Kurator : Mikke Susanto
Manajer Program : Nunuk Ambarwati
Manajer Keuangan : Endah Wahyuningsih
Sekretaris : Elly A. Mangunsong, Herdhiningrum Oktya Dewi
Staf Keuangan : Kusuma Febriani Putri
Staf Pameran : R. Daru Artono, Puji Rahayu, Norisma Andi S
Staf Teknis : Nanang Sukriyanto, FX. Dwi Hartanto
Staf Umum : Mudita Arya Kirana, Kuwat
Resepsionis : Suprapti
Staf Keamanan : Soni, Tri, Nur & PT Total Security
Desainer grafis : Dimas Bayu Arfianto
Penjaga pameran : Junia Sriwiwita, Zulfan Siahaan, Jeffer Simangunsong
Office boy & cleaning service : CV Yogya Yatra
Jam buka galeri – Selasa – Minggu; Senin tutup, pukul 09.00 – 21.00 WIB
Tiket masuk – Rp. 3.000,- / orang
Jogja Gallery [JG]Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta 55000
Telepon +62 274 419999, 412021
Telepon/Fax +62 274 412023
Telepon/SMS +62 274 7161188, +62 888 696 7227
Email : jogjagallery@yahoo.co.id
info@jogja-gallery.com
http://www.jogja-gallery.com/
PAMERAN SENI VISUAL DI JOGJA GALLERY
SEPTEMBER 2006 – SEPTEMBER 2007
1+ 2 a. Pameran Seni Visual ‘ICON: Retrospective’ (19 September – 20 November 2006)Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: M. Dwi Marianto dan Mikke Susanto
Seniman peserta: Affandi, Fadjar Sidik, Widayat, Aming Prayitno, Edhi Sunarso, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, G. Sidharta, Sudarisman, Suatmadji, FX. Harsono, Bonyong Munny Ardhi, Hardi, Haris Purnama, Tulus Warsito, Ivan Haryanto, Ronald Manullang, Dede Eri Supria, Moelyono, Studio ‘Brahma Tirta Sari’: Agus Ismoyo & Nia Fliam, Eddie Hara, Heri Dono, Agus Kamal, Boyke Aditya, Nengah Nurata, Ivan Sagita, Sutjipto Adi, Lucia Hartini, Linda Kaun, Nindityo Adipurnomo, Mella Jaarsma, Dadang Christanto, Anusapati, Djoko Pekik, Entang Wiharso, Nasirun, Hedi Hariyanto, Agus Suwage, Agung Kurniawan, Hanura Hosea, Kelompok Seni Rupa Jendela, Made Sumadiyasa, Made Sukadana, Putu Sutawijaya, Nyoman Sukari, Noor Sudiyati, Iwan Wijono, Ugo Untoro, S. Teddy D, I Nyoman Masradi, Kelompok Apotik Komik, Komunitas Seni & Budaya Taring Padi, Ruang MES 56, Eko Nugroho & Daging Tumbuh, Abdi Setiawan, Budi Kustarto, the House of Natural Fiber, Yuli Prayitno, pameran ‘Yogyapan-Jepangkarta’: Seiko Kajiura, Yogyakarta Urban Art Movement, Sigit Santoso.
Pameran ini merupakan penanda berdirinya Jogja Gallery. ‘ICON’ mengetengahkan berbagai fenomena, karya atau person yang menjadi tajuk penting pada era 1970-2000 di Yogyakarta. Melalui pameran yang bersifat retrospektif semi dokumenter ini, Jogja Gallery berharap sebagai bentuk awal dari bentuk penghargaan dan terima kasih kami kepada para perupa yang terlibat dan mewarisi dan mengembangkan seni-budaya yang mewarnai budaya kota Yogyakarta ini.
b. ‘Pallingjang : Salt Water’ (19 September – 20 November 2006)Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: Peter O’ Neill
Seniman peserta: Jo Davis, Robyn Charles, Charles Wilson, Ben Brown, Kevin Maxwell Butler, Marylin (Mally) Smart, Garry Jones, Reggie Ryan, Leanne Morris, Vicki Slater, David Dunn, Lindy Lawler, Lynette Moylan, Gwendolin Stewart, Val Saunders, Jodi Stewart, Georgina Parson, Mathew Carriage.
Pameran koleksi seni lukis Aborigin bekerja sama dengan Wollongong University, Australia.
Merupakan pameran yang menampilkan karya seniman Aborigin dari Illawarra dan South Coast Australia.
3+4 a. ‘Young Arrows: 40 Perupa Muda Terdepan Indonesia’ (2 Desember – 5 Januari 2007)Sifat pameran: kelompok, undangan dan kompetisi terbuka
Kurator: M. Dwi Marianto dan Mikke Susanto
Seniman peserta: AC. Andre Tanama, Ade Darmawan, Adi Gunawan, Agus Yulianto, Ahmad Sobirin, Ayu Arista Murti, Caroline Rika Winata, Anang Asmara, AT. Sitompul, Dadi Setiyadi, Dewa Ngakan Made Ardana, Dewi Aditya, Dipo Andi, Eddy Sulistyo, Feri Eka Chandra, G. Prima Puspitasari, Heri Purwanto, I Made Gede Surya Darma, I Made Arya Palguna, I Wayan Kun Adnyana, I Wayan Sudarna Putra, I Wayan Upadana, Januri, AG. Kus Widananto a.ka. Jompet, Laksmi Sitharesmi, M. Yusuf Siregar, Moch. Sofwan Zarkasi ‘Kipli’, Nano Warsono, Polenk Rediasa, Samsul Arifin, Saroni, Setu Legi a.k.a Hestu, Suroso [Isur], Teguh Wiyatno, Terra Bajragosha, Wahyu Santosa, Waluyohadi, Wedhar Riyadi, Wibowo Adi Utama, Wimo Ambala Bayang.
Mengapa diberi judul Young Arrows yang terjemahan harafiahnya ‘anak-anak panah muda’? Frase metaforik ini menerangkan pameran kedua di Jogja Gallery yang mengupayakan hadirnya karya-karya sejumlah perupa yang usianya paling tua 35 tahun. Via pameran ini Jogja Gallery menganggap perlu mengumpulkan karya yang secara menarik merefleksi jaman dari para perupa muda untuk dipamerkan bersama, dilihat secara keseluruhan, guna dimaknai sebagai salah satu fenomena perkembangan kesenirupaan negeri ini.
b. ‘Rhytm and Passion’ (2 Desember – 5 Januari 2007)Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: M. Dwi Marianto dan Mikke Susanto
Seniman peserta: Askanadi, Made Wiguna Valasara, Beatrix Hendriani Kaswara, Nanda Hanifa Kamal, I Wayan Sudjana ‘Suklu’, Yon Indra, Yunizar.
Pameran ini memperlihatkan kecenderungan lain yang menarik dalam perkembangan seni lukis di Indonesia dewasa ini. Kecenderungan yang digulirkan, meskipun secara kuantitas (jika dibandingkan jumlah perupa di Indonesia) terbilang kecil, namun penting dikemukakan sebagai bukti atas bergeraknya dunia pemikiran seni rupa. Kecenderungan menarik yang dimaksud adalah mengarah ke penggunaan salah satu unsur penting dalam kajian seni rupa: garis.
5. ‘Id : Hanafi’ (13 Januari – 2 Februari 2007)
Sifat pameran: tunggal, pameran keliling
Kurator: Jim Supangkat dan Arief Ash Sidiq
Seniman: Hanafi
Pameran tunggal karya seniman Hanafi yang merupakan kerjaa sama O House Gallery, Jakarta dengan Jogja Gallery. Pameran ini merupakan bagian dari pameran keliling Hanafi, yang dikenal dengan karya abstraknya, dimana sebelumnya diselenggarakan di Galeri Nasional, kemudian ke Jogja Gallery, ke Bali dan selanjutnya ke Barcelona, Spanyol.
6+7 a. ‘Bonding the Brotherhood between Tunisia and Indonesia’ (10 – 20 Februari 2007)Sifat pameran: kelompok
Seniman peserta: Abdelmaksoud Najoua, Belkhodja Nejib, Bellagha Ali, Ben Yahia Basma, Bouderbala Meriem, El Bekri Abdelmajid, Gorgi Abdelaziz, Hajjeri Ahmed, Hnene Mokhtar, Karabibene Halim, Mehdaoui Nja, M’Naouar Asma, Thabouti Adbelhamid, Thabti Neji, Zouari Mohamed.
Kerjasama dengan Kedutaan Besar Republik Tunisia di Jakarta– sebuah pameran seni lukis karya 16 seniman asal Tunisia. Pameran ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan antara dua komunitas: negara, bangsa dan rakyat Tunisia dan Indonesia.
b.‘Agraris Koboi!’ (10 – 20 Februari 2007)
Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: Mikke Susanto
Asisten kurator: Yohanes Sumaryanto Nurjoko
Seniman peserta: Agus Yulianto, Arie Dyanto, Decky ‘Leos’ Firmansyah, Eko Dydik ‘Codit’ Sukowati, ‘Iyok’ Prayogo, Iwan ‘Pandir’ Effendi, Krisna Widyathama, Nano Warsono, Riono Tanggul a.ka. Tatang, Uji ‘Hahan’ Handoko, Wedhar Riyadi.
Pameran ini mengetengahkan fenomena seni rupa kontemporer di Yogyakarta yang konon masih dianggap sebagai bagian dari kultur besar [sub kultur]. Memberi ketegasan untuk menandai mereka, perupa peserta pameran, dalam satu gaya/fenomena yang di sela berbagai kecenderungan yang berkembang di Yogyakarta.
8. Pameran dan bursa seni lukis ‘EKSISTEN’ (27 Februari – 25 Maret 2007)
Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: Mikke Susanto
Exhibition advisor: Heri Pemad
Seniman peserta: Agus Triyanto BR, Aji Yudalaga, Anang Asmara, Anggar Prasetya, Andy Wahono, Bambang Herras, Dedy Maryadi, Denny ‘Snod’ Susanto, Didik Nurhadi, Erizal AS, Hadi Soesanto, Hamdan, Herly Gaya, I Gusti Ngurah Udiantara, I Nyoman Darya, Iwan Sri Hartoko, Julnaidi MS, Kusmanto, Luddy Astaghis, M. Andi Dwi, Nanang Warsito, Nasirun, Nico Siswanto, Niko Ricardi, Oskar Matano, Robi Fathoni, Saepul Bahri, Riduan, Slamet ‘Soneo’ Santoso, Setyo Priyo Nugroho, Sito Pati, Stefan Buana, Wara Anindyah.
Pameran ini diselenggarakan turut merespon pasar malam dan agenda tahunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat: SEKATEN. Dalam pameran ini perupa diharapkan dapat memberi sumbangan kreatif berupa karya-karya yang memiliki tema untuk mengingat kembali keberadaan dan sejarah kota Yogyakarta. Hal ini menarik dilakukan agar publik merasakan kembali bagaimana kota Yogyakarta yang telah berusia 250 tahun ini berjalan.
Meskipun pameran ini pada dasarnya mendukung gebyar pasar malam SEKATEN, tetapi juga menyimpan tujuan yang sangat berarti yaitu memberi rangsangan untuk mengingat berbagai kejadian dan situasi yang telah, sedang dan mungkin akan terjadi di Yogyakarta. Gambaran-gambar tentang berbagai aktivitas (yang menjadi perhatian banyak orang Jogja), polemik (tentang berbagai kebijakan dan kejadian kota), atau ruang-ruang publik Jogja dapat dikaitkan dengan isi dan tema karya yang akan dipamerkan dalam pameran ini. Adapun secara konsep teknis dan visual, pameran ini membuka peluang terhadap berbagai gaya, pendekatan visual maupun aliran pemikiran.
9+10 ‘Domestic Art Objects & StillLife’ (1 – 15 April 2007)
Sifat pameran: kelompok, undangan dan kompetisi terbuka
Kurator: Mikke Susanto
Asisten kurator: Ronald Apriyan
Exhibition advisor: Eko Agus Prawoto dan Hermanu
Seniman peserta: Yani Mariani Sastranegara, Hardiman Radjab, Eko Agus Prawoto, F. Sigit Santoso, I Wayan Sudjana ‘Suklu’, Awan Simatupang, I Wayan Cahya, Hadi Soesanto, Noor Ibrahim, Probo, M. Pramono Irianto, Ali Umar, Hedi Hariyanto, Kokok P Sancoko, Grace Tjondronimpuno, Sri Maryanto, Alexis, Waluyohadi, Prilasiana, Indrayanti, Aji Yudalaga, Putu Agus Sumiantara, Ketut Moniarta, Dieta Gambiro, Made Dodit Artawan, Eka Kusumatuti, Hariadi Nugroho, Made Gede Wiguna Valasara, I Putu Aan Juniarta, Khusna Hardiyanto, Koes ‘Doyok’ D, Mochammad Jamaludin, Winarso, Yulius Heru P, Vani HR.
Pameran ini adalah sebuah contoh bagaimana perupa menghilangkan sekat-sekat disiplin seninya. Ia bahkan juga bertindak menghilangkan batas-batas konvensi seni. Lalu melahirkan ’kesan antara’ benda seni dan bukan, menghilangkan perbedaan antara benda fungsi dan bukan, atau mencerai-berai status antara benda elite dan massal. Dalam pameran ini, 35 perupa (dari Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Solo, Bali, Surabaya) secara khusus mengolah benda-benda keluarga atau rumah tangga. Mereka boleh mengungkapkan ide-idenya dengan pendekatan yang berbeda. Hasilnya terlihat bahwa pendekatan parodi dan formalisme menjadi pilihan yang sering dipakai. Sehingga yang muncul di sana adalah kesan unik, kontekstual, sekaligus cerdas menyiasati ruang. Dengan begitu, Anda sebagai penonton disuguhi karya-karya yang memiliki spirit belajar dan bermain. Inilah perjalanan proses kreatif ‘baru’ dari refleksi budaya kontemporer. Dimana simplicity, dekonstruktif, interaktif, dan konseptual menjadi nilai investasinya.
11. ‘The Thousand Mysteries of Borobudur’ (20 April – 9 Mei 2007)
Sifat pameran: kelompok, undangan & kompetisi terbuka
Kurator: Mikke Susanto
Seniman peserta: Affandi, Daoed Joesoef, Srihadi Soedarsono, IGN Hening Swasono PH, Pius Sigit Kuncoro, Dani Agus Yuniarta, Ismail, Ismanto, Heri Purwanto, Toni Ja’far, Riduan, I Made Supena, Agung ‘Tato’ Suryanto, Andi Hartana, Arif Sulaiman, Cipto Purnomo, Eko ‘Kota’ Haryono, Endra, Erianto, Erizal AS, Gatot Indrajati, Ismed [SAJO], Mufi Mubaroh, Setiawan Nugroho, Setyo Priyo Nugroho, Ugy Sugiarto, Slamet ‘Soneo’ Santoso, Studio Samuan, M. Faizal R, I Gede Made Surya Darma, Marselli Sumarno, Jay Subiakto, Garin Nugroho, Sigit Ariansyah.
Merupakan pameran seni visual hasil kerjasama dengan UNESCO Office, Jakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI dan Jogja Gallery, yang menggandeng mitra kerja Universitas Gadjah Mada [UGM] Yogyakarta, PT Taman Wisata Candi, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur dan Jogja Film Commission. Pameran yang dibuka Jumat, 20 April 2007, menandai bahwa Borobudur telah hidup kembali. Lewat tampilan-tampilan seni visual dari berbagai karya baik lukisan, patung, grafis, fotografi, video dan sebagainya sebagai sebentuk ‘saksi’ atas eksistensi Borobudur. Disamping itu pula, terselenggaranya pameran ini merupakan hasil kerja sama yang harmonis dari berbagai kalangan, baik swasta mau pun pemerintah guna lebih meningkatkan, mendukung dan mempromosikan pariwisata dan kebudayaan Indonesia, yang merupakan tanggung jawab semua pihak.
Dalam kaitan pameran ini, penyelenggara juga menggelar serangkaian program edukasi yang bekerja sama dengan berbagai pihak. Berbagai program edukasi tersebut akan difokuskan pada isu terkini perihal Borobudur dan warisan saujana yang melingkupinya. Program edukasi ini menjadi dianggap poin penting pula dalam rangkaian kegiatan ini oleh pihak penyelenggara, terutama UNESCO, sebagai salah satu bentuk pendidikan alternatif kepada kalangan akademisi untuk lebih mensosialisasikan berkaitan dengan banyak displin ilmu [sejarah, arsitektur, arkeologi, seni rupa, religi dan sebagainya] mengenai Candi Borobudur.
12. ‘Transposisi : Lukisan-lukisan Kolektor Jateng –DIY’ (22 Mei – 26 Juni 2007)Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: Mikke Susanto
Exhibition advisor: Dr. Oei Hong Djien
Kolektor peserta pameran: Alexander Ming, Butet Kertaredjasa, Bambang Soekmonihadi, Deddy Irianto, Deddy PAW, Harsono, Hasan Berlian/Siswanto HS, Nasirun, Oei Hong Djien, Oki Widiyanto, Rahadi Saptata Abra, Simon Tan Kian Bing, Soekeno, Sugiharto Soeleman.
Seniman peserta pameran: Affandi, Agus Kamal, Anthony David Lee, Anton Huang, Amri Yahya, Bambang Darto, Bagong Kussudiardja, Budi Ubrux, Erica Hestu Wahyuni, Fadjar Sidik, Gusti Alit Cakra, Gusmen Hariadi, Hardi, Handiwirman Saputra, Hendra Gunawan, Ivan Sagita, Liu Guoqiang, Lucia Hartini, Nashar, Otto Djaja, Pupuk Daru Purnomo, S. Soedjojono, Semsar Siahaan, Sugiyo Dwiharjo, Suatmadji, Tulus Warsito, Vincent van Gogh.
Melalui pameran ini diundang sejumlah kolektor. Mereka menampilkan koleksi mereka yang secara khusus mewakili tujuan dari aksi mengoleksinya. Mereka rata-rata tinggal di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta [DIY]. Memamerkan koleksi lukisan para kolektor, merupakan upaya Jogja Gallery untuk memberikan apresiasi kepada para kolektor, betapa kiprah mereka telah memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan peradaban seni rupa Indonesia. Sekaligus juga memberikan kesempatan kepada masyarakat umum, untuk memasuki ‘alam’ dunia koleksi, sehingga diharapkan dapat memberikan dorongan terhadap pertumbuhan masyarakat kolektor.
13. Pameran seni visual Post-Kaligrafi - ‘Kalam dan Peradaban’ (7 Juli – 12 Agustus 2007)
Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: Mikke Susanto
Seniman peserta: Agus Kamal, Arahmaiani, AD. Pirous, Anwar Sanusi, Abay D. Subarna, Alperd Roza, Chusnul Hadi, D. Sirojuddin AR, Erna Garnasih Pirous, Hendra Buana, Is Hendri Zaidun, Ismanto, KH. Mustafa Bisri, M. Pramono Irianto, Meri Suska, Muhammad Zuhri, Nasirun, Nasrul, Rispul, Robeth Nasrullah, Sunaryo, Salamun Kaulam, Syahrizal Koto, Syaiful Adnan, Titarubi, Tulus Warsito, Yetmon Amier, KH. D. Zawawi Imron, Zulkarnaini.
Sepanjang masa, kaligrafi telah dikenal sebagai sebuah kebudayaan tersendiri. Kaligrafi mendapat tempat terhormat dalam perkembangan seni Islam, termasuk yang terjadi dalam bidang arsitektur sampai ke syair. Kaligrafi adalah dasar dari seni perangkaian titik-titik dan garis-garis pada pelbagai bentuk dan irama yang tiada habisnya serta tidak pernah berhenti merangsang ingatan (dzikir) akan situasi hati.
Kaligrafi adalah sebutan yang mengarah pada penjelmaan perasaan seseorang, melewati huruf. Penjelmaan jiwa duniawi yang secara terus-menerus memberi pesan spiritual. Menurut Hossein Nasr, beberapa pokok penting dalam kaligrafi misalnya: pertama, mengenai hubungan atau pertalian asal seni ini antara Ali (wakil par excellece dari esoterisme Islam setelah Nabi) dengan beberapa tokoh spiritual Islam pertama yang dipandang sebagai kutub tasawuf dalam Islam Sunni serta imam-imam Syafi’i. Kedua, kaligrafi ditulis oleh tangan-tangan manusia yang terus dipraktikkan secara sadar sebagai emulasi manusia terhadap Tindakan Tuhan, meskipun “jauh dari sempurna”. Ketiga, kaligrafi tradisional didasari oleh sebuah ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk dan irama geometris yang tepat.
14. Pameran seni lukis Creative Drawing Exhibition - karya anak-anak siswa Global Art ‘Bersemangat Meraih Cita-cita’ (10 – 12 Agustus 2007)
Jika kita berbicara tentang pameran lukisan;, pastilah yang terlintas dalam benak kita adalah hasil karya seniman dewasa profesional, dengan seluruh sisi pandang seni dan pola pikir yang mungkin hanya bisa dinikmati oleh golongan tertentu. Atribut aliran; yang dikenakan pada lukisan pun beraneka ragam, seperti: aliran realis, surrealisme, abstrak, dan lain sebagainya.
Namun kapankah kita pernah melihat sebuah pameran lukisan hasil karya anak-anak? Global Art Jogja mengadakan sesuatu yang berbeda dari pameran biasanya, yaitu pameran karya anak; yang menampilkan lukisan siswa-siswi Global Art yang tentu saja sebagai anak-anak, mereka masih polos, naif, namun penuh semangat, disiplin, berdedikasi, dan potensial! Pameran tersebut akan dikemas dengan profesional, termasuk acara lelang lukisan untuk tujuan sosial, sehingga siswa-siswi dapat menjadi insan yang peduli dengan orang lain dan membanggakan orang tua mereka.
Tujuan pameran ini adalah kami mengarahkan aktivitas seni; sebagai jembatan siswa-siswi untuk menapaki kehidupannya. Satu langkah pertama yang penting namun (disayangkan) sering terabaikan adalah membuat CITA-CITA.
15. Pameran Seni Visual dalam rangka turut memperingati 200 Tahun Raden Saleh, dengan tema ‘Ilusi-Ilusi Nasionalisme’ (18 Agustus – 9 September 2007).Sifat pameran: kelompok, undangan & kompetisi terbuka
Kurator: Mikke Susanto
Seniman peserta pameran: Abay D. Subarna, Ahmad Sobirin, AS. Kurnia, Astari Rasjid, Askanadi, Andy Wahono, Anang Asmara, Bambang Pramudiyanto, Bambang Sudarto, Budi Kustarto, KH. D. Zawawi Imron, Denny ‘Snod’ Susanto, Dadi Setiyadi, Dani Agus Yuniarta, Deni Junaedi, Dyan Anggraini Hutomo, Doel AB, Elyezer, Eddy Sulistyo, Eduard [Edo Pop], Eko Didyk ‘Codit’ Sukowati, Gatot Indrajati, Gusar Suryanto, Hanafi, Haris Purnomo, Heri Dono, Ivan Sagito, Imam Abdillah, Made Wiguna Valasara, Melodia, Mulyo Gunarso, Nana Tedja, Nanang Warsito, Nurkholis, Putut Wahyu Widodo, Pius Sigit Kuncoro, Pintor Sirait, R. Aas Rukasa, Riduan, Rosid, Ronald Manullang, Rudi Winarso, S. Teddy D, Samsul Arifin, Suraji, Suroso [Isur], Ugy Sugiarto, Willy Himawan, Wilman Syahnur, Yuswantoro Adi.
Pameran ini dilaksanakan dalam rangka turut menyemarakkan hari Kemerdekaan RI yang ke-62 dan memperingati eksistensi almarhum Raden Saleh Syarif Bustaman. Pameran yang diselenggarakan secara reguler oleh Jogja Gallery kali ini bersifat pameran kelompok, berskala nasional [diikuti oleh kurang lebih 40 perupa Indonesia] dan akan mengetengahkan karya-karya terkini perupa Indonesia yang mengambil inspirasi dari ikon seni Indonesia pertama yang berhasil mempengaruhi dan memperkenalkan Indonesia kepada dunia luar, yaitu Raden Saleh Syarif Bustaman. Dalam pameran ini kami mengajak para perupa ternama Indonesia untuk secara khusus mencermati lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, bukan yang lain. Karena dengan lukisan ini semangat nasionalisme (oleh sebab itu pameran ini diselenggarakan pada bulan Agustus yang sakral bagi bangsa Indonesia), hendak diuji kembali, dikaji kembali dalam bentuk apa saat ini nasionalisme tersebut berjalan. Dalam beberapa hal, lukisan Raden Saleh ini juga memuat misteri yang tidak saja visual, namun juga dapat melahirkan lagi misteri dan ilusi-ilusi tentang berhagai hal yang lain. Dalam pameran ini juga dipamerkan reproduksi karya lukisan Raden Saleh Syarif Bustaman ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro’ yang merupakan koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta [Gedung Agung].
16. Pameran Seni Visual 1st Anniversary of Jogja Gallery ‘Portofolio #1’
(19 September – 21 Oktober 2007)Sifat pameran: kelompok, terbuka
Kurator: Mikke Susanto
Alexis, Andy Wahono, Antoni Eka Putra, Anthony David Lee, Arie Dyanto, AT. Sitompul, Catur Bina Prasetya, Denny ‘Snod’ Susanto, Deddy PAW, Didik Nurhadi, Dadi Setiyadi, Djoko Pekik, Donna Prawita Arrisuta, Erizal AS, Feri Eka Chandra, Hamdan, Hari Budiono, Heri Purwanto, KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno, I Gede Made Surya Darma, I Gusti Ngurah Udiantara, I Made Arya Palguna, I Made Supena, Iwan Effendi, I Wayan Cahya, I Wayan Sujana ‘Suklu’, I Wayan Sumantra, Januri, Luddy Astaghis, Mikke Susanto, M. Irfan, Made Wiguna Valasara, Muji Harjo, Mulyo Gunarso, Nanang Warsito, Nasrul, Nasirun, Nadiah Bamadhaj, Nico Siswanto, Niko Ricardi, Puji Rahayu, Riduan, Robi Fathoni, Saftari, Suraji, Syahrizal Zain Koto, Suroso [Isur], Wahyu Santosa, Wibowo Adi Utama, Yani Mariyani Sastranegara.
Pameran reportatif mengenai perjalanan pameran seni visual di Jogja Gallery sepanjang tahun 2007 sekaligus merayakan eksistensi 1 tahun berdirinya Jogja Gallery. Dalam pameran ini akan ditampilkan kembali karya-karya terbaru dari seniman-seniman yang pernah pameran di Jogja Gallery.
Tuesday, July 10, 2007
Sekitar Pencarian Bentuk Dalam Kaligrafi
Makalah disampaikan dalam diskusi pendukung
Pameran seni visual Post-Kaligrafi ’Kalam & Peradaban’
Tema: ’Lokalitas & Seni Kaligrafi di Indonesia’
Jogja Gallery, Yogyakarta, Minggu, 8 Juli 2007 / pukul 09.00 – 11.00 WIB
Bismillahhirrahmanirrahim
Makalah ini teramat sempit untuk memberikan gambaran sejarah kaligrafi Arab dengan
lika-liku perjalanan yang sangat panjang. Tetapi, yang patut dicatat bahwa sebelum Islam, huruf Arab yang berasal dari Hieroghlip. Kemudian dari era ke era menemukan bentuk yang dikenal sebagai khath kufi, bentuknya masih sangat sederhana, dan sulit dibaca oleh orang yang bukan Arab karena belum ada titik, dan belum memakai harakat seperti yang berkembang kemudian.
Kedatangan Muhammad Rasulullah SAW dengan kitab suci al-Quran telah membawa perubahan bagi penyempurnaan huruf Arab. Meskipun Muhammad seorang Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis), tetapi ia sangat menekankan betapa pentingnya kamum Muslimin untuk belajar membaca dan menulis. Musuh yang ditangkap dan menjadi tawanan perang, kemudian dibebaskan setelah berhasil mengajar anak-anak muslim membaca dan menulis. Hal ini dimaksudkan agar ummatnya dapat dengan mudah menulis dan mempelajari al-Quran.
Dari zaman pemerintahan Khulafaurrasyidin, kemudian zaman Bani Umayyah, sampai zaman keemasan kebudayaan Islam pada pemerintahan Daulat Abbasiyah, khath (kaligrafi) Islam semakin memenuhi syarat untuk menuliskan firman-firman Allah, bukan karena bentuknya yang semakin sempurna, tetapi lebih dari itu nilai keindahannya yang semakin tinggi. Keindahan irama bahasa yang penuh pesona pada al-Quran agaknya diusahakan tercermin pada kehalusan rasa para khathath (penulis huruf Arab) sehingga muncul bentuk-bentuk huruf Nasakhi yang jelaa dan manis, Tsulusi yang anggun, Riq`ah yang ekspresif, Diwani yang terbelit, Farisi yang berirama seolah-olah hendak roboh ke kanan, dan bentuk-bentuk yang lain.
Disamping untuk menulis ayat-ayat al-Quran, surat-surat administrasi pemerintahan, kitab-kitab agama dan kitab-kitab ilmu pengetahuan, hurup Arab juga dijadikan hiaan untuk memperindah mesjid. Sampai sekarang, dua mesjid yang paling bersejarah dalam Islam, yaitu Mesjidil Haram di kota Mekah dan Mesjid Nabawi yang terletak di jantung kota Madinah, kalau kita masuk ke dalamnya akan tampak adanya kaligrafi dengan nilai artistik yang tinggi yang isinya mengagungkan nama Allah
Setelah Islam masuk ke Indonesia, dengan sendirinya al-Quran juga menjadi bacaan utama kaum muslimin. Putera-puteri di kawasan Nusantara juga belajar baca al-Quran serat khat Arab. Kitab-kitab agama, cerita-cerita kepahlawanan serta hikayat dan dongeng juga ditulis dalam hurup Arab. Khat kitab-kitab berbahasa Melayu di Jawa disebut hurup Arab Melayu. Sedangkan di kalangan orang Melayu, Malaysia dan Brunei hurup Arab itu disebut huruf Jawi. Pengiran Dr. Haji Muhammad bin Pengiran Haji Abd. Rahman menyatakan dalam Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) 2003, “Kesemua institusi dan dokumen (di Brunei Darussalam, Pen) menggunakan bahasa Melayu dan tulisan Jawi.” Yang dimaksud tulisan Jawi di sini adalah hurup Arab.
Sebelum hurup Latin masuk ke Indonesia menjelang abad ke 20, di Jawa, di samping hurup jawa, Huruf Arab digunakan untuk menuliskan karya-karya sastra. Tembang-tembang seperti “Serat Ambiya”, “Kisah Mi`raj”, “Riwayat Nabi Yusuf”ditulis dengan hurup Arab. Dan pada perkembangannya, khath Arab di Indonesia itu menemukan bentuk-bentuk yang khas. Dari naskah-naskah tua, baik tersimpan di beberapa museum, dan yang masih berada di tengah masyarakat ada bentuk-bentuk tertentu dan variasi Nasakhi-nya sangat kuat.
Selain itu, hurup Arab digunakan sebagai hiasan mesjid, hiasan batu nisan, dan sebagainya. Sebagai hiasan rumah muncullah kaligrafi lukisan kaca Cirebonan.
Lukisan kaca yang sebagian besar menampilkan kaligrafi kalimat-kalimat suci itu lalu berkembang di berbagai daerah bersama dengan gambar buraq, Mesjid al-Haram, Mesjid Nabawi, dan lain-lain. Kegiatan itu disambut oleh apresiasi masyarakat yang cukup terhadap seni Islam. Disayangkan, karena kualitas yang yang digunakan untuk lukisan kaca tidak tahan ratusan tahun, sekarang banyak lukisan kaca yang tinggal kacanya saja, lukisan sudah rusak dimakan zaman.
Menjelang abad kelima belas hijriyah, kegiatan berkaligrafi tidak hanya dilakukan oleh para khathath saja, tetapi juga oleh para pelukis. Pelukis kaligrafi tidak lagi menulis pada papirus, kertas dan dinding masjid, justru di atas kanvas dengan media cat minyak, akrilik atau media batik. Dari sinilah bermula lukisan kaligrafi.
Seorang seniman (dalam hal ini pelukis) adalah pengembara imajinasi dan pengembara ruhani yang tidak mengenal rasa lelah. Sebagai makhluk yang kreatif akan berupaya menampilkan bentuk-bentuk seni baru yang sebelumnya tak pernah ada di bumi ini. Karena itu, ia akan berusaha memacu daya khayal dan daya kreatifnya untuk menemukan sebuah puncak yang lain, tempat ia mengungkapkan esensi dirinya.
Dalam lukisan kaligrafi Islam, seorang Pelukis menemukan kebebasannya menuangkan imajinasinya melalui nuansa-nuansa warna yang kaya-raya, bahkan ditemukan pula bentuk-bentuk hurup Arab model baru yang berbeda dengan kaidah-kaidah penulisan yang telah baku sehingga tidak mustahil bila sesekali terdengar suara sumbang bahwa munculnya bentuk-bentuk hurup Arab model baru adalah penyimpangan, dan kejanggalan.
Pintu ijtihad kreativitas memang tidak pernah ditutup. Setiap pembaharuan dari hasil daya kreatif pada hakekatnya meninggalkan sesuatu yang sudah mapan, sedangkan matahari berputar dan zaman berjalan selalu menampilkan sesuatu yang baru.
Lukisan kaligrafi yang menggunakan media cat minyak di atas kanvas. Di samping itu Amri Yahya mencoba bereksperimen dengan media batik. Muncullah nama-nama seperti Ahmad Sadali, AD. Pirous, Amri Yahya, Amang Rahman, Syaiful Adnan, kemudia disusul oleh Abay D. Subarna, Yetmon Amier, Hatta Hambali, Hendra Buana, Sattar, Chusnul Hadi, dan lain-lain.
Menurut Soedarso Sp, seni lukis kaligrafi muncul setelah ada seni lukis abstrak, tidak ada gunung, pohon, dan langit, yang ada hanya garis, warna, tekstur, dan lain-lain. Di atas itu kaligrafi dilukiskan, yang tentu saja isinya disesuaikan dengan latar-belakang yang berupa lukisan abstrak itu untuk menjadi sebuah sajian komposisi yang padu. Disinilah imajinasi diberi ruang seluas-luasnya untuk menemukan nilai yang sangat berharga.
Dalam seni lukis kaligrafi, para pelukis berupaya menuangkan pengalaman spiritualnya dalam bentuk yang estetik seutuh mungkin. Ahmad Sadali tidak hanya menuliskan ayat-ayat al-Quran, lebih dari itu ia memadukan ayat itu dengan pengalaman spiritualnya dalam tekstur dan warna hasil renungan yang mendalam, seakan-akan warna dan tekstur itu abstraksi estetik dan batin sang Pelukis.
Amri Yahya menorehkan kaligrafinya di atas komposisi warna yang kadang ceria, tetapi pada saat yang lain dengan warna yang kelam biru kehijauan yang melukiskan kedalaman pengalaman ruhaninya.
Tidak kalah pentingnya upaya pelukis menemukan bentuk khath yang spesifik miliknya. AD. Pirous misalnya, selain ia menggunakan khath yang seperti dikembangkan dan khath Maghribi, ia juga berangkat dari khath yang bernuansa lokal, Aceh. Tetapi yang khas penemuan Pirous ialah bentuk hurupnya yang ekspresif yang sangat jelas sekali sosok kepribadiannya. Sayang sekali, dalam lukisan-lukisan Pirous yang saya amati, bentuk hurup ini tidak banyak digunakan.
Orang yang sangat percaya kepada bentuk khath-nya yang pribadi adalah Syaiful Adnan. Ia diciptakan bentuk hurup sendiri yang hampir tidak ada kaitannya dengan kaligrafi baku sehingga muncul khath gaya Syaiful. Ia membentuk ujung hurup-hurupnya runcing seperti duri dipadu jalinan dan kelindan antar-aksara engan sangat terampil dan teliti. Saking percayanya terhadap penampilan hurupnya yang mempribadi, ia merasa tidak perlu memainkan banyak warna. Lukisan-lukisan Syaiful rata-rata hampir monokrom.
Demikian pula Yetmon Amier yang hurup-hurupnya dikemas kubistik. Sumber khath-nya ditengarai dari khath Kufi, tetapi sudah dikembangkan sangat jauh dan digubah khusus untuk seni lukis sehingga bila diperhatikan jelas sekali sosok Yetmon-nya.
Hatta Hambali mengemas kaligrafinya dalam bentuk hurup yang terdiri dari pita panjang. Pita yang berupa hurup itu dilukis semi realis sehingga menjadi suatu yang otentik.
Tidak kalah otentiknya ialah Amang Rahman yang membuat hurup begitu unik. Ada permainan bayangan dan cahaya, serta titik yang dilukis menjadi lubang atau bolongan yang sangat dalam. Hal itu ditunjang dengan suasana biru yang menampilkan kesan mistis dan puitis.
Pada saat yang akan datang, bentuk-bentuk khath yang menjadi milik pribadi para pelukisnya perlu semakin digalakkan. Dan, untuk menemukan kepribadian dalam khath itu perlu perjuangan dan pencarian kreatif yang tidak kunjung lelah. Rasa taqarrub kepada Allah bisa menjadi spirit karena menorehkan kaligrafi tak lain sebagai tanda-tanda cinta kepada Allah dan ayat-ayat-Nya.
Tetapi, yang penting untuk dijadikan bahan renungan, apakah lahirnya karya seni dalam bentuknya yang baru itu berangkat dari getar kepekaan estetik atau tidak? Bila tidak lahir dari getar tali-temali rasa yang paling dalam, maka hasilnya tidak akan menyentuh. Tetapi, bila benar-benar lahir dari getaran estetik dan kemudian dicelup dengan sibghah (celupan) Allah, maka jadinya akan menjadi lukisan kaligrafi yang punya daya pesona tinggi yang tiada bosan-bosannya mata memandang. Penyair Iqbal berucap dalam salah satu penggalah sajaknya :
Dari manakah irama seruling mendapat kemerduan?
Dari getaran hati sang peniup, bukan dari potongan bambu
(Darb-l Khalim)
Pada hakekatnya, lukisan kaligrafi adalah ungkapan rasa religius seorang pelukis ke atas kanvas dengan bentuk hurup dan permainan warna yang mencerminkan kepribadian dan kedalaman jiwa pelukisnya. Penghayatan yang sepenuhnya terhadap hurup-hurup yang hendak digoreskan, penguasaan terhadap bidang dan warna benar-benar memancar dari suatu konsep penciptaan yang utuh.
Lukisan kaligrafi yang bermutu akan mampu membawa penikmatnya pada kesadaran transedental bahwa diatas dikehidupan ini, ada yang sangat dekat dan akrab dengan diri, yang rahmat-Nya selalu mengalir tiada henti, yaitu Allah.
Wednesday, June 27, 2007
Monday, June 18, 2007
Borobudur Impasto-nya Anthony
Oleh Nunuk Ambarwati dan Puji Rahayu