Pengantar dan data teknisEven ini merupakan even yang banyak memberi pelajaran berharga. Posisi sebagai divisi pameran sangat memberikan banyak masukan, ilmu dan pengalaman berharga bagi diri saya baik sebagai individu mau pun saya sebagai dokumentator di Cemeti Art Foundation. Even yang berlangsung 18 hari ini, ternyata telah saya gauli sejak bulan Agustus 2005 hingga Februari 2006 (7 bulan). Dari awal penyelenggaraan tercatat ada 115 seniman yang akan mengikuti even ini. Hingga pelaksanaan even ini kemudian diikuti oleh 110 seniman saja. Lima (5) seniman yang mengundurkan diri dikarenakan oleh beberapa hal (antara lain karena tidak ada waktu dan kesibukan berkarya, harus melawat ke Aceh untuk kepentingan sosial, komitmen dalam pekerjaan utama mereka dan sebagainya). Seniman yang mengundurkan diri tersebut adalah: Agus Leonardus, Armandjamparing, Rudi Mantofani, Oscar Motulloh dan kelompok Petakumpet. Ke 110 seniman tersebut terdiri dari 73 laki-laki, 20 perempuan dan 17 kelompok. 13 orang diantaranya merupakan seniman asal luar negeri (Australia, Malaysia, Lichtenstein, Jepang, Canada dan Belanda). 68 seniman berasal dari Yogyakarta dan sisanya 81 seniman dari luar Yogyakarta (Kalimantan, Bandung, Jakarta, Bali, Tulungagung, Magelang, dan Surabaya).
Pameran ini menggunakan 19 venue dan 1 moving space yaitu:
1. Taman Budaya Yogyakarta
2. Societet Militer (tempat pertunjukan)
3. Benteng Vredeburg (museum)
4. Pasca Sarjana ISI Yogyakarta (tempat studi)
5. Galeri Biasa
6. Karta Pustaka (pusat kebudayaan, perpustakaan)
7. Museum Sasmitaloka, Jendral Soedirman
8. Gereja St. Yusuf Bintaran
9. SMAN 3 Yogyakarta, Kotabaru (sekolah menengah)
10. Jogja Studi Centre (JSC), Kotabaru (pusat studi)
11. KOA Boutique+Café
12. Gabah Resto
13. SMKN 2 Yogyakarta, Jetis (sekolah menengah)
14. Pabrik Cerutu Tarumartani, Yogyakarta
15. Kandang Menjangan, Krapyak (tidak difungsikan)
16. Omah Dhuwur Restoran
17. Masjid Gedhe Kotagedhe
18. Kawasan Nitiprayan (kampong)
19. Padepokan Bagong Kussudiardja (pusat latihan dan studio musik)
20. Moving Space
Dari ke 19 venue tersebut yang memang brefungsi sebagai ruang pamer hanya 4 venue saja yaitu Taman Budaya Yogyakarta, Benteng Vredeburg, Karta Pustaka dan Galeri Biasa. Selebihnya yaitu 15 venue dan 1 moving space mempunyai fungsi yang bervariasi (sekolah, masjid, gereja, rumah makan, studio musik, museum, perpustakaan, sebuah kampung atau bahkan jarang difungsikan seperti Kandhang Menjangan).
Seniman peserta: Abdi Setiawan, Achmad Gani, Aditya Novali, Adrianto Fitriansyah, Adi Kaniko, Agung Hanafi Purboaji, Agus Kamal, Agus Yulianto, Agapetus A. Kristiandana, Ahmad Syahbandi, Akhmad Nizam, AC Andre Tanama, Andris Susilo, Arie Dyanto, Aries BM, Astari Rasjid, Basrizal Albara, Brahma Tirta Sari Studio, Budi Kustarto, Caroline Rika Winta+Emilia Chandra, Catur Bina Prasetyo, Danny Stamp+Afdhal+I Wayang Upadana+IG Made Surya Darma, Diah Yulianti, Deddy PAW, Dicky Tjandra, Didik Nurhadi, Dona Prawita Arrisuta, Donny Kurniawan Rutji, Eddy Sulistyo, Edial Rusli, Entang Wiharso, Erman Susilo, Eduard, Farhansiki, Ferial Affif, Galam Zulikifli, Heru Hikayat, Han, Hanafi+Maxine Hapner, Hayatudin, Indieguerillas, IGN Hening Swasini Ph, Imam Nurofiq, Iriantine Karnaya, Isa Perkasa, Ismanto, Iwan Wijono, I Made Aswino Aji, I Wayan Sudarna Putra, Joni Ramlan, Julnaidi MS, Joko Dwi Avianto, Kadafi, Kelompok Idu Geni, Kelompok Ruas Desa Cangkringan, Syaiful Hadjar dan Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB), Kelompok Seni Rupa Delivery Order, Kelompok Seringgit, KMTA YKPN, KMTA UKDW Atrium, KMTA UII, Khusna Hardiyanto, Klinik Seni Taxu, Kokok P Sancoko, Koni Herawati, Laksmi Sitharesmi, Lelyana, Made Wianta, Moelyono, Muji Harjo, Mulyo Gunarso, Noor Ibrahim, Noor Sudiyati, Nurkholis, Nurti Wijayanti, Pande Ketut Taman, Pintor Sirait, Putu Wirantawan, Ruang MES 56, Samuel Indratma, Sayed Ali Alaydroes, Setiawan Sabana, Suraji, Syahrizal Koto, Syamsul Barry, Teguh S Priyono, Tiarma D Sirait, Titarubi, Vincensius ‘Venzha’ Christiawan, Viktor Sarjono, Wahyu Santoso, Warshito, Wayan Sujana (Suklu), Yaksa Agus dan Proyek Seni, Yayat Surya, Yuli Prayitno – Luar negeri: Deborah J Nolan, Fauzie As’ad + Militansi Seni Rupa Soboman, Frank Van den Ham, Isao Kimura, Judy Watson, Malcolm Smith, Mari Oyama, Nadiah Bamadhaj, Philip Boas, Sally Smart, Seiko Kajiura, Sumiko Ikegami, Tony Ameneiro.
Perencanaan yang matang
Akan menggelar sebuah perhelatan besar semacam Biennale Jogja VIII 2005 (selanjutnya BJ VIII 2005) yang lalu memerlukan perencanaan setidaknya 2 tahun sebelumnya. Ukuran besar di sini karena: (a) melibatkan 110 seniman (b) menggunakan 17 venue untuk memamerkan karya, (c) berskala semi internasional; yang betul-betul datang dari luar negeri adalah seniman dari Jepang 3 orang, Australia 3 orang, walau pun senimannya tidak hadir, dan Belanda 1 orang, sisanya adalah seniman asing yang sudah lama tinggal di Yogyakarta (d) melibatkan 150-an orang panitia (e) hampir setiap hari terselenggara acara pendukung. Perencanaan meliputi hal teknis mau pun non teknis, mulai dari pematangan konsep kuratorial, perekrutan panitia inti dan pembekalan untuk volunteer, strategi menghadapi situasi (perlu menyiapkan setidaknya 3-4 alternatif solusi yang biasa kami sebut plan A, plan B dan seterusnya), strategi publikasi, strategi fundrising, pemilihan seniman (baik dalam dan luar negeri) dan konvensi-konvensi yang mengaturnya, hingga penyusunan laporan kegiatan baik kepada sponsor mau pun kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. Tanpa perencanaan yang matang dan jauh-jauh hari, sebuah even sebesar BJ VIII 2005 tidak dapat terlaksana dengan baik dan rapi. Hal-hal detail yang seharusnya masih bisa kita persiapkan apabila kita memiliki waktu yang cukup menjadi terabaikan, seperti persoalan pasca even sebagai contoh: pendokumentasian even ini, laporan kepada para sponsor dan donatur dan hal teknis lainnya.
Kurator dan kuratorial
Ketiga kurator dalam BJ VIII 2005 kali ini, Dwi Marianto, Eko Prawoto dan Mikke Susanto, jelas tidak saling melengkapi satu sama lain. Mikke Susanto terpaksa mengambil peran yang sangat besar dalam even kali ini karena Dwi Marianto sangat tidak kooperatif dan tidak koordinatif sementara bagi Eko Prawoto, asumsi saya ini merupakan kali pertama meng-handle even semacam ini. Walau pun Eko Prawoto berasal dari background teknik arsitektur, pengalaman mengikuti even semacam biennale sudah cukup banyak. Sangat terasa tim kurator tidak mampu meng-cover semua karya terlibat dalam even ini, walau pun tim kurator dan seluruh panitia telah berusaha semaksimal mungkin mengatasi semua persoalan yang ada di lapangan yang berkaitan dengan karya. Pendekatan kepada seniman juga sangat kurang. Apalagi masalah-masalah yang berkaitan dengan keterlibatan kurator tamu (Peter O’Neil dari Australia) dan seniman asing itu sendiri. Memorandum of Understanding (MoU) atau kesepakatan tertulis tidak dibuat dalam biennale kali ini, sehingga tidak jelas hak mau pun kewajiban yang harus di-handle oleh panitia penyelenggara mau pun kurator tamu dan seniman asing. Maka ditemuilah berbagai miscomunication dan misunderstanding karena tidak ada kesepakatan yang jelas dari awal.
Saya sangat setuju dalam beberapa diskusi mau pun tulisan di media massa disebutkan mengenai konsep kuratorial yang masih lemah. Saya pun tidak bisa membaca karya seperti apa yang diinginkan atau diharapkan tim kurator dengan konsep kuratorial yang ditawarkannya, sehingga bisa dilihat pula dalam penyelenggaraan pamerannya, karya-karya yang kurang berkualitas, menurut saya. Dengan asumsi, disamping karena konsep kuratorial yang kurang kuat juga karena pendeknya kesempatan yang dimiliki seniman (hanya kurang lebih 3 bulan) mulai konsep kuratorial tersebut disodorkan sampai mengumpulkan karya, banyaknya even biennale dan pameran yang terjadi sepanjang 2005 sehingga tingginya kompetisi pemilihan seniman. Sementara seperti kita ketahui banyak beberapa nama terlibat lebih dari 1 biennale seperti Aditya Novali, Astari Rasjid, Dona Prawita Arrisuta, Entang Wiharso, Indieguerillas, Joni Ramlan, Klinik Seni Taxu, Laksmi Sitharesmi, Noor Ibrahim, Pande Ketut Taman, Pintor Sirait, Ruang MES 56, Titarubi, Yani Mariani Sastranegara, Yuli Prayitno, Nadiah Bamadhaj dan mungkin beberapa nama lain yang belum sempat saya sebut di sini.
Dan kita ketahui ada 3 biennale di 3 kota yang berbeda dan 3 penyelenggara yang berbeda pula, yaitu CP Biennale (Jakarta, September), Bali Biennale (Bali, November) dan BJ VIII 2005 (Yogyakarta, Desember), disamping itu di luar negeri, Venice Biennale 2005 juga melibatkan beberapa nama yang sudah saya sebut di atas. Bisa kita tarik benang merah dari tema kuratorial yang diusung ketiga biennale tersebut, yaitu sama-sama merespon fenomena perkembangan publik dan ruang publiknya. CP Biennale dengan “Urban/Culture”, Bali Biennale dengan “Space and Scape” dan BJ VIII 2005 dengan “Consciousness of the Here and Now/ Di Sini dan Kini”.
Venue, karya dan seniman
Maka bisa kita lihat ada beberapa karya yang tidak merespon venue pameran dengan maksimal, tidak mengeksplornya, seperti memindahkan ruang pamer saja, meletakkan karya apa adanya pada venue tersebut. Seperti bisa kita lihat pada karya Tiarma Dame Ruth Sirait dan Made Aswino Aji di SMKN 2 Jetis, sangat tidak pas, kasihan karyanya atau bisa jadi senimannya yang tidak cukup mempelajari venue untuk karya mereka atau kuratornya bisa jadi tidak cukup jeli menempatkan karya. Hal ini juga bisa kita lihat pada karya Khusna Hardiyanto dan AC Andre Tanama di Karta Pustaka. Tetapi bisa juga kita lihat karya yang pas dengan venuenya seperti karya Sumiko Ikegami dan Yani Mariani Sastranegara di Omah Dhuwur, juga karya Iriantine Karnaya di Masjid Kotagede, karya Joko Dwi Avianto, IGN Hening Swasono PH, I Wayan Sujana Suklu di Benteng Vredeburg. Karya Nadiah Bamadhaj yang memiliki konsep yang sangat bagus walau pun eksekusinya tidak sekuat konsepnya, dipamerkan di Kandhang Menjangan. Karya-karya mereka sangat menginspirasi dan menghidupkan venue. Dimana menjadi salah satu tujuan dari penyelenggaraan biennale kali ini adalah ‘menghidupkan’ venue-venue yang dikategorikan heritage tersebut.
Pengalaman berharga yang bisa diambil dan dicatat juga dari penyelenggaraan ini adalah masih adanya kesenjangan antara pemilik venue dengan seniman sendiri. Misalnya dalam hal ini ditemukan kasus pemilik venue yang masih tidak paham mengenai biennale itu apa, karya seperti apa yang akan dipamerkan di venue mereka, apa dampak yang dihasilkan apabila venue mereka digunakan sebagai ruang pajang, peran pemilik venue dalam menentukan karya mana yang mereka sukai untuk dipajang di venue tersebut. Sehingga pemilik venue seperti menjadi co-curator dalam even ini. Sikap keberatan mau pun keterbukaan mewarnai hampir di setiap venue yang digunakan. Maka sosialsasi kepada pemilik venue juga perlu digiatkan jauh hari sebelum biennale ini terselenggara. Dari senimannya sendiri, kasus yang ditemui adalah seniman tidak cukup familiar dengan venue yang bukan ruang pamer. Beberapa dari seniman keberatan karya mereka ditempatkan di venue yang bukan ruang pamer. Sebagai contoh seniman A merasa keberatan karyanya ditempatkan di pabrik cerutu Taru Martani, dia menginginkan karyanya ditempatkan di Taman Budaya Yogyakarta saja, yang memang berfungsi sebagai ruang pamer. Kala sosialisasi juga muncul keberatan keikutsertaan peserta BJ VIII 2005 yang bukan berasal dari background seni rupa, misalnya Nurti Wijayanti (yang berprofesi sebagai guru TK) dan Keluarga Mahasiswa Teknik Arsitektur (UII, YKPN dan UKDW). Keeksklusifan ini ternyata masih muncul di kalangan seniman, dimana tidak sejalan dengan konsep kuratorial yang diusung tim kurator bahwa BJ VIII 2005 kali ini berusaha mendekatkan seni kepada masyarakatnya, seni yang tidak berjarak.
Perbedaan pengalaman, wawasan dan pengertian antara seniman yang sudah terbiasa mengikuti ajang biennale di luar negeri dan seniman yang bahkan baru pertama kali mengikuti biennale atau pameran menjadi hal yang perlu saya perhatikan pula sebagai divisi pameran. Tuntutan, pemahaman dan pengertiannya jelas berbeda dan bagaimana panitia dalam hal ini divisi pameran bisa mengakomodir hal itu semua.
Karena keterbatasan personil dalam divisi pameran, beberapa hal detail menjadi terabaikan. Sebagai contoh masalah caption pameran yang tidak semua karya terpasang dengan baik dan pada waktunya; tidak dapat memantau ke semua venue secara berkala, hal ini berkaitan dengan mengontrol penjaga pameran dan pameran itu sendiri di masing-masing venue; tidak dapat membongkar karya segera (terutama di luar Taman Budaya Yogyakarta, hal ini juga mengingat keterbatasan anggaran); katalog pra even yang masih banyak ditemukan kesalahan dan sebenarnya tidak layak untuk didistribusikan; informasi venue dan seniman serta jadwal rangkaian acara yang tidak terdistribusi dan terinformasikan dengan baik dan merata; juga tidak dapat segera turun ke lapangan ketika ada masalah (sepanjang even ini hampir setiap hari ada masalah baik teknis mau pun non teknis yang ditemukan); katalog pasca even yang sangat terlambat dari jadwal yang sudah ditetapkan (keterlambatan katalog pasca even ini mempengaruhi kredibilitas panitia penyelenggara terhadap sponsor dan seniman peserta).
Perekrutan volunteer
BJ VIII 2005 yang lalu sangat luar biasa riuh. Melibatkan kurang lebih 50 orang volunteer baik itu yang mempunyai latar belakang seni mau pun non seni. Ke-50 orang volunteer ini khusus direkrut untuk mengorganisir semua kebutuhan 110 seniman peserta BJ VIII 2005. Sehingga bisa dikatakan perbandingannya 2 seniman : 1 volunteer. Sebenarnya hitungan yang sangat rasional, cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan seniman atau membantu seniman menyiapkan karya mereka terpajang dalam pameran ini. Tetapi faktanya tidak semua ke 50 orang volunteer tersebut mengerti mengenai even ini, mengenai bagaimana harus memperlakukan karya, bagaimana harus menyiasati situasi (karena sebagian besar venue yang digunakan bukanlah ruang pamer sebagaimana biasanya), bagaimana meng-guide pengunjung memasuki ruang pamer, bagaimana harus membongkar karya setelah selesai pameran, bagaimana packing yang aman dan seterusnya. Perlu pembekalan kepada para volunteer setidaknya 6 bulan sebelum even berlangsung, ekspetasi-ekspetasi seperti apa yang panitia harapkan kepada mereka. Keahlian dan komitmen seperti apa yang diharapkan dari mereka. Bagaimana pun panitia BJ VIII 2005 kali ini sangat terbantu oleh adanya volunteer tersebut. Walau pun mereka hanya mendapatkan uang transport dan makan 1 kali, mereka tetap semangat membantu terlaksananya kegiatan ini.
Panitia penyelenggaraPihak Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sebagai penyelenggara saya nilai juga tidak siap, tidak bisa bekerja dalam tim bentukan baru dan tidak koordinatif. Spirit Dyan Anggraini (Kepala TBY) untuk meningkatkan kinerja di TBY ternyata tidak didukung oleh bawahannya. Beberapa staf TBY yang direkrut dalam kepanitiaan BJ VIII 2005 tidak maksimal membantu lancarnya kegiatan yang notabene BJ merupakan program TBY. Sepertinya kemudian akan lebih baik apabila BJ dikelola oleh panitia tersendiri tanpa melibatkan staf TBY sama sekali. BJ bisa ‘ditenderkan’, ditawarkan kepada art organizer yang mau mengelolanya dan TBY hanya menjadi penyelenggara saja di atas kertas.
Saya tidak menafikan apabila panitia yang direkrut dalam kepanitiaan BJ VIII 2005 ini mempunyai target dan misi masing-masing, mempunyai ego masing-masing, asalkan tidak menganggu kelancaran kinerja dalam kepanitiaan. Keterbukaan dan bisa bekerja dalam tim masih harus disosialisasikan terus menerus kepada seluruh panitia. Membuka milis di dalam internal kepanitiaan cukup membantu tetapi juga tidak berfungsi maksimal dikarenakan beberapa panitia tidak cukup aktif terakses dengan internet karena keterbatasan fasilitas dan dana. Disamping milis, SMS ternyata komunikasi yang lebih efektif dalam kepanitiaan ini. Masalah komunikasi dan koordinasi ini ternyata banyak menjadi pangkal permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan kali ini. Untuk itu perlu mendapatkan perhatian khusus.
Liputan media massa dan dokumentasi
Tidak dipungkiri, dari data yang saya kumpulkan melalui dokumentasi di Cemeti Art Foundation (CAF), BJ VIII 2005 mendapatkan liputan media yang sangat luas. Walau pun kebanyakan dari media massa lokal, namun bisa dicatat ada pula liputan media massa nasional dan internasional. Pengalaman dari CP Biennale 2005 membuat panitia BJ VIII 2005 sangat memperhatikan media, sigap menindaklanjuti situasi sebelum terlanjur genting dan membuat tur khusus untuk para wartawan. Dari sekian banyak liputan media tersebut, hanya sedikit tulisan yang analitis dan bisa memberi masukan kepada even ini, kebanyakan penulis atau wartawan hanya menulis reportase kegiatan ini.
Dokumentasi, tidak dalam even ini saja, itu sangat penting, baik itu foto, video, audio, liputan media dan printted material lainnya. Sense untuk mendokumentasi itu juga harus dimiliki seorang dokumentator, bagian mana yang penting untuk didokumentasi dan bagian mana yang tidak. Dokumentator dalam even BJ VIII 2005 saya nilai kurang maksimal. Foto-foto yang dihasilkan tidak cukup ‘berbunyi’ untuk karya-karya yang dipamerkan. Dokumentator di BJ VIII 2005 kali ini hanya berfungsi sebagai collecting data tetapi tidak dapat membuat data tersebut terbaca dengan komprehensif. Bagaimana membuat dokumentasi tersebut sebagai bahan referensi dan berkesinambungan untuk penyelenggaraan biennale selanjutnya.
Fundrising dan sponsor
Hal yang sangat penting dan sangat sensitif dalam even ini. Memang ada divisi tersendiri dalam BJ VIII 2005 yang mengorganisir fundrising, tetapi saya berharap divisi ini tidak hanya berfungsi mencari fresh money mau pun bentuk-bentuk kerja sama yang dibutuhkan, namun juga mengelola laporan yang dibutuhkan para sponsor atau donatur. Mungkin diperlukan satu divisi khusus yang memang menyiapkan semua hal yang diperlukan untuk dilaporkan kepada sponsor. Karena setiap sponsor memiliki ekspetasi yang berbeda-beda, demikian pula laporan yang diminta. Tidak sekadar memenuhi kompensasi yang disetujui tetapi juga bagaimana membuat kerja sama ini tidak hanya berlangsung dalam even kali ini saja. Hal ini yang kadang dilupakan panitia penyelenggara ketika even sudah berakhir.
Dalam beberapa kali penyelenggaraan biennale di Indonesia, seniman tidak mendapatkan subsidi karya yang layak, bahkan karya-karya dalam biennale tersebut bisa dijual (padahal menurut konvensi biennale yang ada, karya-karya dalam biennale tidak dijual). Dari hal tersebut, timbul pemikiran saya, apabila panitia mempunyai waktu yang cukup, panitia bisa membuatkan fundrising untuk bisa memberikan subsidi yang layak dan karya bisa dijual dengan diadakannya pameran khusus untuk itu. Pameran yang diikuti oleh calon peserta biennale itu sendiri. Pameran ini diselenggarakan mungkin setahun sebelum biennale. Dalam pameran ini seniman bisa menjual karyanya, hasil dari karya yang terjual tersebut untuk membuat karya di ajang biennale itu sendiri, subsidi silang begitulah.
Even pendukung
Even pendukung dalam BJ VIII 2005 kali ini cukup banyak dan bervariasi. Even diskusi yang diselenggarakan selama 7 kali ternyata diminati banyak publik, bermuatan dan memberi banyak masukan. Sedangkan even pendukung lainnya yaitu seni pertunjukan juga menjadi daya tarik tersendiri bagi audience yang awam di duni seni visual. Even seni pertunjukan mampu menarik audience tersebut untuk sedikit ‘terjaga’ dalam rangkaian BJ VIII 2005 walau terasa tetap berjarak.
Pasca Even
Selain pra even yang cukup menyita waktu, tenaga dan pikiran, demikian halnya dengan pasca even. Semua hal pendokumentasian, laporan dan masalah yang timbul pasca even juga perlu diorganisir dengan baik. Biasanya karena panitia yang terlibat dalam penyelenggaraan ini mempunyai pekerjaan utama mereka masing-masing dan tidak terikat dalam sebuah perjanjian hitam di atas putih, begitu even selesai, hampir 80% panitia juga sudah tidak ada ditempat, menghilang dan susah ditarik untuk ikut memikirkan semua hal menyangkut pasca even.
Parameter keberhasilan penyelenggaraan ini antara lain:
(parameter ini merupakan sebagian dari parameter yang ada)
:: Even pameran ini bisa tergelar sesuai dengan jadual yang direncanakan (4-22 Desember 2005), selain pameran, related event dan supporting event juga terselenggara dengan baik di setiap venue yang sudah direncanakan. Tercatat ada 11 related events (berupa performance art, aksi publik dan pemutaran video art), 7 diskusi, serta ada 7 supporting events (berupa seni pertunjukan baik musik tradisional dan musik kontemporer, teater mau pun tari).
:: Acara pembukaan pameran dihadiri oleh kurang lebih 1500 orang, dimana menurut pendapat banyak pihak hal tersebut merupakan hal yang luar biasa karena dibanjiri oleh penonton. Diantara tamu yang hadir selain publik umum, juga dihadiri oleh tamu asing, para kolektor, pengamat seni baik dari dalam dan luar kota. Kemudian sehari-hari tercatat di venue Taman Budaya Yogyakarta sendiri rata-rata dihadiri oleh 150 orang, belum di venue-venue yang lain.
:: Even ini mendapat liputan media cetak (lokal, nasional dan internasional) dan elektronik (radio dan televisi) yang cukup luas. Jogja TV merupakan television official partner Biennale Jogja VIII 2005. Sedangkan Kompas Jogja official partner untuk liputan media massanya. Daftar liputannya bisa dilihat di bawah ini.
Psikologis
Tuntutan, tekanan, target yang harus dicapai, bersinggungan dengan berbagai macam personal orang dan masalah yang terjadi sepanjang penyelenggaraan memang menimbulkan tekanan pula pada masalah psikologis masing-masing orang. Saling melengkapi dalam bekerja, keikhlasan dan tidak mementingkan ego sendiri merupakan salah satu kunci berjalannya kinerja dalam kepanitiaan. Bahkan seorang teman mengatakan, mungkin diperlukan satu divisi khusus yang menangani masalah psikologis panitia yang terlibat yang ditimbulkan karena berbagai tekanan yang diterima sepanjang even berlangsung.
Penutup
Demikian hal-hal yang bisa saya tarik dari riuhnya penyelenggaraan even BJ VIII 2005 kali ini disamping saya juga menyaksikan dan membandingkan pengalaman visual saya menyaksikan CP Biennale di Jakarta dan Bali Biennale di Bali. Terlepas dari semua kekurangan yang saya paparkan di atas, secara keseluruhan BJ VIII 2005 telah terselenggara dengan cukup manis dan ada beberapa hal yang boleh dibanggakan dalam penyelengaraan even ini. Tanpa menyinggung atau memojokan pihak tertentu, tulisan ini hanya refleksi dan semoga bisa menjadi evaluasi kita bersama, terutama bagi saya. Terima kasih.
Lihat pula di www.biennalejogja.net
Pameran ini menggunakan 19 venue dan 1 moving space yaitu:
1. Taman Budaya Yogyakarta
2. Societet Militer (tempat pertunjukan)
3. Benteng Vredeburg (museum)
4. Pasca Sarjana ISI Yogyakarta (tempat studi)
5. Galeri Biasa
6. Karta Pustaka (pusat kebudayaan, perpustakaan)
7. Museum Sasmitaloka, Jendral Soedirman
8. Gereja St. Yusuf Bintaran
9. SMAN 3 Yogyakarta, Kotabaru (sekolah menengah)
10. Jogja Studi Centre (JSC), Kotabaru (pusat studi)
11. KOA Boutique+Café
12. Gabah Resto
13. SMKN 2 Yogyakarta, Jetis (sekolah menengah)
14. Pabrik Cerutu Tarumartani, Yogyakarta
15. Kandang Menjangan, Krapyak (tidak difungsikan)
16. Omah Dhuwur Restoran
17. Masjid Gedhe Kotagedhe
18. Kawasan Nitiprayan (kampong)
19. Padepokan Bagong Kussudiardja (pusat latihan dan studio musik)
20. Moving Space
Dari ke 19 venue tersebut yang memang brefungsi sebagai ruang pamer hanya 4 venue saja yaitu Taman Budaya Yogyakarta, Benteng Vredeburg, Karta Pustaka dan Galeri Biasa. Selebihnya yaitu 15 venue dan 1 moving space mempunyai fungsi yang bervariasi (sekolah, masjid, gereja, rumah makan, studio musik, museum, perpustakaan, sebuah kampung atau bahkan jarang difungsikan seperti Kandhang Menjangan).
Seniman peserta: Abdi Setiawan, Achmad Gani, Aditya Novali, Adrianto Fitriansyah, Adi Kaniko, Agung Hanafi Purboaji, Agus Kamal, Agus Yulianto, Agapetus A. Kristiandana, Ahmad Syahbandi, Akhmad Nizam, AC Andre Tanama, Andris Susilo, Arie Dyanto, Aries BM, Astari Rasjid, Basrizal Albara, Brahma Tirta Sari Studio, Budi Kustarto, Caroline Rika Winta+Emilia Chandra, Catur Bina Prasetyo, Danny Stamp+Afdhal+I Wayang Upadana+IG Made Surya Darma, Diah Yulianti, Deddy PAW, Dicky Tjandra, Didik Nurhadi, Dona Prawita Arrisuta, Donny Kurniawan Rutji, Eddy Sulistyo, Edial Rusli, Entang Wiharso, Erman Susilo, Eduard, Farhansiki, Ferial Affif, Galam Zulikifli, Heru Hikayat, Han, Hanafi+Maxine Hapner, Hayatudin, Indieguerillas, IGN Hening Swasini Ph, Imam Nurofiq, Iriantine Karnaya, Isa Perkasa, Ismanto, Iwan Wijono, I Made Aswino Aji, I Wayan Sudarna Putra, Joni Ramlan, Julnaidi MS, Joko Dwi Avianto, Kadafi, Kelompok Idu Geni, Kelompok Ruas Desa Cangkringan, Syaiful Hadjar dan Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB), Kelompok Seni Rupa Delivery Order, Kelompok Seringgit, KMTA YKPN, KMTA UKDW Atrium, KMTA UII, Khusna Hardiyanto, Klinik Seni Taxu, Kokok P Sancoko, Koni Herawati, Laksmi Sitharesmi, Lelyana, Made Wianta, Moelyono, Muji Harjo, Mulyo Gunarso, Noor Ibrahim, Noor Sudiyati, Nurkholis, Nurti Wijayanti, Pande Ketut Taman, Pintor Sirait, Putu Wirantawan, Ruang MES 56, Samuel Indratma, Sayed Ali Alaydroes, Setiawan Sabana, Suraji, Syahrizal Koto, Syamsul Barry, Teguh S Priyono, Tiarma D Sirait, Titarubi, Vincensius ‘Venzha’ Christiawan, Viktor Sarjono, Wahyu Santoso, Warshito, Wayan Sujana (Suklu), Yaksa Agus dan Proyek Seni, Yayat Surya, Yuli Prayitno – Luar negeri: Deborah J Nolan, Fauzie As’ad + Militansi Seni Rupa Soboman, Frank Van den Ham, Isao Kimura, Judy Watson, Malcolm Smith, Mari Oyama, Nadiah Bamadhaj, Philip Boas, Sally Smart, Seiko Kajiura, Sumiko Ikegami, Tony Ameneiro.
Perencanaan yang matang
Akan menggelar sebuah perhelatan besar semacam Biennale Jogja VIII 2005 (selanjutnya BJ VIII 2005) yang lalu memerlukan perencanaan setidaknya 2 tahun sebelumnya. Ukuran besar di sini karena: (a) melibatkan 110 seniman (b) menggunakan 17 venue untuk memamerkan karya, (c) berskala semi internasional; yang betul-betul datang dari luar negeri adalah seniman dari Jepang 3 orang, Australia 3 orang, walau pun senimannya tidak hadir, dan Belanda 1 orang, sisanya adalah seniman asing yang sudah lama tinggal di Yogyakarta (d) melibatkan 150-an orang panitia (e) hampir setiap hari terselenggara acara pendukung. Perencanaan meliputi hal teknis mau pun non teknis, mulai dari pematangan konsep kuratorial, perekrutan panitia inti dan pembekalan untuk volunteer, strategi menghadapi situasi (perlu menyiapkan setidaknya 3-4 alternatif solusi yang biasa kami sebut plan A, plan B dan seterusnya), strategi publikasi, strategi fundrising, pemilihan seniman (baik dalam dan luar negeri) dan konvensi-konvensi yang mengaturnya, hingga penyusunan laporan kegiatan baik kepada sponsor mau pun kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. Tanpa perencanaan yang matang dan jauh-jauh hari, sebuah even sebesar BJ VIII 2005 tidak dapat terlaksana dengan baik dan rapi. Hal-hal detail yang seharusnya masih bisa kita persiapkan apabila kita memiliki waktu yang cukup menjadi terabaikan, seperti persoalan pasca even sebagai contoh: pendokumentasian even ini, laporan kepada para sponsor dan donatur dan hal teknis lainnya.
Kurator dan kuratorial
Ketiga kurator dalam BJ VIII 2005 kali ini, Dwi Marianto, Eko Prawoto dan Mikke Susanto, jelas tidak saling melengkapi satu sama lain. Mikke Susanto terpaksa mengambil peran yang sangat besar dalam even kali ini karena Dwi Marianto sangat tidak kooperatif dan tidak koordinatif sementara bagi Eko Prawoto, asumsi saya ini merupakan kali pertama meng-handle even semacam ini. Walau pun Eko Prawoto berasal dari background teknik arsitektur, pengalaman mengikuti even semacam biennale sudah cukup banyak. Sangat terasa tim kurator tidak mampu meng-cover semua karya terlibat dalam even ini, walau pun tim kurator dan seluruh panitia telah berusaha semaksimal mungkin mengatasi semua persoalan yang ada di lapangan yang berkaitan dengan karya. Pendekatan kepada seniman juga sangat kurang. Apalagi masalah-masalah yang berkaitan dengan keterlibatan kurator tamu (Peter O’Neil dari Australia) dan seniman asing itu sendiri. Memorandum of Understanding (MoU) atau kesepakatan tertulis tidak dibuat dalam biennale kali ini, sehingga tidak jelas hak mau pun kewajiban yang harus di-handle oleh panitia penyelenggara mau pun kurator tamu dan seniman asing. Maka ditemuilah berbagai miscomunication dan misunderstanding karena tidak ada kesepakatan yang jelas dari awal.
Saya sangat setuju dalam beberapa diskusi mau pun tulisan di media massa disebutkan mengenai konsep kuratorial yang masih lemah. Saya pun tidak bisa membaca karya seperti apa yang diinginkan atau diharapkan tim kurator dengan konsep kuratorial yang ditawarkannya, sehingga bisa dilihat pula dalam penyelenggaraan pamerannya, karya-karya yang kurang berkualitas, menurut saya. Dengan asumsi, disamping karena konsep kuratorial yang kurang kuat juga karena pendeknya kesempatan yang dimiliki seniman (hanya kurang lebih 3 bulan) mulai konsep kuratorial tersebut disodorkan sampai mengumpulkan karya, banyaknya even biennale dan pameran yang terjadi sepanjang 2005 sehingga tingginya kompetisi pemilihan seniman. Sementara seperti kita ketahui banyak beberapa nama terlibat lebih dari 1 biennale seperti Aditya Novali, Astari Rasjid, Dona Prawita Arrisuta, Entang Wiharso, Indieguerillas, Joni Ramlan, Klinik Seni Taxu, Laksmi Sitharesmi, Noor Ibrahim, Pande Ketut Taman, Pintor Sirait, Ruang MES 56, Titarubi, Yani Mariani Sastranegara, Yuli Prayitno, Nadiah Bamadhaj dan mungkin beberapa nama lain yang belum sempat saya sebut di sini.
Dan kita ketahui ada 3 biennale di 3 kota yang berbeda dan 3 penyelenggara yang berbeda pula, yaitu CP Biennale (Jakarta, September), Bali Biennale (Bali, November) dan BJ VIII 2005 (Yogyakarta, Desember), disamping itu di luar negeri, Venice Biennale 2005 juga melibatkan beberapa nama yang sudah saya sebut di atas. Bisa kita tarik benang merah dari tema kuratorial yang diusung ketiga biennale tersebut, yaitu sama-sama merespon fenomena perkembangan publik dan ruang publiknya. CP Biennale dengan “Urban/Culture”, Bali Biennale dengan “Space and Scape” dan BJ VIII 2005 dengan “Consciousness of the Here and Now/ Di Sini dan Kini”.
Venue, karya dan seniman
Maka bisa kita lihat ada beberapa karya yang tidak merespon venue pameran dengan maksimal, tidak mengeksplornya, seperti memindahkan ruang pamer saja, meletakkan karya apa adanya pada venue tersebut. Seperti bisa kita lihat pada karya Tiarma Dame Ruth Sirait dan Made Aswino Aji di SMKN 2 Jetis, sangat tidak pas, kasihan karyanya atau bisa jadi senimannya yang tidak cukup mempelajari venue untuk karya mereka atau kuratornya bisa jadi tidak cukup jeli menempatkan karya. Hal ini juga bisa kita lihat pada karya Khusna Hardiyanto dan AC Andre Tanama di Karta Pustaka. Tetapi bisa juga kita lihat karya yang pas dengan venuenya seperti karya Sumiko Ikegami dan Yani Mariani Sastranegara di Omah Dhuwur, juga karya Iriantine Karnaya di Masjid Kotagede, karya Joko Dwi Avianto, IGN Hening Swasono PH, I Wayan Sujana Suklu di Benteng Vredeburg. Karya Nadiah Bamadhaj yang memiliki konsep yang sangat bagus walau pun eksekusinya tidak sekuat konsepnya, dipamerkan di Kandhang Menjangan. Karya-karya mereka sangat menginspirasi dan menghidupkan venue. Dimana menjadi salah satu tujuan dari penyelenggaraan biennale kali ini adalah ‘menghidupkan’ venue-venue yang dikategorikan heritage tersebut.
Pengalaman berharga yang bisa diambil dan dicatat juga dari penyelenggaraan ini adalah masih adanya kesenjangan antara pemilik venue dengan seniman sendiri. Misalnya dalam hal ini ditemukan kasus pemilik venue yang masih tidak paham mengenai biennale itu apa, karya seperti apa yang akan dipamerkan di venue mereka, apa dampak yang dihasilkan apabila venue mereka digunakan sebagai ruang pajang, peran pemilik venue dalam menentukan karya mana yang mereka sukai untuk dipajang di venue tersebut. Sehingga pemilik venue seperti menjadi co-curator dalam even ini. Sikap keberatan mau pun keterbukaan mewarnai hampir di setiap venue yang digunakan. Maka sosialsasi kepada pemilik venue juga perlu digiatkan jauh hari sebelum biennale ini terselenggara. Dari senimannya sendiri, kasus yang ditemui adalah seniman tidak cukup familiar dengan venue yang bukan ruang pamer. Beberapa dari seniman keberatan karya mereka ditempatkan di venue yang bukan ruang pamer. Sebagai contoh seniman A merasa keberatan karyanya ditempatkan di pabrik cerutu Taru Martani, dia menginginkan karyanya ditempatkan di Taman Budaya Yogyakarta saja, yang memang berfungsi sebagai ruang pamer. Kala sosialisasi juga muncul keberatan keikutsertaan peserta BJ VIII 2005 yang bukan berasal dari background seni rupa, misalnya Nurti Wijayanti (yang berprofesi sebagai guru TK) dan Keluarga Mahasiswa Teknik Arsitektur (UII, YKPN dan UKDW). Keeksklusifan ini ternyata masih muncul di kalangan seniman, dimana tidak sejalan dengan konsep kuratorial yang diusung tim kurator bahwa BJ VIII 2005 kali ini berusaha mendekatkan seni kepada masyarakatnya, seni yang tidak berjarak.
Perbedaan pengalaman, wawasan dan pengertian antara seniman yang sudah terbiasa mengikuti ajang biennale di luar negeri dan seniman yang bahkan baru pertama kali mengikuti biennale atau pameran menjadi hal yang perlu saya perhatikan pula sebagai divisi pameran. Tuntutan, pemahaman dan pengertiannya jelas berbeda dan bagaimana panitia dalam hal ini divisi pameran bisa mengakomodir hal itu semua.
Karena keterbatasan personil dalam divisi pameran, beberapa hal detail menjadi terabaikan. Sebagai contoh masalah caption pameran yang tidak semua karya terpasang dengan baik dan pada waktunya; tidak dapat memantau ke semua venue secara berkala, hal ini berkaitan dengan mengontrol penjaga pameran dan pameran itu sendiri di masing-masing venue; tidak dapat membongkar karya segera (terutama di luar Taman Budaya Yogyakarta, hal ini juga mengingat keterbatasan anggaran); katalog pra even yang masih banyak ditemukan kesalahan dan sebenarnya tidak layak untuk didistribusikan; informasi venue dan seniman serta jadwal rangkaian acara yang tidak terdistribusi dan terinformasikan dengan baik dan merata; juga tidak dapat segera turun ke lapangan ketika ada masalah (sepanjang even ini hampir setiap hari ada masalah baik teknis mau pun non teknis yang ditemukan); katalog pasca even yang sangat terlambat dari jadwal yang sudah ditetapkan (keterlambatan katalog pasca even ini mempengaruhi kredibilitas panitia penyelenggara terhadap sponsor dan seniman peserta).
Perekrutan volunteer
BJ VIII 2005 yang lalu sangat luar biasa riuh. Melibatkan kurang lebih 50 orang volunteer baik itu yang mempunyai latar belakang seni mau pun non seni. Ke-50 orang volunteer ini khusus direkrut untuk mengorganisir semua kebutuhan 110 seniman peserta BJ VIII 2005. Sehingga bisa dikatakan perbandingannya 2 seniman : 1 volunteer. Sebenarnya hitungan yang sangat rasional, cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan seniman atau membantu seniman menyiapkan karya mereka terpajang dalam pameran ini. Tetapi faktanya tidak semua ke 50 orang volunteer tersebut mengerti mengenai even ini, mengenai bagaimana harus memperlakukan karya, bagaimana harus menyiasati situasi (karena sebagian besar venue yang digunakan bukanlah ruang pamer sebagaimana biasanya), bagaimana meng-guide pengunjung memasuki ruang pamer, bagaimana harus membongkar karya setelah selesai pameran, bagaimana packing yang aman dan seterusnya. Perlu pembekalan kepada para volunteer setidaknya 6 bulan sebelum even berlangsung, ekspetasi-ekspetasi seperti apa yang panitia harapkan kepada mereka. Keahlian dan komitmen seperti apa yang diharapkan dari mereka. Bagaimana pun panitia BJ VIII 2005 kali ini sangat terbantu oleh adanya volunteer tersebut. Walau pun mereka hanya mendapatkan uang transport dan makan 1 kali, mereka tetap semangat membantu terlaksananya kegiatan ini.
Panitia penyelenggaraPihak Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sebagai penyelenggara saya nilai juga tidak siap, tidak bisa bekerja dalam tim bentukan baru dan tidak koordinatif. Spirit Dyan Anggraini (Kepala TBY) untuk meningkatkan kinerja di TBY ternyata tidak didukung oleh bawahannya. Beberapa staf TBY yang direkrut dalam kepanitiaan BJ VIII 2005 tidak maksimal membantu lancarnya kegiatan yang notabene BJ merupakan program TBY. Sepertinya kemudian akan lebih baik apabila BJ dikelola oleh panitia tersendiri tanpa melibatkan staf TBY sama sekali. BJ bisa ‘ditenderkan’, ditawarkan kepada art organizer yang mau mengelolanya dan TBY hanya menjadi penyelenggara saja di atas kertas.
Saya tidak menafikan apabila panitia yang direkrut dalam kepanitiaan BJ VIII 2005 ini mempunyai target dan misi masing-masing, mempunyai ego masing-masing, asalkan tidak menganggu kelancaran kinerja dalam kepanitiaan. Keterbukaan dan bisa bekerja dalam tim masih harus disosialisasikan terus menerus kepada seluruh panitia. Membuka milis di dalam internal kepanitiaan cukup membantu tetapi juga tidak berfungsi maksimal dikarenakan beberapa panitia tidak cukup aktif terakses dengan internet karena keterbatasan fasilitas dan dana. Disamping milis, SMS ternyata komunikasi yang lebih efektif dalam kepanitiaan ini. Masalah komunikasi dan koordinasi ini ternyata banyak menjadi pangkal permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan kali ini. Untuk itu perlu mendapatkan perhatian khusus.
Liputan media massa dan dokumentasi
Tidak dipungkiri, dari data yang saya kumpulkan melalui dokumentasi di Cemeti Art Foundation (CAF), BJ VIII 2005 mendapatkan liputan media yang sangat luas. Walau pun kebanyakan dari media massa lokal, namun bisa dicatat ada pula liputan media massa nasional dan internasional. Pengalaman dari CP Biennale 2005 membuat panitia BJ VIII 2005 sangat memperhatikan media, sigap menindaklanjuti situasi sebelum terlanjur genting dan membuat tur khusus untuk para wartawan. Dari sekian banyak liputan media tersebut, hanya sedikit tulisan yang analitis dan bisa memberi masukan kepada even ini, kebanyakan penulis atau wartawan hanya menulis reportase kegiatan ini.
Dokumentasi, tidak dalam even ini saja, itu sangat penting, baik itu foto, video, audio, liputan media dan printted material lainnya. Sense untuk mendokumentasi itu juga harus dimiliki seorang dokumentator, bagian mana yang penting untuk didokumentasi dan bagian mana yang tidak. Dokumentator dalam even BJ VIII 2005 saya nilai kurang maksimal. Foto-foto yang dihasilkan tidak cukup ‘berbunyi’ untuk karya-karya yang dipamerkan. Dokumentator di BJ VIII 2005 kali ini hanya berfungsi sebagai collecting data tetapi tidak dapat membuat data tersebut terbaca dengan komprehensif. Bagaimana membuat dokumentasi tersebut sebagai bahan referensi dan berkesinambungan untuk penyelenggaraan biennale selanjutnya.
Fundrising dan sponsor
Hal yang sangat penting dan sangat sensitif dalam even ini. Memang ada divisi tersendiri dalam BJ VIII 2005 yang mengorganisir fundrising, tetapi saya berharap divisi ini tidak hanya berfungsi mencari fresh money mau pun bentuk-bentuk kerja sama yang dibutuhkan, namun juga mengelola laporan yang dibutuhkan para sponsor atau donatur. Mungkin diperlukan satu divisi khusus yang memang menyiapkan semua hal yang diperlukan untuk dilaporkan kepada sponsor. Karena setiap sponsor memiliki ekspetasi yang berbeda-beda, demikian pula laporan yang diminta. Tidak sekadar memenuhi kompensasi yang disetujui tetapi juga bagaimana membuat kerja sama ini tidak hanya berlangsung dalam even kali ini saja. Hal ini yang kadang dilupakan panitia penyelenggara ketika even sudah berakhir.
Dalam beberapa kali penyelenggaraan biennale di Indonesia, seniman tidak mendapatkan subsidi karya yang layak, bahkan karya-karya dalam biennale tersebut bisa dijual (padahal menurut konvensi biennale yang ada, karya-karya dalam biennale tidak dijual). Dari hal tersebut, timbul pemikiran saya, apabila panitia mempunyai waktu yang cukup, panitia bisa membuatkan fundrising untuk bisa memberikan subsidi yang layak dan karya bisa dijual dengan diadakannya pameran khusus untuk itu. Pameran yang diikuti oleh calon peserta biennale itu sendiri. Pameran ini diselenggarakan mungkin setahun sebelum biennale. Dalam pameran ini seniman bisa menjual karyanya, hasil dari karya yang terjual tersebut untuk membuat karya di ajang biennale itu sendiri, subsidi silang begitulah.
Even pendukung
Even pendukung dalam BJ VIII 2005 kali ini cukup banyak dan bervariasi. Even diskusi yang diselenggarakan selama 7 kali ternyata diminati banyak publik, bermuatan dan memberi banyak masukan. Sedangkan even pendukung lainnya yaitu seni pertunjukan juga menjadi daya tarik tersendiri bagi audience yang awam di duni seni visual. Even seni pertunjukan mampu menarik audience tersebut untuk sedikit ‘terjaga’ dalam rangkaian BJ VIII 2005 walau terasa tetap berjarak.
Pasca Even
Selain pra even yang cukup menyita waktu, tenaga dan pikiran, demikian halnya dengan pasca even. Semua hal pendokumentasian, laporan dan masalah yang timbul pasca even juga perlu diorganisir dengan baik. Biasanya karena panitia yang terlibat dalam penyelenggaraan ini mempunyai pekerjaan utama mereka masing-masing dan tidak terikat dalam sebuah perjanjian hitam di atas putih, begitu even selesai, hampir 80% panitia juga sudah tidak ada ditempat, menghilang dan susah ditarik untuk ikut memikirkan semua hal menyangkut pasca even.
Parameter keberhasilan penyelenggaraan ini antara lain:
(parameter ini merupakan sebagian dari parameter yang ada)
:: Even pameran ini bisa tergelar sesuai dengan jadual yang direncanakan (4-22 Desember 2005), selain pameran, related event dan supporting event juga terselenggara dengan baik di setiap venue yang sudah direncanakan. Tercatat ada 11 related events (berupa performance art, aksi publik dan pemutaran video art), 7 diskusi, serta ada 7 supporting events (berupa seni pertunjukan baik musik tradisional dan musik kontemporer, teater mau pun tari).
:: Acara pembukaan pameran dihadiri oleh kurang lebih 1500 orang, dimana menurut pendapat banyak pihak hal tersebut merupakan hal yang luar biasa karena dibanjiri oleh penonton. Diantara tamu yang hadir selain publik umum, juga dihadiri oleh tamu asing, para kolektor, pengamat seni baik dari dalam dan luar kota. Kemudian sehari-hari tercatat di venue Taman Budaya Yogyakarta sendiri rata-rata dihadiri oleh 150 orang, belum di venue-venue yang lain.
:: Even ini mendapat liputan media cetak (lokal, nasional dan internasional) dan elektronik (radio dan televisi) yang cukup luas. Jogja TV merupakan television official partner Biennale Jogja VIII 2005. Sedangkan Kompas Jogja official partner untuk liputan media massanya. Daftar liputannya bisa dilihat di bawah ini.
Psikologis
Tuntutan, tekanan, target yang harus dicapai, bersinggungan dengan berbagai macam personal orang dan masalah yang terjadi sepanjang penyelenggaraan memang menimbulkan tekanan pula pada masalah psikologis masing-masing orang. Saling melengkapi dalam bekerja, keikhlasan dan tidak mementingkan ego sendiri merupakan salah satu kunci berjalannya kinerja dalam kepanitiaan. Bahkan seorang teman mengatakan, mungkin diperlukan satu divisi khusus yang menangani masalah psikologis panitia yang terlibat yang ditimbulkan karena berbagai tekanan yang diterima sepanjang even berlangsung.
Penutup
Demikian hal-hal yang bisa saya tarik dari riuhnya penyelenggaraan even BJ VIII 2005 kali ini disamping saya juga menyaksikan dan membandingkan pengalaman visual saya menyaksikan CP Biennale di Jakarta dan Bali Biennale di Bali. Terlepas dari semua kekurangan yang saya paparkan di atas, secara keseluruhan BJ VIII 2005 telah terselenggara dengan cukup manis dan ada beberapa hal yang boleh dibanggakan dalam penyelengaraan even ini. Tanpa menyinggung atau memojokan pihak tertentu, tulisan ini hanya refleksi dan semoga bisa menjadi evaluasi kita bersama, terutama bagi saya. Terima kasih.
Lihat pula di www.biennalejogja.net