An exhibition on art documentation in Yogyakarta in the last 32 years entitled “Kembali Djokdja Kembali” was held at Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, September 29-October 3, 1999. It was the collaboration of Cemeti Art Foundation, [aikon!], Kebon Binatang Art Support, Rumah Budaya Semesta, Ford Foundation, and Museum Benteng Vredeburg.
Introductory Citation
An approximation of 300 documentation; posters, catalogues, tickets, clippings, photos, and leaflets will be presented in the exhibition. Certainly, this number is not fairly fantastic as there are a lot of art events in Yogyakarta in the last 32 years. As a result of the limited time, not all of the art event documentation can be obtained. However, we strive for not basing the exhibition material on the monumental phenomena regarding something considered “monumental” will not mean anything without the side of “not monumental”. They all have the same importance in the process of art in Yogyakarta but unfortunately, very few people taking the role of recorders toward all cultural events. History is then associated more through the oral tradition relying on memory. It is one of obstacles we face.
Difficulty in Tracing Document!
(A Note from the Research Team)
By Nunuk Ambarwati and Jompet
A Researcher of Musical Printed Documentation
For almost 2 months of going back and fro to search for posters, catalogues, tickets, and so on in the field of music, I encountered some points. According to me, comparing to colleagues from theater or visual arts, the music artists rarely collected posters, tickets, or invitations. They assumed that they did not need collecting them. Most of them said “Say, the posters are entirely distributed!” since posters functioned as publication media to be distributed or stuck and just got passed on or torn in the streets at last. Sometimes, some artists were reluctant to collect them because the design was not attractive. The awareness to collect them as documentation was not deep among music artists. If any, there was only one or two of them who documented his debut attentively. Even, there were some artists whose documentation done by the mothers, wives, or fans.
Another issue from this searching was the reluctance of the resource artists to lend some of their documentation with the reason that the duration between the due day and the exhibition day was quite far. They lent them closing to the D day. It related to the issue of documentation security or the fear of damage. There were also some artists who made a curation on their own documentation regarded as important. In reverse, it did not mean that some documentation they did not give to us were unimportant, did they? Sometimes, when I came the artist was taking a trip abroad in unpredictable time or studying abroad. They were even out of contact or deliberately to be out of contact. Gee, it was resentful! There was a touching moment, an important one like “agreement of artists in… making an option toward the government” considered as historical but the artist who collected the documentation had passed away. So, it could be presented orally only.
In conclusion, our documentation searching had not reached all music genres in Yogyakarta. It was because of the limited time, no documentation of artists at all, and the individual capability. Sorry! However, the people involved in this project were basically welcome and supportive meaning that they could see the idea was magnificent and raised the awareness on the importance of documentation.
Issued in the exhibition catalogue 32 Years Yogyakarta Art Documentation “Kembali Djokdja Kembali”, Yogyakarta, 1999,
page 4-5
Tuesday, July 18, 2006
Tuesday, July 04, 2006
Mendokumentasikan Seni Kontemporer di Asia
Workshop Internasional: “Archiving the Contemporary: Documenting Asian Art Today, Yesterday and Tommorow” diorganisir oleh Asia Art Archive (Hong Kong), 18-20 April 2005.
Menapaki bandara Hong Kong yang megah, saya membayangkan bagaimana sebuah workshop mengenai dokumentasi seni visual di Asia akhirnya terselenggara pula. Cemeti Art Foundation (CAF) sebagai lembaga dokumentasi seni visual Indonesia akan bertemu dengan berbagai lembaga atau individu lain yang mempunyai perhatian dan minat yang sama. Event ini diorganisir oleh Asia Art Archive (AAA), sebuah pusat riset nonprofit pertama di Hong Kong yang berdedikasi untuk mendokumentasikan sejarah seni visual terkini dalam skala regional dan internasional. AAA bertindak tidak hanya sebagai pusat data dan informasi, tetapi juga berperan aktif dalam mengorganisasi dan berpartisipasi dalam pameran dan forum-forum budaya serta menyediakan diri sebagai penghubung untuk semua hal tersebut di wilayah Asia. AAA didukung secara finansial oleh Hong Kong Arts Development Council.
Workshop berlangsung 3 hari, 18-20 April 2005 di Hong Kong Arts Centre. Event ini menjadi tempat berkumpul bersama para pekerja profesional di bidang seni dari seluruh dunia untuk melihat isu-isu mengenai mengarsip, mendokumentasi, pemeliharaan/perawatan, pengetahuan manajemen, dan berbagi informasi mengenai seni kontemporer di Asia. Cara atau model mengarsip yang selama ini sudah ada akan diuji dalam forum ini, dan ditambah isu mengenai digitalisasi versus materi hardcopy, sistem klasifikasi, kewenangan atas koleksi, konservasi, bahasa, askesibiltas dan teknologi, juga dibicarakan dalam forum ini. Harapannya, workshop ini dapat memfasilitasi, dan sebagai sebuah platform lain adalah peserta workshop saling bertukar gagasan dan pengalaman, serta mengembangkan kolaborasi dan jaringan di masa mendatang.
Workshop ini juga merupakan sebuah respon atas seriusnya permasalahan mengenai percepatan perkembangan seni visual kontemporer di Asia dan di seluruh dunia dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini yang tidak dibarengi dengan jumlah dokumentasinya. Bagaimana pun pentingnya perkembangan tersebut, hanyalah sebuah pusat yang sibuk di mana informasi dan riset mendalam, wacana dan tulisan kritis di area itu saja yang bisa ditemukan. Pentingnya Arsip Seni Kontemporer dari Asia untuk Masa Mendatang Diambil dari bahasa Yunani kuno an arkheia, tujuan dari kegiatan mendokumentasikan adalah untuk menyimpan ingatan publik di mana bentuk itu merupakan basis administratif dari demokrasi, yang tidak lagi merupakan inti dari aktivitas tersebut. Material dokumentasi itu sendiri membutuhkan untuk direspon tetapi juga tetap bisa proaktif dengan berbagai tempaan model pendokumentasian yang baru. Saat ini, ketika museum mempunyai tujuan untuk menarik lebih besar audiens dengan sesuatu yang lebih inovatif, atau membuat hubungan yang dinamis antara karya seni dan lingkungan mereka, dokumentasi seharusnya juga mengubah strategi untuk menentukan tujuan, dan membuat penggunaan yang lebih baik dari materi dokumentasi atau koleksi mereka. Untuk dokumentasi seni kontemporer yang ada saat ini, merupakan hal vital untuk membuat strategi agar materi dokumentasi lebih dinamis. Dengan alasan ini juga, program-program menjadi lebih relevan dan sejalan dengan aktivitas mereka. Ini merupakan pendekatan yang dimanis untuk kegiatan dokumentasi di mana akan memiliki tempat penting untuk seni kontemporer di Asia dan beberapa bagian di dunia. Esensi mereka untuk merekam akar-akar kebudayaan dan keberagaman belum dapat diadaptasi secara simultan untuk menekan dan memberi perhatian kepada hubungan kesejarahan. Dokumentasi akan berperan penting membangun jaringan pertukaran komunikasi dan informasi di Asia mau pun di luar Asia. Di sini ditekankan isu dan kritik mengenai banyaknya kebutuhan platform di Asia mengenai pengetahuan manajemen dan berbagi, serta menyediakan sebuah wadah di mana tersedia acuan mengarsip dan data-data untuk seni kontemporer Asia. Sebagai jumlah yang tidak bisa diprediksikan, berapa banyak seniman di Asia yang terlibat dengan pendekatan multimedia untuk karya mereka dalam dekade lalu, seperti instalasi, digital dan performance? Workshop ini kemudian juga menyentuh isu konservasi dari karya seni nonkonvensional dan bagaimana hal ini meliputi pekerjaan seorang dokumentator. Workshop ini juga melihat tambahan peran dokumentasi sebagai pembangkit pengetahuan dan informasi. Dipertemukannya berbagai organisasi yang mempunyai tujuan hampir sama, bersama-sama untuk membentuk kerja sama yang kuat, sekuat membangkitkan inisiatif di negara-negara di mana pusat dokumentasi belum ada. Mereka menyatakan bahwa peran penting pendokumentasian adalah untuk menyediakan informasi yang berhubungan dengan karya-karya seniman, dan untuk siapa saja yang berperan penting dalam meningkatkan pengetahuan serta kepedulian tentang seni kontemporer di wilayah regional.
CAF versus MoMA
Mendapatkan kesempatan presentasi di hari pertama, memberi keuntungan tersendiri buat saya sebagai representatif Cemeti Art Foundation (CAF). Hal ini mempermudah proses interaksi saya dengan peserta workshop yang lain dalam 2 hari yang tersisa. Banyak yang tertarik untuk ngobrol lebih detail mengenai materi presentasi yang saya ajukan, dan tentu saja saya masih punya waktu lebih banyak untuk melayani keingintahuan mereka mengenai CAF.
Duduk satu meja dengan Michelle Elligot (representatif Museum of Modern Art/MoMA, New York) dan Edward Tse (Hong Kong Film Archive, Hong Kong), presentasi kami berada dalam satu tema mengenai “Save or Destroy: Preservation and Collection Policies”. Penyelenggara memang sengaja mempertemukan kami karena ingin memberikan pembanding kepada audiens, dimana MoMA dan Hong Kong Film Archive memperlakukan material dokumentasi mereka seperti layaknya koleksi museum: hanya bisa dilihat dan tidak mudah diakses. Adapun CAF justru sebaliknya, karena CAF berusaha “membunyikan”, mendistribusikan dan menyediakan akses seluas-luasnya kepada publiknya.
Audiens cukup heran dengan bervariasinya jenis material yang didokumentasikan oleh CAF, sistem aksesibilitasnya yang begitu mudah dan luas, serta pola jaringan yang dipakai CAF untuk mendistribusikan material dokumentasi baik level nasional maupun internasional. Demikianlah presentasi ini memberikan gambaran situasi, cara memperlakukan material dokumentasi dan kewenangan atas koleksi yang masing-masing berbeda di setiap lembaga.
Topik bahasan lain
Workshop ini memberikan berbagai pandangan baru, terutama bagi saya, tentang pelbagai kemungkinan mempresentasikan material dokumentasi tidak melulu sebagai arsip tetapi dalam sebuah setting pameran, seperti dicontohkan oleh Thomas J. Berghuis (Australia) dan Beatrice von Bismark (Jerman). Bismark mempresentasikan sebuah proyek pameran dan publikasi bertajuk “Interarchive”, sebuah pameran arsip yang berangkat dari arsip dan menyediakan contoh dari pelbagai model, di mana unsur artistik dan kultural merefleksikan dan berpartisipasi dalam proses mengkonstitusi.
Claire Hsu (direktur eksekutif AAA) mengembangkan isu mengenai kesempatan dan perhatian yang dihadapi sebuah lembaga dokumentasi independen yang dibentuk untuk merespon situasi perkembangan seni visual di wilayahnya. Isu ini mempertimbangkan pula masalah geografis, pengembangan jaringan dan relasi di wilayah regional, masalah koleksi, manajemen dan pendistribusian informasi melalui bentuk hardcopy maupun melalui dunia maya. Dokumentasi tidak hanya dimaknai sebagai sebuah materi rekaman, tetapi bisa mendorong secara aktif dalam memproduksi gagasan.
Workshop ini juga mempresentasikan berbagai model pendokumentasian yang dikerjakan oleh individu-individu seperti dicontohkan oleh Yao Jui-Chung (Taiwan), Judy Freya Sibayan (Phillipines) dan Koh Nguang How (Singapore). Masing-masing individu tersebut membangun personal dokumentasi mereka dengan cara mereka dan minat mereka masing-masing. Seperti Judy Freya Sibayan, seorang seniman asal Phillipines, mengakumulasikan material performance-nya sepanjang 5 tahun ke belakang dan ke depan. Material dokumentasi tersebut dimasukkan dalam bentuk kantong-kantong sepanjang 4-9 kaki dibagi menjadi 24 ‘buku” dan dikategorikan berdasarkan cerita. Materi dokumentasi ini juga akan menjadi sebuah karya seni dan akan dipamerkan suatu hari nanti. Dengan format ini Judy menyebutnya sebagai Scapular Gallery Nomad Portable Archive in Progress.
Epilog
Di balik mewahnya penyelenggaraan workshop ini, ternyata peserta dan penyelenggara masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah sebagai tindak lanjut dari workshop ini, yaitu tawaran dari AAA sebagai penyelenggara: apakah perlu suatu lembaga yang menjadi pusat pendokumentasian di wilayah Asia atau tidak? Semua peserta workshop sepakat, pentingnya dokumentasi seperti diutarakan dalam uraian di atas, serta pentingnya jaringan untuk menyediakan dan saling berbagi informasi dan data dokumentasi seni visual di wilayah Asia.
Dimuat di newsletter SURAT YSC Volume 26
Subscribe to:
Posts (Atom)